ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

2. CEDERA KEPALA
A. Penyebab
B. Klasifikasi
C. Pengelolaan Cedera Kepala
D. Pertimbangan untuk Operasi
E. Obat-obat Terapeutik
F. Pemantauan dan Pengontrolan T.I.K
G. Pengelolaan Cedera Penyerta
H. Sekuele Cedera Kepala
I. Prognosis
J. Konklusi
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 

        8. SEKUELE CEDERA KEPALA
        
        Cedera  SSP adalah proses yang dinamis. Umumnya  diakui 
        bahwa makin berat impak yang dialami, makin buruk hasil 
        akhir yang akan terjadi. Mungkin kurang disadari dengan 
        baik, kenyataan bahwa segera setelah cedera awal, vari- 
        asi yang luas dari proses sekunder mulai memainkan  pe- 
        rannya.  Sekuele ini dapat memberikan impak yang  besar 
        terhadap tingkat pemulihan yang akan terjadi. Tidak ja- 
        rang  menyaksikan dua penderita dengan  cedera  inisial 
        serupa  memiliki outcome sangat berbeda,  paling  tidak 
        sebagian  adalah akibat  komplikasi.  Karena  kerusakan 
        sekunder  tertentu terjadi pada fase  akut,  komplikasi 
        lain  timbul atau ditemukan pada minggu atau bulan  be- 
        rikutnya.
        
        
        Cedera Saraf Kranial
        
        Saraf Kranial I
        
        Insidens disfungsi olfaktori setelah cedera kepala ber- 
        variasi antara 2 hingga 38 persen. Kerusakan sistem ol- 
        faktori terjadi dalam frekuensi yang besar pada bentur- 
        an oksipital, namun insidens sering lebih tinggi  sete- 
        lah cedera frontal. Ia adalah saraf kranial yang paling 
        sering  terganggu setelah cedera kepala  minor.  Temuan 
        olfaktori yang terganggu ini mungkin akibat cedera  lo- 
        kal atau diffus terhadap regio orbitofrontal dan tempo- 
        ral. Penelitian binatang digunakan sebagai patokan  ol- 
        faksi pada lobus temporal. Anosmia terjadi pada  hampir 
        50  persen pasien yang disertai rinore akibat  fraktura 
        fossa  anterior dan pada sekitar 50 persen darinya  me- 
        merlukan  perbaikan secara operatif. Pemulihan  spontan 
        fungsi olfaksi mungkin terjadi pada lebih dari seperti- 
        ga  pasien pada periode beberapa hari hingga lima tahun 
        setelah cedera.
        
        Saraf Kranial II
        
        Cedera  sistem visual terjadi pada 5 persen dari  semua 
        pasien  yang mengalami cedera kepala, tidak peduli  be- 
        ratnya.  Kehilangan penglihatan setelah trauma  mungkin 
        terjadi tanpa jelas adanya cedera pada mata. Ini  tipi- 
        kal  akibat benturan pada daerah ipsilateral,  biasanya 
        frontal, terkadang temporal, dan jarang-jarang  oksipi- 
        tal. Ia mungkin terjadi setelah cedera kepala minor. 
             Reaksi pupil direk terhadap cahaya adalah  indika- 
        tor awal yang dapat dipertanggung-jawabkan atas  berat- 
        nya  cedera saraf optik. Pemeriksaan oftalmoskopik  dan 
        sinar-x jelas tidak beguna. Cedera mata unilateral  da-  
        pat  diidentifikasikan dengan adanya  penurunan  hingga 
        tiadanya reaktifitas pupilari terhadap stimulasi  caha- 
        ya, dengan bertahannya reaksi konsensual (pupil  Marcus 
        Gunn).  Mata yang tidak terkena mempertahankan  refleks 
        cahaya  normal namun respons  konsensualnya  terganggu. 
        Reaksi ini menunjukkan lesi aferen, biasanya pada saraf 
        optik, pada jalur refleks cahaya pupilari.
             Visual evoked potentials bisa memberikan informasi 
        objektif yang bernilai bahkan selama koma, karena  koo- 
        perasi pasien tidak diperlukan. Prosedur ini lebih aku- 
        rat dari pemeriksaan klinik pada diagosis dini disfung- 
        si  visual retrobulber. CT scan terutama bernilai  pada 
        pendugaan integritas kanal optik.
             Ketika koma berlalu, pasien harus dinilai persepsi 
        cahayanya. Evaluasi serial harus dilakukan terhadap  a- 
        danya fiksasi visual seperti juga untuk reaksi  lokali- 
        sasi dan penarikan terhadap rangsangan. Respon  optoki- 
        netik  mungkin membuktikan tersisanya  tingkat  akuitas 
        20/200 pada paling sedikit disebagian lapang pandang.
             Istilah  'kebutaan kortikal' hanya diberikan  pada 
        pasien yang memperlihatkan amaurosis dengan pupil  yang 
        reaktif,  tidak untuk pasien yang  mengalami  hilangnya 
        sebagian lapang pandang. Kebanyakan pasien dengan kebu- 
        taan kortikal akan mengalami sedikit perbaikan kemampu- 
        an visual melalui sistem jalur visual sekunder. Respons 
        pasien  terhadap stimuli bergerak berintensitas  tinggi 
        harus  dinilai.  Pasien dengan buta kortikal  yang  me- 
        nyangkal  kehilangan visual (Sindroma  Anton)  biasanya 
        diderita  penderita infarksi lobus oksipital  bilateral 
        sekunder atas kompresi arteria serebral posterior  pada 
        tepi tentorial disebabkan oleh herniasi.
        
        
        Saraf Kranial III,IV, dan VI
        
        Disfungsi otot ekstra-okuler menyebabkan  diplopia  dan 
        mungkin akibat dari disfungsi motor sentral atau  peri- 
        feral.  Diplopia mungkin menimbulkan  kebingungan  pada 
        pasien  yang bangun dari koma. Pembebatan mata  mungkin 
        menghilangkan citra ganda, namun bila pasien mampu men- 
        supres  citra kedua, bebat mata harus dihentikan.  Yang 
        umum dilakukan adalah penggunaan bebat secara berganti- 
        an antara mata yang terkena dan yang tidak adalah dalam 
        usaha mencegah ambliopia. Namun, walau ambliopia  tidak 
        terjadi pada populasi dewasa, beralasan untuk  membebat 
        mata  yang sehat untuk merangsang aktivitas motor  yang 
        maksimal dari mata yang rusak.
             Postur kepala abnormal mungkin berguna untuk meng- 
        kompensasi fungsi motor ekstra-okuler yang paretik. Ini 
        umumnya  terjadi pada paresis saraf kranial  IV.  Saraf 
        kranial keempat tidak hanya depresor namun juga  intor- 
        ter mata; pasien cenderung mengkompensasi dengan  meng- 
        angkat kepala. Usaha menormalkan posisi kepala  mungkin 
        mencegah  pasien terhadap penglihatan binokuler.  Peng- 
        angkatan kepala mungkin juga akibat dari nistagmus, ka- 
        rena stabilisasi kepala pada bahu mungkin menghilangkan 
        nistagmus.  Gangguan lapang pandang juga sering  menye- 
        babkan pemutaran kepala dalam usaha menyesuaikan lapang 
        pandang yang tersisa sebaik mungkin.
             Resolusi spontan parese gerak mata terjadi  dengan 
        frekuensi yang cukup banyak. Parese saraf kranial  III, 
        kelemahan rektus superior residual mungkin menetap, dan 
        pasien  mungkin kadang-kadang  mengeluh diplopia.  Lesi 
        saraf  kranial IV membaik spontan pada 65  persen  pada 
        kasus  unilateral dan 25 persen pada  kasus  bilateral. 
        Walau beberapa memberikan alasan atas koreksi  operatif 
        pada  paralisis  yang  permanen  semata-mata  kosmetik, 
        Fells dan Waddell memperlihatkan bahwa restorasi  bino- 
        kularitas dapat terjadi pada kebanyakan kasus.
        
        
        Saraf Kranial V
        
        Cedera  saraf  trigeminal relatif jarang.  Pasien  yang 
        memperlihatkan kornea yang tidak sensitif, yang  ditun- 
        jukkan  oleh tidak adanya refleks korneal,  dan  adanya 
        paresis  saraf  fasial (terutama bila  cabang  lakrimal 
        terkena)  mempunyai risiko yang besar terhadap  ulsera- 
        si korneal neurotropik dan kemungkinan kehilangan peng- 
        lihatan. Pasien ini harus dipikirkan untuk segera  men- 
        dapatkan tarsorafi protektif. Lubrikan protektif  digu- 
        nakan sebagai bagian perawatan rutin. Produksi air  ma- 
        ta, yang diatur cabang lakrimal saraf fasial, bisa  di- 
        nilai dengan tes air mata Schirmer.
        
        
        Saraf Kranial VII
        
        Status saraf fasial harus dicatat pada pemeriksaan per- 
        tama. Bila paralisis adalah dengan onset segera, dan CT 
        scan memperlihatkan terganggunya kanal fasial,  eksplo- 
        rasi segera untuk dekompresi saraf mungkin harus  dila- 
        kukan.  Saraf fasial melintas kanal tulang  yang  lebih 
        panjang  dibanding saraf kranial lainnya dan  karenanya 
        sangat terancam terhadap cedera. Sepuluh hingga 30 per- 
        sen fraktura longitudinal tulang temporal dan 30 hingga 
        50 persen fraktura transversa berakibat palsi saraf fa- 
        sial.
             Bila  paralisis terbentuk terlambat,  prognosisnya 
        lebih  baik secara nyata bila paralisis  tidak  bilate- 
        ral, dan pasien harus mendapatkan tes saraf fasial  se- 
        cara serial. Tes neurofisiologik termasuk konduksi  sa- 
        raf serta elektromiografi akan memperlihatkan  beberapa 
        tanda perbaikan dalam delapan minggu, bila pemulihan a- 
        kan terjadi. Pada setiap kasus eksplorasi mungkin tidak 
        perlu, karena pemulihan lengkap terjadi pada 75  persen 
        kasus dan perbaikan parsial pada 15 persen.
        
        
        Saraf Kranial VIII
        
        Telinga dalam  adalah organ sensori yang paling  sering 
        terkena  setelah cedera kepala berat.  Vertigo  mungkin 
        terjadi  sebagai akibat kerusakan  aparatus  vestibuler 
        atau  konkusi labirintin. Hilangnya pendengaran  secara 
        primer adalah konduktif sebagai akibat disrupsi  rantai 
        osikuler atau darah dalam telinga tengah. Rantai osiku- 
        ler paling sering mengalami disrupsi pada sendi inkudo- 
        stapedial.  Intervensi  bedah dan  pemulihan  prostetik 
        komponen yang mengalami dislokasi adalah penting  untuk 
        memulihkan pendengaran.
             Fraktura transversa bagian petrosus tulang  tempo- 
        ral biasanya menyebabkan kehilangan pendengaran  senso- 
        rineural. Kapsula labirintin umumnya disrupsi,  beraki- 
        bat kerusakan vestibuler dan kokhlear yang berat,  ter- 
        masuk kerusakan fungsional kanal semisirkuler, utrikel, 
        dan sakula. Karena garis fraktura pada fraktura  trans- 
        versa adalah perpendikular terhadap tulang fasial, tiap 
        saraf akan rusak pada 50 persen pasien dengan  fraktura 
        ini.
             Penilaian respons okulovestibuler mungkin memberi- 
        kan informasi dini mengingat status dari sistem, dan e- 
        lektronistagmografi mutakhir mungkin memastikan ganggu- 
        an end organ dari saraf vestibuler. Tidak ada tes  yang 
        meyakinkan  untuk fungsi saraf vestibuler sentral  yang 
        tersedia.  Brainstem auditory-evoked  potentials  dapat 
        memberikan peran nyata untuk menilai keutuhan saraf au- 
        ditori dan nukleus kokhlear, namun hanya memberikan se- 
        dikit informasi atas struktur atau fungsi dari komponen 
        saraf vestibuler.
        
        
        Sindroma Locked-in
        
        Istilah  ini serta 'mutisme akinetik' digunakan  secara 
        sinonim. Kerusakan jalur kortikobulber dan  kortikospi- 
        nal  diventral  pons mengakibatkan   keadaan  de-eferen 
        yang khas dengan tetraplegia dan mutisme.  Pasien tetap 
        waspada dan responsif, dan fungsi kortikal tinggi tetap 
        tidak terganggu.
             Jalur okuler supranuklir tetap utuh hingga kontrol 
        gerak  mata paling tidak untuk sebagian tetap  terjaga, 
        biasanya pada bidang vertikal dan terkadang horizontal. 
        Komunikasi non oral karenanya tetap memungkinkan,  baik 
        dengan gerak mata maupun kedipan, dan penggunaan sistem 
        interface yang memadai dapat memberikan komunikasi yang 
        memadai untuk menunjukkan kemampuan kognitif yang  ter- 
        sisa. Sindroma ini sebagian besar diakibatkan oleh  in- 
        farksi vaskuler hingga karenanya tidak sering ditemukan 
        sebagai akibat trauma. Sindroma locked-in harus  betul-
        betul dibedakan dari keadaan vegetatif dimana tidak da- 
        pat lagi melihat dan merasa, walau pulihnya siklus  ti- 
        dur-bangun dan tampilan deseptif dari pemulihan  neuro- 
        logis ('koma vigil') sering memberi keluarga pasien pe- 
        rasaan optimis yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
        
        
        Neuropati Periferal
        
        Polineuropati  dilaporkan sebagai komplikasi dini  dari 
        sepsis dan kelainan kritis lainnya hingga pada 50  per- 
        sen  pasien di ICU. Komplikasi ini terkadang  ditemukan 
        secara klinis pada pasien cedera kepala.  Polineuropati 
        biasanya berkurang bila kelainan kritis terkontrol. Ne- 
        uropati  yang berkaitan dengan fraktura  dapat  terjadi 
        pada  daerah fraktura. Neuropati kompresi dapat  diaki- 
        batkan immobilitass dan tekanan terlokalisasi pada  sa- 
        raf diatas tonjolan tulang. Setiap kompresi paling  se- 
        ring  mengenai saraf ulnar dan peroneal.  Bila  anggota 
        tetap  flaksid, ada kemungkinan neuropati. Pada  pasien 
        tidak sadar, penilaian fisik dapat sangat terbatas, dan 
        tes konduksi saraf mungkin bernilai.
             Pleksopati mengenai beberapa kelompok otot, hingga 
        tonus lebih kecil dari yang diharapkan. Cedera langsung 
        pada bahu atau pelvis mungkin berakibat cedera  regang, 
        kontusi, kompresi, atau laserasi pleksus brakhial  atau 
        lumbosakral.  Pola flaksiditas anggota tubuh harus  di- 
        waspadai untuk menilai kembali kekuatan mekanis  cedera 
        semula dan untuk memikirkan tes elektrofisiologik  yang 
        pantas. Bila fraktura tulang terjadi, pembentukan kalus 
        yang  hebat  mungkin menekan saraf  berdekatan,  dengan 
        timbulnya cedera saraf yang terlambat.
        
        
        Hidrosefalus Pasca Trauma
        
        
        Definisi
        
        Sindroma hidrosefalus pasca trauma (Posttraumatik  hyd- 
        rocephalus, PTH) harus ditentukan baik dengan  kriteria 
        radiologis  maupun neurologis, karena  setiap  kelainan 
        harus  ada  untuk menegakkan diagnosis.  Dalam  istilah 
        yang sederhana, PTH mungkin dijelaskan sebagai dilatasi 
        ventrikuler  tanpa pembesaran sulkal, berkaitan  dengan 
        sindroma  klinis yang mungkin berragam dari koma  dalam 
        hingga  gambaran  yang khas dari  hidrosefalus  tekanan 
        normal: demensia, ataksia, dan inkontinensia urinari.
        
        
        Insidens
        
        Walau  dilatasi  ventrikuler adalah  temuan  yang  umum 
        dijumpai setelah cedera kepala, terutama bila cederanya 
        berat, PTH yang murni relatif jarang. Insidens dilatasi 
        ventrikuler  pasca trauma bervariasi dari 29 hingga  72 
        persen. Nyatanya, berbeda dalam metoda diagnostik,  de- 
        finisi pembesaran ventrikuler, dan karakteristik pasien 
        harus diperhitungkan atas perbedaan yang luas ini. Kis- 
        hore menentukan ventrikulomegali yang bermakna  sebagai 
        tampilan  distensi tanduk anterior  ventrikel  lateral, 
        pembesaran tanduk temporal serta ventrikel ketiga,  dan 
        sulsi normal atau tidak ada. Ia dari CT scan  menemukan 
        29 persen pasien dengan cedera kepala berat ventrikulo- 
        megali timbul dalam tahun pertama, dan hampir  semuanya 
        terbentuk dalam dua minggu pertama.
             Cardoso  dan Galbraith melaporkan 0.7 persen  dari 
        pasien dengan cedera kepala berat mendapatkan  hidrose- 
        falus  simtomatik, dimana 47 persen diantaranya  sangat 
        menbaik  dan 24 persen sedikit membaik setelah  operasi 
        pintas.
             Pemeriksaan CT scan selama tiga bulan setelah  ce- 
        dera kepala , Gardeur mendapatkan pembesaran  ventriku- 
        ler pada 78 persen pasien. Dongen dan Braakman melapor- 
        kan bukti atrofi serebral dari CT scan sebanyak 86 per- 
        sen  pada pasien yang diamati satu hingga  empat  tahun 
        setelah cedera kepala tertutup yang berakibat koma  pa- 
        ling tidak enam minggu. Levin mempelajari area  ventri- 
        kel  lateral pada CT scan, dan  mendapatkan  pembesaran 
        pada 72 persen kasus.
             PTH  harus  dibedakan dari atrofi  serebral  pasca 
        trauma. Yang pertama adalah istilah yang mempunyai arti 
        keadaan yang aktif dan dapat diobati, sedang yang tera- 
        khir  menggambarkan  resorpsi parenkhim  otak  sekunder 
        terhadap cedera jaringan yang difus. Sayangnya perbeda- 
        an ini tidak selalu tampak jelas. CT scan membuat diag- 
        nosis  lebih mudah dan menurunkan insidens  PTH  hingga 
        antara 1 hingga 8 persen, dibanding 21 hingga 36 persen 
        pada era pneumoensefalogram.
        
        
        Patofisiologi
        
        Umumnya dipercaya bahwa PTH diakibatkan gangguan aliran 
        dan absorpsi CSS. Walau bukti radiologis dan  patologis 
        menunjukkan hambatan ini terjadi disekitar  konveksitas 
        serebral,  sangat mungkin bahwa bendungan granulasi  a- 
        rakhnoid  oleh darah subarakhnoid berperan. Pada  semua 
        kasus,  perdarahan subarakhnoid tampaknya menjadi  gam- 
        baran yang umum atas dua hipotesis ini.
        
        
        Gambaran Klinis
        
        PTH mungkin muncul dengan berbagai cara. Seperti  dila- 
        porkan  Kishore, sebagian besar sindroma  muncul  dalam 
        dua minggu sejak cedera. Ada laporan kasus tentang pem- 
        besaran ventrikular dalam tujuh jam sejak cedera, bera- 
        kibat pemburukan yang cepat dari tingkat kesadaran ser- 
        ta  herniasi  dini. Namun tampilan  yang  lebih  lambat 
        mungkin  saja terjadi. Nyatanya trauma yang sudah  lama 
        lebih sering dilaporkan pada kasus hidrosefalus tekanan 
        normal (NPH).
             PTH mungkin tampil sebagai NPH klasik, dengan  de- 
        mensia, ataksia, dan inkontinensia urinari. Namun peru- 
        bahan tingkat kesadaran dan bahkan koma mungkin terjadi 
        sebagai bagian dari sindroma. Karena cedera kepala  be- 
        rat sering berakibat disfungsi neurologis luas yang be- 
        rat,  gambaran tersebut mungkin sulit untuk  dipisahkan 
        dari akibat cedera otak pada fase akuta. Pemantauan TIK 
        serta CT scan serial berguna pada keadaan ini. Pada fa- 
        se pemulihan yang lebih kronik, perburukan tingkat  ke- 
        sadaran,  penurunan  kapasitas fungsional,  atau  semua 
        gambaran NPH harus dianggap sebagai pertanda.  Manifes- 
        tasi tidak khas, seperti masalah emosi, respon  eksten- 
        sor  bilateral,  kejang, dan spastisitas  tungkai  juga 
        pernah dilaporkan.


        Gambaran Radiologis
        
        Kishore  menggunakan kriteria CT scan untuk  menentukan 
        hidrosefalus: (1) tampilan tanduk frontal ventrikel la- 
        teral yang distensi; (2) pembesaran tanduk temporal dan 
        ventrikel  ketiga; (3) sulsi normal atau tak  ada;  dan 
        (4) bila ada,  pembesaran sisterna basal dan  ventrikel 
        keempat. Lusensi periventrikuler digunakan sebagai  in- 
        dikator  hidrosefalus komunikans.  Ventrikulomegali  ex 
        vacuo atau atrofi khas dengan adanya pembesaran ventri- 
        kuler yang difus dengan sulsi yang jelas dan tidak  ada 
        lusensi periventrikuler. Levin menggunakan area ventri- 
        kuler  yang diukur dari CT scan untuk  mempelajari  hu- 
        bungan antara ventrikulomegali dengan defisit neuropsi- 
        kologik setelah cedera kepala tertutup. Walau tehnik i- 
        ni jelas paling akurat untuk menaksir ukuran  ventriku- 
        ler,  tidak ada metoda neurologis yang dapat  dipercaya 
        yang  dapat memperkirakan outcome setelah operasi  pin- 
        tas.
             Edema  periventrikuler diketahui sebagai  gambaran 
        patologis  dan radiologis dari hidrosefalus.  Normalnya 
        cairan dari parenkhim otak mengalir melintas lapisan e- 
        pendimal  keventrikel. Pada hidrosefalus,  arah  normal 
        tersebut  berbalik, dan cairan bergerak dari  ventrikel 
        kesubstansi  putih  periventrikuler. Karena  citra  MRI 
        pembebanan T2 sangat peka terhadap air, diharapkan teh- 
        nik ini dapat memastikan penderita dengan  hidrosefalus 
        simtomatis.  Sayangnya cara ini tidak cukup  sederhana. 
        Zimmerman melaporkan dari penelitian MRI dari 365 pasi- 
        en adanya berbagai tingkat hiperintensitas  periventri- 
        kuler (HPV, PVH) pada 93.5 persen kasus, tanpa  memper- 
        dulikan  diagnosis. Dari enam pasien yang  dengan  NPH, 
        dua memiliki HPV ringan yang tidak khas dan empat memi- 
        liki  HPV yang nyata, namun semua kasus  memiliki  fosi 
        hiperintens substansi putih multipel (diduga suatu  in- 
        farksi). Tingkat HPV serupa dengan yang tampak pada pa- 
        sien  tua yang tidak dengan hidrosefalus dan  karenanya 
        tidak dimasukkan kedalam kriteria untuk operasi pintas.
        
        
        Seleksi Pasien Untuk Operasi Pintas
        
        Tak ada gambaran tunggal dari klinis, radiologis,  atau 
        fisiologis  yang dapat memberikan kriteria yang  akurat 
        dan  pasti untuk operasi pintas (shunting). Pada  keru- 
        sakan otak yang berat yang mendasarinya, shunting, bah- 
        kan  bila ada indikasi, mungkin tidak memperbaiki  out- 
        come fungsional secara bermakna. Selain itu setiap  pa- 
        sien harus dinilai secara hati-hati. Operasi pintas da- 
        pat memberikan hasil akhir yang sangat berbeda pada se- 
        jumlah kasus. Sekitar 50 persen kasus dengan  ventriku- 
        lomegali  jelas membaik setelah shunting.  Jika  temuan 
        klinis dan radiologis ditemukan dini, setiap usaha  ha- 
        rus dilakukan untuk mendapatkan perkiraan atas  tekanan 
        aksis  kraniospinal. Bila pasien dalam pementauan  TIK, 
        informasi siap tersedia. Bila tidak, pungsi lumbar  ha- 
        rus  dilakukan dengan pasien terbaring datar pada  sisi 
        tubuhnya, dan TIK dicatat saat pasien santai dan  abdo- 
        men tidak tertekan.  Tidak ada patokan tekanan yang su- 
        dah  baku untuk shunting pada PTH. Bila tekanan  lumbar 
        CSS  lebih  rendah dari 136 mmH2O (10  mmHg),  shunting 
        mungkin tidak membantu, namun bila lebih dari 276 mmH2O 
        (20 mmHg), mungkin sangat bermanfaat. Bila tekanan  di- 
        antara keduanya, bacaan pantauan yang hanya sekali  ti- 
        dak  akan memberikan jawaban yang pasti. Pengaliran  20 
        hingga  30 ml CSS terkadang berhasil secara nyata  mem- 
        perbaiki keadaan klinis walau transien, jadi suatu isa- 
        rat yang menyokong untuk melakukan shunting. 
             Bila  tekanan lumbar normal, operasi pintas  dipi- 
        kirkan bila terdapat gambaran klasik NPH. Salmon  mene- 
        mukan bahwa lebih dari setengah pasien pasca trauma de- 
        ngan sindroma ini membaik dengan shunting. Bila gambar- 
        annya  tidak jelas, periode singkat (24 hingga 48  jam) 
        pemantauan TIK mungkin membantu. Suatu penelitian  mem- 
        perlihatkan  bahwa  pasien dengan TIK  yang  bervariasi 
        membaik dengan operasi pintas, namun yang memiliki  TIK 
        yang  mendatar secara menetap tidak.  Brgesen,  Gjerris 
        dan  Srensen  melaporkan  bahwa  data  TIK  saja  tidak 
        membantu pada pasien dengan NPH 'sejati' yang  memiliki 
        TIK rata-rata tidak melebihi 12 mmHg. Mereka melaporkan 
        bahwa keadaan outflow CSS adalah pengukuran yang  lebih 
        sesuai,  namun metoda ini tidak digunakan  secara  luas 
        pada praktek klinis.
             Sisternografi  digunakan luas pada masa yang  lalu 
        dalam  menilai pasien dengan NPH.  Bila radionukleotida 
        disuntikkan  kerongga  subarakhnoid  lumbar,  normalnya 
        mengalir kekonveksitas serebral dan diabsorpsi  kesinus 
        vena  major melalui granulasi arakhnoidal.  Bila aliran 
        normal CSS diatas konveksitas terhambat, isotop kembali 
        keventrikel  dalam sejam sejak penyuntikan dan  menetap 
        disana selama 24 hingga 72 jam. Walau refluks ventriku- 
        ler ini diperkirakan khas untuk NPH, hubungannya dengan 
        perbaikan  setelah operasi pintas  sedang-sedang  saja. 
        Sisternografi dengan penaksiran gambaran klinis, dikom- 
        binasikan dengan pemantauan tekanan lumbar atau  intra- 
        kranial  serta pemeriksaan  neuropsikologis,  membentuk 
        dasar  untuk pemilihan pasien yang akan dioperasi  pin- 
        tas.
        
        
        Fistula Cairan Serebrospinal
        
        
        Definisi
        
        Fistula CSS traumatika didefinisikan sebagai  kebocoran 
        CSS yang terjadi sebagai akibat cedera kepala.  Fistula 
        mungkin tampil sebagai rinore, otore, atau  pneumosefa- 
        lus.
        
        
        Insidens
        
        Terjadi  pada 0.25 hingga 3.0 persen dari semua  pasien 
        dengan  cedera  kepala dan 5 hingga 11  persen  darinya 
        dengan fraktura dasar tengkorak. Otore CSS terjadi pada 
        7  persen dari fraktura dasar tengkorak.  Pneumosefalus 
        terjadi pada sepertiga pasien denga rinore (Narayan).
        

        Rinore CSS
        
        Terjadi  pada sekitar 25 persen pasien dengan  fraktura 
        basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal 
        (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari  tulang 
        frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang  mela- 
        lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian  petrosa 
        tulang  temporal, CSS mungkin memasuki tuba  eustachian 
        dan  bila membran timpani intak, mengalir dari  hidung. 
        Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada  ham- 
        pir  80 persen kasus. Cairannya seperti air dan  nonmu- 
        koid, serta mengandung glukosa. Konsentrasi glukosa  30 
        mg/100  ml atau lebih besar sangat  mencurigakan  suatu 
        CSS. Dextrostix dan sejenisnya tak dapat dipercaya  ka- 
        rena  sekresi nasal normal mungkin  berreaksi  positif, 
        namun elektroforesis protein digabung dengan immunofik- 
        sasi atas transferin isoform berguna dalam  mengidenti- 
        fikasi CSS.
             Beberapa  aspek pengelolaan rinore CSS tetap  kon- 
        troversial, termasuk penggunaan antibiotik profilaktik, 
        kapan harus dioperasi, dan peran pengaliran lumbar.  U- 
        mumnya  80 persen fistula berhenti mengalir  dalam  se- 
        minggu. Pasien harus dirawat dalam posisi yang menghen- 
        tikan atau meminimalkan kebocoran. Bila kebocoran tidak 
        berhenti setelah tiga hari, pengalir subarakhnoid  lum- 
        bar harus diinsersikan dan mengalirkan CSS setinggi ba- 
        hu untuk tiga hingga tujuh hari. Bila kebocoran  berta- 
        han selama 10 hingga 14 hari, harus dipertimbangkan  o- 
        perasi, dan pemerikasaan diagnostik dilakukan untuk me- 
        nentukan tempat kebocoran. Sisternografi CT scan Iohek- 
        sol (Omnipaque) merupakan pemeriksaan pilihan untuk di- 
        agnostik. Pada kebocoran CSS intermiten pemeriksaan ini 
        mungkin memberikan hasil negatif palsu. Berbagai  manu- 
        ver,  dan penyuntikan salin kesubarakhnoid lumbar  mem- 
        perkuat kemungkinan mendeteksi tempat kebocoran.
             Bila  tempat kebocoran telah diketahui,  dilakukan 
        operasi perbaikan melalui intrakranial (intra atau eks- 
        tradural)  atau pendekatan  transsfenoidal,  tergantung 
        lokasi kebocoran. Penciuman mungkin hilang akibat cede- 
        ra  inisial, terutama pada fraktura  tulang  ethmoidal. 
        Insidens  anosmia mungkin mencapai 80 persen.  Perbaik- 
        an  lantai fossa frontal intrakranial berkaitan  dengan 
        insidens yang tinggi dari anosmia, bahkan bila pencium- 
        an normal sebelum operasi. Tehnik perbaikan ekstradural 
        mungkin  menguntungkan karenanya. Ukuran defek  mungkin 
        kecil dan operator mengahadapi kesulitan menemukan  ro- 
        bekan dural. Dura yang diliofilisasi, perikranium, atau 
        fasia lata sering digunakan untuk menambal defek. Seba- 
        gai perekat tambahan digunakan perekat fibrin.
        
        
        Otore CSS
        
        Terjadi  bila tulang petrosa mengalami  fraktura,  dura 
        mater  dibawahnya serta arakhnoid robek, serta  membran 
        timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa  diklasifi- 
        kasikan menjadi longitudinal dan transversal,  berdasar 
        hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid  pet- 
        rosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien 
        dengan  fraktura longitudinal tampil dengan  kehilangan 
        pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari teli- 
        nga  luar. Pasien dengan fraktura  transversal  umumnya 
        memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan ke- 
        hilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan la- 
        birin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal  au- 
        ditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pa-  
        sien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali  le- 
        bih sering dibanding yang transversal, namun kurang  u- 
        mum menyebabkan cedera saraf fasial.
             Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan  pasien 
        dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore 
        mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada  ri- 
        nore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhen- 
        ti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.
        
        
        Antibiotik Profilaktik
        
        Patokan  antibiotik profilaktik pada pengelolaan  otore 
        dan  rinore CSS tetap tak jelas karena kurangnya  data, 
        hingga penggunaannya berbeda pada berbagai senter.
        
        
        Komplikasi Vaskuler Pasca Trauma
        
        
        Definisi
        
        Komplikasi  vaskuler  pasca trauma bisa  mengenai  baik 
        sistem arterial ataupun vena dan bisa terjadi ekstra a- 
        tau intrakranial. Biasanya ditemukan pada  saat kejadi- 
        an inisial, atau segera setelah cedera berlangsung, na- 
        mun  terkadang tidak tampil hingga beberapa  hari  atau 
        bahkan beberapa bulan sejak cedera.
        
        
        Insidens
        
        Insidens  komplikasi vaskuler yang murni berkaitan  de- 
        ngan cedera kepala tak diketahui karena terbatasnya pe- 
        nelitian.  Selanjutnya dengan angiografi serebral  yang 
        benar-benar terbatas untuk pemeriksaan rutin pada pasi- 
        en  cedera  kepala sejak hadirnya CT scan,  basis  data 
        tidak  mungkin untuk diperbaiki. Penting untuk  memper- 
        tahankan indeks yang tinggi atas kecurigaan dan  menda- 
        patkan angiogram bila gambaran klinis tidak dapat dije- 
        laskan oleh CT scan atau MRI scan. Dilaporkan  insidens 
        cedera vaskuler pada 4.2 persen pasien cedera kepala.
        
        
        Klasifikasi
        
        Komplikasi vaskuler pasca trauma bisa  diklasifikasikan 
        sebagai:
        A. Arterial
           1. Servikal
              a. Transeksi arteri karotid atau vertebral direk
              b. Oklusi tromboembolik dari nidus traumatika a-
                 tau diseksi intimal
              c. Aneurisma arterial traumatika
              d. Fistula arteriovena traumatika
           2. Intrakranial
              a. Oklusi tromboembolik
              b. Aneurisma traumatika
              c. Fistula arteriovena traumatika
              d. Fistula karotid-kavernosa
        B. Venosa
           1. Trombosis sinus vena dural
        C. Vasospasme traumatika
        
        
        Diskusi
        
        Cedera penetrasi leher mengharuskan angiografi dan eks- 
        plorasi operatif bila platisma tertembus. Oklusi  arte- 
        rial sekunder atas trauma tumpul leher jarang  terjadi, 
        perkiraan  sekitar 0.5 persen. Cedera ini lebih  sering 
        terjadi pada tingkat C2, terhadap baik arteria  karotid 
        maupun  vertebral. Diagnosis klinis sering  sulit,  dan 
        mungkin memiliki periode bebas gejala, biasanya  kurang 
        dari  24  jam. Pasien bisa mengalami  serangan  iskemik 
        transien  (TIA), adanya hematoma leher, atau  tampilnya 
        sindroma Horner. Sekali oklusi terjadi, defisit  neuro- 
        logis fokal bisa menjadi nyata. Pada kasus cedera kepa- 
        la  berat, mungkin sulit untuk memisahkannya dari  efek 
        cedera otak primer. Tingkat mortalitas trombosis  karo- 
        tid  traumatika  leher dilaporkan antara 40  hingga  90 
        persen. Oklusi arteria vertebral lebih jarang: 19  per- 
        sen bila oklusi terjadi pada satu arteria vertebral dan 
        46 persen bila oklusi pada keduanya. Medikasi  antikoa- 
        gulasi bisa diberikan pada pasien terpilih yang  dengan 
        cedera kepala ringan dan risiko perdarahan intrakranial 
        rendah; namun nilai pengobatan antikoagulasi ini  belum 
        pasti.
             Aneurisma intrakranial pasca trauma sangat jarang. 
        El Gindi menemukan 7 kasus dari 2000 pasien cedera  ke- 
        pala. Hanya dua dari 3000 luka kepala penetrasi  menim- 
        bulkan  aneurisma dari perang Korea dan Vietnam.  Tidak 
        seperti  aneurisma 'berry' kongenital, aneurisma  pasca 
        trauma  lebih mungkin terjadi dekat  permukaan  korteks 
        dibanding  dengan bifurkasi arterial utama.  Ia  sering 
        tidak memiliki leher untuk clipping, namun operasi  dan 
        clipping atau wrapping tetap merupakan tindakan  terpi- 
        lih.
             Fistula arteriovenosa traumatika intrakranial juga 
        jarang.  Terjadi lebih sering antara arteria  meningeal 
        media  dan vena meningeal. Biasanya berhubungan  dengan 
        cedera  kepala penetrating atau fraktura tengkorak  de- 
        pressed.  Risiko perdarahan dari lesi ini tidak  tentu. 
        Ia dapat ditindak dengan embolisasi melalui arteria ka- 
        rotid eksternal atau operasi eksisi direk.
             Fistula karotid-kavernosa (KK) adalah temuan  ter- 
        baik dari semua cedera vaskuler pasca trauma. Walau re- 
        latif jarang, gambaran khasnya membuatnya mudah dikenal 
        diklinik. 60 hingga 80 persen fistula KK adalah  karena 
        trauma;  sisanya  mungkin timbul  spontan.  Fistula  KK 
        spontan  terjadi lebih sering pada wanita  tua,  sedang 
        karena  trauma lebih sering pada lelaki muda.  Gambaran 
        klinis  mungkin berupa proptosis, khemosis, bruit,  of- 
        talmoplegia, perburukan penglihatan, serta nyeri  kepa- 
        la.  Bruit mungkin teraba, murmur bisa didengar  dengan 
        stetoskop konvensional atau Doppler. Arteriografi  ada- 
        lah tindakan diagnostik terpilih. Riwayat penyebab fis- 
        tula KK mengharuskan intervensi: penutupan spontan  ja- 
        rang, dan perjalanan yang umum adalah kehilangan  peng- 
        lihatan  progresif (40 hingga 50 persen akan  mengalami 
        kebutaan), bruit yang tidak dapat ditolerasi, atau pro- 
        ptosis  yang memburuk.  Walau berbagai pendekatan telah 
        dilakukan terhadap kelainan ini, tindakan terpilih  di- 
        lakukan adalah oklusi dengan balon yang dapat  dilepas, 
        dengan mempertahankan aliran darah arteria karotid. Bi- 
        la  ini secara tehnis tidak mungkin,  berbagai  pilihan 
        bisa dilakukan, termasuk oklusi balon dari arteria  ka- 
        rotid internal, packing sinus kavernosus posterior  de- 
        ngan material trombogenik atau kawat, serta oklusi  si- 
        nus dengan packing melalui vena oftalmik.