Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Persatuan Pelajar Indonesia di Tunisia
اتحاد الطلبة الأندونيسين بتونس
Association des Etudiants Indonésiens en Tunisie

Selamat Datang - Welcome - Bienvenue - أهلا و سهلا

Halaman Depan - Organisasi PPI-Tunisia - Tulisan - Album Foto - Tentang Tunisia

 Terbaru - Populer
   
   
   
   
   
 Organisasi PPI-Tunisia
 Profil Singkat
   Anggaran Dasar
   Anggaran Rumah Tangga
   Struktur Organisasi
   Program Kerja
   Serba-Serbi PPI
   Album Foto
 Tunisia Selayang Pandang
 

 Profil Singkat

   Sejarah
   Kependudukan
   Pendidikan
   Islam di Tunisia
   Tempat-Tempat Pariwisata
   Serba-Serbi Tunisia
 Sekilas Info
   Info Terbaru!
PPI Tunisia mendirikan organisasi tandingan PBB.


Bagi negara, tokoh negara dan pemerintahan, perusahaan multimilioner, orang-orang kaya di dunia, dan siapa saja yang ingin bergabung silahkan hubungi kami


 Tulisan
   Quran dan Hadits
   
   Akhlak
   
   Filsafat
   
   Sejarah dan Peradaban
   
 

 Ilmu-ilmu Sosial

   
   Hukum
   
   Seni
   
   Umum
   
 Forum
   Kotak Surat
   
   Titip Salam
   
   

ISLAM DAN PARADOKS POLITIK BARAT :
SEBUAH REFLEKSI PEMIKIRAN

Oleh: Iding Rosyidin

Ketika Samuel Hungtington, seorang Guru Besar Ilmu Politik pada salah satu universitas di Amerika Serikat, mendengungkan tesis ‘’clash of civilisation’’ dengan memasukkan Islam sebagai salah satu variabel yang akan mengancam superioritas peradaban Barat (baca : Amerika dan Eropa), umat Islam di seluruh pelosok dunia serta merta terperanjat. Ada apa dibalik tesis Hungtington tersebut? Apakah tesis itu merupakan analisa akademis murni yang tentu saja obyektif?, atau sebaliknya penuh bias-bias politik?

Tesis Hungtington tersebut di atas sengaja penulis angkat di awal tulisan yang sederhana ini sebagai langkah pembukaan untuk melihat sejauh mana paradigma yang dibangun oleh dunia internasional dalam melihat fenomena Islam yang dewasa ini sedang mengalami kebangkitan. Setelah itu akan coba dipaparkan juga kenyataan-kenyataan empiris yang dialami umat Islam vis a vis politik Barat yang penuh paradoks dan beberapa agenda persoalan yang ingin ditawarkan.

Setelah Komunisme Runtuh

Glasnost dan Perestroika telah meniupkan angin keterbukaan yang begitu kencang di wilayah eks-Uni Soviet. Saking kencangnya, bangunan-bangunan peradaban yang telah sekian lama dengan kokoh, dibuat porak poranda. Tak ada yang mampu bertahan. Maka, ambruklah Uni Soviet dan berakhirlah Komunisme. Glasnost dan Perestroikapun telah menelan ‘’korban’’, yang tak lain adalah tuannya sendiri, Michael Ghorbacev.

Dari sisi peradaban, runtuhnya Komunisme di eks-Uni Soviet tersebut sesungguhnya adalah peristiwa natural dalam sejarah peradaban-peradaban dunia. Menurut Teori Pendulum, bahwa peradaban-peradaban di berbagai belahan dunia pasti mengalami masa kejayaan dan masa kemunduran, terlepas dari berbagai variabel; politik, ekononomi, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya yang melatarbelakangi peradaban tersebut secara bergantian. Betul bahwa runtuhnya sebuah peradaban –dalam hal ini Komunisme– akan memberi peluang kepada peradaban lain. Tetapi apakah dengan demikian , Islam kemudian akan menjadi ancaman yang menakutkan bagi peradaban-peradaban lain?.

Tanpa bermaksud apologi, penulis ingin mengedepankan karakteristik peradaban Islam untuk dilihat secara obyektif, apakah Islam mempunyai potensi-potensi yang cenderung mengancam peradaban lain ataukah tidak.

Salah satu karakteristik peradaban Islam yang sangat relevan dengan konteks di atas adalah adanya ajaran tentang toleransi. Secara historis, toleransi dalam Islam memiliki sejarah yang sangat manis, bahkan jika ditelusuri sampai jauh ke masa awal Islam, yaitu pada periode Nabi. Ketika nabi Muhammad Saw memproklamirkan berdirinya Negara Madinah, beliau telah berhasil membuat sebuah piagam yang dikenal dengan Piagam Madinah. Diantara isi piagam tersebut adalah kesediaan umat Islam –saat itu umat Islam merupakan mayoritas– untuk berkoeksistensi secara damai dengan umat Yahudi dan Nasrani, tentu saja dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama.

Demikian pula yang terjadi pada masa-masa Al-Khulafa Al-Rasyidun, Bani Umayyah, Daulah Abbasiyah sampai ke masa sekarang ini. Dapat kita saksikan bagaimana Islam tetap konsisten untuk memberlakukan prinsip toleransi sekalipun pada negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Barangkali Indonesia,dalam konteks ini,dapat dijadikan sebagai prototype ideal dalam menerjemahkan toleransi dalam kehidupan bernegaranya. Bahkan Indonesia ketika masa-masa awal kemerdekaan telah berhasil membuat suatu piagam yang dikenal dengan Piagam Jakarta yang maknanya banyak mempunyai persamaan dengan Piagam Madinah. (Di IAIN Jakarta Dr. Ahmad Ahmad Sukarja, meraih gelar doktornya dengan menulis disertasinya tentang Studi Perbandingan antara Piagam Madinah dengan Piagam Jakarta).

Belum lagi kalau ditampilkan di sini karakteristik-karakteristik lainnya. Seperti halnya liberte, egalite dan fraternite, tiga hal yang diagungkan oleh Revolusi Perancis, Islam sudah mempraktekkan hal-hal tersebut jauh sebelumnya. Dalam literatur Islam, tiga prinsip itu masing-masing di sebut : alhurriyah, almusawat dan al-ukhuwwah. Dari sejumlah karakteristik peradaban islam tersebut, tidak ada satu pun yang berpotensi untuk mengancam eksistensi peradaban lain.

Dari sini dapat dilihat, betapa pada saat belum terumuskan teori-teori politik atau sosiologi modern seperti sekarang ini, islam telah mampu memperlihatkan kepada dunia praktek-praktek kehidupan bernegara yang jauh lebih modern untuk ukuran zaman itu. Tidak ada satupun yang bisa membantah realitas sejarah ini, sekalipun para ilmuwan Barat. Oleh karena itu jika sekarang komunisme runtuh, bukan berarti Islam akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai peradaban lain, karena jelas bertentangan dengan karakteristik-karakeristik tadi.

Bias-bias Politik

Dengan melihat pada dimensi peradaban sebagaimana dipaparkan di atas, jelas teori Hungtington tidak berpijak pada fondasi yang kokoh. Dengan kata lain, sangat bertolak belakang dengan realitas historis peradaban Islam. Hemat penulis, analisa yang dibangun Hungtington berangkat dari asumsi-asumsi yang penuh bias politik. Bukan hal yang aneh memang, karena pada kenyataannya Barat selalu memandang Islam dengan tidak adil. Hungtington sendiri hanyalah salah seorang dari ilmuwan Barat yang berlaku demikian.

Banyak bukti yang dapat dilihat bagaimana Barat melihat beberapa peristiwa yang terjadi dalam lingkungan Islam dengan cara yang berat sebelah. Yang paling menonjol dan gencar adalah tuduhan terorisme terhadap aktifitas beberapa organisasi Islam. Di antara organisasi-organisasi Islam yang dicap teroris adalah Hammas di Palestina, Milisi Hizbullah di Afganistan, FIS di Aljazair dan sederet nama lainnya. Tuduhan terorisme ini pulalah yang menyebabkan beberapa perundingan perdamaian di kawasan Timur Tengah macet hingga saat ini, seperti yang terjadi pada perundingan antara Palestina dan Israel. Pertanyaannya adalah, batasan apa yang digunakan Barat dalam menuduh beberapa organisasi Islam sebagai teroris? Barangkali pertanyaan ini tidak bisa mereka jawab, karena yang mereka pergunakan adalah standar ganda.

Pada satu pihak, mereka menganggap Hammas dan aksi-aksi bunuh diri dengan meledakkan bom pada tubuhnya sebagai aksi terorisme, sementara pada pihak lain, mereka tidak mengatakan hal yang sama kepada tentara-tentara Israel yang melakukan pembantaian terhadap warga Palestina. Mereka segera mengatakan bahwa tindakan ini sangat kejam, jika mendapatkan orang Islam membunuh, tetapi mereka berdiam diri seperti patung ketika menyaksikan pembantaian-pembantaian warga muslim Bosnia oleh tentara Serbia. Dan demikian seterusnya.

Tidak cukup dengan itu, Barat juga selalu menampilkan Islam dalam bentuk yang sangat ganas dan menakutkan. Melalui media massa dan sarana informasi lainnya yang mereka kuasai,citra-citra buruk tentang Islam sering mereka tampilkan. Hukum potong tangan dianggap sebagai representasi dari kebuasan, Nabi yang beristeri sembilan dianggap sebagai manusia hiperseks dan sebagainya. Di sini peran kaum orientalis sangat besar dalam mempengaruhi opini publik.

Negara-negara Islam lainnya dianggap militan dan selalu menjadi sorotan. Iran sejak revolusi tahun 1979 sampai sekarang masih dikucilkan, partai FIS –partai orang Islam– di Aljazair yang secara jelas menang dalam pemilu tidak berdaya apa-apa ketika hasil pemilu dibatalkan. Semua pengamat politik tahu siapa dibalik pembatalan itu. Juga Libya tak pernah diberi sikap ramah. Kasus Lockerbi masih dipersengketakan dengan Amerika Serikat dan Inggris. Irak pada perang teluk bahkan dikepung oleh persekutuan beberapa negara, dan sampai sekarang masih juga menderita sanksi PBB.

Lebih dari pada itu semua, kepentinganlah yang selalu mereka jaga. Dalam dunia politik, kepentingan selalu diatas segala-galanya. Jika sudah kepentingan yang terancam, maka apa pun saja ‘’sah’’ untuk dilakukan, termasuk standar ganda yang diterapkan Barat dalam menilai Islam.

Dalam konteks ini, Tesis Hungtington mungkin bisa dibenarkan. Ia melihat bahwa secara politis, Islam pada masa yang akan datang dapat menjadi ancaman karena dewasa ini sedang mengalami masa-masa kebangkitan. Bahkan di beberapa negara yang Islamnya minoritas kegiatan Islam mulai semarak, termasuk di Amerika Serikat sendiri. Sementara Komunisme yang merupakan salah satu saingannya sudah runtuh. Tentu saja justifikasi secara politis terhadap tesis Hungtington ini dilakukan atas dasar cara pandang Barat terhadap Islam, dengan Hungtington sebagai salah satu unsurnya.

Beberapa Agenda

Melihat kepada beberapa kenyataan yang telah dipaparkan di atas, nampak begitu paradoksnya paradigma yang dibangun oleh dunia Barat dalam memandang Islam. Cara pandang demikian sudah pasti bagi Islam akan berimplikasi negatif, baik pada citranya di mata dunia maupun pada persatuan dikalangan umat Islam itu sendiri. Lihatlah, bagaimana Yasser Arafat harus bertikai dengan kelompok Hamas –akhir-akhir ini Arafat dan Hamas sudah mulai bermesraan– yang sama-sama warga muslim hanya karena ada istilah terorisme dari pihak Israel.

Kondisi yang sedemikian rupa barangkali akan terus berlangsung jika dibiarkan saja. Menurut hemat penulis, harus ada beberapa upaya, paling tidak untuk menangkal paradigma yang mereka bangun secara tidak adil itu. Oleh karena itu ada beberapa agenda yang ingin penulis tawarkan sebagai bahan refleksi pemikiran bersama, yaitu : Pertama. Menciptakan kepemimpinan Islam yang betul-betul berwibawa. Paling tidak kepemimpinan pada tataran ide. Satu kenyataan yang sulit untuk dibantah bahwa sekarang ini, kepemimpinan ide di kalangan umat Islam masih tercerai berai. Sehingga mudah bagi pihak Barat untuk memecah belahnya, seperti kasus tuduhan terorisme terhadap beberapa organisasi Islam yang telah disinggung di atas.

Tetapi belakangan ini ada satu fenomena yang menarik dan melegakan bagi umat Islam, ketika berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI) kedelapan di Teheran dari tanggal 9 sampai 11 Desember baru-baru ini. Ada semacam kesamaan pandangan dari seluruh anggota OKI untuk meluruskan istilah terorisme. Dalam salah satu butir ‘’Proklamasi Teheran’’ disebutkan, akan direncanakan Konferensi Internasional yang membahas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan konsep terorisme dan batasan-batasan apa yang digunakan untuk menilai bahwa sebuah gerakan layak disebut teroris atau tidak. Langkah ini, hemat penulis, sungguh berani di tengah-tengah krisis perdamaian di kawasan Timur Tengah, terutama Palestina–Israel yang masih belum memberikan harapan hingga kini.

Kita sebenarnya punya pengalaman bagus tentang kepemimpinan ide ini, yaitu pada zaman Jamaluddin Al Afghani. Beliau adalah salah seorang tokoh pejuang Islam yang berhasil menembuskan ide ‘’Pan Islamisme’ melintasi batas-batas geografis dan kultural. Di Indonesia, tokoh ini sering dijadikan anutan oleh terutama para aktifis pergerakan Islam. Meskipun belum berhasil menyatukan umat Islam di seluruh peunjuru dunia, tetapi setidaknnya ia telah membuka jalan bagi generasi penerus untuk mewarisi jejaknya sekalipun misalnya dalam bentuk yang berbeda.

Kedua. Untuk menyokong kepemimpinan ide di atas, umat Islam perlu banyak melakukan kajian-kajian ilmiah, riset, penelitian dan sebagainya, apalagi kalau disertai dengan didirkannya pusat-pusat studi. Dalam masalah ini , kita akui bahwa kita masih jauh tertinggal dibanding Barat. Padahal pada zaman yang oleh Alfin Tofler disebut era informasi ini, senjata yang paling ampuh adalah ilmu pengetahuan. Misalnya, bagaimana kita bisa menjawab tuduhan Barat bahwa nabi Muhammad Saw itu hiperseks karena beristeri banyak. Tentu saja kita tidak bisa hanya menjawab dengan ‘’pertanyaan itu tidak betul, Nabi kan ma’sum dari segala dosa’’ dan jawaban-jawaban lain yang sifatnya apologis. Tetapi seharusnya kita menangkal tuduhan di atas dengan argumentasi-argumentasi ilmiah. Misalnya, ditinjau dari psikologi, orang yang punya kecenderungan hiperseks itu selalu mencari perempuan-perempuan yang masih mudah, enerjik dan lain sebagainya, sementara istri-istri nabi adalah janda-janda perang, yang masih perawan hanya satu, Siti Aisyah Binti Abu Bakar Al- Shidiq. Jadi tuduhan orang barat tadi jelas tidak berpijak pada argumen yang kuat. Ini baru ditinjau dari segi psikologi, belum lagi filsafat, sosiologi dan sebagainya. Persoalannya, seberapa banyak dan seberapa jauh kualitas orang Islam yang menguasai bidang tersebut?

Ketiga. Pembenahan sistem manajamen dalam organisasi Islam.Dalam konteks ini, sumberdaya manusianya masih minim. Secara kuantitas, organisasi Islam memang cukup banyak baik pada tingkat lokal, regional dan internasional. Tetapi soal sistem management yang diterapkan masih dipertanyakan seperti rekrutmen anggota, dana, jaringan kerja dan soal-soal urgent lainnya.

Demikianlah tiga agenda –tidak menutup kemugkinan ada agenda lainnya– yang penulis tawarkan kepada sidang pembaca. Hemat penulis, minimal dengan tiga hal di atas, umat Islam dapat melakukan counter terhadap politik Barat yang penuh dengan paradoks itu dengan cara-cara yang ilmiah dan profesional. Semoga.

Penulis adalah Alumnus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1996

Kembali Ke Atas

 
Copyright © 2006-2007 PPI-Tunisia. All Rights Reserved
Supported by Pulau Damai Technologies