Sherina dan
Petualangan
Film Petualangan
Sherina yang mulai diputar di bioskop-bioskop beberapa kota besar 14 Juni,
mendapat sambutan dari penonton. Film musikal untuk semua umur ini memang
termasuk enak ditonton dengan aktor-aktris terpuji.
Skenario Jujur Prananto dan sutradara Riri Riza memberikan andil yang besar
sehingga film ini menghibur dan menyentuh. Musik yang ditata Elfa Secioria sejak
awal menjadi jaminan mutu, termasuk mengantarkan Sherina menjadi penyanyi cilik
paling terkemuka lewat album Andai Aku Besar Nanti.
Berbagai media massa
menyambut pemutaran pertama dari film yang didukung sederet aktor-aktris
terkemuka seperti Didi Petet, Mathias Muchus, Ratna Riantiarno, Butet
Kertaredjasa dan yang lainnya. Promosi film ini memang terasa lebih dibanding
film Indonesia lainnya, untuk saat ini. Diakui Mira Lesmana sebagai produser,
promosi untuk Petualangan Sherina termasuk yang dipersiapkan secara matang,
mulai dari berbagai barang berlogo Petualangan Sherina sampai kaset soundtracknya.
Termasuk salah satu persiapan promosi adalah pencantuman nama Sherina dalam
judul. Awalnya film ini berjudul Petualangan Vera dan Elmo. Penggantian
dengan nama Sherina karena popularitas artis cilik Sherina Munaf memang sedang
memuncak berkat album Andai Aku Besar Nanti menembus angka spektakuler,
sekitar satu juta kopi. Jadi, selain lagu-lagu, aktor-aktris papan atas dan
gambar yang menawan, apa lagi yang bisa didapatkan dari fenomena Petualangan
Sherina?
Petualangan Sherina adalah satu tanda bagaimana sebuah popularitas bisa
dimitoskan, dikembangkan dan dieksploitasi. Masalah ini sejak dulu menjadi
problem klasik yang menghasilkan berbagai kenyataan turunan: eksploitasi
anak-anak, dekadensi nilai seni dalam sebuah produk (terutama produk populer),
apa yang disebut ?aji mumpung?, dsb.
Berkenaan dengan Petualangan Sherina, tidakkah ini adalah eksploitasi terhadap
Sherina sebagai anak-anak? Tidakkah ini aji mumpung Sherina? Tidakkah ini
semangat kapitalisme yang memuja materialisme, hanya berpikir materi semata?
Dalam kancah seni
populer, apa yang disebut fanatisme menjadi ciri yang khas dan selalu
besar. Bagi seorang fans, apa-apa yang berkenaan dengan idola adalah
harga mati untuk dipunyai. Misalnya fans Sherina Munaf, selain mesti
mempunyai album dari artis cilik ini, juga tahu biodatanya, mengunjungi
konsernya, punya segala merchandise berlogo Sherina.
Pengembangan fenomena fanatisme
ini bersambut dengan materialisme (sebagai roh kapitalisme) yang selalu
tumbuh meraksasa menembus wilayah-wilayah baru. Seorang penyanyi main film,
sinetron, membawakan acara di televisi, presenter, jadi master of ceremony,
dsb. Begitu juga bintang dari wilayah lain seperti bintang film, olahragawan,
model, peragawati, dsb.
Sejak dulu kritik
terhadap fanatisme selalu dilancarkan dan semakin keras. ?Tidak ada
pikiran jernih di kepala seorang fans!? , begitu kira-kira isi dari
kritik yang bertebaran dari budayawan. Tapi sejak dulu sampai sekarang, fanatisme
selalu ada dan menjadi peluang besar bagi bisnis kapitalisme. Westlife
tetap dihisterisi oleh ribuan penonton remaja saat manggung di Jakarta, merchandise
film Mission Impossible-2 tetap diserbu penonton yang mengidolakan Tom
Cruise, ibu-ibu membawa anak-anaknya menonton Petualangan Sherina karena ingin
anaknya bersuara merdu seperti penyanyi cilik itu.
Begitulah, fenomena fanatisme yang disambut raksasa bisnis populer
membawa berbagai konsekuensi. Memang ada bintang yang main filmnya
berkualitas festival, suaranya memberi getaran tersendiri, membawakan acara
dengan profesional seorang entertainer, dsb. Tapi menumpuk album dari penyanyi
dipaksakan, lipsynk, film dengan pemain asal cantik dan populer, dsb.
Tidakkah Sherina kuat memahami dan meladeni tiwikrama kesenian populer yang
dimasukinya?
Film Petualangan Sherina tidak bisa menyangkal memanfaatkan popularitas Sherina
Munaf untuk pemasarannya. Dan Sherina, sejak melonjaknya album Andai Aku
Besar Nanti, masuk jajaran entertainer populer yang punya kualitas
tersendiri. Suaranya menunjukkan teknik vokal yang mengagumkan, lagu-lagunya
populer menjadi cita-cita jutaan ibu yang ingin punya anak seperti Sherina,
tawaran untuk manggung dan membintangi iklan berdatangan.
Adakah pemanfaatan popularitas Sherina Munaf termasuk eksploitasi? Karena memang
begitu pembawaan seni populer, lintas jalur seni adalah hal yang wajar dan sudah
semestinya. Seni populer tidak hanya menjual nilai, tapi juga memanfaatkan fanatisme,
agenda shetting dan promosi yang berlebihan. Masalahnya selalu problem lama,
yaitu kesiapan sebuah produk dan bintangnya sendiri. Bila tidak siap, dipaksakan
(bisa mengejar waktu atau kontrak), maka hasilnya hanya asal-asalan (bila
bintangnya anak-anak biasa juga disebut ?eksploitasi?).
Selama ini, Sherina Munaf termasuk yang beruntung karena digarap oleh
entertainer yang serius. Dalam menyanyi, Elfa Secioria menjadi orang belakangnya.
Film Petualangan Sherina diproduksi oleh sineas muda yang telah membuktikan
idealismenya dalam berkarya. Maka melihat Petualangan Sherina, kita tidak hanya
menunggu Sherina bernyanyi, tapi juga Sherina berakting, gambar-gambarnya yang
bagus, aktor-aktris pendukung dan musiknya yang intuitif.
Tentu fenomena membanggakan ini harus selalu diakhiri catatan: dunia seni
populer begitu kejam, adakah Sherina Munaf (dan orang-orang di belakangnya) siap
memanfaatkannya dan bukan dimanfaatkan? (Yus)***