Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Persatuan Pelajar Indonesia di Tunisia
اتحاد الطلبة الأندونيسين بتونس
Association des Etudiants Indonésiens en Tunisie

Selamat Datang - Welcome - Bienvenue - أهلا و سهلا

Halaman Depan - Organisasi PPI-Tunisia - Tulisan - Album Foto - Tentang Tunisia

 Terbaru - Populer
   
   
   
   
   
 Organisasi PPI-Tunisia
 Profil Singkat
   Anggaran Dasar
   Anggaran Rumah Tangga
   Struktur Organisasi
   Program Kerja
   Serba-Serbi PPI
   Album Foto
 Tunisia Selayang Pandang
 

 Profil Singkat

   Sejarah
   Kependudukan
   Pendidikan
   Islam di Tunisia
   Tempat-Tempat Pariwisata
   Serba-Serbi Tunisia
 Sekilas Info
   Info Terbaru!
PPI Tunisia mendirikan organisasi tandingan PBB.


Bagi negara, tokoh negara dan pemerintahan, perusahaan multimilioner, orang-orang kaya di dunia, dan siapa saja yang ingin bergabung silahkan hubungi kami


 Tulisan
   Quran dan Hadits
   
   Akhlak
   
   Filsafat
   
   Sejarah dan Peradaban
   
 

 Ilmu-ilmu Sosial

   
   Hukum
   
   Seni
   
   Umum
   
 Forum
   Kotak Surat
   
   Titip Salam
   
   

PENDUSTA AL-QUR’AN SELALU ADA

Oleh: Adnan Darwis

Ayat ini diawali dengan kata ( ) yang memenggal antara kalimat sesudahnya dan ayat sebelumnya. Kata () disamping bermakna "bahkan" yang berfungsi untuk menekankan, juga berstatus seperti hamzah () yang digunakan untuk bertanya. Pada ayat ini ia berfungsi untuk menghina serta memberikan peringatan yang keras kepada orang-orang kafir. Dengan kata ( ) yang sarat makna itu, Allah Swt ingin menyampaikan bahwa di sana ada keangkuhan yang lebih besar lagi dari orang-orang yang meminta diturunkannya malaikat sebagaimana dijelaskan pada ayat sebelumnya.

Mereka bukan hanya ingkar dan tak acuh terhadap wahyu Allah. Melainkan lebih dari itu, mereka melakukan dosa yang lebih besar lagi dengan mengatakan bahwa wahyu-wahyu Allah dalam Alqur’an itu hanyalah bikinan Muhammad saja (11/72, Fathul Qodir).

Keangkuhan seperti itu tak bisa dibiarkan. Maka Muhammad Saw diperintahkan untuk menghadapi dan menantang mereka. "Katakanlah (kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya ...". "Datangkanlah sepuluh surat saja yang dibuat-buat yang menyamai Al Qur’an ini dalam ketinggian dan kedalaman kandungannya, menyamainya dalam keluasan dan ketajaman maknanya, menyamainya dalam kemudahan dan keluwesan lafazhnya...".

Kata "dibuat-buat" ( ) digunakan untuk meledek dan merendahkan orang-orang kafir. Dengan makna lain : "Jika kalian hai orang-orang kafir menuduh aku (muhammad) membuat-buat Al Qur’an ini, maka cobalah kalian "membuat-buat" seperti yang telah aku buat, bahkan sedikit saja, hanya sepuluh surat ..... (Zubdatuttafasir, 285)

Sementara itu kata "menyamainya" ( ) menggunakan bentuk kata tunggal dan bukan menggunakan bentuk kata jamak ( ). Hal ini disamping berfungsi menjelaskan kepada orang-orang kafir bahwa masing-masing surat dari sepuluh surat buatan yang diminta itu harus menyamai sepuluh surat yang ada di dalam Al Qur’an. Juga berfungsi untuk menjelaskan bahwa sepuluh surat buatan yang diminta itu harus menyamai tingkat ketinggian sasteranya dengan Al Qur’an, sampai tak ada lagi yang mampu menandinginya. (Fathul Qadir 11/703).

Ayat selanjutnya, "Dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah jika kalian memang orang-orang yang benar". Kata "panggillah" ( ) digunakan untuk menyokong dan membesarkan hati orang-orang kafir agar mereka mau menerima dan menyambut tantangan tersebut. Mereka diberi kebebasan untuk menyeru dan meminta tolong kepada siapa saja selain Allah Swt (Zubdatuttafasir 285). Karena itu Sayyid Quthub menulis, "Silakan kalian menyeru orang-orang yang fasih berbahasa diantara kalian. Ajaklah sekutu-sekutu kalian yang ahli dalam kesusasteraan. Mintalah pertolongan kepada para penyair handal baik dari golongan jin maupun dari golongan manusia hanya untuk mendatangkan sepuluh surat saja yang kalian buat-buat, jika kalian orang-orang yang benar dan yakin bahwa Al Qur’an ini dibuat-buat Muhammad dan bukan dari Allah Swt. (Fi zhilalil Qur’an IV/1862).

Menurut Sayyid Quthub, tantangan untuk membuat sepuluh surat tersebut disampaikan dengan mempertimbangkan kondisi para pembangkang itu serta dengan mempertimbangkan kesesuaian antara apa yang disampaikan dengan kondisi tersebut. Hal itu karena Al Qur’an berhadapan dengan kondisi kehidupan yang bermacam-macam, meskipun semuanya masih tetap merupakan realita yang jelas dan terbatas.

Maka kadang-kadang ia berkata , "Datangkanlah seperti Al Qur’an ini (seluruhnya) atau "Datangkanlah satu surat saja". Atau kadang-kadang ia berkata; "Datangkanlah sepuluh surat saja yang kamu buat-buat". Semua itu tanpa pengiritan dari sisi waktu dan masa, karena tujuan utama

tantangan itu pada hakekatnya adalah bagian mana saja dari Al Qur’an, baik semuanya, sebagiannya, ataupun hanya satu surat saja, semuanya sama. Tantangan itu adalah untuk sebuah jenis Al Qur ’an

itu, dan bukan untuk seberapa jumlahnya dari Al Qur ’an itu.

Namun orang-orang kafir itu tak berdaya. Jangankan menyamai keseluruhan Al Qur’an, untuk untuk sebagiannya dan tak harus berurutan saja mereka tak sanggup (Fi zhilalil Qur’an IV 1862)

Kemu’jizatan Al Qur’an

Ayat selanjutnya, "Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) ...)

"Wahai Muhammad, jika mereka tidak mampu membuat sepuluh surat saja lantaran kelemahan mereka dan lantaran tidak ada yang sanggup menjadi penolong-penolong mereka, dan memang pasti mereka tidak akan mampu, maka katakanlah kepada mereka; " Ketahuilah, sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah". Al Qur’an itu diturunkan dengan kekuasaan ilmu Allah yang Maha Luas dan hanya dimilki-Nya. Ilmu itu tidak mampu digapai oleh daya jangkau dan serap akal manusia. Tidak pula bisa dijelaskan maknanya oleh segala bentuk kepahaman. Dan dengan ilmu Allah itulah Al Qur’an menjadi mu’jizat yang berada di lingkaran orbit segala kemampuan manusia". (Fathul Qadir II/703). Dengan ilmu-Nya, Al Qur’an diturunkan dalam bentuk seperti itu. Di dalamnya terkandung segala landasan ilmu secara utuh, tentang tabi’at manusia dan sunnah alam semesta. Juga tentang masa lalu, masa kini dan masa depan kehidupan. Di dalamnya dijelaskan tentang apa yang sesuai, selaras dan sejalan dengan kemaslahatan kehidupan jiwa dan raga manusia.

"... Dan bahwasannya tidak ada tuhan selain Allah ....". Penegasan ini di dasarkan atas ketidakberdayaan dan ketidakmampuan "tuhan-tuhan" orang kafir itu untuk memnuhi tantangan Al Qur’an. Maka jika tuhan-tuhan itu tidak mampu berarti harus ada satu-satunya tuhan yang mampu menurunkan Al Qur’an itu. Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia. Kemudian penegasan ini disusul dengan penegasan lain dalam bentuk pertanyaan yang tidak ada jawabannya bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri kecuali satu jawaban: "Maukah kalian berserah diri (kepada Allah)?".

Tetap membangkang

Menurut Imam Assyaukani, pertanyaan ini ditujukan kepada kaum muslimin dan juga kepada orang-orang kafir itu. Ketika ditujukan kepada kaum muslimin ia bermakna: "Maka, apakah kalian tetap teguh atas keislaman kalian, mengikhlaskan diri untuknya dengan terus menambah keta’atan? karena apa yang kalian lihat berupa ketidakberdayaan orang-orang kafir itu untuk membuat sepuluh surat saja, sudah seharusnya menambah ketentraman bathin kelian serta semakin mempertajam mata hari kalian, lebih dari sekedar sebatas keislaman kalian selama ini". Adapaun ketika ditujukan kepada orang-orang kafir, ia bermakna: "Maka juka kalian tidak mampu menerima tantangan itu, apakah sesudah itu kalian mau masuk Islam? Maukah kalian tunsuk kepada syari’atnya? Maukah kalian mengikuti dan mematuhi hukum dan peraturannya? (Fathul Qadir II/708).

Kepada orang-orang kafir, pertanyaan ini diajukan setelah mereka tidak mampu menerima tantangan itu. Setelah adanya bukti-bukti bahwa tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menyerah. Akan tetapi, sesudah itu yang sedemikian itupun mereka masih tetap membangkang bahkan terus menyombongkan diri.

Selalu ada

Al Qur’an tetap abadi. Takkan ada seorangpun yang dapat menodainya. Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa dalam ayat 13 dan 14 surat Hud ini, Allah Swt menerangkan kepada kita betapa menjulangnya ketinggian dan keagungan Al Qur’an. Tidak ada yang bisa membuat tandingan untuknya. Siapapun mereka dan berapapun jumlahnya, meskipun hanya untuk satu surat saja. Hal itu karena Al Qur’an adalah firman dan perkataan Allah ta’ala, yang tidak menyerupai perkataan manusia serta makhluk lainnya,sebagaimana sifat-sifat-Nya tidak serupai dengan segala sesuatu yang ada kemudian. Demikian pula dzat-Nya. Maha suci Allah, tidak ada tuhan yang haq selain Dia. (Tafsirul Qur’anul ‘Azhim II/577).

Tidak ada yang sanggup menandingi Al Qur’an. Tapi pendusta dan pembangkang Al Qur’an akan selalu ada hingga akhir masa. Sepanjang rentan abad ke-3 dan ke-4 hijriyah saja, banyak muncul pendustaan-pendustaan terhadap Al Qur’an. Semacam orang-orang Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk Allah di luar dzat-Nya. Juga seperti pendapat Abu Mansur Al Maturidi (334 H) yan mengatakan bahwa Al Qur’an itu hanya sebatas kandungan makna yang berdiri sendiri dalam dzat Allah dan kemudian diciptakan pada makhluk-Nya (Syarhul ‘aqidah att Tohawiyah I/174).

Kini, di zaman yang penuh sesak oleh segala macam bentuk peradaban, di saat napas-napas kehidupan tersa tersendat-sendat, para pendusta Al Qur’an banyak bertebaran. Ada di antara mereka yang hanya rela menjadi pernerus para pendahulu mereka. Ada di antara mereka yang berteriak bahwa Al Qur’an ini tidak relevan lagi dengan konteks kontemporer. Ada ayat-ayat yang diterima, tetapi ada ayat-ayat yang perlu dikaji ulang. Sementara itu, segerombolan pendusta lainnya diam tanpa kata. Namun di dalam dadanya bergumpal sejuta kebencian yang amat dalam terhadap Al Qur’an.

Diakhir uraian tentang ayat ini, Sayyid Quthb menulis, "Sesungguhnya yang haq itu begitu terang dan nyata. Akan tetapi mereka para pendusta itu punya kekhawatiran yang besar kalau kehilangan kenikmatan dunia yang selalu mereka rasakan selama ini. Baik berupa fasilitas yang beraneka ragam, maupun yang berupa kekuasaan untuk menundukkan manusia agar tidak mampu menerima ajakan para da’i di jalan Allah. Yang menyeru mereka kepada kebenaran, menyeru mereka kepada kemuliaan yang agung, mengajak mereka kepada keadilan yang tinggi, mengimbau mereka kepada harga diri sejati. Dan menyeru mereka kepada kalimat "La ilaa ha illa llah".

Penulis adalah mahasiswa S2 Universitas Ez-Zitounah, Tunis

Kembali Ke Atas

 
Copyright © 2006-2007 PPI-Tunisia. All Rights Reserved
Supported by Pulau Damai Technologies