SINDROMA IMMUNODEFISIENSI DIDAPAT
(AIDS)
Agen penginfeksi pada AIDS, HIV, adalah retrovirus RNA
beruntai satu dari kelompok lentivirus. HIV mengandung
nukleolid RNA padat, inti protein, permukaan gliko-
protein, dan reverse transcriptase enzyme. Enzim ini
adalah polimerase DNA yang mampu bergabung dengan
kromosom tubuh. Sekali berintegrasi, ia digunakan
sebagai pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus.
Integrasi membantu virus untuk lolos dari mekanisme
pertahanan tubuh. Lentivirus tidak mempunyai potensi
teratogenik seperti retrovirus onkogenik, namun mampu
menimbulkan lisis sel terinfeksi.
Infeksi HIV tampaknya terbatas pada sel yang
membawa reseptor permukaan CD4. Populasi limfosit T
helper adalah yang paling kaya akan reseptor CD4,
menjelaskan kemampuan tropisme dan lisis oleh HIV
terhadap sel ini. Monosit, makrofag, dan mikroglia juga
mengandung reseptor permukaan CD4, namun kepadatannya
sangat rendah. Ini mungkin menjelaskan mengapa makrofag
sering mengandung virus, namun jarang lisis, membuat
mereka efektif sebagai reservoir viral.
31-60 % pasien AIDS memiliki kelainan neurologis.
Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit kesistem saraf
tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua
jenis; infeksi opportunis sekunder atas immunosupresi
yang diinduksi oleh hilangnya immunitas sel-T, dan
infeksi HIV langsung yang tampil sebagai meningitis
atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis
HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.
INFEKSI OPPORTUNIS PADA SSP PADA AIDS
Infeksi opportunis atas sistema saraf pada AIDS bisa
oleh patogen viral atau nonviral. Sindroma viral
tersering adalah ensefalitis subakuta disebabkan sito-
megalovirus. Kelainan berikut, terjadi dengan frekuensi
makin jarang menurut urutannya, adalah ensefalitis
herpes simplex, leukoensefalopati multifokal progresif
(PML), dan mielitis/ensefalitis varicella zoster.
Infeksi nonviral tersering adalah meningo-
ensefalitis Toxoplasma gondii. Infeksi fungal mening
dan/atau otak sering juga terjadi. Paling sering, dalam
frekuensi makin rendah sesuai urutannya, Cryptococcus
neoformans, Candida albicans, Coccidioides immitis, dan
Aspergillus fumigatus. Infeksi bakterial intrakranial
jarang, namun meningoensefalitis Mycobacterium aviam-
intracellulare, M. tuberculosis, E. coli, dan Treponema
pallidum pernah dilaporkan. Harus diingat bahwa lesi
SSP pada AIDS dapat disebabkan proses neoplastik.
Limfoma SSP primer ditemukan sekitar 3 % dari pasien
AIDS, dan limfoma sistemik juga bisa menyebar pada
mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase ke otak
pernah dilaporkan.
Skema pengelolaan pasien AIDS dengan gejala
neurologis pertama dikemukakan oleh Levy. Beberapa lesi
ini bereaksi terhadap tindakan medikal spesifik;
toksoplasmosis terhadap pirimetamin dan sulfadiazin;
cryptococcus terhadap amfoterisin B; PML terhadap
sitarabin; serta limfoma terhadap terapi radiasi.
Diagnosis berdasar tampilan CT scan dan serologis darah
dan CSS tak tentu, dan diagnosis dipersulit oleh adanya
dua atau lebih proses yang terjadi bersamaan. Diagnosis
definitif tergantung pada biopsi akurat atas lesi yang
tampak dan penilaian CT scan serial terhadap terapi
spesifik. Terapi sesuai segera adalah paling penting
pada pasien dengan immunokompresi dan karenanya biopsi
segera lesi yang dapat dijangkau adalah terpenting.
Pemeriksaan MRI mungkin bermanfaat pada lesi yang tak
tercapai berdasar diagnosis CT scan, karena MRI mungkin
menunjukkan lesi yang terjangkau.
Proteksi personil medis selama tindakan bedah
antaranya pemakaian gaun dan sarung tangan saat
mengelola darah atau jaringan, pencucian tangan dengan
sempurna, dan pencegahan ketat terjadinya luka karena
skalpel atau jarum.
INFEKSI HIV PRIMER PADA SSP
Mekanisme masuknya HIV ke SSP belum jelas, namun
dipostulasikan sebagi sekunder terhadap viremia dan
penetrasi endotel atau via transport monosit yang
terinfeksi melalui sawar darah otak. Sekitar 30 %
pasien asimtomatis seropositif HIV dengan biakan CSS
positif HIV, kemungkinan virus menembus SSP pada awal
perjalanan infeksi dan sering berada dalam keadaan
asimtomatis. Saat ini sudah jelas bahwa infeksi HIV
primer berakibat spektrum dari kelainan klinis SSP,
meningitis, dan suatu demensia progresif yang disebut
kompleks demensia AIDS (ADC).
Dua jenis meningitis dapat terjadi pada infeksi
HIV; sindroma febril akuta yang serupa dengan mono-
nukleosis dalam beberapa hari atau minggu dari munculan
HIV inisial dan meningitis aseptik disekitar saat sero-
konversi. Gejala meningitis berkaitan dengan pleo-
sitosis CSS mononuklir dan biakan CSS positif HIV pada
50 % pasien. Kedua keadaan ini self limited.
ADC adalah sindroma neurologis khas dengan
kelainan kognisi, tampilan motor, dan tingkah laku.
Gejala biasanya berupa kesulitan konsentrasi dan memori
menuju demensia yang jelas dengan tingkat aurosal
intak. Gerakan bergantian cepat yang melambat,
hiperrefleksia, dan tanda-tanda lepasan frontal
biasanya dijumpai pada pemeriksaan, dengan imbalans,
ataksia, dan kelemahan aksial menjadi prominen pada
tingkat penyakit yang lebih parah. Tingkat akhir ADC
mendekati vegetatif dengan pandangan kosong, para-
paresis, dan inkontinens. Gambaran ADC adalah khas
demensia subkortikal seperti gangguan kognitif yang
tampak pada kelainan Parkinson dan Huntington. Ada dan
beratnya ADC paralel dengan beratnya kelainan sistemik
pasien AIDS. ADC jarang pada pasien seropositif sehat,
tampil pada 25-35 % dengan tampilan awal infeksi
opportunistik, dan timbul pada hampir setengah dari
pasien dengan AIDS lanjut. Perkembangan ADC yang
paralel ini, walau HIV tampil awal pada pada sistema
saraf, menunjukkan bahwa walau HIV adalah neurogenik,
ia relatif non patogenik terhadap otak disaat tiadanya
immunosupresi.
Temuan patologis, karakteristiknya sudah diketahui
dengan baik. Tanda khas ensefalitis HIV adalah nodul
mikroglia dan sel raksasa multinuklir. Sel SSP yang
dipastikan memperlihatkan antigen HIV 1 hanya makrofag,
mikroglia, dan sel raksasa multinuklir. Demielinasi
dengan tiadanya perubahan inflamatori (leukoensefalo-
pati), seperti juga mielopati vakuoler, juga umum
dijumpai. Tiadanya infeksi sitolitik dari sel saraf,
oligodendrosit, dan astrosit memusatkan perhatian pada
kemungkinan peran mekanisme indirek pada disfungsi otak
berhubungan baik dengan virus maupun dengan toksin
'cellcoded'.
CT scan dan MRI relatif tidak sensitif pada suatu
perubahan ensefalitis HIV hingga penyakit betul-betul
memberat. Perubahan leukoensefalopatik bisa ditampilkan
pencitra ini; MRIjelas lebih sensitif dari CT scan.
Atrofi otak sering merupakan temuan lanjut.
PEMERIKSAAN DAN TERAPI INFEKSI HIV
Saat ini tindakan pemeriksaan untuk kegunaan klinis
ditekankan pada pelacakan antibodi HIV pada pasien dan
darah donor. Tes skrining ini adalah 'enzyme linked
immunosorbant assay (ELISA)', sensitifitasnya 99.7 %
dan spesifisitasnya 98.5 %. Tes pengkonfirmasi, tehnik
Western blot dengan spesifisitas lebih besar, dilakukan
bila dijumpai ELISA dengan seropositif. Pemastian sero-
positif HIV dibuat bila paling tidak dua antibodi HIV
diisolasi pada Western blot, yang mana memperlihatkan
satu antibodi 'indeterminate'. FDA mensyaratkan darah
donor harus negatif pada ELISA dan Western blot untuk
didonasikan. Saat antara infeksi dan tanda pertama
dijumpainya seropositif antibodi disebut 'window
period' dan biasanya antara 6-8 minggu. Karenanya
risiko donor darah seronegatif terinfeksi serta dapat
menularkan ada. Penelitian terakhir memperlihatkan
risiko itu sangat kecil; hanya satu biakan positif HIV
dijumpai pada 61.000 unit darah segar yang ELISA
seronegatif. Beberapa tes yang lebih baru, yang melacak
antigen HIV, tes penangkapan antigen, dan yang lain
melacak asam nukleik HIV, metoda reaksi rantai poli-
merase. Kegunaan tes-tes ini dalam skrining belum
jelas.
Terapi standar untuk AIDS adalah 3'-azido-3'-de-
oksitimidin (zidofudin, AZT). AZT bermakna mengurangi
infeksi opportunistik serta mortalitas pada pasien
dengan infeksi HIV, namun tidaklah mengobati. AZT
menyebabkan mielosupresi berat dengan efek samping
konstitusional, mengakibatkan terbatasnya dosis. Agen
lain, seperti 2',3'-dideoksisitidin (ddC) dan 2',3'-
dideoksinosin (ddI), dicoba untuk mengobati pasien
dengan infeksi HIV. Terapi paling efektif untuk infeksi
HIV mungkin kombinasi AZT dan terapi lain: ddC, ddI,
interferon a, serta asiklovirinisial. Trial terapi
kombinasi tengah dilakukan dan memungkinkan perbaikan
manfaat dan penurunan efek samping.