FILSAFAT HAJI
Oleh: Aip Ali Arfan
Ibadah haji dalam rukun Islam merupakan yang kelima
setelah zakat atau puasa. Ibadah ini dilakukan pada
hari-hari tertentu di bulan Dzulhijjah dengan urutan
amalan-amalan tertentu. Setiap pelaku haji melakukan
amalan-amalan tersebut pada tempat-tempat yang tertentu
pula. Diantaranya adalah Makkah, tempat para pelaku haji
–selanjutnya disebut hujjaj– melakukan thawaf, sa’i dan
tahallul. Kemudian Arafah, suatu padang tandus tempat
para hujjaj melakukan perenungan dan berdo’a
sebanyak-banyaknya. Lalu Mina, tempat para hujjaj
melontar tiga macam jumroh.
Lalu, pertanyaannya adalah apa rahasia yang terdapat
dalam pelaksanaan ibadah haji itu? Apakah ia hanya
sekadar ibadah ritual belaka, atau ada sesuatu dibalik
itu semua?.
Pada pembahasannya kali ini, penulis mencoba untuk
menguraikan secara sederhana dengan gamblang dan jelas
beberapa arti penting dan hikmah dari pelaksanaan ibadah
haji yang dinamakannya ‘’filsafat haji’’.
Mengapa Mekah?
Agama Islam yang mensyari’atkan ibadah haji bagi
pemeluknya tiada lain adalah agama nabi Ibrahim juga.
Selain disebut sebagai bapaknya para nabi, nabi Ibrahim
as pun telah mengikrarkan dirinya sebagai muslim. Adapun
yang ingin penulis ketengahkan di sini adalah bahwa
antara agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim dan agama
yang turun pada nabi Muhammad Saw terdapat suatu
korelasi yang menghubungkan keduanya.
Maka Islam tidak membedakan antara nabi-nabi yang diutus
Allah Swt dari Adam as sampai Muhammad (‘alaihimusshalatu
wassalam) yang kesemuanya menyeru kepada tauhid (pengesaan
Tuhan). Akan halnya agama Islam yang dibawa Muhammad
tiada lain adalah sebagai penyempurna ajaran-ajaran
sebelumnya.
Oleh karena itu pilihan Mekah sebagai tempat pelaksanaan
ibadah haji didasarkan kepada
hubungan yang erat dan kuat antara nabi Muhammad Saw
dengan nabi Ibrahim. Dengan kata lain pilihan Mekah
tersebut menunjukkan isyarat satunya Islam.
Mari kita buka dan lihat kembali kisah nabi Ibrahim as.
Di sana akan kita dapati amalan-amalan yang dilakukan
dalam ibadah haji mengacu kepada perjalanan nabi Ibrahim
dan anaknya Isma’il (‘alaihimassalam). Maka sa’i (Berlari-lari
kecil antara Safa dan Marwa) adalah refleksi dari usaha
Siti Hajar –isteri nabi Ibrahim– dalam mencarikan air
untuk anaknya, Isma’il yang sedang kehausan. Begitu pula
melontar jumroh –simbol peperangan antara yang hak dan
yang bathil– tiada lain adalah refleksi dari marahnya
nabi Ibrahim kepada setan yang berusaha membujuknya agar
ia mengurungkan niatnya memenuhi janjinya kepada Allah
Swt.
Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia
Allah Swt, jauh-jauh hari, yaitu kurang lebih 14 abad
yang lalu telah menetapkan bahwa Islam adalah agama
untuk seluruh umat manusia. Bahwa tidak ada perbedaan
antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, antara satu
suku dengan suku lainnya kecuali ketakwaannya (Q.S
49:13) dan sabda nabi Muhammad Saw yang tidak membedakan
antara orang Arab dan bukan Arab, antara kulit hitam dan
kulit putih kecuali ketakwaannya adalah salah satu
karakteristik Islam yang lahir dari pernyataan bahwa
semua manusia adalah sama dalam pandangan Allah Swt. Dan
nilai etika yang tinggi ini diimplementasikan dalam
bentuk pelaksanaan ibadah haji, dimana semua umat Islam
dari berbagai belahan di dunia (Benua Asia, Afrika,
Amerika, Eropa, Australia dan Antartika) dengan
perbedaan warna kulit, bahasa dan teritorial datang ke
Mekah dengan memakai pakaian yang sama putihnya dan
melakukan amalan-amalan yang sama pula. Dan semuanya
tunduk serta patuh merendahkan dirinya masing-masing
dihadapan Sang Maha Agung, Allah Swt. Subhanallah ...!
Islam adalah agama yang benar
Pernyataan ini di dasarkan atas realita sejarah dimana
Nabi Muhammad Saw menyampaikan pidato perpisahannya di
padang Arafah pada haji wada’, yaitu haji terakhir yang
dilakukannya pada tahun kesebelas hijriah yang pada
waktu itu turun ayat ke 3 dari surat Al Maidah yang
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang diridhai Allah.
Ayat ini tiada lain adalah sebagai lanjutan firman Allah
yang menyatakan bahwa orang yang mengambil agama selain
Islam, maka tidak akan diterima dan ia termasuk
orang-orang yang merugi.(Q.S.3:85).
Mutiara haji
Di antara mutiara-mutiara haji yang akan disebutkan
penulis di sini antaralain adalah :
1. Ibadah haji diwajibkan hanya bagi yang mampu.
Tidak semua umat Islam diwajibkan untuk menunaikan
ibadah haji. Ibadah ini diperuntukkan hanya bagi mereka
yang memiliki sifat mampu, yang dalam fikih Islam
pengertiannya adalah kesiapan seseorang akan biaya
pelaksanaan haji dari awal keberangkatan sampai kembali
ke tempat di mana ia bertolak, ditambah biaya hidup bagi
keluarga yang ditinggalkannya. Dan kewajiban ini hanya
sekali saja seumur hidup.
Kewajiban haji yang khusus untuk mereka yang mampu
mengandung arti bahwa seorang muslim yang ‘’berada’’
sedang diuji keimanannya dengan hartanya. Sebagaimana
telah diketahui, melaksanakan ibadah haji berarti
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit tanpa ada
sepeserpun yang didapat setelah itu.
2. Belajar sabar dari haji.
Ungkapan orang sabar disayang Tuhan banyak sekali kita
dengar dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga
pribahasa berakit-rakit ke hulu berenanang-renang
ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang
kemudian. Namun pada kenyataannya, menjadi orang sabar
itu tak semudah menyebutnya.
Dalam Islam kita kenal nabi Ayyub as, profil dalam
bidang ini. Maka untuk menjadi seperti beliau sangatlah
sulit. Perjalanan haji yang dipenuhi dengan berbagai
macam cobaan (sesaknya thawaf, sa’i dan melontar jumrah,
teriknya matahari, tidak leluasanya bergerak dalam
keadaan ihram dengan pakaian tak berjahit dan lain-lain)
adalah pelajaran yang sangat berharga untuk mencapai
tingkat ‘’bersama’’ Allah Swt. Apakah kita tidak senang
jika Dia ada bersama kita?
3. Siti Hajar sebagai tauladan wanita muslimah.
Siti Hajar adalah isteri kedua Nabi Ibrahim setelah Siti
Sarah. Dia adalah seorang budak hitam berkebangsaan
Habasyah (Ethiopia, sekarang) yang tunduk dan patuh
kepada suaminya, Nabi Ibrahim yang –ketika telah sampai
di Mekah yang tandus– harus kembali ke Palestina
memenuhi perintah Allah. Maka tinggallah ia dan anaknya
Isma’il di tempat yang tidak ada sebuah tanaman pun
tumbuh di sekitarnya sampai terjadinya peristiwa yang
menakjubkan yaitu berupa terpancarnya air di bawah kaki
si kecil yang kemudian membesar menjadi sumur yang
airnya tidak pernah kering sampai hari kiamat.
Maka sosok Siti Hajar sebagaimana telah disebutkan di
atas adalah ibarat cermin bagi para wanita muslimah
lainnya yang menginginkan kebahagiaan dalam hidup dan
kehidupannya.
4. Haji adalah syukur total
Bersyukur, dalam pandangan Islam dilakukan dengan tiga
hal: pertama, dengan lisan (menyebut Alhamdulillah).
kedua, dengan hati (hati kita merasakan nikmat Tuhan).
Dan ketiga, dengan perbuatan (melaksanakan syari’at
Islam, diantaranya: rukun Islam, berakhlak mulia dll).
Dalam menunaikan ibadah haji, seorang muslim selain
dituntut kesabaran sebagaimana terdapat dalam ibadah
puasa juga gerakan-gerakan dan amalan-amalan seperti
dalam ibadah shalat, ia dituntut pula untuk merelakan
hartanya sebagaimana dalam ibadah zakat.
Dari hal tersebut di atas bisa dikatakan bahwa ibadah
haji yang mencakup semua jenis ibadah ini adalah syukur
total. Maka berbahagialah orang-orang yang telah
menunaikan ibadah hajinya dengan sebaik-baiknya (haji
yang mabrur).
5. Isyarat ilmu pengerahuan dan Tekhnologi
Sekurang-kurangnya di sini ada tiga bidang yang disentuh
haji. Yang pertama yaitu bidang transportasi dan
perhubungan. Kemudian yang kedua adalah bidang
administrasi dan manajemen. Dan yang ketiga yaitu bidang
komunikasi dan informasi.
Tak syak lagi, bahwa untuk mencapai baitullah diperlukan
sarana transportasi dan perhubungan bagi orang-orang
Islam yang tempat tinggalnya jauh dari Mekah. Semakin
maju zaman dan peradaban manusia dari tahun ke tahun dan
dari abad ke abad, maka semakin modern dan canggih
pulalah kedua sarana ini diciptakan. Begitu pula untuk
bidang administrasi dan manajemen dimana untuk memenage
jutaan orang dibutuhkan sarana dan alat yang dapat
membantu memperlancar urusan administrasi. Sebagaimana
pentingnya komunikasi dan informasi yang cepat antara
negara tempat pelaksanaan ibadah haji –dalam hal ini
Saudi Arabia– dan negara-negara pelaku haji lainnya
tidak dapat dipungkiri lagi.
Dari uraian panjang di atas, dapat penulis simpulkan,
bahwa ibadah haji yang merupakan terakhir dalam deretan
rukun Islam ini, tiada lain adalah sebagai penyempurna
bangunan Islam. Maka ia ibarat atap yang melindunginya
dari siraman hujan dan sengatan matahari. Sebagaimana
dapat ditarik kesimpulan pula, bahwa Islam adalah agama
14 abad yang lalu dan agama abad 20 kini, sebagaimana ia
juga agama abad-abad yang akan datang yang akan terus
langgeng sampai akhir dunia karena ia merupakan agama
yang sesuai dan fithrah dan tabiat manusia yang
menitikberatkan pada keseimbangan antara mencapai
akhirat dengan tidak melupakan dunia untuk juga diraih.
Penulis adalah mahasiswa ISCI
Universitas Ez-Zitounah Tunis, Tunisia
|