ISLAM DAN PARADOKS POLITIK BARAT :
SEBUAH REFLEKSI PEMIKIRAN
Oleh: Iding Rosyidin
Ketika Samuel Hungtington, seorang Guru Besar Ilmu
Politik pada salah satu universitas di Amerika Serikat,
mendengungkan tesis ‘’clash of civilisation’’ dengan
memasukkan Islam sebagai salah satu variabel yang akan
mengancam superioritas peradaban Barat (baca : Amerika
dan Eropa), umat Islam di seluruh pelosok dunia serta
merta terperanjat. Ada apa dibalik tesis Hungtington
tersebut? Apakah tesis itu merupakan analisa akademis
murni yang tentu saja obyektif?, atau sebaliknya penuh
bias-bias politik?
Tesis Hungtington tersebut di atas sengaja penulis
angkat di awal tulisan yang sederhana ini sebagai
langkah pembukaan untuk melihat sejauh mana paradigma
yang dibangun oleh dunia internasional dalam melihat
fenomena Islam yang dewasa ini sedang mengalami
kebangkitan. Setelah itu akan coba dipaparkan juga
kenyataan-kenyataan empiris yang dialami umat Islam vis
a vis politik Barat yang penuh paradoks dan beberapa
agenda persoalan yang ingin ditawarkan.
Setelah Komunisme Runtuh
Glasnost dan Perestroika telah meniupkan angin
keterbukaan yang begitu kencang di wilayah eks-Uni
Soviet. Saking kencangnya, bangunan-bangunan peradaban
yang telah sekian lama dengan kokoh, dibuat porak
poranda. Tak ada yang mampu bertahan. Maka, ambruklah
Uni Soviet dan berakhirlah Komunisme. Glasnost dan
Perestroikapun telah menelan ‘’korban’’, yang tak lain
adalah tuannya sendiri, Michael Ghorbacev.
Dari sisi peradaban, runtuhnya Komunisme di eks-Uni
Soviet tersebut sesungguhnya adalah peristiwa natural
dalam sejarah peradaban-peradaban dunia. Menurut Teori
Pendulum, bahwa peradaban-peradaban di berbagai belahan
dunia pasti mengalami masa kejayaan dan masa kemunduran,
terlepas dari berbagai variabel; politik, ekononomi,
pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya yang
melatarbelakangi peradaban tersebut secara bergantian.
Betul bahwa runtuhnya sebuah peradaban –dalam hal ini
Komunisme– akan memberi peluang kepada peradaban lain.
Tetapi apakah dengan demikian , Islam kemudian akan
menjadi ancaman yang menakutkan bagi peradaban-peradaban
lain?.
Tanpa bermaksud apologi, penulis ingin mengedepankan
karakteristik peradaban Islam untuk dilihat secara
obyektif, apakah Islam mempunyai potensi-potensi yang
cenderung mengancam peradaban lain ataukah tidak.
Salah satu karakteristik peradaban Islam yang sangat
relevan dengan konteks di atas adalah adanya ajaran
tentang toleransi. Secara historis, toleransi dalam
Islam memiliki sejarah yang sangat manis, bahkan jika
ditelusuri sampai jauh ke masa awal Islam, yaitu pada
periode Nabi. Ketika nabi Muhammad Saw memproklamirkan
berdirinya Negara Madinah, beliau telah berhasil membuat
sebuah piagam yang dikenal dengan Piagam Madinah.
Diantara isi piagam tersebut adalah kesediaan umat Islam
–saat itu umat Islam merupakan mayoritas– untuk
berkoeksistensi secara damai dengan umat Yahudi dan
Nasrani, tentu saja dengan syarat-syarat tertentu yang
disepakati bersama.
Demikian pula yang terjadi pada masa-masa Al-Khulafa Al-Rasyidun,
Bani Umayyah, Daulah Abbasiyah sampai ke masa sekarang
ini. Dapat kita saksikan bagaimana Islam tetap konsisten
untuk memberlakukan prinsip toleransi sekalipun pada
negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam.
Barangkali Indonesia,dalam konteks ini,dapat dijadikan
sebagai prototype ideal dalam menerjemahkan toleransi
dalam kehidupan bernegaranya. Bahkan Indonesia ketika
masa-masa awal kemerdekaan telah berhasil membuat suatu
piagam yang dikenal dengan Piagam Jakarta yang maknanya
banyak mempunyai persamaan dengan Piagam Madinah. (Di
IAIN Jakarta Dr. Ahmad Ahmad Sukarja, meraih gelar
doktornya dengan menulis disertasinya tentang Studi
Perbandingan antara Piagam Madinah dengan Piagam
Jakarta).
Belum lagi kalau ditampilkan di sini
karakteristik-karakteristik lainnya. Seperti halnya
liberte, egalite dan fraternite, tiga hal yang
diagungkan oleh Revolusi Perancis, Islam sudah
mempraktekkan hal-hal tersebut jauh sebelumnya. Dalam
literatur Islam, tiga prinsip itu masing-masing di sebut
: alhurriyah, almusawat dan al-ukhuwwah. Dari sejumlah
karakteristik peradaban islam tersebut, tidak ada satu
pun yang berpotensi untuk mengancam eksistensi peradaban
lain.
Dari sini dapat dilihat, betapa pada saat belum
terumuskan teori-teori politik atau sosiologi modern
seperti sekarang ini, islam telah mampu memperlihatkan
kepada dunia praktek-praktek kehidupan bernegara yang
jauh lebih modern untuk ukuran zaman itu. Tidak ada
satupun yang bisa membantah realitas sejarah ini,
sekalipun para ilmuwan Barat. Oleh karena itu jika
sekarang komunisme runtuh, bukan berarti Islam akan
mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai peradaban
lain, karena jelas bertentangan dengan
karakteristik-karakeristik tadi.
Bias-bias Politik
Dengan melihat pada dimensi peradaban sebagaimana
dipaparkan di atas, jelas teori Hungtington tidak
berpijak pada fondasi yang kokoh. Dengan kata lain,
sangat bertolak belakang dengan realitas historis
peradaban Islam. Hemat penulis, analisa yang dibangun
Hungtington berangkat dari asumsi-asumsi yang penuh bias
politik. Bukan hal yang aneh memang, karena pada
kenyataannya Barat selalu memandang Islam dengan tidak
adil. Hungtington sendiri hanyalah salah seorang dari
ilmuwan Barat yang berlaku demikian.
Banyak bukti yang dapat dilihat bagaimana Barat melihat
beberapa peristiwa yang terjadi dalam lingkungan Islam
dengan cara yang berat sebelah. Yang paling menonjol dan
gencar adalah tuduhan terorisme terhadap aktifitas
beberapa organisasi Islam. Di antara
organisasi-organisasi Islam yang dicap teroris adalah
Hammas di Palestina, Milisi Hizbullah di Afganistan, FIS
di Aljazair dan sederet nama lainnya. Tuduhan terorisme
ini pulalah yang menyebabkan beberapa perundingan
perdamaian di kawasan Timur Tengah macet hingga saat ini,
seperti yang terjadi pada perundingan antara Palestina
dan Israel. Pertanyaannya adalah, batasan apa yang
digunakan Barat dalam menuduh beberapa organisasi Islam
sebagai teroris? Barangkali pertanyaan ini tidak bisa
mereka jawab, karena yang mereka pergunakan adalah
standar ganda.
Pada satu pihak, mereka menganggap Hammas dan aksi-aksi
bunuh diri dengan meledakkan bom pada tubuhnya sebagai
aksi terorisme, sementara pada pihak lain, mereka tidak
mengatakan hal yang sama kepada tentara-tentara Israel
yang melakukan pembantaian terhadap warga Palestina.
Mereka segera mengatakan bahwa tindakan ini sangat kejam,
jika mendapatkan orang Islam membunuh, tetapi mereka
berdiam diri seperti patung ketika menyaksikan
pembantaian-pembantaian warga muslim Bosnia oleh tentara
Serbia. Dan demikian seterusnya.
Tidak cukup dengan itu, Barat juga selalu menampilkan
Islam dalam bentuk yang sangat ganas dan menakutkan.
Melalui media massa dan sarana informasi lainnya yang
mereka kuasai,citra-citra buruk tentang Islam sering
mereka tampilkan. Hukum potong tangan dianggap sebagai
representasi dari kebuasan, Nabi yang beristeri sembilan
dianggap sebagai manusia hiperseks dan sebagainya. Di
sini peran kaum orientalis sangat besar dalam
mempengaruhi opini publik.
Negara-negara Islam lainnya dianggap militan dan selalu
menjadi sorotan. Iran sejak revolusi tahun 1979 sampai
sekarang masih dikucilkan, partai FIS –partai orang
Islam– di Aljazair yang secara jelas menang dalam pemilu
tidak berdaya apa-apa ketika hasil pemilu dibatalkan.
Semua pengamat politik tahu siapa dibalik pembatalan itu.
Juga Libya tak pernah diberi sikap ramah. Kasus Lockerbi
masih dipersengketakan dengan Amerika Serikat dan
Inggris. Irak pada perang teluk bahkan dikepung oleh
persekutuan beberapa negara, dan sampai sekarang masih
juga menderita sanksi PBB.
Lebih dari pada itu semua, kepentinganlah yang selalu
mereka jaga. Dalam dunia politik, kepentingan selalu
diatas segala-galanya. Jika sudah kepentingan yang
terancam, maka apa pun saja ‘’sah’’ untuk dilakukan,
termasuk standar ganda yang diterapkan Barat dalam
menilai Islam.
Dalam konteks ini, Tesis Hungtington mungkin bisa
dibenarkan. Ia melihat bahwa secara politis, Islam pada
masa yang akan datang dapat menjadi ancaman karena
dewasa ini sedang mengalami masa-masa kebangkitan.
Bahkan di beberapa negara yang Islamnya minoritas
kegiatan Islam mulai semarak, termasuk di Amerika
Serikat sendiri. Sementara Komunisme yang merupakan
salah satu saingannya sudah runtuh. Tentu saja
justifikasi secara politis terhadap tesis Hungtington
ini dilakukan atas dasar cara pandang Barat terhadap
Islam, dengan Hungtington sebagai salah satu unsurnya.
Beberapa Agenda
Melihat kepada beberapa kenyataan yang telah dipaparkan
di atas, nampak begitu paradoksnya paradigma yang
dibangun oleh dunia Barat dalam memandang Islam. Cara
pandang demikian sudah pasti bagi Islam akan
berimplikasi negatif, baik pada citranya di mata dunia
maupun pada persatuan dikalangan umat Islam itu sendiri.
Lihatlah, bagaimana Yasser Arafat harus bertikai dengan
kelompok Hamas –akhir-akhir ini Arafat dan Hamas sudah
mulai bermesraan– yang sama-sama warga muslim hanya
karena ada istilah terorisme dari pihak Israel.
Kondisi yang sedemikian rupa barangkali akan terus
berlangsung jika dibiarkan saja. Menurut hemat penulis,
harus ada beberapa upaya, paling tidak untuk menangkal
paradigma yang mereka bangun secara tidak adil itu. Oleh
karena itu ada beberapa agenda yang ingin penulis
tawarkan sebagai bahan refleksi pemikiran bersama, yaitu
: Pertama. Menciptakan kepemimpinan Islam yang
betul-betul berwibawa. Paling tidak kepemimpinan pada
tataran ide. Satu kenyataan yang sulit untuk dibantah
bahwa sekarang ini, kepemimpinan ide di kalangan umat
Islam masih tercerai berai. Sehingga mudah bagi pihak
Barat untuk memecah belahnya, seperti kasus tuduhan
terorisme terhadap beberapa organisasi Islam yang telah
disinggung di atas.
Tetapi belakangan ini ada satu fenomena yang menarik dan
melegakan bagi umat Islam, ketika berlangsung Konferensi
Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI)
kedelapan di Teheran dari tanggal 9 sampai 11 Desember
baru-baru ini. Ada semacam kesamaan pandangan dari
seluruh anggota OKI untuk meluruskan istilah terorisme.
Dalam salah satu butir ‘’Proklamasi Teheran’’ disebutkan,
akan direncanakan Konferensi Internasional yang membahas
apa sesungguhnya yang dimaksud dengan konsep terorisme
dan batasan-batasan apa yang digunakan untuk menilai
bahwa sebuah gerakan layak disebut teroris atau tidak.
Langkah ini, hemat penulis, sungguh berani di
tengah-tengah krisis perdamaian di kawasan Timur Tengah,
terutama Palestina–Israel yang masih belum memberikan
harapan hingga kini.
Kita sebenarnya punya pengalaman bagus tentang
kepemimpinan ide ini, yaitu pada zaman Jamaluddin Al
Afghani. Beliau adalah salah seorang tokoh pejuang Islam
yang berhasil menembuskan ide ‘’Pan Islamisme’ melintasi
batas-batas geografis dan kultural. Di Indonesia, tokoh
ini sering dijadikan anutan oleh terutama para aktifis
pergerakan Islam. Meskipun belum berhasil menyatukan
umat Islam di seluruh peunjuru dunia, tetapi setidaknnya
ia telah membuka jalan bagi generasi penerus untuk
mewarisi jejaknya sekalipun misalnya dalam bentuk yang
berbeda.
Kedua. Untuk menyokong kepemimpinan ide di atas, umat
Islam perlu banyak melakukan kajian-kajian ilmiah, riset,
penelitian dan sebagainya, apalagi kalau disertai dengan
didirkannya pusat-pusat studi. Dalam masalah ini , kita
akui bahwa kita masih jauh tertinggal dibanding Barat.
Padahal pada zaman yang oleh Alfin Tofler disebut era
informasi ini, senjata yang paling ampuh adalah ilmu
pengetahuan. Misalnya, bagaimana kita bisa menjawab
tuduhan Barat bahwa nabi Muhammad Saw itu hiperseks
karena beristeri banyak. Tentu saja kita tidak bisa
hanya menjawab dengan ‘’pertanyaan itu tidak betul, Nabi
kan ma’sum dari segala dosa’’ dan jawaban-jawaban lain
yang sifatnya apologis. Tetapi seharusnya kita menangkal
tuduhan di atas dengan argumentasi-argumentasi ilmiah.
Misalnya, ditinjau dari psikologi, orang yang punya
kecenderungan hiperseks itu selalu mencari
perempuan-perempuan yang masih mudah, enerjik dan lain
sebagainya, sementara istri-istri nabi adalah
janda-janda perang, yang masih perawan hanya satu, Siti
Aisyah Binti Abu Bakar Al- Shidiq. Jadi tuduhan orang
barat tadi jelas tidak berpijak pada argumen yang kuat.
Ini baru ditinjau dari segi psikologi, belum lagi
filsafat, sosiologi dan sebagainya. Persoalannya,
seberapa banyak dan seberapa jauh kualitas orang Islam
yang menguasai bidang tersebut?
Ketiga. Pembenahan sistem manajamen dalam organisasi
Islam.Dalam konteks ini, sumberdaya manusianya masih
minim. Secara kuantitas, organisasi Islam memang cukup
banyak baik pada tingkat lokal, regional dan
internasional. Tetapi soal sistem management yang
diterapkan masih dipertanyakan seperti rekrutmen anggota,
dana, jaringan kerja dan soal-soal urgent lainnya.
Demikianlah tiga agenda –tidak menutup kemugkinan ada
agenda lainnya– yang penulis tawarkan kepada sidang
pembaca. Hemat penulis, minimal dengan tiga hal di atas,
umat Islam dapat melakukan counter terhadap politik
Barat yang penuh dengan paradoks itu dengan cara-cara
yang ilmiah dan profesional. Semoga.
Penulis adalah Alumnus IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 1996
|