Pengantar
Tujuan : Untuk memahami, mengetahui lebih dalam 'siapa' saya
/ diri ini.
Manfaat :
1. VUDDHIMANTO DHAMMA : Dhamma yang membawa kemajuan ( batiniah
)
2. SALAKKHANA DHAMMA : Dhamma yang membawa kekhasiatan ( dapat
terbebas dari dukkha )
3. PUJITA DHAMMA : Dhamma yang patut di hormat ( dapat mencapai
pembebasan mutlak )
4. PARICCHINNA DHAMMA : Dhamma yang berdasarkan keadaan , kekal
5. ADHIKA DHAMMA : Dhamma yang teragung ( karena Abhidhamma merupakan
Dhamma yang tertinggi dari Sang Buddha yang mengajarkan kita untuk
mencapai kebebasan yang terakhir )
Pannatti / Konsep
Kebenaran ( sacca ) dapat dibagi menjadi 2 bagian ,yaitu :
1. Paramattha sacca , yaitu kebenaran ditinjau dari hakekat yang
sesungguhnya ytanpa dicampuri bentukan, nama, sebutan atau konsep.
2. Samutti sacca, yaitu kebenaran ditinjau dari pengertian yang
bersifat relatif sesuai dengan mahluk yang menggunakannya.
Dhamma dapat juga dibagi menjadi 2 golongan :
1. Paramattha dhamma, yaitu hakekat tertinggi dari segala sesuatu
baik berupa batin maupun materi.
2. Pannati dhamma, yaitu konsep atau sebutan yang mengekspresikan
paramattha sacca atau samutti sacca
Pannatti dhamma terdiri dari 2 golongan besar , yaitu :
1. Nama Pannatti, yaitu nama, istilah, sebutan yang diberikan
terhadap objek.
2. Attha Pannati, yaitu : ide, gagasan yang menerangkan objek
, gambaran umum atas nama yang diberikan.
Nama pannatti, terdiri dari 6 macam :
1. Vijjamena pannatti : nama, istilah atau sebutan yang diberikan
untuk paramattha sacca.
Misalnya : - gejala batin yang merasakan objek dinamakan perasaan.
- materi
Keterangan : perasaan, materi merupakan paramattha sacca karena
dalam hakekat yang sesungguhnya merupakan kebenaran
2. Avijjamana pannatti : nama, istilah atau sebutan yang diberikan
untuk samutti sacca.
Misalnya : gunung, pulau, tanah, lelaki, perempuan.
Keterangan : gunung, pulau, tanah, lelaki, perempuan merupakan
samutti sacca karena secara relatif merupakan kebenaran sedangkan
dalam hakekat sesungguhnya tidak benar ( bukan paramattha sacca
).
3. Vijjamanena avijjamana pannatti : nama, istilah atau sebutan
yang diberikan untuk samutti sacca yang berkaitan dengan paramattha
sacca.
Misalnya : pemilik abhinna citta
Keterangan : pemilik merupakan samutti sacca karena benar dalam
bahasa pergaulan sedangkan dalam hakekat sesungguhnya tidak benar.
Abhinna citta merupakan paramattha sacca karena dalam hakekat
sesungguhnya, gejala tersebut merupakan kebenaran.
4. Avijjamanena vijjamana pannatti : nama, istilah atau sebutan
yang diberikan untuk paramattha sacca yang berkaitan dengan samutti
sacca.
Misalnya : kesadaran wanita
Keterangan : kesadaran dalam hakekat sesungguhnya merupakan kebenaran
( paramattha saca ) sedangkan wanita dalam hakekat sesungguhnya
tidak benar namun hanya benar dalam bahasa pergaulan ( sebagai
samutti sacca ).
5. Vijjamanena vijjamana pannatti : nama, istilah atau sebutan
yang diberikan untuk paramattha sacca yang berkaitan dengan paramattha
sacca.
Misalnya : cakkhu vinnana
Keterangan : baik cakkhu maupun vinnana dalam hakekat sesungguhnya
merupakan kebenaran.
6. Avijjamanena avijjamana pannatti : nama, istilah atau sebutan
yang diberikan untuk samutti sacca yang berkaitan dengan samutti
sacca.
Misalnya anak raja
Keterangan : baik anak maupun raja dalam hakekat sesungguhnya
bukan kebenaran, melainkan merupakan kebenaran untuk pergaulan
sehari-hari.
Attha pannatti terdiri dari 7 macam :
1. Santhana pannatti : gambaran berdasarkan bentuk atau ciri sesuatu.
Misalnya : apabila melihat air dibatasi dinding dan tergenang
maka dalam batin akan terkonsep istilah yang sering digunakan
untuk gejala seperti itu, yaitu 'kolam' , tetapi apabila tidak
ada dinding dan airnya mengalir, maka gambaran akan istilah 'sungai'
yang ada.
2. Samuha pannatti : gambaran atas suatu bentuk yang merupakan
gabungan dari beberapa konsep.
Misalnya : kendaraan, merupakan gabungan dari roda, mesin, gear,
stir, dan sebagainya yang semuanya merupakan konsep.
3. Satta pannatti : gambaran atas suatu mahluk.
Misalnya : apabila suatu bentuk memiliki 2 kaki, wajah berlekuk
memiliki hidung, mata, kulit tidak berbulu kasar maka ciri tersebut
menggambarkan manusia.
4. Disa pannatti : konsep arah atau hubungan penunjukkan.
Misalnya : Utara, Barat, Atas, Depan.
5. Kala pannatti : konsep waktu.
Misalnya : pagi, siang, sore, dahulu, nanti.
6. Akasa pannatti : konsep sesuatu yang menggandung ruang.
Misalnya : sumur, gua.
7. Nimitta pannatti : konsep gambaran batin sebagai hasil pengolahan
batin.
Problema Istilah Baik dan Buruk / Tidak Baik
(Renungan tentang kusala dan akusala)
PENDAHULUAN
Kata 'baik' dan 'buruk' di dalam bahasa Indonesia memiliki arti
yang luas. Seorang yang bermoral dikatakan baik, makanan enak
disebut makanan yang 'baik'; sebatang kayu yang berguna dan kuat
dikatakan kayu yang baik. Sesuatu yang baik bagi seseorang mungkin
buruk bagi orang lainnya.
Ketika seorang anak mendengarkan nasehat orang tuanya, dikatakan
anak tersebut sangat baik. Namun, ketika anak tersebut mau memberikan
'contekan' jawaban ujian kepada temannya, maka temannya yang diberi
'contekan' menyebutnya sebagai anak yang baik, sementara gurunya
berkata bahwa ia anak yang buruk / tidak baik.
Dalam sebuah jamuan makan para eksekutif, tindakan yang baik
bagi Amir adalah tidak meminum minuman keras, namun Merry menyebutnya
sebagai 'performance yang buruk' bila tidak ikut serta. Ketika
seorang perempuan hampir hanyut terbawa arus air, seorang Bhikkhu
mengambil keputusan yang menurutnya baik, yaitu menolong wanita
tersebut; di pihak lain, Bhikkhu lain temannya mengatakan bahwa
ia bertindak buruk karena melanggar 'vinaya' (tata tertib) tentang
persentuhan dengan jasmani seorang wanita.
Bila ingin hidup di dunia ini, tindakan baik bagi seseorang adalah
harus terjun di dalam korupsi dan kolusi, namun itu buruk / tidak
baik bagi perkembangan mental bangsa. Membuat orang yang sedang
sekarat menjadi meninggal adalah tindakan yang baik, agar dia
tidak menderita lebih jauh. Buah pisang yang kehitaman disebut
buruk karena tidak menarik.
Terlalu baik adalah hal yang buruk, menurut sebagian orang. Beberapa
tahun lalu, bahkan ada sekelompok orang pernah menyatakan bahwa
berdana kepada sekelompok bhikkhu Theravada adalah hal yang buruk
/ tidak baik, buktinya terjadi kecelakaan di Ancol, sehingga menyebabkan
kematian beberapa bhikkhu dan umat yang berdana tersebut. "Betapa
membingungkannya dunia ini," kata seorang anak kecil yang
lugu (lucu dan dungu), ketika merenungkan hal itu. Demikianlah
beberapa contoh tentang baik dan buruk / tidak baik menurut konsep
yang umum kita dengar dan bicarakan. Apakah benar sesuatu yang
baik di atas benar-benar baik dalam artian kusala ? Apakah baik
yang kita selalu sebutkan selalu sama dengan kusala ? Apakah benar
sesuatu yang disebut tidak baik / buruk di atas sebagai akusala?
Apakah tidak baik/ buruk selalu sama dengan Akusala ? Baik yang
mana yang disebut kusala dan tidak baik / buruk yang mana yang
disebut akusala? Yang manakah yang seyogyanya kita kembangkan
di dalam pikiran, ucapan dan tindakan jasmani kita di dalam kehidupan
sehari-hari?
Nampaknya perlu satu standar untuk membakukan pengertian kusala
dan akusala guna membedakan dengan baik dan buruk. Apakah 'baik'
itu dan mengapa demikian? Apakah yang kita sebut 'buruk/tidak
baik' itu dan mengapa demikian? Tanpa mengerti dengan jelas perbedaannya,
maka kita akan terombang-ambing di dalam keraguan skeptis (vicikiccha)
terhadap proses sebab-akibat moral perbuatan (kamma).
Dari contoh di atas, istilah baik dan buruk / tidak baik, memiliki
arti yang banyak sebarannya, tergantung dari sudut pandangnya,
apakah dari sudut pandang arti ekonomi, arti hedonistik, arti
artistik dan sebagainya. Di dalam sistem bahasa Indonesia, kata-kata
baik dan buruk/tidak baik memiliki arti yang luas dan tidak jelas.
Di dalam renungan 'baik' dan 'buruk/tidak baik' ini, beberapa
hal yang harus diperhatikan di dalam batin, sebagai berikut:
1. Penyelidikan tentang baik dan buruk/tidak baik di sini ditinjau
dari perspektif keselarasan Kamma, dengan demikian kita menggunakan
istilah khusus 'kusala' dan 'akusala'. Dua kata ini memiliki arti
yang unik.
2. Kusala dan akusala, di dalam istilah etika Buddha Dhamma, adalah
aspek keselarasan Kamma, dengan demikian perenungan kita akan
kusala dan akusala ini harus berdasarkan konteks ini, tidak berdasarkan
sekumpulan nilai sosial seperti yang termaktub di dalam istilah
kata 'baik' dan 'buruk/tidak baik.'
3. Operasi keselarasan Kamma berkaitan erat dengan kaidah keselarasan
lainnya. Khususnya, dalam hubungan kehidupan internal seseorang,
kammaniyama berinteraksi dengan cittaniyama (keselarasan pikiran),
sementara secara eksternal berkaitan erat dengan konvensi sosial.
PENGERTIAN KUSALA DAN AKUSALA
Walaupun Kusala dan Akusala kadang-kadang diterjemahkan sebagai
"baik" dan "buruk/tidak baik", namun hal ini
mungkin menyesatkan. Sesuatu yang disebut Kusala tidaklah selalu
dianggap baik, sementara itu beberapa yang mungkin akusala juga
belum secara umum dianggap buruk / tidak baik. Depresi, melankoli,
lamban dan gelisah, misalnya, walaupun akusala, tidaklah biasa
dianggap 'buruk/tidak baik' seperti yang kita ketahui di dalam
istilah Bahasa Indonesia. Dengan cara yang sama, beberapa tipe
kusala, seperti ketenangan pikiran dan bentuk-bentuk pikiran,
mungkin tidaklah siap diterima di dalam pengertian kata 'baik'
di dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kusala dan akusala
dan 'baik' dan 'buruk/tidak baik' tidaklah harus hal yang sama/identik.
Kusala dan akusala adalah kondisi yang muncul di dalam batin,
menghasilkan sesuatu yang berawal di dalam batin, dan dari sini
mengarah ke aksi luar dan penampilan fisik / jasmani. Makna kusala
dan akusala, oleh karena itu, menekankan keadaan, isi dan kejadian
batin sebagai dasarnya.
Kusala dapat dikatakan secara harfiah sebagai 'mahir', 'cekatan',
'puas hati', 'bermanfaat',' baik', atau 'kondisi yang menggeser/terbebas
dari penderitaan /kesusahan/kemalangan'. Akusala didefinisikan
di dalam cara yang berlawanan, sebagai 'tidak mahir', 'tidak cekatan'
dan seterusnya.
Berikut ini adalah empat konotasi kusala yang didasarkan atas
buku komentar Buddha Dhamma:
1. AROGYA: bebas dari kesakitan; yaitu, batin bebas dari kesakitan,
kebanyakan, secara umum dikenal sebagai "batin yang sehat",
sebagai kondisi atau faktor-faktor yang mendukung kesehatan mental,
menghasilkan batin yang sehat, tidak bermasalah dan stabil.
2. ANAVAJJA: tidak bernoda; batin yang tidak bernoda atau suram,
tetapi bersih, cerah dan terang.
3. KOSALASAMBHUTA: berdasarkan kebijaksanaan atau kemahiran; kualitas
batin yang mengandung kebijaksanaan, atau berbagai kualitas yang
muncul dari pengetahuan dan pengertian akan kebenaran sejati.
Hal ini sesuai dengan ajaran yang menekankan bahwa kondisi kusala
memiliki yoniso-manasikara, pengamatan mendalam dan jelas, sebagai
pendahulunya.
4. SUKHAVIPAKA: diliputi kesejahteraan. Kusala adalah sebuah kondisi
yang memproduksi ketenangan. Ketika kondisi kusala muncul di dalam
batin, maka terdapatlah kesejahteraan alamiah, tanpa perlu lagi
pengaruh luar.
Seperti ketika seseorang yang sangat kuat dan sehat (aroga),
telah mandi dengan segar (anavajja), dan di sebuah tempat yang
aman dan menyenangkan (kosalasambhuta), kesejahteraan mengikutinya
secara alamiah.
Arti dari akusala seyogyanya dimengerti dalam cara yang berlawanan
dengan di atas, yaitu sebagai kondisi batin yang tidak sehat,
berbahaya, didasari kebodohan batin, dan menghasilkan penderitaan.
Hal ini dapat didefinisikan secara singkat sebagai 'kondisi-kondisi
yang menyebabkan batin merosot baik dalam kualitas maupun efisiensi,
tidak seperti kusala, yang meningkatkan kualitas dan efisiensi
batin.
Untuk kemudahan referensi, kita dapat meringkaskan berbagai sifat
ke dalam kelompok, seperti:
" Stabil (samahita): stabil, konsisten, tidak berubah, tidak
bergoyang.
" Murni (parisuddha) dan bersih (pariyodata): tidak bernoda,
tidak kotor, terang, bercahaya.
" Jelas (pabhassara) dan bebas (seri): tidak berhambatan,
bebas, tidak terikat, luhur.
" Siap bekerja (kammaniya): lentur, ramah, ringan, jujur,
sabar, tidak bias.
" Tenang (santa) dan gembira (sukha): rileks, tenang, tidak
bermasalah, tidak banyak keinginan, puas hati.
Setelah melihat kualitas batin yang sehat, kita sekarang dapat
memahami kualitas yang diketahui sebagai kusala dan akusala, apakah
mereka secara nyata berpengaruh terhadap kualitas batin dan bagaimana
mereka berpengaruh.
Beberapa contoh kusala, adalah: sati, perhatian murni, kemampuan
memelihara perhatian terhadap objek apapun atau tugas pikiran
yang diemban; metta, cinta kasih universal; alobha, tidak serakah,
tidak hadirnya kemelekatan (termasuk kemelekatan terhadap pandangan);
panna, pengertian jelas terhadap hakekat sesungguhnya segala sesuatu;
passaddhi, ketenangan, kedamaian batin; kusalachanda, puas terhadap
kebaikan, keinginan untuk mengetahui dan bertindak sesuai kebenaran;
mudita, simpati terhadap kebahagiaan pihak lain.
Beberapa contoh akusala, adalah: kamachanda, keinginan untuk
memuaskan nafsu; byapada, keinginan buruk; thina middha, malas
dan lamban batin; uddhaccakukkucca, gelisah dan khawatir; vicikiccha,
keraguan skeptis; kodha, kemarahan; issa, cemburu / iri hati;
macchariya, kikir.
Ketika terdapat cinta kasih universal (metta), batin secara alami
gembira, senang dan terang. Ini adalah kondisi yang bermanfaat
bagi batin, mendukung kualitas dan efisiensi pikiran. Oleh karena
itu, metta adalah kusala. Sati, kemampuan batin memperhatikan
segala sesuatu, terhadap tindakan yang tepat, membantu mencegah
munculnya kondisi akusala dan membuat pikiran bekerja lebih efektif.
Oleh karena itu sati adalah kusala.
KUSALA DAN AKUSALA SEBAGAI KATALIS SATU SAMA LAIN
Satu tindakan keyakinan atau murah hati, kemurnian moral, atau
bahkan pengalaman kebijaksanaan selama meditasi, yang semuanya
merupakan kondisi kusala, dapat menyebabkan munculnya kesombongan,
kebanggaan dan keangkuhan. Kesombongan dan kebanggaan adalah kondisi
akusala. Situasi ini dikenal sebagai "kusala sebagai perantara
bagi akusala." Meditasi, yang dikembangkan hingga tingkat
Jhana (kusala), dapat membawa ke kemelekatan (akusala). Latihan
pengembangan cinta kasih / metta, pikiran yang berkeinginan baik
dan ramah kepada orang lain, dengan adanya objek yang diharapkan,
dapat menyebabkan munculnya nafsu (akusala). Hal-hal ini merupakan
contoh bagaimana kusala menjadi perantara bagi akusala.
Kadang-kadang mempraktikkan latihan Dhamma (kusala) dapat didasari
oleh satu hasrat untuk tumimbal lahir di surga (raga, akusala).
Satu tingkah laku baik dan disiplin dari seorang anak (kusala)
dapat didasari oleh sebuah keinginan untuk memamerkan sesuatu
kepada orang tuanya (akusala); seorang pelajar rajin dalam belajar
(kusala) mungkin berakar dari ambisi (akusala); kemarahan (akusala),
bila dilihat dalam cahaya efeknya yang berbahaya, dapat membawa
ke perenungan bijaksana dan memaafkan (kusala); takut akan kematian
(akusala) dapat mendorong perenungan diri (kusala). Hal-hal ini
merupakan contoh bagaimana akusala menjadi perantara bagi kusala.
Seorang pemuda, diperingati oleh orang tuanya untuk tidak bergaul
tanpa pandang bulu dengan orang lain, tidak memperhatikannya dan
terjerat ke dalam perbuatan meminum minuman yang melemahkan kewaspadaan
(minuman keras) oleh teman-temannya. Dalam menyadari situasi ini,
ia menjadi marah dan depresi. Mengingat peringatan orang tuanya,
ia tergerak akan kebaikan hati kedua orang tuanya (akusala sebagai
perantara bagi kusala), namun sebaliknya hal ini mungkin saja
menimbulkan kejengkelan sehingga membenci kepribadiannya.
PERUBAHAN DARI KUSALA KE AKUSALA, ATAU AKUSALA KE KUSALA, MUNCUL
DEMIKIAN CEPAT SEHINGGA BATIN YANG TIDAK TERLATIH BIASANYA TIDAK
MAMPU MELIHAT PERUBAHAN TERSEBUT.
MENGATASI KEBINGUNGAN AKAN KAMMA DAN KESEPAKATAN SOSIAL
(Dua hal terpisah, tapi kadang sangat erat kaitannya)
Isu yang menimbulkan kebingungan adalah hubungan antara kamma
dengan konvensi sosial. Dualisme muncul dalam memandang sifat
alamiah "baik" dan "buruk", menimbulkan pertanyaan
seperti, "Apakah baik itu?", "Apakah tidak baik
/ buruk itu?" Apakah standar untuk memutuskan antara baik
dan buruk?
Kita sering mendengar orang-orang mengatakan bahwa baik dan buruk
adalah konvensi sosial atau manusia. Seseorang bertindak di dalam
satu kelompok sosial, waktu atau tempat, mungkin dikatakan baik.
Suatu jenis aktivitas mungkin diterima oleh sekelompok masyarakat
tertentu, namun tidak diterima di masyarakat lainnya. Beberapa
paham mengajarkan bahwa membunuh binatang untuk makanan tidaklah
buruk, namun paham lainnya mengajarkan bahwa menyakiti mahluk
jenis apapun bukan hal yang baik. Beberapa masyarakat berpegangan
bahwa seorang anak seharusnya memperlihatkan sikap hormat terhadap
para orang tua dan berargumentasi dengan mereka merupakan sikap
yang buruk, namun kelompok masyarakat lain beranggapan bahwa menghormati
seseorang jangan tergantung pada umurnya, dan bahwa orang-orang
seyogyanya menghormati opini / pandangan orang lainnya.
Untuk mengatakan bahwa baik dan buruk merupakan masalah preferensi
/ kesukaan manusia atau kesepakatan sosial adalah benar hanya
untuk konteks tertentu. Baik dan buruk dari konvensi sosial tidak
mempengaruhi atau membosankan pekerjaan keselarasan kamma, dan
tidak seharusnya dikacaukan dengan bekerjanya kamma. "Baik"
dan "buruk / tidak baik" menurut konvensi sosial harus
dimengerti sebagai konvensi sosial. Sedangkan "baik"
dan buruk / tidak baik", yang diistilahkan dalam naskah Pali
sebagai "kusala" dan "akusala", sangat berkaitan
erat dengan kualitas keselarasan kamma, hal ini harus dimengerti
dan diterima sebagai atribut dari keselarasan kamma. Walaupun
keduanya (konvensi dan kamma) kadang-kadang langsung berhubungan,
namun mereka di dalam kenyataannya merupakan hal yang terpisah,
dan memiliki perbedaan yang jelas.
Sekarang, tibalah saatnya kita siap untuk meringkaskan standar
kita akan baik dan buruk, atau kamma baik dan kamma buruk, keduanya
secara nyata sesuai dengan keselarasan kamma dan juga dalam hubungannya
dengan konvensi sosial, keduanya secara intrinsik di tingkat kemoralan
dan pada sesuatu yang disebutkan secara sosial:
1. Di dalam konteks manfaat langsung atau bahanya, dengan menanyakan:
apakah perbuatan ini bermanfaat bagi kehidupan dan batin? Apakah
mereka mewarnai kualitas kehidupan apakah mereka menyebabkan kondisi
kusala atau akusala yang meningkat atau makin pudar?
2. Di dalam konteks akibat yang bermanfaat atau membahayakan:
Apakah mereka berbahaya atau mendukung manfaat bagi seseorang?
3. Di dalam konteks manfaat atau bahaya bagi kehidupan sosial:
Apakah mereka membahayakan yang lain atau bermanfaat bagi yang
lain?
4. Di dalam konteks kehati-hatian, kapasitas perenungan manusia
alamiah: Akankah kamma itu membuka kecaman terhadap diri sendiri
ataukah tidak?
5. Di dalam konteks standar sosial: Apakah posisi aktivitas dalam
kaitannya kepada konvensi religius, tradisi dan adat, termasuk
institusi sosial sebagai hukum dan seterusnya, yang didasarkan
perenungan bijaksana (seperti siasumsikan bagi mereka yang semata-mata
penyembah berhala atau berpandangan salah)?
Dari uraian di atas, para pembaca akan cukup memperoleh gambaran
dan inspirasi untuk perenungan kusala dan akusala yang sering
dikacaukan dengan istilah 'baik' dan 'buruk' buatan manusia (kesepakatan
sosial), sehingga diharapkan dapat lebih menempatkan proporsi
penggunaan istilah itu secara tepat. Di dalam kesempatan lain,
bila kondisi kita sesuai, uraian yang lebih rinci akan kita renungkan
bersama. Semoga berbahagia !!!
Contoh Hakekat Proses dengan perumpamaan sungai
Seperti sungai yang mengalir, selalu berproses baik kita sadari
atau tidak, baik kita ketahui atau tidak .Air yang mengalir sepertinya
itu-itu saja , padahal sudah berbeda dari waktu ke waktu.