PENDUSTA AL-QUR’AN SELALU ADA
Oleh: Adnan Darwis
Ayat ini diawali dengan kata ( ) yang memenggal
antara kalimat sesudahnya dan ayat sebelumnya. Kata ()
disamping bermakna "bahkan" yang berfungsi untuk
menekankan, juga berstatus seperti hamzah () yang
digunakan untuk bertanya. Pada ayat ini ia berfungsi
untuk menghina serta memberikan peringatan yang keras
kepada orang-orang kafir. Dengan kata ( ) yang sarat
makna itu, Allah Swt ingin menyampaikan bahwa di sana
ada keangkuhan yang lebih besar lagi dari orang-orang
yang meminta diturunkannya malaikat sebagaimana
dijelaskan pada ayat sebelumnya.
Mereka bukan hanya ingkar dan tak acuh terhadap wahyu
Allah. Melainkan lebih dari itu, mereka melakukan dosa
yang lebih besar lagi dengan mengatakan bahwa
wahyu-wahyu Allah dalam Alqur’an itu hanyalah bikinan
Muhammad saja (11/72, Fathul Qodir).
Keangkuhan seperti itu tak bisa dibiarkan. Maka Muhammad
Saw diperintahkan untuk menghadapi dan menantang mereka.
"Katakanlah (kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh
surat yang dibuat-buat yang menyamainya ...". "Datangkanlah
sepuluh surat saja yang dibuat-buat yang menyamai Al
Qur’an ini dalam ketinggian dan kedalaman kandungannya,
menyamainya dalam keluasan dan ketajaman maknanya,
menyamainya dalam kemudahan dan keluwesan lafazhnya...".
Kata "dibuat-buat" ( ) digunakan untuk meledek dan
merendahkan orang-orang kafir. Dengan makna lain : "Jika
kalian hai orang-orang kafir menuduh aku (muhammad)
membuat-buat Al Qur’an ini, maka cobalah kalian "membuat-buat"
seperti yang telah aku buat, bahkan sedikit saja, hanya
sepuluh surat ..... (Zubdatuttafasir, 285)
Sementara itu kata "menyamainya" ( ) menggunakan bentuk
kata tunggal dan bukan menggunakan bentuk kata jamak (
). Hal ini disamping berfungsi menjelaskan kepada
orang-orang kafir bahwa masing-masing surat dari sepuluh
surat buatan yang diminta itu harus menyamai sepuluh
surat yang ada di dalam Al Qur’an. Juga berfungsi untuk
menjelaskan bahwa sepuluh surat buatan yang diminta itu
harus menyamai tingkat ketinggian sasteranya dengan Al
Qur’an, sampai tak ada lagi yang mampu menandinginya. (Fathul
Qadir 11/703).
Ayat selanjutnya, "Dan panggillah orang-orang yang kamu
sanggup (memanggilnya) selain Allah jika kalian memang
orang-orang yang benar". Kata "panggillah" ( ) digunakan
untuk menyokong dan membesarkan hati orang-orang kafir
agar mereka mau menerima dan menyambut tantangan
tersebut. Mereka diberi kebebasan untuk menyeru dan
meminta tolong kepada siapa saja selain Allah Swt (Zubdatuttafasir
285). Karena itu Sayyid Quthub menulis, "Silakan kalian
menyeru orang-orang yang fasih berbahasa diantara
kalian. Ajaklah sekutu-sekutu kalian yang ahli dalam
kesusasteraan. Mintalah pertolongan kepada para penyair
handal baik dari golongan jin maupun dari golongan
manusia hanya untuk mendatangkan sepuluh surat saja yang
kalian buat-buat, jika kalian orang-orang yang benar dan
yakin bahwa Al Qur’an ini dibuat-buat Muhammad dan bukan
dari Allah Swt. (Fi zhilalil Qur’an IV/1862).
Menurut Sayyid Quthub, tantangan untuk membuat sepuluh
surat tersebut disampaikan dengan mempertimbangkan
kondisi para pembangkang itu serta dengan
mempertimbangkan kesesuaian antara apa yang disampaikan
dengan kondisi tersebut. Hal itu karena Al Qur’an
berhadapan dengan kondisi kehidupan yang bermacam-macam,
meskipun semuanya masih tetap merupakan realita yang
jelas dan terbatas.
Maka kadang-kadang ia berkata , "Datangkanlah seperti Al
Qur’an ini (seluruhnya) atau "Datangkanlah satu surat
saja". Atau kadang-kadang ia berkata; "Datangkanlah
sepuluh surat saja yang kamu buat-buat". Semua itu tanpa
pengiritan dari sisi waktu dan masa, karena tujuan utama
tantangan itu pada hakekatnya adalah bagian mana saja
dari Al Qur’an, baik semuanya, sebagiannya, ataupun
hanya satu surat saja, semuanya sama. Tantangan itu
adalah untuk sebuah jenis Al Qur ’an
itu, dan bukan untuk seberapa jumlahnya dari Al Qur ’an
itu.
Namun orang-orang kafir itu tak berdaya. Jangankan
menyamai keseluruhan Al Qur’an, untuk untuk sebagiannya
dan tak harus berurutan saja mereka tak sanggup (Fi
zhilalil Qur’an IV 1862)
Kemu’jizatan Al Qur’an
Ayat selanjutnya, "Jika mereka yang kamu seru itu tidak
menerima seruanmu (ajakanmu) ...)
"Wahai Muhammad, jika mereka tidak mampu membuat sepuluh
surat saja lantaran kelemahan mereka dan lantaran tidak
ada yang sanggup menjadi penolong-penolong mereka, dan
memang pasti mereka tidak akan mampu, maka katakanlah
kepada mereka; " Ketahuilah, sesungguhnya Al Qur’an itu
diturunkan dengan ilmu Allah". Al Qur’an itu diturunkan
dengan kekuasaan ilmu Allah yang Maha Luas dan hanya
dimilki-Nya. Ilmu itu tidak mampu digapai oleh daya
jangkau dan serap akal manusia. Tidak pula bisa
dijelaskan maknanya oleh segala bentuk kepahaman. Dan
dengan ilmu Allah itulah Al Qur’an menjadi mu’jizat yang
berada di lingkaran orbit segala kemampuan manusia". (Fathul
Qadir II/703). Dengan ilmu-Nya, Al Qur’an diturunkan
dalam bentuk seperti itu. Di dalamnya terkandung segala
landasan ilmu secara utuh, tentang tabi’at manusia dan
sunnah alam semesta. Juga tentang masa lalu, masa kini
dan masa depan kehidupan. Di dalamnya dijelaskan tentang
apa yang sesuai, selaras dan sejalan dengan kemaslahatan
kehidupan jiwa dan raga manusia.
"... Dan bahwasannya tidak ada tuhan selain Allah ....".
Penegasan ini di dasarkan atas ketidakberdayaan dan
ketidakmampuan "tuhan-tuhan" orang kafir itu untuk
memnuhi tantangan Al Qur’an. Maka jika tuhan-tuhan itu
tidak mampu berarti harus ada satu-satunya tuhan yang
mampu menurunkan Al Qur’an itu. Dialah Allah yang tiada
tuhan selain Dia. Kemudian penegasan ini disusul dengan
penegasan lain dalam bentuk pertanyaan yang tidak ada
jawabannya bagi orang-orang yang tidak menyombongkan
diri kecuali satu jawaban: "Maukah kalian berserah diri
(kepada Allah)?".
Tetap membangkang
Menurut Imam Assyaukani, pertanyaan ini ditujukan kepada
kaum muslimin dan juga kepada orang-orang kafir itu.
Ketika ditujukan kepada kaum muslimin ia bermakna: "Maka,
apakah kalian tetap teguh atas keislaman kalian,
mengikhlaskan diri untuknya dengan terus menambah
keta’atan? karena apa yang kalian lihat berupa
ketidakberdayaan orang-orang kafir itu untuk membuat
sepuluh surat saja, sudah seharusnya menambah
ketentraman bathin kelian serta semakin mempertajam mata
hari kalian, lebih dari sekedar sebatas keislaman kalian
selama ini". Adapaun ketika ditujukan kepada orang-orang
kafir, ia bermakna: "Maka juka kalian tidak mampu
menerima tantangan itu, apakah sesudah itu kalian mau
masuk Islam? Maukah kalian tunsuk kepada syari’atnya?
Maukah kalian mengikuti dan mematuhi hukum dan
peraturannya? (Fathul Qadir II/708).
Kepada orang-orang kafir, pertanyaan ini diajukan
setelah mereka tidak mampu menerima tantangan itu.
Setelah adanya bukti-bukti bahwa tidak ada pilihan lain
bagi mereka kecuali menyerah. Akan tetapi, sesudah itu
yang sedemikian itupun mereka masih tetap membangkang
bahkan terus menyombongkan diri.
Selalu ada
Al Qur’an tetap abadi. Takkan ada seorangpun yang dapat
menodainya. Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa dalam ayat 13
dan 14 surat Hud ini, Allah Swt menerangkan kepada kita
betapa menjulangnya ketinggian dan keagungan Al Qur’an.
Tidak ada yang bisa membuat tandingan untuknya. Siapapun
mereka dan berapapun jumlahnya, meskipun hanya untuk
satu surat saja. Hal itu karena Al Qur’an adalah firman
dan perkataan Allah ta’ala, yang tidak menyerupai
perkataan manusia serta makhluk lainnya,sebagaimana
sifat-sifat-Nya tidak serupai dengan segala sesuatu yang
ada kemudian. Demikian pula dzat-Nya. Maha suci Allah,
tidak ada tuhan yang haq selain Dia. (Tafsirul Qur’anul
‘Azhim II/577).
Tidak ada yang sanggup menandingi Al Qur’an. Tapi
pendusta dan pembangkang Al Qur’an akan selalu ada
hingga akhir masa. Sepanjang rentan abad ke-3 dan ke-4
hijriyah saja, banyak muncul pendustaan-pendustaan
terhadap Al Qur’an. Semacam orang-orang Mu’tazilah yang
mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk Allah di luar
dzat-Nya. Juga seperti pendapat Abu Mansur Al Maturidi
(334 H) yan mengatakan bahwa Al Qur’an itu hanya sebatas
kandungan makna yang berdiri sendiri dalam dzat Allah
dan kemudian diciptakan pada makhluk-Nya (Syarhul
‘aqidah att Tohawiyah I/174).
Kini, di zaman yang penuh sesak oleh segala macam bentuk
peradaban, di saat napas-napas kehidupan tersa
tersendat-sendat, para pendusta Al Qur’an banyak
bertebaran. Ada di antara mereka yang hanya rela menjadi
pernerus para pendahulu mereka. Ada di antara mereka
yang berteriak bahwa Al Qur’an ini tidak relevan lagi
dengan konteks kontemporer. Ada ayat-ayat yang diterima,
tetapi ada ayat-ayat yang perlu dikaji ulang. Sementara
itu, segerombolan pendusta lainnya diam tanpa kata.
Namun di dalam dadanya bergumpal sejuta kebencian yang
amat dalam terhadap Al Qur’an.
Diakhir uraian tentang ayat ini, Sayyid Quthb menulis, "Sesungguhnya
yang haq itu begitu terang dan nyata. Akan tetapi mereka
para pendusta itu punya kekhawatiran yang besar kalau
kehilangan kenikmatan dunia yang selalu mereka rasakan
selama ini. Baik berupa fasilitas yang beraneka ragam,
maupun yang berupa kekuasaan untuk menundukkan manusia
agar tidak mampu menerima ajakan para da’i di jalan
Allah. Yang menyeru mereka kepada kebenaran, menyeru
mereka kepada kemuliaan yang agung, mengajak mereka
kepada keadilan yang tinggi, mengimbau mereka kepada
harga diri sejati. Dan menyeru mereka kepada kalimat "La
ilaa ha illa llah".
Penulis adalah mahasiswa S2
Universitas Ez-Zitounah, Tunis
|