Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Persatuan Pelajar Indonesia di Tunisia
اتحاد الطلبة الأندونيسين بتونس
Association des Etudiants Indonésiens en Tunisie

Selamat Datang - Welcome - Bienvenue - أهلا و سهلا

Halaman Depan - Organisasi PPI-Tunisia - Tulisan - Album Foto - Tentang Tunisia

 Terbaru - Populer
   
   
   
   
   
 Organisasi PPI-Tunisia
 Profil Singkat
   Anggaran Dasar
   Anggaran Rumah Tangga
   Struktur Organisasi
   Program Kerja
   Serba-Serbi PPI
   Album Foto
 Tunisia Selayang Pandang
 

 Profil Singkat

   Sejarah
   Kependudukan
   Pendidikan
   Islam di Tunisia
   Tempat-Tempat Pariwisata
   Serba-Serbi Tunisia
 Sekilas Info
   Info Terbaru!
PPI Tunisia mendirikan organisasi tandingan PBB.


Bagi negara, tokoh negara dan pemerintahan, perusahaan multimilioner, orang-orang kaya di dunia, dan siapa saja yang ingin bergabung silahkan hubungi kami


 Tulisan
   Quran dan Hadits
   
   Akhlak
   
   Filsafat
   
   Sejarah dan Peradaban
   
 

 Ilmu-ilmu Sosial

   
   Hukum
   
   Seni
   
   Umum
   
 Forum
   Kotak Surat
   
   Titip Salam
   
   

HUKUM ISLAM: HIKMAH DAN PENERAPANNYA

Oleh: Muhammad Yusri Arsyad

Setiap hukum dan nilai yang terkandung dalam Islam selain merupakan hak dan kewajiban atau HAM (hak asasi manusia) juga demi kemaslahatan manusia dan sebagai penyembahan atau at-ta'abbudiah. Memang benar bahwa sebagian hukum hudud, seperti qishash dan potong tangan bagi pencuri, yang ada dalam Islam merupakan warisan dari Arab jahiliyah, bahkan hukum tersebut juga berlaku dalam agama Yahudi (Q.S.Al-maidah: 32 & 45). Islam datang menyepakati dan meneruskan hukum-hukum tersebut untuk diterapkan di lingkungan ummat Islam dengan penerapan yang lebih mudah (Q.S.Al-Baqarah: 178).

Sebelum Islam itu datang, di lingkungan Arab ada yang disebut kelompok masyarakat al-hanafiyyiin (orang-orang yang lurus) di antaranya adalah Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad SAW), Waraqah bin Naufal dan Zaid bin Amr bin Nafil. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada nilai-nilai dan ajaran Ibrahim a.s. seperti haramnya memakan bangkai, makanan hasil sesembahan, riba, minum khamar serta hukuman bagi peminumnya, berzina serta rajam bagi pelakunya, mencuri serta potong tangan bagi pencuri, dan diperintahkannya puasa, khitan, mandi junub, iman kepada hari akhirat, dan yang terpenting lagi mengesakan Allah (lihat: Sayyid Mahmud al-Qamniy, Daur al-hizbi al-hasymiy wa al-aqidati al-hanifiyyah, hl.66, I, 1990).

Tetapi yang perlu menjadi perhatian adalah apabila Islam datang membenarkan dan meneruskan budaya dan kultur Arab, Yahudi dan Nasrani dan menjadikannya sebagai hukum asli dalam Islam maka ini berarti "pemahaman dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sungguh berbeda, maka hukum-hukum itu tidak boleh lagi dipandang sebagai warisan adat istiadat Arab atau Yahudi akan tetapi harus dipandang sebagai hukum yang sifatnya atta’abbudiy (penyembahan) dan sekaligus sebagai akidah yang muqaddas (suci) dan muta’âliy (tinggi), maka saat itu derajatnya sama dengan akidah tauhid, yaitu ketika kita berkeyakinan: "Tidak ada tuhan selain Allah".

Dalam hal ini ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari perpaduan beberapa hukum itu di antaranya: Pertama, Allah SWT. sedang menguji hamba-hamba-Nya untuk menilai siapa yang mengikuti dan mengingkari-Nya. Kedua, hukum-hukum Islam dalam penerapannya tidak mengenal waktu dan tempat, karena ia bagian dari sunnatullah dan merupakan hasil olah fitrah manusia yang tidak bertentangan dengan akalnya, bahkan dalam penerapannya juga tersirat nilai-nilai kemanusian yang sejati (Q.S. Al-Baqarah: 179). Ketiga, Allah SWT. ingin mengajarkan kepada manusia bahwa agama Yahudi, Nasrani (sebelum terjadi perubahan) dan Islam adalah satu kesatuan karena semua agama itu berasal dari Allah. Keempat, kita sebagai orang Islam tidak boleh ragu-ragu mewujudkan hukum-hukum ini sebagaimana mereka menerapkannya ke alam nyata, apalagi mengingkarinya.

Maka dari itu, dapat dipahami bahwa Islam tidak memandang hukum berdasarkan sumber (misalnya Yahudi) dan bentuk lahiriyahnya (yang keras tegas) belaka, tetapi melihat maslahat penerapan hukum-hukum itu yaitu untuk menciptakan kehidupan sejahtera bagi ummat manusia. Allah SWT menetapkan hukum terbaik demi kemashlahatan manusia, sekalipun akal manusia mengatakan sebaliknya (lihat: Al-Muwafaqat, As-Syatibi).

Perlu dibedakan antara "keyakinan" akan benarnya sebuah nilai hukum dengan "penerapan"nya. Ketidakmampuan manusia untuk menerapkan suatu produk hukum karena alasan benturan budaya setempat kadangkala sampai mengingkari nilai hukum tersebut, hal mana berarti memblokir gerak dan cita-cita agung hukum itu. Ini lebih besar mudharatnya dibandingkan dengan tidak diterapkannya hukum tersebut. Contoh sederhana, adanya pengingkaran terhadap hukum-hukum ibadah yang sifatnya sunnat (shalat witir, tahajjud, duha, dll.) dengan sendirinya hukum-hukum berubah menjadi wajib (menurut ulama Ushul). Tidak bisa dibayangkan kalau pengingkaran itu terhadap hukum-hukum fardlhu (wajib) sesuai nash-nash yang qath'iy al-dhilâlah wa al-tsubût.

Penerapan Syariat Islam

Ketika syariat Islam didengungkan, bagaikan tamparan petir yang menakutkan bagi orang-orang yang tidak memahaminya, termasuk di kalangan umat Islam itu sendiri. Padahal syariat itu, apabila diterapkan, tidak hanya berkisar antara hukum qishash dan potong tangan, atau merubah konstitusi negara (al-ahkâm al-wadh'iyyah) menjadi undang-undang yang berlandaskan Qur’an dan Hadist, karena hal itu, tidak cukup menciptakan masyarakat yang diinginkan, akan tetapi bagaimana menaburkan nilai-nilai keislaman dan ketuhanan dalam jiwa setiap anggota masyarakat, sehingga masyarakat itu hidup tumbuh karena Islam dan berjuang demi Islam, bukan sebaliknya.

Demi tercapainya cita-cita mulia ini, tentu membutuhkan kerja keras dan gotong-royong seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, untuk bersama-sama mewujudkannya di bidang pendidikan, media dan informasi, pemikiran dan strategi politik serta sosial budaya. Bila demikian halnya, kiranya dapat terwujud satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam tubuh Islam, senada dengan firman Allah: "udkhulû fî as-silmi kâffah" (masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan), bahwa ummat Islam bukan ummat Yahudi yang membangkang sebagaimana firman Allah: "afatu'minûna bi ba'dhi al-kitâbi wa takfurûna bi ba'dh" (apakah kamu sekalian mengimani kitab itu sebagian dan mengigkari sebagian lainnya). Ini senada dengan sebuah pernyataan yang tidak asing lagi: "khudzû al-islâma jumlatan aw da'ûhu" (ambillah Islam itu secara keseluruhan atau tinggalkan).

Namun tidak harus dipahami bahwa setiap orang yang tidak menerapkan syariat Islam secara sempurna harus ditolak dan tidak termasuk golongan mukmin. Niat melaksanakan Islam secarah kaffah (keseluruhan) merupakan titik tolak dan modal utama setiap muslim, adapun prakteknya tergantung kemampuan menghadapi rintangan-rintangan yang mengangkang di depan mata, termasuk di dalam diri kita sendiri. Allah berfirman: "bertaqwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu".

Bukankah penerapan Hukum Islam merupakan kewajiban setiap muslim? Memang benar, beberapa ayat menunjukkan hal itu seperti: "Potonglah kedua tangannya", "Jilidlah atau cambuklah setiap keduanya seratus kali" dan "Maka jilidlah atau cambuklah mereka delapan puluh kali". Namun ini tidak akan mungkin terwujud, jika penerapannya diserahkan kepada setiap muslim karena setiap orang akan menyatakan dirinya sebagai hakim, mujtahid, dan munaffidz, yang berakibat terjadinya kekacauan struktrur sosial. Sebab itu, pemerintah (ûlu al-lamri) merupakan jalur terbaik untuk menerapkan hukum-hukum itu. Jika cara ini tidak terwujud, maka umat Islam harus turun tangan bekerja sama dengan ikhlas untuk melakukan munâsahah, amar ma'ruf nahi munkar kepada mereka. Jika mereka tidak menghiraukannya, maka umat Islam harus membentuk sebuah lembaga (as-sulthah) yang memiliki kekuatan hukum sebagai wacana mewujudkan hukum-hukum itu. Sulawesi Selatan dan Aceh merupakan contoh baik mengenai hal ini.

Kendala dan Tantangan

Menurut hemat kami ada beberapa kendala bagi diterapkannya Syariat Islam ke dalam realita kehidupan, antara lain:

• Ketidaktahuan terhadap Islam: Banyak orang Islam yang tidak tahu agamanya sendiri lalu berusaha meredupkan, bahkan menghilangkan cahaya Islam. Masih nampak jelas dalam ingatan ketika rezim Kamal Attaturk mengakhiri sistem kekhalifahan Utsmaniah di Turki, membunuhi para ulama dan mengharuskan adzan dalam bahasa Turki.

• Kedengkian terhadap Islam: Mereka yang dengki terhadap Islam senantiasa berusaha agar Islam dan hukum-hukumnya terasing dalam kehidupan. Seorang mantan pejabat Inggeris pernah melontarkan pernyataan: "Selama kitab umat Islam ada di tangannya, mushtahil bagi kita untuk mengalahkannya".

Apakah umat Islam Indonesia dianggap ingkar, karena tidak menerapkan syariat Islam di bumi pertiwi? Mereka bukan ingkar, hanya saja kultur dan budaya setempat belum mampu menyambutnya dengan baik. Karena itu, semangat dan usaha menuju penerapan syariat itu harus terus digalang lewat "strategi matang", sehingga semua pihak bisa menerimanya dengan penuh kerelaan dan dan kedamaian. Jika usaha ini gagal, bukan berarti sia-sia, tetapi menjadi catatan indah di sisiNya. Allahu a’lam bisshawâb

Kembali Ke Atas

 
Copyright © 2006-2007 PPI-Tunisia. All Rights Reserved
Supported by Pulau Damai Technologies