HUKUM ISLAM: HIKMAH DAN PENERAPANNYA
Oleh: Muhammad Yusri Arsyad
Setiap hukum dan nilai yang terkandung dalam Islam
selain merupakan hak dan kewajiban atau HAM (hak asasi
manusia) juga demi kemaslahatan manusia dan sebagai
penyembahan atau at-ta'abbudiah. Memang benar
bahwa sebagian hukum hudud, seperti qishash dan potong
tangan bagi pencuri, yang ada dalam Islam merupakan
warisan dari Arab jahiliyah, bahkan hukum tersebut juga
berlaku dalam agama Yahudi (Q.S.Al-maidah: 32 & 45).
Islam datang menyepakati dan meneruskan hukum-hukum
tersebut untuk diterapkan di lingkungan ummat Islam
dengan penerapan yang lebih mudah (Q.S.Al-Baqarah: 178).
Sebelum Islam itu datang, di lingkungan Arab ada yang
disebut kelompok masyarakat al-hanafiyyiin (orang-orang
yang lurus) di antaranya adalah Abdul Muthalib (kakek
Nabi Muhammad SAW), Waraqah bin Naufal dan Zaid bin Amr
bin Nafil. Mereka adalah orang-orang yang berpegang
teguh kepada nilai-nilai dan ajaran Ibrahim a.s. seperti
haramnya memakan bangkai, makanan hasil sesembahan, riba,
minum khamar serta hukuman bagi peminumnya, berzina
serta rajam bagi pelakunya, mencuri serta potong tangan
bagi pencuri, dan diperintahkannya puasa, khitan, mandi
junub, iman kepada hari akhirat, dan yang terpenting
lagi mengesakan Allah (lihat: Sayyid Mahmud al-Qamniy,
Daur al-hizbi al-hasymiy wa al-aqidati al-hanifiyyah,
hl.66, I, 1990).
Tetapi yang perlu menjadi perhatian adalah apabila Islam
datang membenarkan dan meneruskan budaya dan kultur
Arab, Yahudi dan Nasrani dan menjadikannya sebagai hukum
asli dalam Islam maka ini berarti "pemahaman dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sungguh berbeda,
maka hukum-hukum itu tidak boleh lagi dipandang sebagai
warisan adat istiadat Arab atau Yahudi akan tetapi harus
dipandang sebagai hukum yang sifatnya atta’abbudiy
(penyembahan) dan sekaligus sebagai akidah yang muqaddas
(suci) dan muta’âliy (tinggi), maka saat itu
derajatnya sama dengan akidah tauhid, yaitu ketika kita
berkeyakinan: "Tidak ada tuhan selain Allah".
Dalam hal ini ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari
perpaduan beberapa hukum itu di antaranya: Pertama,
Allah SWT. sedang menguji hamba-hamba-Nya untuk menilai
siapa yang mengikuti dan mengingkari-Nya. Kedua,
hukum-hukum Islam dalam penerapannya tidak mengenal
waktu dan tempat, karena ia bagian dari sunnatullah dan
merupakan hasil olah fitrah manusia yang tidak
bertentangan dengan akalnya, bahkan dalam penerapannya
juga tersirat nilai-nilai kemanusian yang sejati (Q.S.
Al-Baqarah: 179). Ketiga, Allah SWT. ingin mengajarkan
kepada manusia bahwa agama Yahudi, Nasrani (sebelum
terjadi perubahan) dan Islam adalah satu kesatuan karena
semua agama itu berasal dari Allah. Keempat, kita
sebagai orang Islam tidak boleh ragu-ragu mewujudkan
hukum-hukum ini sebagaimana mereka menerapkannya ke alam
nyata, apalagi mengingkarinya.
Maka dari itu, dapat dipahami bahwa Islam tidak
memandang hukum berdasarkan sumber (misalnya Yahudi) dan
bentuk lahiriyahnya (yang keras tegas) belaka, tetapi
melihat maslahat penerapan hukum-hukum itu yaitu untuk
menciptakan kehidupan sejahtera bagi ummat manusia.
Allah SWT menetapkan hukum terbaik demi kemashlahatan
manusia, sekalipun akal manusia mengatakan sebaliknya (lihat:
Al-Muwafaqat, As-Syatibi).
Perlu dibedakan antara "keyakinan" akan benarnya sebuah
nilai hukum dengan "penerapan"nya. Ketidakmampuan
manusia untuk menerapkan suatu produk hukum karena
alasan benturan budaya setempat kadangkala sampai
mengingkari nilai hukum tersebut, hal mana berarti
memblokir gerak dan cita-cita agung hukum itu. Ini lebih
besar mudharatnya dibandingkan dengan tidak
diterapkannya hukum tersebut. Contoh sederhana, adanya
pengingkaran terhadap hukum-hukum ibadah yang sifatnya
sunnat (shalat witir, tahajjud, duha, dll.) dengan
sendirinya hukum-hukum berubah menjadi wajib (menurut
ulama Ushul). Tidak bisa dibayangkan kalau pengingkaran
itu terhadap hukum-hukum fardlhu (wajib) sesuai
nash-nash yang qath'iy al-dhilâlah wa al-tsubût.
Penerapan Syariat Islam
Ketika syariat Islam didengungkan, bagaikan tamparan
petir yang menakutkan bagi orang-orang yang tidak
memahaminya, termasuk di kalangan umat Islam itu sendiri.
Padahal syariat itu, apabila diterapkan, tidak hanya
berkisar antara hukum qishash dan potong tangan, atau
merubah konstitusi negara (al-ahkâm al-wadh'iyyah)
menjadi undang-undang yang berlandaskan Qur’an dan
Hadist, karena hal itu, tidak cukup menciptakan
masyarakat yang diinginkan, akan tetapi bagaimana
menaburkan nilai-nilai keislaman dan ketuhanan dalam
jiwa setiap anggota masyarakat, sehingga masyarakat itu
hidup tumbuh karena Islam dan berjuang demi Islam, bukan
sebaliknya.
Demi tercapainya cita-cita mulia ini, tentu membutuhkan
kerja keras dan gotong-royong seluruh lapisan masyarakat
tanpa kecuali, untuk bersama-sama mewujudkannya di
bidang pendidikan, media dan informasi, pemikiran dan
strategi politik serta sosial budaya. Bila demikian
halnya, kiranya dapat terwujud satu kesatuan yang tak
terpisahkan dalam tubuh Islam, senada dengan firman
Allah: "udkhulû fî as-silmi kâffah" (masuklah ke
dalam Islam secara keseluruhan), bahwa ummat Islam bukan
ummat Yahudi yang membangkang sebagaimana firman Allah:
"afatu'minûna bi ba'dhi al-kitâbi wa takfurûna bi
ba'dh" (apakah kamu sekalian mengimani kitab itu
sebagian dan mengigkari sebagian lainnya). Ini senada
dengan sebuah pernyataan yang tidak asing lagi: "khudzû
al-islâma jumlatan aw da'ûhu" (ambillah Islam itu
secara keseluruhan atau tinggalkan).
Namun tidak harus dipahami bahwa setiap orang yang tidak
menerapkan syariat Islam secara sempurna harus ditolak
dan tidak termasuk golongan mukmin. Niat melaksanakan
Islam secarah kaffah (keseluruhan) merupakan titik tolak
dan modal utama setiap muslim, adapun prakteknya
tergantung kemampuan menghadapi rintangan-rintangan yang
mengangkang di depan mata, termasuk di dalam diri kita
sendiri. Allah berfirman: "bertaqwalah kepada Allah
sesuai dengan kemampuanmu".
Bukankah penerapan Hukum Islam merupakan kewajiban
setiap muslim? Memang benar, beberapa ayat menunjukkan
hal itu seperti: "Potonglah kedua tangannya", "Jilidlah
atau cambuklah setiap keduanya seratus kali" dan "Maka
jilidlah atau cambuklah mereka delapan puluh kali".
Namun ini tidak akan mungkin terwujud, jika penerapannya
diserahkan kepada setiap muslim karena setiap orang akan
menyatakan dirinya sebagai hakim, mujtahid, dan
munaffidz, yang berakibat terjadinya kekacauan struktrur
sosial. Sebab itu, pemerintah (ûlu al-lamri)
merupakan jalur terbaik untuk menerapkan hukum-hukum itu.
Jika cara ini tidak terwujud, maka umat Islam harus
turun tangan bekerja sama dengan ikhlas untuk melakukan
munâsahah, amar ma'ruf nahi munkar kepada mereka. Jika
mereka tidak menghiraukannya, maka umat Islam harus
membentuk sebuah lembaga (as-sulthah) yang
memiliki kekuatan hukum sebagai wacana mewujudkan
hukum-hukum itu. Sulawesi Selatan dan Aceh merupakan
contoh baik mengenai hal ini.
Kendala dan Tantangan
Menurut hemat kami ada beberapa kendala bagi
diterapkannya Syariat Islam ke dalam realita kehidupan,
antara lain:
• Ketidaktahuan terhadap Islam: Banyak orang Islam yang
tidak tahu agamanya sendiri lalu berusaha meredupkan,
bahkan menghilangkan cahaya Islam. Masih nampak jelas
dalam ingatan ketika rezim Kamal Attaturk mengakhiri
sistem kekhalifahan Utsmaniah di Turki, membunuhi para
ulama dan mengharuskan adzan dalam bahasa Turki.
• Kedengkian terhadap Islam: Mereka yang dengki terhadap
Islam senantiasa berusaha agar Islam dan hukum-hukumnya
terasing dalam kehidupan. Seorang mantan pejabat
Inggeris pernah melontarkan pernyataan: "Selama kitab
umat Islam ada di tangannya, mushtahil bagi kita untuk
mengalahkannya".
Apakah umat Islam Indonesia dianggap ingkar, karena
tidak menerapkan syariat Islam di bumi pertiwi? Mereka
bukan ingkar, hanya saja kultur dan budaya setempat
belum mampu menyambutnya dengan baik. Karena itu,
semangat dan usaha menuju penerapan syariat itu harus
terus digalang lewat "strategi matang", sehingga semua
pihak bisa menerimanya dengan penuh kerelaan dan dan
kedamaian. Jika usaha ini gagal, bukan berarti sia-sia,
tetapi menjadi catatan indah di sisiNya. Allahu a’lam
bisshawâb
|