REKONSTRUKSI PEMIKIRAN IBNU KHALDUN
DALAM REALITAS SOSIAL POLITIK KONTEMPORER
(Sebuah telaah terhadap pemahaman sejarah dan kekuasaan)
Oleh : Fathurrahman Yahya
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang sosiologi, filsafat
sejarah dan politik tidak saja menjadi bahan kajian para
pemikir dan cendikiawan muslim di negara Timur, tetapi
di negara Barat pun pemikiran Ibnu Khaldun terus
digulirkan dalam wacana perdebatan pemikiran sosial
politik kontemporer. Ia dikenal sebagai Bapak sosiologi
dan sejarawan yang menawarkan gagasan renovasi terhadap
cakupan sejarah sekaligus seorang politikus muslim yang
banyak memberikan inspirasi bagi terciptanya sebuah
iklim kehidupan politik yang bersih.
Menjelajahi pemikiran Ibnu Khaldun kita diajak menoleh
ke belakang ,abad 14M, suatu masa kebudayaan Arab-Islam
sedang dilanda kemunduran, di mana filsafat yang
mendorong ummat muslim berpikir kritis mengalami
stagnansi. Kalaupun ada karya-karya filsafat waktu itu
tidak lebih sekedar komentar terhadap karya-karya Ibnu
Rusyd (1126-1198) M., Ibnu Sina(980-1037) M., Al-Gazali
(1058-1111)M. dll. Krisis ini kemudian melebar ke
jaringan-jaringan politik sebagai konsekuensi atas
pecahnya emperium Islam menjadi negara-negara kecil yang
dikendalikan oleh penguasa lemah dan tidak memiliki
wawasan kerakyatan.
Berangkat dari pengamalaman dan pengamatannya yang tajam,
Ibnu Khaldun merajut pikiran-pikiran kritis tentang
hal-hal yang berkaitan dengan sistim kemasyarakatan dan
kenegaraan berikut kritik-kritik inovatif terhadap
cakupan sejarah sebagaimana tertuang dalam karya
besarnya, Muqaddimah yang dirampungkannya dikala ia
talah berusia empat puluh tiga (43) tahun.
Dari premis-premis di atas muncul pertanyaan. Masih
relevankah gagasan Ibnu Khaldun untuk dijadikan acuan
dalam realitas sosial politik kontemporer ? Adakah
refleksi pemahaman sejarah dan konsep kekuasan yang
ditawarkan Ibnu Khaldun di negara-negara muslim itu
sendiri? Dua pertanyaan di atas mengajak cendikiawan
Muslim dan para pemehati masalah sosial politik
khususnya untuk membuka kembali lembaran-lembaran
analisa Ibnu Khaldun dalam bidang ini.
Riwayat Hidup
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunis pada 1 Ramadhan 732 H./
27 Mei 1332 M. dari keluarga bangsawan Arab-Andalusia
yang berimigrasi ke Tunisia sekitar abad ke 7 H. Nama
lengkapnya adalah Waliyuddin Abdurrahman Ibnu Muhammad
atau dikenal dengan sebutan Abu Yazid. Sejak kecil ia
belajar membaca Al-qur'an dan menghafalnya kemudian
mempelajari Tafsir, hadits dan fiqh terutama dari
ayahnya sendiri serta ulama-ulama Ezzitouna di Tunis, di
mana Afrika (Tunisia, sekarang ditambah sebagian wilayah
Aljazair,Maroko dan Libya) waktu itu menjadi pusat
kebudayaan Islam dan sastera di wilayah kekuasan Islam
bagian Barat.
Ironinya, sejak fase-fase pertumbuhan, Ibnu Khaldun
dihadapkan kepada pentas pergumulan-pergumulan politik
yang berkepanjangan akibat runtuhnya Daulah Muwahhidiyah
yang berpusat di Maroko. Dengan berakhirnya pemerintahan
Muwahhidun tersebut muncul negara-negara sparatis yang
independen seperti ; Daulah Hafsiyah (1229-1574)M. di
Tunisia, Daulah Bani Abdil Waad (633-962) M di Aljazair,
dan Daulah Mariniyah (1269-1465)M di Maroko.
Dalam situasi seperti ini Ibnu Khaldun memiliki semangat
dan ambisi untuk berkiprah dalam dunia politik sebagai
pewaris sikap ayahnya. Ia aktif dalam berbagai kegiatan
sosial maupun politik sehingga pada usia sembilan
belas(19) tahun Ibnu Khaldun diangkat sebagai sekretaris
pribadi Abu Ishak Al-Hafshi. Ibnu Khaldun hidup
berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain dalam
rangka menjalankan missi pemerintahan maupun politik.
Bahkan untuk missi tersebut Ibnu Khaldun pernah mendekam
di penjara. Tetapi di celah-celah pengembaraannya antara
Marakesh dan Andalusia ia meluangkan waktunya untuk
membaca, menulis, menuangkan pikiran-pikirannya hingga
lahirlah "Muqaddimah”, sebuah karya monumental dibidang
sosiologi, filsafat sejarah dan politik yang tiada
tandingannya dalam deretan karya-karya pemikir muslim
khususnya dan Barat pada umumnya.
Renovasi Cakupan Sejarah
Dalam buku Muqaddimah Ibnu Khaldun memulai pembahasannya
tentang peran ilmu sejarah kemudian ia memaparkan
kecerobohan para narator di dalam menukil
peristiwa-peristiwa sejarah. Maka untuk memperluas
pemahaman dan memperkecil kecendrungan penulisan sejarah
yang tidak realible, Ibnu Khaldun melakukan renovasi
terhadap cakupan sejarah yang terfokus sebelumnya pada
peristiwa-peristiwa sekitar masalah kerajaan, militer
maupun politik. Dalam cakupan yang eksklusif ini sangat
rentan terjadi manipulasi sejarah sehingga perspektif
sejarah yang dikonsumsi ke tengah-tengah publik sangat
plural, disebabkan oleh tradisi penulisannya yang
kadangkala tendensius, condong kepada salah satu priode
dari sebuah suksesi atau karena kecendrungan pribadi
seorang narator.
Para narator sebelum Ibnu Khaldun mengabaikan
peristiwa-peristiwa kemasyarakatan dan ekonomi kecuali
agamawan dan filosuf dengan tujuan nilai, atau para
administrator, pemerintah untuk tujuan opposit. Banyak
contoh yang ditunjukkan oleh Ibnu Khaldun misalnya yang
berkaitan dengan jumlah kekayaan (penguasa ?) atau
jumlah pasukan pada saat melakukan ekspansi. Hal ini
dapat dipahami karena tradisi penulisan klasik jauh dari
sandaran kaedah-kaedah habitual, karakter populatif
maupun kondisi sosial itu sendiri.
Sejarah menurut Ibnu Khaldun memiliki fungsi multi dan
tujuan mulia, karena dengan sejarahlah kita mengenal
kondisi bangsa-bangsa terdahulu dalam segi prilaku serta
moral politik raja-raja dan penguasa. Generasi yang
ingin merefleksikan prilaku dan mengambil sampel-sampel
positif dari pola hidup mereka sangat memerlukan
referensi dari keragaman sumber informasi peristiwa yang
akurat dan realiable (dapat dipercaya). Kemudian
pembukuan sejarah menurut Ibnu Khaldun bukan untuk
mendokumentasijan persoalan-persoalan keagamaan,
mendekatkan diri kepada penguasa dan bukan sekedar
dikonsumsi sebagai bidang ilmu, tetapi untuk mengenal
peristiwa-peristiwa masa lampau dalam rangka memahami
masa yang akan datang.
Rekonstruksi pemahaman ini sebenarnya telah menempatkan
peran sejarah sebagai i'tibar atau cermin obyektif untuk
menelaah sikap. Hanya saja pada awalnya eksistensi
sejarah bagi Ibnu Khaldun tidak tampak sebagai realita,
sehingga ia melontarkan pertanyaan tentang apa topik
ilmu sejarah yang sebenarnya. Jawaban atas pertanyaan
ini diperolehnya kala melakukan pencarian metodik
tentang ukuran-ukuran valid atau tidaknya suatu berita.
Dalam hal ini ia menggagas tentang perlunya merujuk
kepada tempat peristiwa kemudian dipautkan sebagai
korelasi dengan masyarakat yang mengitarinya. Jelasnya
topik sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah studi
sosial,dengan kata lain mempelajari dinamika masyarakat
secara integral berikut sebab-sebabnya. Dan dinamika
sejarah menurut Ibnu Khaldun bukan muncul dari luar,
tetapi proses sosial itu sendiri dengan segala aturannya
yang exact-alami. Dari perspektif inilah Iplacoste
berpendapat bahwa Ibnu Khaldun merupakan pelopor dalam
meletakkan dasar-dasar "materialisme historis ".
Barangkali gagasan Ibnu Khaldun mengenai muatan
kronik-kronik liner sejarah telah memberikan kontribusi
yang tidak kecil bagi penulisan sejarah yang berdasarkan
kategori norma-standar kebenaran (berita) sehingga
sejarah tidak lagi tampak bagai mitos yang dibuat orang.
Kekuasaan, Tanggung jawab Kemanusiaan
Kata "Al-Mulk" sebagaimana ditulis Elias A.Elias dan Ed.
E. Elias dalam Modern Dictionary, bermakna Supremi
power,Dominion atau kekuasaan. Aksentuase kata tersebut
dalam Muqaddimah dapat diinterpretasikan sebagai
gambaran perenungan Ibnu Khaldun tentang kondisi sosial
politik di negara-negara Arab-Islam yang senantiasa
dililit konflik antar elit kekuasaan. Sungguhpun
terbatas pada wilayah negara-negara Arab-Islam dan
rentang waktu yang relatif jauh, prediksi-prediksi
analisisnya berlaku universal dan masih relevan untuk
dicermati dalam realitas percaturan politik komtemporer
terutama di beberapa negara yang memiliki kultur
keagamaan yang sama.
Kekuasaan menurut Ibnu Khaldun sebenarnya terbentuk
melalui kemenangan kelompok (party) tertentu atas
lainnya. Kekuasaan itu merupakan kedudukan menyenangkan,
meliputi berbagai kesenangan maddi maupun maknawi,
material maupun spiritual, visible maupun invisible
sehingga untuk mendapatkannya seringkali
melalui kompetisi-kompetisi menggemparkan dan sedikit
orang yang mau menyerahkannya. (Muqaddimah hal. 170).
Karena partai sebagaimana dijelaskan di atas menjadi
proses awal bagi justifikasi kekuasaan, maka partai
acapkali menjadi proteksi, pembela, bahkan klaim untuk
segala persoalan itu.
Kompetisi kekuatan antar kelompok biasanya tidak dapat
dilepaskan dari sikap-sikap arogan untuk memperoleh
kekuasaan tersebut, di mana pemegang kebijaksanaan dari
partai atau kelompok yang berkuasa senantiasa mencari
legitimasi kemenangan dari massa dengan berbagai macam
manuver siasat atas nama kelompok, profesi, bahkan
agama. Propaganda terakhir ini (agama) pernah dilakukan
oleh Al-Mahdi Muhammad Ibnu Tumert (w.524 H./1130) M.
dengan klaim sebagai reformasi terhadap aliran atau
madzhab sunni-maliki di lingkungan kabilah Mashmudah di
Maroko. Melalui propaganda ini akhirnya Abdul Mu'min
Ibnu Ali (pengikut Al-Mahdi) mendirikan Daulah
Muwahhidiyah (524-558) di Marakesh setelah berhasil
mengalahkan kelompok Murabithin. Sejauh ini Ibnu Khaldun
berkesimpulan bahwa tujuan yang (hendak dicapai kelompok)
tertentu adalah kekuasaan baik dengan cara kekerasan (diktator)
atau demonstrasi sesuai dengan peluang dan kesempatan
untuk mendapatkannya (opcit. hal. 154).
Kekuasaan dan politik menurut Ibnu Khaldun memiliki
tujuan substansial yang seharusnya diformulasikan untuk
kemanusiaan, karena keduanya secara instinktif berkait
dengan fitrah manusia dan pola pikirnya yang condong
kepada maslahat. Dalam cakupan ini kebutuhan manusia
terhadap perlindungan, keamanan, kesejahteraan dan
lain-lain, adalah termasuk bagian tanggung jawab politik
dan kekuasaan.
Rumusan kekuasaan dan politik seperti yang ditawarkan
Ibnu Khaldun bermuara dari pemahaman bahwa kekuasaan dan
politik merupakan tanggung jawab (Responsibility) dan
amanah Tuhan dalam rangka implementasi undang-undang-Nya
bagi segenap manusia untuk kemaslahatan. Membantu yang
lemah, merangkul semua pihak, menjunjung tinggi hukum,
mendengar aspirasi, mengentas para mustadh'afin,
berperasangka baik terhadap pemeluk agama, menghindari
tindakan makar dan lain-lain, adalah cermin etika
politik yang semestinya menjadi pijakan praktis dalam
setiap tindakan politik(opcit. hal. 157-158). Jelasnya,
konsep yang ditawarkan Ibnu Khaldun ini adalah bagaimana
agar kekuasaan maupun politik itu senantiasa
direfleksikan bergandengan dengan rasa kemanusiaan atau
" Sense of humanity ".
Pandangan inilah yang membedakan antara Ibnu Khaldun dan
Nicollo Machiavelli (1469-1528 M) seorang filosuf dan
politikus berkebangsaan Italia yang melumerkan ide-ide
bangunan sosial politik kenegaraan dalam bukunya The
Prince. Dalam buku tersebut Machiavelli
mempropa-gandakan sistem baru yang liberal secara religi
maupun moral, sehingga aliran Mechiavelli (Machiavellisme)
tidak peduli apakah tindakan politik yang dijalankan itu
bermuatan trick-trick, tipu daya, jujur atau tidak jujur
asalkan tujuan tercapai.
Kesesuaian konsep Ibnu Khaldun dalam percaturan sosial
politik kontemporer terutama di negara-negara muslim
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
semestinya menjadi pemicu bagi para pemerhati masalah
ini untuk merefleksikan konsep-konsep tersebut hingga
substansi politik senantiasa melibatkan dimensi
kemanusiaan sebagai unsur penting dalam suatu tindakan
politik. Maka dari uraian di atas, pemikiran Ibnu
Khladun tampaknya cukup representatif untuk dijadikan
bahan perenungan para penulis sejarah, politisi dan
cendikiawan muslim khususnya, dengan harapan agar
penulisan sejarah benar-benar berakar dari tujuan mulia
sebagai i'tibar atau cermin obyektif.
Penulis adalah Mahasiswa ISCI
tahun ke IV Univ. Ezzitouna, Tunis.
|