SURAT DARI ALLAH
Sebelum pecah perang di benteng Babilon, Gubernur
Romawi di Mesir, Muqauqis, mengirim utusan untuk menemui
panglima perang Amr bin 'Ash. Setelah dua hari bersama
kaum muslimin, utusan itu pulang dan mengungkapkan
kesannya. Katanya, ''Kami telah menyaksikan sekelompok
manusia yang lebih mencintai mati daripada hidup, lebih
suka berbenah diri daripada bermegah-megah. Tak seorang
pun di antara mereka yang tamak akan dunia. Mereka duduk
hanya di atas tanah. Pemimpin mereka sama saja dengan
orang biasa. Kita tidak dapat mengenal di antara mereka
mana yang pembesar dan mana yang rakyat jelata, mana
yang tuan dan mana yang hamba sahaya. Bila waktu
sembahyang telah tiba, tak seorang pun yang mangkir.
Untuk bersembahyang, mereka membersihkan anggota tubuh
lebih dahulu dengan air. Dan alangkah khusyuknya mereka
dalam mengerjakan sembahyang itu''.
Sekilas deskripsi tadi terkesan bombastis. Itu jika kita
melihatnya dari dunia kita, yang tentu jauh sudah dengan
dunia mereka. Tetapi begitulah sesungguhnya keadaan
mereka. Wajarlah kiranya jika mereka mendapat predikat
“khairu ummah”, ummat terbaik. Perbedaan menonjol antara
kita dan mereka lebih terletak pada sikap mental kita
terhadap harta. Utusan tadi berkata, '' ... (mereka)
lebih suka berbenah diri dari pada bermegah-megahan''.
Sebagai ummat pilihan, jauhnya mereka dari
bermegah-megah bukan karena kultur mereka memang begitu.
Namun hal ini lebih merupakan refleksi ketaatan mereka
kepada Allah. Saking bencinya terhadap sikap
bermegah-megahan ini, dari 114 surat-Nya di dalam Al
Quran, Allah mengirimkan satu “surat” khusus guna
memblack-listnya, yakni surat At Takatsur.
Fenomena bermegah-megah di sekitar kita tidak saja
menjadi gejala, tapi juga telah menjadi arus yang
menggiring begitu banyak orang untuk bernapas dengannya.
Pada satu belahan masyarakat, kita masih dapati ribuan
petani dan buruh yang dengan kesahajaan mereka, harus
bekerja seharian hanya untuk dua-lima ribu rupiah. Di
belahan lain, di saat mereka melepas lelah di depan t.v.,
mereka disuguhi permainan orang-orang kota, yang hanya
dengan menekan beberapa nomor lalu menjawab dengan hanya
satu kalimat, mereka dapatkan ratusan ribu rupiah atau
barang-barang dengan harga selangit. Inilah realita. Dan
kita ada di dalamnya, dengan demikian seharusnya menjadi
tanggungjawab bersama. Tampaknya karena sebab
ketidakpedulian ini saja, sudah cukup pantas Allah
menghukum kita. Apalagi jika kita tidak bertobat
sebagaimana disebutkan dalam surat At Takatsur tersebut.
Pada masa yang seperti ini, zuhud menjadi hal yang
teramat mahal, patut disayangkan. Selama ini zuhud
selalu dipahami sebagai sikap atau sesuatu yang yang
stereotipe, yakni identik dengan miskin, lapar, dekil,
kumuh dan segala atribut yang membuat kita merasa
inferior untuk mencobanya. Padahal, konsepsi zuhud yang
sesungguhnya tidaklah demikian. Tentang zuhud ini Abu
Bakar r.a. menerjemahkannya dalam doa beliau yang
terkenal itu: ''Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan
kami, tetapi tidak di hati kami''. Artinya, zuhud adalah
bagaimana kita kaya tapi tidak dikendalikan oleh harta,
bagaimana kita kaya dengan tidak lupa bahwa di sana ada
hak dhu'afa, ada kewajiban berjihad dengannya, ada
prioritas dan tingkat urgensi dalam pembelanjaannya,
bahkan kita tidak harus membeli sesuatu meskipun kita
mampu.
Namun di antara apa yang kita pahami tentang zuhud, yang
terbaik adalah kita renungkan kembali ''surat khusus''
itu, yang dalam artinya:
''Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu
masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui? Janganlah begitu, jika kamu mengetahui
dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar
akan melihat neraka Jahim. Dan sesungguhnya kamu
benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan yang kamu megah-megahkan di dunia."
Wallahu a'lam.
|