Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Persatuan Pelajar Indonesia di Tunisia
اتحاد الطلبة الأندونيسين بتونس
Association des Etudiants Indonésiens en Tunisie

Selamat Datang - Welcome - Bienvenue - أهلا و سهلا

Halaman Depan - Organisasi PPI-Tunisia - Tulisan - Album Foto - Tentang Tunisia

 Terbaru - Populer
   
   
   
   
   
 Organisasi PPI-Tunisia
 Profil Singkat
   Anggaran Dasar
   Anggaran Rumah Tangga
   Struktur Organisasi
   Program Kerja
   Serba-Serbi PPI
   Album Foto
 Tunisia Selayang Pandang
 

 Profil Singkat

   Sejarah
   Kependudukan
   Pendidikan
   Islam di Tunisia
   Tempat-Tempat Pariwisata
   Serba-Serbi Tunisia
 Sekilas Info
   Info Terbaru!
PPI Tunisia mendirikan organisasi tandingan PBB.


Bagi negara, tokoh negara dan pemerintahan, perusahaan multimilioner, orang-orang kaya di dunia, dan siapa saja yang ingin bergabung silahkan hubungi kami


 Tulisan
   Quran dan Hadits
   
   Akhlak
   
   Filsafat
   
   Sejarah dan Peradaban
   
 

 Ilmu-ilmu Sosial

   
   Hukum
   
   Seni
   
   Umum
   
 Forum
   Kotak Surat
   
   Titip Salam
   
   

SURAT DARI ALLAH

Sebelum pecah perang di benteng Babilon, Gubernur Romawi di Mesir, Muqauqis, mengirim utusan untuk menemui panglima perang Amr bin 'Ash. Setelah dua hari bersama kaum muslimin, utusan itu pulang dan mengungkapkan kesannya. Katanya, ''Kami telah menyaksikan sekelompok manusia yang lebih mencintai mati daripada hidup, lebih suka berbenah diri daripada bermegah-megah. Tak seorang pun di antara mereka yang tamak akan dunia. Mereka duduk hanya di atas tanah. Pemimpin mereka sama saja dengan orang biasa. Kita tidak dapat mengenal di antara mereka mana yang pembesar dan mana yang rakyat jelata, mana yang tuan dan mana yang hamba sahaya. Bila waktu sembahyang telah tiba, tak seorang pun yang mangkir. Untuk bersembahyang, mereka membersihkan anggota tubuh lebih dahulu dengan air. Dan alangkah khusyuknya mereka dalam mengerjakan sembahyang itu''.

Sekilas deskripsi tadi terkesan bombastis. Itu jika kita melihatnya dari dunia kita, yang tentu jauh sudah dengan dunia mereka. Tetapi begitulah sesungguhnya keadaan mereka. Wajarlah kiranya jika mereka mendapat predikat “khairu ummah”, ummat terbaik. Perbedaan menonjol antara kita dan mereka lebih terletak pada sikap mental kita terhadap harta. Utusan tadi berkata, '' ... (mereka) lebih suka berbenah diri dari pada bermegah-megahan''.

Sebagai ummat pilihan, jauhnya mereka dari bermegah-megah bukan karena kultur mereka memang begitu. Namun hal ini lebih merupakan refleksi ketaatan mereka kepada Allah. Saking bencinya terhadap sikap bermegah-megahan ini, dari 114 surat-Nya di dalam Al Quran, Allah mengirimkan satu “surat” khusus guna memblack-listnya, yakni surat At Takatsur.

Fenomena bermegah-megah di sekitar kita tidak saja menjadi gejala, tapi juga telah menjadi arus yang menggiring begitu banyak orang untuk bernapas dengannya. Pada satu belahan masyarakat, kita masih dapati ribuan petani dan buruh yang dengan kesahajaan mereka, harus bekerja seharian hanya untuk dua-lima ribu rupiah. Di belahan lain, di saat mereka melepas lelah di depan t.v., mereka disuguhi permainan orang-orang kota, yang hanya dengan menekan beberapa nomor lalu menjawab dengan hanya satu kalimat, mereka dapatkan ratusan ribu rupiah atau barang-barang dengan harga selangit. Inilah realita. Dan kita ada di dalamnya, dengan demikian seharusnya menjadi tanggungjawab bersama. Tampaknya karena sebab ketidakpedulian ini saja, sudah cukup pantas Allah menghukum kita. Apalagi jika kita tidak bertobat sebagaimana disebutkan dalam surat At Takatsur tersebut.

Pada masa yang seperti ini, zuhud menjadi hal yang teramat mahal, patut disayangkan. Selama ini zuhud selalu dipahami sebagai sikap atau sesuatu yang yang stereotipe, yakni identik dengan miskin, lapar, dekil, kumuh dan segala atribut yang membuat kita merasa inferior untuk mencobanya. Padahal, konsepsi zuhud yang sesungguhnya tidaklah demikian. Tentang zuhud ini Abu Bakar r.a. menerjemahkannya dalam doa beliau yang terkenal itu: ''Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, tetapi tidak di hati kami''. Artinya, zuhud adalah bagaimana kita kaya tapi tidak dikendalikan oleh harta, bagaimana kita kaya dengan tidak lupa bahwa di sana ada hak dhu'afa, ada kewajiban berjihad dengannya, ada prioritas dan tingkat urgensi dalam pembelanjaannya, bahkan kita tidak harus membeli sesuatu meskipun kita mampu.

Namun di antara apa yang kita pahami tentang zuhud, yang terbaik adalah kita renungkan kembali ''surat khusus'' itu, yang dalam artinya:

''Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui? Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu megah-megahkan di dunia."

Wallahu a'lam.

Kembali Ke Atas

 
Copyright © 2006-2007 PPI-Tunisia. All Rights Reserved
Supported by Pulau Damai Technologies