Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.





8. INFEKSI
A. Sistema Pertahanan Tubuh dan Invasi Mikrobial
B. Infeksi Sistemik pada Pasien Bedah Saraf
yang Dirawat Intensif
C. Infeksi Bakterial SSP
D. Infeksi Virus SSP
E. Sindroma Immunodefisiensi Didapat (AIDS)
F. Infeksi Fungal pada SSP
G. Infeksi Parasit pada SSP
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 

        
         SINDROMA IMMUNODEFISIENSI DIDAPAT 
        (AIDS)
        
        Agen penginfeksi pada AIDS, HIV, adalah retrovirus  RNA 
        beruntai satu dari kelompok lentivirus. HIV  mengandung 
        nukleolid  RNA  padat, inti protein,  permukaan  gliko-
        protein,  dan reverse transcriptase enzyme.  Enzim  ini 
        adalah  polimerase  DNA  yang  mampu  bergabung  dengan 
        kromosom  tubuh.  Sekali  berintegrasi,  ia   digunakan 
        sebagai pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus. 
        Integrasi  membantu  virus untuk lolos  dari  mekanisme 
        pertahanan  tubuh. Lentivirus tidak  mempunyai  potensi 
        teratogenik  seperti retrovirus onkogenik, namun  mampu 
        menimbulkan lisis sel terinfeksi.
             Infeksi  HIV  tampaknya  terbatas  pada  sel  yang 
        membawa  reseptor  permukaan CD4.  Populasi  limfosit T 
        helper  adalah  yang  paling kaya  akan  reseptor  CD4, 
        menjelaskan  kemampuan  tropisme  dan  lisis  oleh  HIV 
        terhadap sel ini. Monosit, makrofag, dan mikroglia juga 
        mengandung  reseptor permukaan CD4, namun  kepadatannya 
        sangat rendah. Ini mungkin menjelaskan mengapa makrofag 
        sering  mengandung virus, namun jarang  lisis,  membuat 
        mereka efektif sebagai reservoir viral.
             31-60 % pasien AIDS memiliki kelainan  neurologis. 
        Kelainan  ini mengenai SSP dan sedikit  kesistem  saraf 
        tepi.  Infeksi  yang  mengenai SSP pada  AIDS  ada  dua 
        jenis;  infeksi opportunis sekunder atas  immunosupresi 
        yang  diinduksi  oleh hilangnya  immunitas  sel-T,  dan 
        infeksi  HIV  langsung yang tampil  sebagai  meningitis 
        atau  kompleks dementia AIDS,  manifestasi  ensefalitis 
        HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.
        
        
        INFEKSI OPPORTUNIS PADA SSP PADA AIDS
        
        Infeksi  opportunis atas sistema saraf pada  AIDS  bisa 
        oleh  patogen  viral  atau  nonviral.  Sindroma   viral 
        tersering adalah ensefalitis subakuta disebabkan  sito-
        megalovirus. Kelainan berikut, terjadi dengan frekuensi 
        makin  jarang  menurut  urutannya,  adalah  ensefalitis 
        herpes simplex, leukoensefalopati multifokal  progresif 
        (PML), dan mielitis/ensefalitis varicella zoster.
             Infeksi   nonviral   tersering   adalah   meningo-
        ensefalitis  Toxoplasma gondii. Infeksi  fungal  mening 
        dan/atau otak sering juga terjadi. Paling sering, dalam 
        frekuensi makin rendah sesuai urutannya,   Cryptococcus 
        neoformans, Candida albicans, Coccidioides immitis, dan 
        Aspergillus  fumigatus. Infeksi bakterial  intrakranial 
        jarang,  namun meningoensefalitis Mycobacterium  aviam-
        intracellulare, M. tuberculosis, E. coli, dan Treponema 
        pallidum  pernah dilaporkan. Harus diingat  bahwa  lesi 
        SSP  pada  AIDS  dapat  disebabkan  proses  neoplastik. 
        Limfoma  SSP primer ditemukan sekitar 3 %  dari  pasien 
        AIDS,  dan  limfoma sistemik juga  bisa  menyebar  pada 
        mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase ke  otak 
        pernah dilaporkan.
             Skema   pengelolaan  pasien  AIDS  dengan   gejala 
        neurologis pertama dikemukakan oleh Levy. Beberapa lesi 
        ini   bereaksi  terhadap  tindakan  medikal   spesifik; 
        toksoplasmosis  terhadap pirimetamin  dan  sulfadiazin; 
        cryptococcus  terhadap  amfoterisin  B;  PML   terhadap 
        sitarabin;  serta  limfoma  terhadap  terapi   radiasi. 
        Diagnosis berdasar tampilan CT scan dan serologis darah 
        dan CSS tak tentu, dan diagnosis dipersulit oleh adanya 
        dua atau lebih proses yang terjadi bersamaan. Diagnosis 
        definitif tergantung pada biopsi akurat atas lesi  yang 
        tampak  dan  penilaian CT scan serial  terhadap  terapi 
        spesifik.  Terapi sesuai segera adalah  paling  penting 
        pada pasien dengan immunokompresi dan karenanya  biopsi 
        segera  lesi  yang dapat dijangkau  adalah  terpenting. 
        Pemeriksaan  MRI mungkin bermanfaat pada lesi yang  tak 
        tercapai berdasar diagnosis CT scan, karena MRI mungkin 
        menunjukkan lesi yang terjangkau.
             Proteksi  personil  medis  selama  tindakan  bedah 
        antaranya   pemakaian  gaun  dan  sarung  tangan   saat 
        mengelola darah atau jaringan, pencucian tangan  dengan 
        sempurna,  dan pencegahan ketat terjadinya luka  karena 
        skalpel atau jarum.
        
        
        INFEKSI HIV PRIMER PADA SSP
        
        Mekanisme  masuknya  HIV  ke  SSP  belum  jelas,  namun 
        dipostulasikan  sebagi  sekunder terhadap  viremia  dan 
        penetrasi  endotel  atau  via  transport  monosit  yang 
        terinfeksi  melalui  sawar  darah  otak.  Sekitar  30 % 
        pasien  asimtomatis seropositif HIV dengan  biakan  CSS 
        positif  HIV, kemungkinan virus menembus SSP pada  awal 
        perjalanan  infeksi  dan sering  berada  dalam  keadaan 
        asimtomatis.  Saat  ini sudah jelas bahwa  infeksi  HIV 
        primer  berakibat  spektrum dari kelainan  klinis  SSP, 
        meningitis,  dan suatu demensia progresif yang  disebut 
        kompleks demensia AIDS (ADC).
             Dua  jenis meningitis dapat terjadi  pada  infeksi 
        HIV;  sindroma  febril akuta yang serupa  dengan  mono-
        nukleosis dalam beberapa hari atau minggu dari munculan 
        HIV inisial dan meningitis aseptik disekitar saat sero-
        konversi.  Gejala  meningitis  berkaitan  dengan  pleo-
        sitosis CSS mononuklir dan biakan CSS positif HIV  pada 
        50 % pasien. Kedua keadaan ini self limited.
             ADC   adalah  sindroma  neurologis   khas   dengan 
        kelainan  kognisi,  tampilan motor, dan  tingkah  laku. 
        Gejala biasanya berupa kesulitan konsentrasi dan memori 
        menuju  demensia  yang  jelas  dengan  tingkat  aurosal 
        intak.   Gerakan   bergantian  cepat   yang   melambat, 
        hiperrefleksia,   dan   tanda-tanda   lepasan   frontal 
        biasanya  dijumpai pada pemeriksaan,  dengan  imbalans, 
        ataksia,  dan  kelemahan aksial menjadi  prominen  pada 
        tingkat  penyakit yang lebih parah. Tingkat  akhir  ADC 
        mendekati  vegetatif  dengan  pandangan  kosong,  para-
        paresis,  dan  inkontinens. Gambaran  ADC  adalah  khas 
        demensia  subkortikal  seperti gangguan  kognitif  yang 
        tampak pada kelainan Parkinson dan Huntington. Ada  dan 
        beratnya ADC paralel dengan beratnya kelainan  sistemik 
        pasien AIDS. ADC jarang pada pasien seropositif  sehat, 
        tampil  pada  25-35 %  dengan  tampilan  awal   infeksi 
        opportunistik,  dan  timbul pada hampir  setengah  dari 
        pasien  dengan  AIDS  lanjut.  Perkembangan  ADC   yang 
        paralel  ini, walau HIV tampil awal pada  pada  sistema 
        saraf,  menunjukkan bahwa walau HIV adalah  neurogenik, 
        ia relatif non patogenik terhadap otak disaat  tiadanya 
        immunosupresi.
             Temuan patologis, karakteristiknya sudah diketahui 
        dengan  baik. Tanda khas ensefalitis HIV  adalah  nodul 
        mikroglia  dan  sel raksasa multinuklir. Sel  SSP  yang 
        dipastikan memperlihatkan antigen HIV 1 hanya makrofag, 
        mikroglia,  dan  sel raksasa  multinuklir.  Demielinasi 
        dengan  tiadanya perubahan inflamatori  (leukoensefalo-
        pati),  seperti  juga  mielopati  vakuoler,  juga  umum 
        dijumpai.  Tiadanya infeksi sitolitik dari  sel  saraf, 
        oligodendrosit, dan astrosit memusatkan perhatian  pada 
        kemungkinan peran mekanisme indirek pada disfungsi otak 
        berhubungan  baik  dengan virus  maupun  dengan  toksin 
        'cellcoded'.
             CT scan dan MRI relatif tidak sensitif pada  suatu 
        perubahan  ensefalitis HIV hingga penyakit  betul-betul 
        memberat. Perubahan leukoensefalopatik bisa ditampilkan 
        pencitra  ini;  MRIjelas lebih sensitif dari  CT  scan. 
        Atrofi otak sering merupakan temuan lanjut.
        
        
        PEMERIKSAAN DAN TERAPI INFEKSI HIV
        
        Saat  ini  tindakan pemeriksaan untuk  kegunaan  klinis 
        ditekankan pada pelacakan antibodi HIV pada pasien  dan 
        darah  donor.  Tes skrining ini adalah  'enzyme  linked 
        immunosorbant  assay (ELISA)',  sensitifitasnya  99.7 % 
        dan spesifisitasnya 98.5 %. Tes pengkonfirmasi,  tehnik 
        Western blot dengan spesifisitas lebih besar, dilakukan 
        bila dijumpai ELISA dengan seropositif. Pemastian sero-
        positif  HIV dibuat bila paling tidak dua antibodi  HIV 
        diisolasi  pada Western blot, yang mana  memperlihatkan  
        satu  antibodi 'indeterminate'. FDA mensyaratkan  darah 
        donor  harus negatif pada ELISA dan Western blot  untuk 
        didonasikan.  Saat  antara infeksi  dan  tanda  pertama 
        dijumpainya   seropositif  antibodi   disebut   'window 
        period'  dan  biasanya  antara  6-8  minggu.  Karenanya 
        risiko  donor darah seronegatif terinfeksi serta  dapat 
        menularkan  ada.  Penelitian  terakhir   memperlihatkan 
        risiko itu sangat kecil; hanya satu biakan positif  HIV 
        dijumpai  pada  61.000  unit  darah  segar  yang  ELISA 
        seronegatif. Beberapa tes yang lebih baru, yang melacak 
        antigen  HIV,  tes penangkapan antigen, dan  yang  lain 
        melacak  asam nukleik HIV, metoda reaksi  rantai  poli-
        merase.  Kegunaan  tes-tes  ini  dalam  skrining  belum 
        jelas.
             Terapi  standar untuk AIDS adalah  3'-azido-3'-de-
        oksitimidin  (zidofudin, AZT). AZT bermakna  mengurangi 
        infeksi  opportunistik  serta  mortalitas  pada  pasien 
        dengan  infeksi  HIV,  namun  tidaklah  mengobati.  AZT 
        menyebabkan  mielosupresi  berat  dengan  efek  samping 
        konstitusional, mengakibatkan  terbatasnya dosis.  Agen 
        lain,  seperti 2',3'-dideoksisitidin (ddC)  dan  2',3'-
        dideoksinosin  (ddI),  dicoba  untuk  mengobati  pasien 
        dengan infeksi HIV. Terapi paling efektif untuk infeksi 
        HIV  mungkin kombinasi AZT dan terapi lain:  ddC,  ddI, 
        interferon a,  serta  asiklovirinisial.  Trial   terapi 
        kombinasi  tengah dilakukan dan memungkinkan  perbaikan 
        manfaat dan penurunan efek samping.