ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

8. INFEKSI
A. Sistema Pertahanan Tubuh dan Invasi Mikrobial
B. Infeksi Sistemik pada Pasien Bedah Saraf
yang Dirawat Intensif
C. Infeksi Bakterial SSP
D. Infeksi Virus SSP
E. Sindroma Immunodefisiensi Didapat (AIDS)
F. Infeksi Fungal pada SSP
G. Infeksi Parasit pada SSP
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 

        
        INFEKSI VIRUS PADA S.S.P
        
        Virus  adalah parasit intraseluler yang  hanya  membawa 
        satu jenis asam nukleik. Diklasifikasikan menurut jenis 
        asam  nukleiknya  dan disubdivisi berdasar  ukuran  dan 
        bentuk  selubung proteinnya. Ada 10 kelompok virus  RNA 
        dan  5  kelompok virus DNA. Semua virus  RNA  mengalami 
        replikasi  didalam sitoplasma sel, sedangkan virus  DNA 
        kecuali  poxvirus  dinukleus sel. Tidak  setiap  kontak 
        sel-virus  berakhir  dengan infeksi.  Sel  bersangkutan 
        memiliki  sisi  reseptor  yang  memadai  pada  membrana 
        sitoplasmiknya  yang sebanding dengan  molekul  pelekat 
        polipeptida pada permukaan viral. Keterancaman  spesies 
        atau jenis sel tertentu terhadap virus tergantung  sisi 
        reseptor ini.
             Virus  biasanya  memasuki badan  melalui  membrana 
        mukosa   saluran  respiratori,   gastrointestinal   dan 
        urinari.  Epidermis adalah sawar yang efektif  terhadap 
        masuknya  virus,  dan  rusaknya  kulit  seperti  akibat 
        gigitan  nyamuk  atau suntikan  hipodermik,  diperlukan 
        untuk penyebaran melalui sawar ini. Sementara  beberapa 
        virus  dihambat oleh permukaan, lainnya mampu  menyebar 
        luas  melalui sistema limfatik dan  sirkulatori.  Virus 
        masuk  SSP melalui saraf perifer dan via aliran  darah. 
        Jalur  saraf perifer sangat penting dalam  migrasi  dan 
        disseminasi virus rabies, herpes simplex dan  varicella 
        zoster. Namun infeksi kebanyakan virus pada SSP terjadi 
        akibat viremia. Pada viremia yang hebat, virus mencapai 
        parenkhima  otak walau sawar darah otak  dibentuk  oleh 
        sel  endotel. Virus bisa masuk melalui sel endotel  dan 
        mungkin  menyerang  dan menginfeksinya.  Bila  partikel 
        telah masuk SSP, mereka harus mendapatkan sel yang bisa 
        dipengaruhi  hingga bisa terjadi infeksi.  Tidak  semua 
        jenis  sel  SSP terancam oleh  virus  bersangkutan  dan 
        progresi  penyakit  akan terhenti  kecuali  bila  virus 
        menemukan reseptor sel sesuai.
             Terbentuknya kelainan neurologis klinis tergantung  
        pengaruh  virus  pada  sel  yang  dimasukinya.   Herpes 
        simplex   menyebabkan  perubahan  metabolisme   protein 
        seluler yang menyebabkan sel segera mati. Virus lainnya 
        mungkin  berakibat sedikit perubahan  pada  metabolisme 
        seluler  esensial,  akan tetapi  menyebabkan  perubahan 
        metabolisme  fungsional,  seperti  produksi  enzim  dan 
        transmiter  neural, menyebabkan  kelainan utama  fungsi 
        faal  saraf khas. Tapi virus lainnya  mungkin  bertahan 
        untuk  masa yang lama di SSP sebelum menyebabkan  bukti 
        adanya  kelainan.  Masa laten yang panjang  ini  paling 
        umum tampak pada virus DNA dan berkaitan dengan infeksi 
        kronik   seperti  panensefalitis  sklerosing   subakuta 
        akibat  virus campak dan  leukoensefalopati  multifokal 
        progresif yang disebabkan papovavirus.
             Variasi  luas  gejala pada kelainan  viral  adalah 
        akibat perbedaan keterancaman populasi sel SSP terhadap 
        berbagai virus. Keberagaman yang luas dari spesialisasi 
        dan  kompleksitas membrana sel SSP mungkin  menjelaskan 
        keterancaman  yang  khas kelompok sel  saraf  dan  glia 
        tertentu terhadap virus tertentu. Misalnya virus rabies 
        mengenai  saraf  sistema limbik  namun  tidak  terhadap 
        saraf  neokortikal, sedang papovavirus secara  selektif 
        menyerang  oligodendrosit,  dan virus  herpes  memiliki 
        predileksi pada lobus temporal namun dapat dengan  baik 
        menyerang berbagai jenis sel. Kebanyakan infeksi  virus 
        pada SSP disebabkan oleh virus yang umum dijumpai  pada 
        populasi   umumnya   dan  biasanya   berkaitan   dengan 
        perjalanan  yang jinak dan self limited. Antibodi  atas 
        virus  yang  umum  menyebabkan  infeksi  SSP  terbentuk 
        secara  luas. Kenyataan ini menunjukkan  bahwa  infeksi 
        SSP  tidaklah secara sederhana diakibatkan agen  virus, 
        namun  lebih oleh karena rusaknya mekanisme  pertahanan 
        tubuh  normal.  Kemajuan besar  dari  pengobatan  telah 
        mengembangkan  strain  viral  yang  telah  dibunuh  dan 
        dilumpuhkan untuk immunisasi terhadap polio, mumps  dan 
        campak.
             Meningitis  viral, infeksi viral paling umum  pada 
        SSP,  tampil  sebagai  meningitis  aseptik.  Meningitis 
        enteroviral   dapat  mulai  mendadak  tanpa   prodroma, 
        perjalanannya  terkadang  menyerupai  PSA  ringan,  dan 
        mungkin  menyebabkannya segera dirujuk  kebedah  saraf. 
        Seperti  meningitis, ensefalitis viral biasanya  ringan 
        dan self limited; namun mungkin tampil dengan penurunan 
        derajat  kesadaran,  kejang, kelemahan  atau  paralisis 
        fokal,  dan jarang-jarang menyebabkan  tanda  serebeler 
        seperti ataksia atau nistagmus. Konsekuensi serius  dan 
        bahkan kematian dapat terjadi karena ensefalitis herpes 
        simplex, ensefalitides ekuina, dan polio.
             Kelainan viral dan kelainan berkaitan dengan viral 
        yang  bisa  dijumpai pada praktek  bedah  saraf  adalah 
        ensefalitis herpes simplex, kelainan Jakob-Creutzfeldt, 
        sindroma Reye, dan infeksi HIV. 
        
        
        ENSEFALITIS HERPES SIMPLEX
        
        Herpes  simplex  adalah virus DNA dengan  dua  subjenis 
        yang  secara antigenikal berbeda, dikenal  sebagai  HSV 
        jenis  1 dan HSV jenis 2. HSV jenis 1 menyebar  melalui 
        droplet  respirator dan saliva, diketahui  dengan  baik 
        sebagai  agen  yang tersebar dimana-mana  dan  penyebab 
        cold sore jinak yang rekuren dari mukosa oral.  Sekitar 
        90 %  dewasa  memiliki antibodi  sirkulatori   terhadap 
        HSV-1  dan  sekitar 25 % mengalami cold  sore  rekuren. 
        Untuk  alasan yang belum jelas, virus ini  virulensinya 
        terhadap  SSP  bertambah  dan  menyebabkan  ensefalitis 
        nekrotising  terlokalisir pada anak dan  dewasa.  HSV-2 
        menyebar  melalui kontak seksual, adalah penyebab  lesi 
        mukosal  dan dapat menjadi infeksi  sistemik  mematikan 
        pada  neonatus. Ensefalitis HSV-2 diffusa bisa  sebagai 
        begian kelainan ini. Herpes neonatal dikira  ditularkan 
        dari   ibu  saat  pasasi  melalui  jalan   lahir   yang 
        terinfeksi.
             Karakteristik penting HSV-1 adalah kemampuan untuk 
        tetap  pada keadaan 'tidur', keadaan asimtomatik  untuk 
        jangka  lama  pada badan sel  neuron  sensori  ganglion 
        trigeminal,  dan secara berkala berulang  sebagai  lesi 
        mukokutan   sekitar  mulut.  Virus   mencapai   ganglia 
        trigeminal  melalui  transport  aksoplasmik   retrograd 
        mencapai  akson  yang mencatu daerah lesi  oral.  Virus 
        yang 'tidur' dapat diaktifkan berbagai stimuli  seperti 
        demam, cedera, sinar ultraviolet, dan trauma pada saraf 
        trigeminal;  membentuk  lesi kulit  yang  baru,  diduga 
        melalui perjalanan sentrifugal partikel virus  menuruni 
        akson  sensori. Tidak ada partikel virus  atau  antigen 
        viral  dapat ditemukan pada ganglia  trigeminal  selama 
        keadaan  'tidur'. Virus DNA karenanya  dikatakan  tidak 
        memproduksi partikel viral dan tanpa merusak integritas 
        seluler metabolisme neuron sensori. Setelah  stimulasi, 
        replikasi virus berperan dengan cepat.
             Ensefalitis   HSV-1  adalah   penyebab   tersering 
        ensefalitis  fatal  yang sporadik di  USA.  Bila  tidak 
        diobati, angka kematian sekitar 70 %, jauh lebih tinggi 
        dari  kebanyakan  ensefalitides.  Hubungan  ensefalitis 
        HSV-1  dengan  infeksi herpes oral tidak  jelas.  Walau 
        beberapa  pasien  memiliki lesi oral  aktif  pada  saat 
        onset  ensefalitis,  ini  umumnya  tidak  ada  artinya. 
        Riwayat   lesi  herpetik  dijumpai  pada   25 %   kasus 
        ensefalitis, persentasi yang sama dengan populasi umum. 
        Mekanisme  infeksi SSP adalah invasi HSV-1 pada  epitel 
        nasal   dan  migrasi  sepanjang  akson   dari   saluran 
        olfaktori kelobus temporal. Proses ensefalitik, umumnya 
        paling serius pada lobus frontal inferior dan temporal, 
        yaitu invasi dan diikuti lisis sel glial dan neuronal.
             Sekitar  90 % pasien memperlihatkan  tanda  neuro-
        logis   segera  yang  menunjukkan  lokalisasi   fronto-
        temporal:   halusinasi,  kelainan   tingkah-laku,   dan 
        perubahan  kepribadian.  demam dan nyeri  kepala,  umum 
        terjadi pada tahap awal seperti juga kejang, baik motor 
        fokal,  GM,  atau kompleks  partial.  Gangguan  memori, 
        menunjukkan terkenanya temporal basal bilateral, tampak 
        pada banyak pasien. Defisit motor fokal, biasanya  pada 
        muka  dan lengan, bisa terjadi dan afasia  sering  bila 
        daerah  frontotemporal  dominan  yang  terkena.  Dengan 
        perjalanan  penyakit,  daerah  frontotemporal   menjadi 
        edema  dan sering bertindak sebagai massa  intrakranial 
        dan  menyebabkan peninggikan TIK serta herniasi  unkal. 
        Koma,  pada usia lebih dari 30 tahun,  disertai  dengan 
        terlambatnya  terapi  antiviral  menunjukkan  prognosis 
        buruk.
             Pemeriksaan  CSS  hanya  sedikit  membantu   dalam 
        menegakkan  diagnosis ensefalitis HSV. Pleositosis  CSS 
        paling   sering  berupa  campuran  sel  neutrofil   dan 
        mononuklir  dengan  yang terakhir  lebih  dominan.  Sel 
        darah  merah,  sangat jarang pada  ensefalitides  lain, 
        sering  tampil dan merupakan kunci penting  diagnostik. 
        Protein  cukup meninggi dan glukosa normal. Biakan  HSV 
        jarang positif dari CSS dan perlu waktu lama bila  akan 
        dipakai  sebagai  nilai  diagnostik  awal.  Tes   untuk 
        melacak  antigen  HSV  juga  perlu  waktu,  dan   tidak 
        terbukti  cukup sensitif atau spesifik.  Terakhir  ini, 
        tehnik reaksi rantai polimerase untuk mengenal DNA  HSV 
        pada   CSS  terbukti  merupakan  tes  yang  cepat   dan 
        sensitif.  Tes ini menjanjikan sebagai  tes  diagnostik 
        terpilih. 
             EEG mungkin membantu dalam memastikan proses fokal 
        dengan  memperlihatkan pelepasan  paroksismal  periodik 
        atau  kompleks  gelombang lambat pada satu  atau  kedua 
        lobus  temporal. CT scan mungkin memperlihatkan  adanya 
        penurunan   penguatan   pada  hari   ketiga   penyakit. 
        Penurunan  penguatan ini menunjukkan adanya  edema  dan 
        nekrosis  didaerah ensefalitis. Penggunaan zat  kontras 
        memperlihatkan daerah dengan penguatan abnormal sekitar 
        daerah  berdensitas  rendah. MRI nyata  lebih  sensitif 
        dalam melacak perubahan edema awal dan akan mempercepat 
        ditemukannya perubahan ensefalitik HSV nonhemoragik.
             Konfirmasi  lengkap diagnosis  herpes  ensefalitis 
        sering  tergantung  hasil kultur atau  histologis  dari 
        biopsi otak. Sebagian ahli menyetujui terapi  asiklovir 
        bila  kelainan  diatas  dijumpai.  Sayangnya  ketepatan 
        diagnosis  tanpa biopsi hanya sekitar 35-45 %.  Lainnya 
        mengatakan  bahwa diagnosis ensefalitis HSV  dipastikan 
        dengan biopsi, dengan alasan morbiditas yang rendah dan 
        akan  mengenal  kelainan lain  yang  memerlukan  terapi 
        spesifik.  Ahli lainnya sedikit lebih  menyukai  terapi 
        empirik  dengan  asiklovir,  namun  biopsi  otak  jelas 
        berguna  pada  pasien dengan glukosa  CSS  rendah  pada 
        pungsi lumbar pertama. Daerah biopsi ditentukan  dengan 
        CT  scan  atau MRI. Bisa secara  terbuka  atau  stereo-
        taktik.  Penilaian CSS dengan reaksi rantai  polimerase 
        mungkin  mengurangi perlunya biopsi  dimasa  mendatang. 
        Saat  ini, alasan biopsi tidak hanya  untuk  memastikan 
        ensefalitis  HSV, namun lebih sebagai pencari  kelainan 
        lain yang dapat ditindak.
             Tindakan  terpilih untuk ensefalitis HSV  jenis  1 
        adalah  asiklovir.  Asiklovir  adalah  analog   asiklik 
        guanosin  yang  menghambat sintesis DNA  viral  melalui 
        ikatan  pada polimerase DNA viral  setelah  fosforilasi 
        pada  sel yang terinfeksi. Terapi harus dimulai  segera 
        setelah  diagnosis,  karena  keterlambatan   dimulainya 
        terapi  secara  drastis mempengaruhi  kematian  pasien. 
        Dosis  30mg/kg per hari diberikan dengan  selang  8 jam 
        untuk paling tidak 10 hari. Kematian keseluruhan tampak 
        berkurang hingga 19-28 % dengan terapi asiklovir, nyata 
        kurang dari terapi vidarabin yang sekitar 50 %.  Faktor 
        yang  sama pentingnya dalam menindak pasien ini  adalah 
        pengontrolan  peninggian  TIK sehubungan  dengan  edema 
        frontotemporal.  Cairan  IV  harus  diamati  ketat  dan 
        penggunaan  hiperventilasi, steroid, diuretik  osmotik, 
        dan   pengamatan  TIK  semua  penting   dalam   rencana 
        pengobatan.
        
        
        
        KELAINAN JAKOB-CREUTZFELDT
        
        Pentingnya  kelainan ini dipraktek bedah  saraf  adalah 
        bahwa   ia  potensial  untuk   penyebaran   iatrogenik. 
        Kelainan  degeneratif  progresif ini adalah  satu  dari 
        ensefalopati  spongiform subakuta, pada  kelompok  mana 
        juga termasuk kuru pada manusia dan scrapie pada domba. 
        Kelainan  ini disebabkan 'prion', atau  'unconventional 
        agent'   yang  penularannya  tidak   diketahui.   Prion 
        menyebabkan  tidak  adanya respon  immun  dan  resisten 
        terhadap  tindakan yang biasanya  menginaktifkan  virus 
        seperti panas, radiasi ultraviolet, dan nuklease.
             Kelainan ini tersebar luas didunia, insidensi  1-2 
        per  sejuta  penduduk.  Sekitar  10-15 %  kasus  adalah 
        familial.  Gejala biasanya dimulai pada  dekade  kelima 
        atau  keenam. Secara umum dimulai dengan prodroma  yang 
        kabur dari kelelahan, kelainan langkah yang ringan, dan 
        defisit  memori. Ini diikuti demensia  progresif  cepat 
        bersamaan  dengan  ataksia,  kebutaan,  khoreoatetosis, 
        dan  paling khas mioklonus. Mati mengikuti  dalam  8-12 
        bulan.  Tak ada perubahan khas pada CSS atau  CT  scan. 
        Perubahan  patologis  adalah  atrofi  serebral   berat, 
        hilangnya   neuron,   astrositosis,   dan   vakuolisasi 
        sitoplasmik neuron dan astrosit.
             Perhatian  yang besar diberikan pada  pasien  yang 
        dioperasi   dengan  demensia  progresif.   Biopsi   dan 
        tindakan  pintas  ventrikuler dilakukan  hanya  setelah 
        pemikiran  matang. Instrumen bedah dan elektroda  dalam 
        yang  digunakan  pada setiap tindakan  terhadap  pasien 
        dengan  kelainan  yang  tak  jelas  etiologinya   harus 
        ditangani  dengan perhatian yang lebih besar dan  harus 
        diperlakukan khusus setelah bedah. Autoklav pada 121o C 
        (250o F) pada 15 psi untuk 1 jam atau perendaman  dalam 
        sodium hipokhlorida 5 % akan menginaktifkan agen ini.
        
        
        SINDROMA REYE
        
        Walaupun  bukan infeksi viral dari SSP,  sindroma  Reye 
        adalah  penyakit  yang berkaitan  dengan  viral  dimana 
        intervensi  bedah  saraf  sering  merupakan  penyelamat 
        hidup. Sindroma ini jarang, ensefalopati noninflamatori 
        bersamaan   dengan  infiltrasi   lemak   mikrovesikuler 
        hepatik  dan hiperammonemia berat yang  terjadi  hampir 
        seluruhnya  pada  anak-anak. Pertama  dijelaskan  tahun 
        1963,  sindroma ini khas dengan penyakit  viral  dengan 
        prodromal  tidak jelas, dengan beberapa  hari  kemudian 
        diikuti  muntah-muntah  hebat  serta  tabiat  abnormal, 
        memburuk   dengan  cepat  kedalam  koma.   Hepatomegali 
        biasanya  tampil, pemeriksaan laboratorium  menunjukkan 
        peninggian  ammonia  serum,  peninggian  AST  dan  ALT, 
        asidemia   laktik,  dan  waktu  protrombin   memanjang. 
        Pemeriksaan  CSS  tak  jelas.  Postur  deserebrasi  dan 
        hiperventilasi menjadi jelas disaat penyakit  menberat. 
        EEG memperlihatkan disfungsi neuronal luas, menunjukkan 
        beratnya  proses,  dan  ini  berguna  dalam  menentukan 
        tingkat  penyakit bila dikombinasikan  dengan  kriteria 
        klinis.
             Penyebab  penyakit dan etiologi kelainan  biokimia 
        belum begitu dimengerti namun dikira multifaktor.  Pada 
        hampir   semua  kasus,  fase  ensefalopatik   didahului 
        kelainan   respiratori   atau  chicken   pox.   Epidemi 
        influenza  B atau A serta varicella berhubungan  dengan 
        outbreak  sindroma Reye. Terdapat hubungan erat  antara 
        pemakaian  aspirin  saat gejala  viral  prodromal  yang 
        diikuti  timbulnya  sindroma Reye. Sejak  1980  terjadi 
        penurunan kasus walau terjadi epidemi influenza B  yang 
        hebat.  Penurunan  ini  berkaitan  dengan   peningkatan 
        kewaspadaan  masyarakat  akan  aspirin  dan   penurunan 
        pemakaian aspirin pada anak.
             Faktor  terpenting pada  patogenesis  ensefalopati 
        pada sindroma Reye adalah hiperammonemia. Bersihan hati 
        atas  ammonia  menurun karena  destruksi  enzim  siklus 
        urea. Kadar ammonia arterial bisa mencapai 1000ug/100mm 
        dan langsung berkaitan dengan kedalaman koma,  beratnya 
        abnormalitas  EEG, dan tingkat mortalitas.  Pemeriksaan 
        otak  memperlihatkan edema serebral  sitotoksik  dengan 
        pembengkakan tonjolan kaki astrosit dan tidak ada tanda 
        edema interstitial, inflamasi, atau demielinasi.
             Edema  serebral hampir umum pada kasus  fatal  dan 
        mortalitas  yang  tinggi  pada  sindroma  Reye   sangat 
        berhubungan  dengan peninggian TIK. Perbaikan koma  dan 
        pengurangan mortalitas telah diketahui bila  pengamatan 
        TIK  serta  usaha yang sungguh-sungguh  menurunkan  TIK 
        ditambahkan  pada protokol tindakan suportif.  Mannitol 
        efektif menurunkan TIK, sedang kortikosteroid tampaknya 
        tidak efektif.