Edi Cahyono's Page


CERITA KAMI
Nomor 13, Tahun ke VI, Maret 1996

Yayasan Maju Bersama:

CERITA KAMI

Edisi perdana terbit Mei 1990
Dewan Redaksi: Edi Cahyono, Esrom Aritonang, Maxim Napitupulu, Mohammad Arif Rusli, Muhammad Husni Thamrin, Razif.
Logo Cerita Kami, Gambar cover, dan ilustrasi: Semsar Siahaan.
Editor naskah dan Tata Letak: Edi Cahyono.
Penerbit: Yayasan Maju Bersama
ISSN 0854-1779

EDITORIAL

Organisasi merupakan media penting dalam gerakan buruh dan rakyat di mana pun. Cerita Kami edisi nomor 13 ini khusus disiapkan untuk membahas hal ini. Melalui rubik-rubik Sajian Utama, Internasional, dan Ekonomi kami mencoba mengedepankan gagasan-gagasan tentang organisasi ini. Pengalaman pembubaran pelatihan kader-kader SBSI untuk tingkat pabrik, di Sumatera Utara tahun lalu, menujukkan bahwa upaya-upaya untuk melakukan pembangunan organisasi yang baik dan benar masih selalu dihalang-halangi di negeri ini. Bahkan, dengan membabi buta, aparat negara pun masih selalu mengecam dan memberi cap berbagai tindakan berorganisasi sebagai subversif, gerakan ekstrim (Kiri, Tengah dan Kanan), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), OTB (Organisasi Tanpa Bentuk)-dan ketika cap ini sulit dipertanggung-jawabkan cap ini berganti-sekarang menjadi Kiri Baru. Makna sebenarnya dari organisasi menjadi kabur dan tidak dipahami. Cap-cap tersebut akan membenarkan aparat negara melakukan intervensi hingga pembubaran organisasi.

Apakah berorganisasi di luar organisasi-organisasi yang dibentuk oleh pemerintah dan para pejabat berarti identik dengan tindakan yang negatif?

Apakah hanya SPSI saja yang boleh membela hak-hak buruh? Apakah hanya KOPKAR saja yang boleh membangun koperasi karyawan?

Siapakah yang berhak mengontrol jalannya organisasi?

Apakah negara berhak mengontrol organisasi?

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang harus dijawab. Apakah sebenarnya esensi dari sekelompok orang untuk berorganisasi. Bila kita tengok UUD 1945, dalam pasal 27, negara telah memberi jaminan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bebas berorganisasi. Sebetulnya, pengabaian terhadap pasal ini oleh aparat negara, harus dipersoalkan kembali. Mengingat, di lain sisi, pengusaha bebas membentuk beragam organisasi seperti APINDO, KADIN, API dan berbagai asosiasi lain, tanpa diganggu oleh aparat negara. Apakah hak berorganisasi harus diperlakuakan diskriminatif, artinya buruh dan rakyat tidak mempunyai hak dan kesempatan yang sama seperti lapisan sosial lain dalam membangun organisasi. Harapan kami, pembaca dapat mengambil hikmah dan manfaat dari publikasi ini.

Salam

REDAKSI

SAJIAN UTAMA

Tulisan ini terbit pertama kali dalam: Soeara Kaoem Boeroeh (SKB), 1 Oktober, 15 Oktober dan 15 November (nomor: 6, 7, 9) tahun 1921. SKB adalah surat kabar tengah bulanan terbit di Poerworedjo/Klampok. Untuk kebutuhan penerbitan kali ini terdapat penyesuaian dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) 1972. Dalam beberapa bagian-mengingat struktur kalimat ditulis dalam Melayu lagipula tersisip kata dan istilah Jawa dan Belanda-khawatir sulit untuk dipahami oleh pembaca, editor telah melakukan beberapa perubahan disesuaikan dengan kondisi saat sekarang.

PERCAKAPAN P DAN S HAL PERHIMPUNAN

P: "Apakah itu perhimpunan?"

S: "Berhimpun itu artinya: menjadi satu."

P: "Apakah beda antara arti pekataan berhimpun dengan perkumpul?"

S: "O, kalau kata-kata tersebut, sama artinya."

P: "Jadi kalau begitu, perkumpulan sama artinya dengan perhimpunan."

S: "Memang tidak berbeda."

P: "Dalam perhimpunan-pehimpunan itu saya kerap mendengar ada yang dinamakan Pengurus (bestuur) dan ada yang disebut lid (anggota), apakah arti kedua kata tersebut?"

S: "Lid atau anggota dari perhimpunan itu yaitu beberapa orang yang berkumpul menjadi satu badan perhimpunan tadi. Mereka itu bagi perhimpunan, ada mengeluarkan pertimbangannya masing-masing guna memperkuat perhimpunannya. Dari anggota-anggota tersebut ada yang ditunjuk menjadi pemuka-pemuka yaitu yang disebut pengurus. Pengurus inilah yang harus mencari akal untuk kemajuan perhimpunan yang diurusnya. Pengurus ini pula yang mengumpulkan beragam keinginan dan gagasan para anggota."

P: "O, ya, ya, ya saya sudah mengerti. Nah, saudara S. bolehkah saya bertanya lagi?"

S: "Boleh. Tanyakan saja mana yang saudara belum mengerti, saya tidak jemu menjelaskan, bila saya memang tahu."

P: "Bagaimanakah sifat pengurus yang terbaik terhadap perhimpunan?"

S: "Sifat pengurus itu harus merasa menjadi kaki dan tangan dan anggota badan lainnya untuk perhimpunannya. Artinya: pengurus itu harus dapat memenuhi dan suka bekerja untuk keperluan pehimpunan."

P: "O, ya, sudah mengerti. Sekarang saya minta dijelaskan bagaimana caranya supaya kita punya perhimpunan yang kuat dan bagus?"

S: "Kalau saudara ingin mempunyai perhimpunan yang kuat, pertama-tama saudara harus selalu ingat bahwa perhimpunan dapat hidup bila punya nyawa. Adapun yang saya sebut nyawa tersebut adalah uang. Iuran atau berbagai pemasukan lain. Kalau uang kas kuat, perhimpunan akan hidup baik; terutama bila tidak ada penyakit lain."

P: "Masa' sebuah perhimpunan mempunyai penyakit seperti manusia!"

S: "Memang mustahil kalau di satu perhimpunan timbul penyakit kudis atau yang lain. Yang saya maksud bukan penyakit seperti itu."

Contohnya dalam perhimpunan itu ada suatu hal yang menyebabkan berkurangnya uang kas. Tetapi bukan kekurangan yang disebabkan untuk kebutuhan-kebutuhan perserikatan, melainkan ada orang yang mengambil.Contohnya lagi, Bila ada anggota-anggota perserikatan yang saling bertengkar dan bermaksud merobohkan perhimpunan, anggota semacam itu hanya memikirkan diri sendiri.

Contoh ketiga:

Para anggota ataupun para pengurus tidak mematuhi keputusan perhimpunan. Misalnya: ketika perhimpunan mengadakan rapat organisasi (vergadering) meskipun tidak ada halangan, namun tidak datang ke pertemuan rapat; menurut orang tersebut: sudah cukup bila telah membayar iuran. Padahal uang iuran tersebut hanya menjadi dana kita sesama anggota perhimpunan menjalankan program untuk merealisasikan cita-cita yang diidamkan. Kekuatan perhimpunan itu tentu harus berasal dari anggota dan pengurus. Bila perhimpunan tidak punya kekuatan, perhimpunan kini tinggal nama. Seperti halnya perhimpunan yang dibuat anak kecil yang tidak mempunyai keteguhan hati, dan mudah takut bila ada ancaman musuh."

P: " O, begitu? Ya, saya sudah sedikit mengerti. Nah, coba saudara lanjutkan penjelasan tersebut."

S: "Baiklah! Coba saudara dengarkan: Saya akan meneruskan penjelasan saya: Perhimpunan itu, tadi saya umpamakan: orang yang hendak berjalan; iuran menjadi bekalnya. Misalkan saudara sendiri hendak berjalan. Yang saudara perlukan adalah kaki; kalau saudara sudah mempunyai kaki yang kuat (tidak terkena penyakit) tentu saudara dapat berjalan. Tetapi anggota badan yang lain seperti: tangan, mata, telinga, tentu juga ikut bekerja. Selain juga saudara selalu berpikir: ke mana kaki saudara harus bergerak."

P: Saudara S! bersediakah saudara S menjawab pertanyaan saya terlebih dahulu?"

S: "Boleh, dengan senang hati saya akan menjawab. Hal mana yang masih mengganjal dan membuat ragu tanyakanlah: jangan saudara malu bertanya tentang hal yang belum saudara pahami."

P: "Bolehkah sekarang saya mulai bertanya?"

S: "Ya, baik."

P: "Tadi saudara mengatakan anggota badan perhimpunan, yang mana wujudnya di dalam perhimpunan? Seperti telah dikatakan tangan, kaki, atau lain-lainnya."

S: "Penjelasannya begini: Ketua diandaikan kepala. Di situ terletak otak atau tempat memikirkan berbagai hal. Sebab segala macam pekerjaan yang tidak dipikirkan bagaikan pohon yang tidak dapat berbuah. Jadi, Ketua itu menjadi pangkal nomor satu dari jalannya perhimpunan. Bila taktik Ketua tidak halus, perhimpunan dapat terjerumus. Begitu pula perjalanan orang tanpa pikiran. Jadi Ketua tidak boleh asal-asalan dalam mengambil keputusan. Bendahara dimisalkan mulut, perut dan dubur jadi dia mesti hati-hati menerima, menyimpan dan mengeluarkan uang perhimpunan. Seperti juga orang makan, kalau dia makan tanpa dipikir dapat membuat sakit perut, begitu pula bila buang-air-nya tanpa aturan...."

P: "Tunggu sebentar! Yang dimaksud dengan makan dan buang-air tanpa aturan itu yang bagaimana?"

S: "Lho, itu artinya, perhimpunan itu harus membuat peraturan, uang masuk, uang apa saja, dikeluarkan untuk apa saja, semua itu mesti ada catatannya. Misalkan meminta uang seenaknya, menggunakan uang seenaknya, hal-hal itu tidak dibenarkan."

P: "O, begitu! Teruskan! Sekarang Sekretaris."

S: "Sekretaris itu dimisalkan tangan. Ketua menyatakan pikirannya kepada anggota-anggotanya. Sekretaris yang menggambar pikiran itu dengan tulisan. Sebab itu Sekretaris mesti mengingat apakah pikiran yang baru tersebut tidak bermakna ganda atau bahkan berlawanan. Karena itu Sekretaris harus memegang dan menyimpan arsip. Sedang Pengawas yaitu diumpamakan kaki, kuping dan mata. Ia harus membantu kehendak kepala dan tangan, misalnya tangan akan mengambil barang namun tidak terjangkau, tentu kaki harus berjalan. Mata mesti melihat bila di badan terdapat kotoran atau tidak, begitu pula kuping mesti mendengar suara-suara (komentar, kritik, saran) terhadap perhimpunan. Bila itu semua terjadi kepala harus diberitahu. Begitulah Pengurus Perhimpunan dimisalkan anggota badan."

P: "Ya, saya sudah mengerti. Tapi sekarang bagaimana anggota-anggota perhimpunan dimisalkan badan orang?"

S: "Yang disebut badan itu terdiri dari kepala, tangan, kaki, pantat, kulit, daging, darah dan lain-lain. Jadi, yang disebut badan perhimpunan itu yaitu: para pengurus dan para anggota. Kalau kepala, tangan dan kaki bertindak, tentu seluruh badan ikut semua. Dari itu tindakan Pengurus Perhimpunan juga merupakan tindakan badan perhimpunan, di dalam badan tersebut termasuk para pengurus dan para anggota. Sudah, sampai di sini dahulu. Lain waktu kita diskusi lagi."

P: "O, ya baik! Terima kasih, saya jadi banyak pengetahuan karena diskusi ini. Tot weer Zien, meneer! (sampai jumpa lagi)"

INTERNASIONAL

Tulisan ini diterjemahkan dari bagian-bagian buku Introductory Course For The Workers, 1991, oleh Eucumenical Institute for Labor Education and Research (EILER), Quezon City, Philippine. Bagian I telah diterbitkan dalam Cerita Kami, nomor 12 (1995) yang lalu. Maksud pemuatan tulisan ini sebagai pembanding bagi buruh, dan organisasi buruh Indonesia tentang makna dan peran dari gerakan buruh.

Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh: Edi Cahyono

KURSUS PEMULA UNTUK BURUH:
Gerakan Serikat Buruh
(BAGIAN II)
Oleh: EILER

5. Manajemen Serikat

Dalam mengelola sebuah serikat harus dilihat tujuan-tujuan yang diajukan dapat terialisasi. Manajemen serikat meliputi: penyiapan satu program serikat, menghadiri kegiatan-kegiatan organisasional seperti struktur dan keuangan serikat dan manajemen kantor serikat.

a. Program serikat

Program serikat adalah seperangkat aktifitas untuk mengkonsolidasikan serikat dan menjawab kebutuhan-kebutuhan anggota-anggota serikat. Direncanakan menurut kebutuhan-kebutuhan anggota. Program serikat biasanya termasuk berbagai kegiatan beragam, seperti pendidikan dan propaganda, pengorganisasian, bantuan hukum, dan kesejahteraan. Sebuah komite bertanggungjawab untuk setiap sub-program.

b. Prinsip-prinsip organisasi

Serikat terdiri dari para pemimpin dan anggota dengan tangung-jawab dan hak-hak yang sama di saat melakukan:

  • ikut serta dalam kegiatan-kegiatan serikat;
  • menyampaikan opini/gagasan; dan
  • informasi tentang kegiatan-kegiatan serikat.

Prinsip-prinsip demokratis harus diterapkan dalam serikat. Setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dalam menentukan keputusan yang berkaitan kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan utama dari serikat. Keputusan mayoritas harus diterapkan dalam mencari kebutuhan bersama.

Setiap anggota memiliki hak suara, bebas dan tanpa ada tekanan atau ancaman, tentang berbagai masalah dan dalam pemilihan para pemimpin serikat. Para pemimpin dipilih oleh anggota dan tidak ditunjuk oleh individu maupun oleh satu kelompok kecil.

Meskipun keputusan mayoritas harus berlaku, mayoritas memiliki satu tanggungjawab terhadap minoritas--untuk menerima gagasan-gagasan minoritas dan untuk memasukkan aspek-aspek berbeda dari segelintir minoritas yang tidak setuju. Adalah sangat penting menyatukan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan mendasar dari serikat.

(1) Peranan pengurus serikat

Seorang pemimpin sejati setiap saat percaya pada buruh dan menyandarkan [segalanya] pada buruh. Dia meletakkan kepentingan organisasi di atas dirinya. Dia berhubungan baik dengan seluruh angota dan para pimpinan serikat lainnya. Dia melihat bahwa rencana dan keputusan diterapkan secara kolektif dan efektif. Dia menerima kritik dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuatnya. Dia berani, teguh pada posisinya untuk mengembangkan perlindungan dan memajukan kepentingan-kepentingan kelas buruh sejati. Dia juga harus secara langsung mengkritik kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan anggota.

Satu dari peranan utamanya adalah melatih anggota-anggota serikat yang memiliki kemampuan memimpin.

(2) Peranan anggota

Setiap anggota harus memiliki rasa percaya-diri dalam kapasitasnya dan khususnya dalam kekuatan kolektif serikat. Dia harus menyadari kesertaan buruh-buruh dan memimpin upaya-upaya keras mereka menuju kemajuan serikat buruh sejati.

Setiap anggota harus berpartisipasi aktif dalam menerapkan seluruh aktifitas yang secara kolektif disetujui serikat. Ketiadaan partisipasi segelintir anggota dapat melemahkan organisasi dan mendorong frustrasi.

Adalah penting anggota secara terbuka menyarankan tentang bagaimana mengkonsolidasi serikat dan apa kritik mereka terhadap kepemimpinan. Kritik-kritik yang tidak ditanggapi adalah kurang baik, hal ini akan menggerogoti kesatuan serikat.

c. Struktur Serikat

Struktur serikat menunjukkan hubungan dan arah komunikasi antar-jenjang dan antar-sesama anggota dan pimpinan dalam wilayah-wilayah berikut:

  • pembuat keputusan;
  • dukungan bagi mereka yang bertanggung-jawab menerapkan keputusan-keputusan dan program-program tertentu; dan
  • mobilisasi keanggotaan.

(1) Keanggotaan umum

Keanggotaan umum serikat minimal bertemu sekali dalam setahun untuk membuat keputusan-keputusan tentang dan menegakkan orientasi, tujuan-tujuan dan program umum serikat. Rapat-rapat umum juga diselenggarakan bila keputusan-keputusan penting harus dibuat, seperti misal, satu pemogokan, pengesahan Keputusan Kerja Bersama (KKB), perubahan-perubahan dalam serikat, iuran dan amendemen konstitusi serikat dan anggaran dasar.

(2) Dewan Direktur

Dewan direktur dipilih oleh keanggotaan umum dan biasanya tidak lebih dari delapan orang. Mereka menentukan kebijakan-kebijakan dan program umum serikat, merupakan kebutuhan komite-komite dan memastikan penerapan program serikat dengan efektif.

(3) Dewan Eksekutif

Ketua serikat, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan humas lazimnya membentuk perwakilan eksekutif. Perwakilan direktur memilih dewan eksekutif, tugasnya mengurus aktivitas sehari-hari serikat dengan bantuan komite-komite yang berbeda.

(4) Pengurus Basis

Hubungan kepemimpinan pengurus basis ke anggota umum serikat. Mereka menyampaikan masalah-masalah dan keluhan-keluhan buruh kepada komite-komite atau, bila diperlukan, ke perwakilan eksekutif. Mereka menjelaskan dan mengklarifikasi kepada anggota serikat tentang kebijakan yang dirumuskan oleh kepemimpinan, khususnya di saat-saat aksi bersama.

Pengurus terpilih biasanya bertanggungjawab untuk produksi sejenis, satu seksi atau satu bagian. Jumlah mereka dalam serikat tergantung pada jumlah buruh. Mereka diharapkan memimpin dalam pembuatan keputusan, berinisiatif dan bertindak di dalam wilayahnya.

(5) Komite-komite serikat

Satu komite serikat adalah sebuah kelompok, terdiri para pemimpin serikat dan anggota-anggota, yang bekerja secara kolektif. Masing-masing komite mempunyai tugas-tugas dan tujuan-tujuan yang jelas. Melalui komite-komite pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan-kegiatan serikat secara efisien diputuskan dan masalah-masalah buruh segera ditindaklanjuti. Mereka juga membantu training penting bagi para pemimpin serikat yang potensial.

(a) Komite Pendidikan

Rencana-rencana komite ini dan penerapan program pendidikan bagi buruh di pabrik. Bertugas memproduksi satu newsletter (bacaan) serikat, menyebarkan informasi, dan membantu pemahaman kongkrit atas situasi di dalam pabrik dan juga atas situasi penting lokal dan nasional yang relevan, masalah-masalah sosial dan politik.

(b) Komite Organisasi

Tugas utama komite adalah mempromosikan konsolidasi serikat. Merekrut dan mengorganisir buruh-buruh di dalam pabrik yang belum menjadi anggota serikat. Juga mengkoordinasi dan berinisiatif mengorganisir serikat di pabrik-pabrik terdekat.

(c) Komite Keuangan

Komite keuangan bertanggungjawab untuk menerima penghitungan dana-dana serikat dan menerapkan aktivitas pengumpulan dana (fund raising) untuk serikat.

(d) Komite Kesejahteraan

Komite ini melindungi keberadaan buruh di dalam dan di luar pabrik. Membantu buruh melalui kertas kerja dalam menuntut tunjangan-tunjangan, membantu buruh dan keluarganya yang sedang berduka dan menolong buruh dan keluarganya di kala sakit atau mendapat kecelakaan.

STRUKTUR SERIKAT BURUH

   

Dewan Direktur

   
   

Dewan Eksekutif

   

Komite Pendidikan

Komite Organisasi

 

Komite Kesejahteraan

Komite Keuangan

Pengurus Basis

Pengurus Basis

 

Pengurus Basis

Pengurus Basis

d. Keuangan serikat

Satu serikat beroperasi ditunjang oleh pembayaran iuran anggotanya. Sejak dana-dana serikat buruh didapat dari keringat buruh, adalah penting untuk mengadministrasikannya secara benar.

Dana-dana serikat digunakan untuk menerapkan program-program dan kegiatan-kegiatan serikat dan tidak untuk kebutuhan-kebutuhan personal para anggota dan pimpinan.

Pembiayaan per tahun harus disiapkan menunjukkan pemasukan dan pengeluaran yang diharapkan untuk periode tersebut. Komite keuangan menyiapkan pembiayaan ini untuk disetujui dewan direktur. Dewan eksekutif mendiskusikan dan menyetujui, pengeluaran-pengeluaran utama tidak termasuk dalam pembiayaan ini.

Laporan keuangan bulanan harus mengacu pada dewan eksekutif dan laporan tahunan kepada keanggotaan umum untuk dibacakan, setelah dikonfirmasi oleh auditor.

Untuk keakuratan administrasi dana-dana serikat, satu mekanisme pengecekan-ulang dengan tuntunan berikut ini harus diterapkan:

  1. Deposit dana-dana serikat dalam satu bank yang tepat. Penghitungan harus mempunyai tiga tandatangan dengan paling tidak dua orang penandatangan yang bertanggungjawab untuk mengeluarkan uang.
  2. Suatu dana kas kecil, yang tidak lebih dari seribu peso [mata uang Filipina] atau jumlah yang diperlukan untuk operasi harian dari serikat, harus disimpan di kantor serikat buruh. Harus digantikan secara berkala.
  3. Seluruh uang yang diterima, berapapun jumlahnya, harus disimpan di bank tidak diperkenankan dimasukkan ke kas kecil. Satu penerimaan harus diajukan untuk seluruh uang masuk.
  4. Satu tanda-bukti penerimaan (kuitansi) diperkenankan untuk berbagai pengeluaran dengan tandatangan dari pihak yang menerima uang dan satu pernyataan jelas tentang penggunaannya.
  5. Bendaharawan serikat adalah administratur utama dana-dana serikat. Bagaimanapun juga, dia dapat dibantu oleh anggota-anggota dari komite keuangan.

e. Manajemen kantor serikat buruh

Pegawai serikat buruh adalah orang yang bertanggungjawab untuk manajemen kantor serikat buruh, meskipun anggota-anggota serikat buruh dengan ketrampilan dalam manajemen kantor dapat diberikan tugas-tugas spesifik.

Untuk keefektifan manajemen kantor serikat buruh, seluruh personil harus mempunyai tugas-tugas yang jelas. Harus ada keputusan kebijakan-kebijakan kantor dan diketahui oleh semua.

Beberapa tugas-tugas penting di kantor serikat buruh:

  1. Menyimpan naskah dan catatan hasil-hasil rapat serikat.
  2. Rumusan dan penerapan kebijakan-kebijakan serikat berdasarkan kehadiran pada rapat-rapat, laporan-laporan dan hal-hal lainnya.
  3. Administrasi dana-dana serikat dan barang-barang.
  4. Tindak lanjut dari dokumen-dokumen diharapkan untuk dipatuhi oleh kantor-kantor pemerintah setempat dan lembaga-lembaga lainnya.
  5. Menyimpan semua dokumen serikat yang berguna.
  6. Memonitor rencana kegiatan dan berbagai aksi.

6. Jenis-jenis Penyelenggaraan Aksi-aksi Massa

Kreativitas inheren buruh adalah perkembangan melalui perjuangan-perjuangannya menentang kaum kapitalis. Makna kongkritnya mengajukan kepentingan-kepentingan sebagai tindakan-tindakan masa yang tak dapat dipecah-belah dan tidak hanya melalui meja perundingan.

Bila perwakilan serikat hanya menggunakan negosiasi dan arbitrasi, argumen-argumen brilian buruh akan menjadi tiada arti melawan pembicaraan tangkas yang membelokkan, janji-janji kosong dan diskusi abstrak si kapitalis.

Pengalaman mengajarkan kepada buruh beragam bentuk aksi-aksi massa yang efektif tak terpecah-belah dalam perjuangan buruh melawan kapitalis dan untuk membangun kesadaran buruh-buruh lainnya. Di antaranya adalah penandatanganan petisi, delegasi, memperlambat kerja, memboikot kerja-lembur, meninggalkan pekerjaan, memblokir pintu, demonstrasi dan pemogokan. Mereka melakukan aksi-aksi massa yang tak dapat dipecah-belah untuk menuntut kenaikan upah dan tunjangan-tunjangan yang lebih baik. Perjuangan-perjuangan ini juga penyatuan tujuan mereka dan menyiapkan buruh untuk bentuk-bentuk perjuangan yang lebih luas/tinggi.

a. Penandatanganan petisi

Sebuah petisi adalah daftar tuntutan ditandatangan oleh para buruh dan diserahkan kepada kapitalis atau kantor pemerintah. Hal ini tidak mempengaruhi produksi tetapi memberi tekanan pada kapitalis.

b. Delegasi

Mengirim sebuah delegasi untuk mendengar kasus-kasus penundaan sebelum kantor pemerintah atau kapitalis memberi tekanan pada buruh. Ini, juga, tidak merusak produksi ketika mereka yang dalam delegasi sedang tidak bekerja. Melalui satu delegasi, buruh-buruh menunjukkan bahwa mereka cukup solid (bersatu) di belakang tuntutan-tuntutan mereka.

c. Memperlambat kerja

Memperlambat kerja adalah salah satu bentuk aksi massa yang tak dapat dipecah-belah di mana buruh memperlambat kerjanya dalam meningkatkan jumlah produksi sampai si kapitalis menerima tuntutan-tuntutan mereka. Kerjasama banyak buruh dalam satu aksi memperlambat kerja diperlukan sehingga si kapitalis tidak dapat menunjuk siapa yang berinisiatif. Meskipun sebuah aksi memperlambat kerja bukan menghentikan produksi secara keseluruhan, kemerosotan produktivitas mengurangi keuntungan kapitalis, jadi memberikan tekanan kepada kapitalis untuk bernegosiasi dan mengajukan tuntutan-tuntutan buruh.

d. Boikot

Boikot atau penolakan melakukan kerja lembur, menolak mengikuti instruksi-instruksi dan menolak berpartisipasi dalam program-program kapitalis, dapat berguna bagi buruh dalam menekan kapitalis untuk ditunjukkan dan diberikan masalah-masalah buruh yang tidak terselesaikan.

Sebuah boikot, seperti para buruh menolak menghadiri perayaan Lebaran/Natal atau tamasya yang dibiayai oleh perusahaan, tidak selalu mengganggu produksi akan tetapi meletakkan kapitalis dalam satu posisi yang memalukan. Di lain sisi, memboikot kerja-lembur atau kerja di Hari Sabtu dan Minggu, mengganggu produksi.

e. Meninggalkan pekerjaan

Ini adalah penghentian produksi seketika dan tidak terpecah-belah di mana para buruh meninggalkan tempat kerjanya, jadi menghantam pabrik. Kapitalis, tanpa perlindungan, dalam kondisi tekanan begitu besar untuk bernegosiasi dengan buruh.

f. Cuti massal

Ini adalah penerapan massal untuk berlibur dan/atau cuti sakit bagi buruh. Waktu dan koordinasinya harus tepat agar efektif.

g. Menblokir pintu

Memblokir pintu adalah sekelompok massa buruh di depan kantor-kantor atau agen-agen pemerintah atau pintu-pintu pabrik dengan poster-poster dan beberapa orang berteriak mengumumkan tuntutan-tuntutan mereka dan masalah-masalah lain yang mengganggu mereka. Pemblokiran adalah efektif untuk strategi mengajukan tuntutan-tuntutan kerja dan berbagai masalah kepada massa luar dan menggugah dukungan masyarakat luas.

h. Demonstrasi

Suatu demonstrasi adalah pertemuan buruh massal, bersama dengan sektor-sektor masyarakat lainnya, untuk mengudarakan tuntutan-tuntutan mereka dan menyatakan posisinya tentang kerja tertentu, soal-soal nasional dan lainnya yang mempengaruhi mereka.

i. Mogok

Ini adalah bentuk militan tertinggi aksi massa bersama diselenggarakan oleh buruh untuk memenangkan tuntutan-tuntutannya dan memecahkan soal-soal ekonomik di tingkat pabrik. Satu pemogokan di produksi pararel/sejenis dalam rangka memaksa kapitalis meluluskan tuntutan-tuntutan buruh. Ada dua jenis pemogokan; pemogokan pabrik dan pemogokan umum.

7. Bentuk-bentuk Organisasi

a. Serikat lokal

Sebuah serikat adalah organisasi buruh di satu perkebunan, satu pabrik atau satu perusahaan. Memiliki satu perangkat pengurus dan anggota, terikat bersama dalam satu konstitusi/peraturan yang menyatakan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip serikat.

Serikat lokal menyatukan buruh untuk melindungi perekonomian dan hak-hak mereka. Mewakili buruh dalam negosiasi KKB, prosedur mengajukan keluhan dan dalam kasus-kasus buruh melakukan kesepakatan dengan pihak manajemen atau si kapitalis. Melakukan koordinasi dengan serikat-serikat, organisasi-organisasi dan sektor-sektor masyarakat tertindas lainnya. Mengadakan seminar-seminar tentang serikat buruh sejati.

b. Federasi

Suatu federasi adalah sebuah penyatuan serikat-serikat lokal dalam satu atau berbeda sektor industri.

Pengurusnya dipilih melalui perwakilan afiliasi serikat-serikat lokal sejauh ada satu persetujuan (konvensi). Peraturan dan undang-undangnya disiapkan dan dirubah melalui cara-cara yang sama.

Suatu federasi meningkatkan kekuatan dan keefektivan kerjasama serikat-serikat lokal dalam perjuangannya untuk upah lebih besar dan kondisi-kondisi kerja yang lebih baik. Mewakili buruh selama negosiasi KKB, pengsertifikatan pemilihan atau aksi-aksi massa yang diselenggarakan bersama. Lingkup lebih luas dai satu federasi memungkinkan mempercepat pengembangan prinsip-prinsip serikat buruh sejati dan pelatihan buruh-buruh untuk aksi-aksi bersama.

Dari waktu ke waktu federasi membuat jelas posisinya pada soal-soal nasional tertentu. Menerbitkan bacaan (newsletter) dan mengadakan kursus-kursus tentang serikat buruh sejati bagi anggota-anggotanya.

Tidak seluruh serikat-serikat lokal adalah anggota sebuah federasi. Keputusan untuk menjadi serikat independen yaitu satu serikat tidak berafiliasi dengan federasi manapun, adalah selalu disebabkan oleh pengalaman-pengalaman pahit di masa lalu dengan federasi-federasi "kuning." Suatu serikat independen akan mudah merasakan kelemahannya muncul dari ketiadaan dukungan dari buruh-buruh lain di tengah-tengah perjuangannya menentang kapitalis.

c. Aliansi Buruh

Sebuah aliansi adalah penyatuan serikat-serikat dalam satu sektor industri, dalam satu konglomerat (berbeda pabrik namun pemiliknya sama), atau dalam satu pusat industrial. Adalah suatu kekuatan penentang efektif menentang kekuatan terorganisasi dari kapitalis. Dalam sebuah aliansi, setiap anggota serikat mendukung organisasinya masing-masing, struktur dan ke-independen-annya. Serikat manapun, independen atau berafiliasi dengan suatu federasi, dapat bergabung dalam aliansi. Suatu aliansi, bagaimanapun, tidak dapat mewakili anggota serikat-serikatnya dalam negosiasi KKB, tidak seperti federasi.

d. Organisasi Sentral Serikat Buruh (Labor Center)

Organisasi sentral serikat buruh adalah organisasi buruh dalam lingkup nasional. Kadang-kadang, berhubungan dengan organisasi buruh internasional yang berorientasi sama. Sebuah organisasi sentral serikat buruh mewakili seluruh anggotanya, dan buruh pada umumnya, dalam negosiasi dengan kapitalis dan pemerintah di tingkat nasional seperti penaikan upah, hak mogok, menangani kebijakan pemogokan dan persoalan-persoalan lain yang menyangkut tidak hanya buruh tetapi juga massa rakyat luas.

Tidak disangsikan lagi, sebuah organisasi sentral serikat buruh memperkuat kekuatan buruh terorganisasi, membentuk kekuatan potensial dalam masyarakat.

B. PERSPEKTIF GERAKAN BURUH

1. Gerakan Buruh

Satu gerakan buruh berisi seluruh tindakan yang tak dapat dipecah-belah dan perjuangan-perjuangan klas pekerja untuk mengakhiri penindasan dan penghisapan kapitalis. Tujuannya untuk membangun sistem sosial di mana klas pekerja memiliki alat-alat produksi dan memimpin perekonomian nasional, politik dan kebudayaan bagi kebaikan masyarakat umum.

2. Peranan Serikat Buruh Sejati dalam Gerakan Buruh

Untuk mencapai tujuan-tujuan gerakan buruh, serikat buruh sejati harus mempropagandakan dan memperkuat pengorganisasian buruh. Buruh harus dimobilisasi menuntut reformasi ekonomi dan politik dan, bersama klas-klas dan sektor-sektor masyarakat lainnya, mereka harus melakukan aksi-aksi politik.

Seluruh langkah ini akan berhasil secara positif dalam satu front kekuatan bersama menentang kapitalisme monopoli asing dan kompanyon-kompanyon lokalnya. Klas pekerja harus bersatu dengan dan memimpin seluruh klas-klas tertindas dan sektor-sektor dari rakyat Filipino--petani, mahasiswa dan kaum profesional, kaum miskin kota dan kapitalis-kapitalis nasionalis, dalam front persatuan untuk pembebasan nasional dan demokrasi sejati.

Kebebasan nasional dan demokrasi sejati berarti pembebasan negeri ini dari kontrol orang-orang Amerika dan kapitalis monopoli asing lainnya, pembebasan petani dari eksploitasi feodal, sekalipun hak-hak demokrasi seluruh warganegara dan membentuk satu pemerintahan yang benar-benar representatif dari buruh dan rakyat.

3. Masa Depan Gerakan Buruh

Upaya-upaya dan perjuangan-perjuangan klas buruh akan membawa terbentuknya satu orde sosial baru di bawah kepemimpinan buruh di mana alat-alat produksi dan hasil kerja manusia akan dimiliki secara sosial.

Rakyat akan maju hanya bila mereka benar-benar bebas. Dalam satu masyarakat yang diimpikan oleh buruh, seluruh rakyat akan saling membantu dalam memecahkan masalah-masalahnya. Kerja kolektif akan selesai dalam jam kerja yang lebih singkat, jadi memberikan lebih banyak waktu santai bagi buruh, menggali kecenderungan-kecenderungan artistiknya, meluaskan pengetahuannya, dan mengembangkan kemampuan-kemampuannya.

Sistem ini meratakan jalan untuk pembebasan manusia sebenarnya. Rakyat kerja untuk menikmati hasil-hasil manis kerja mereka dan bukan untuk kerja, sebagaimana mereka lakukan saat ini, untuk memperkaya segelintir orang. Dengan pembebasan dari eksploitasi, potensialitas dan kemampuan-kemampuan buruh akan berkembang yang akan membawa pada satu ilmu dan teknologi progresif bagi kemajuan mahluk manusia dan generasi-generasi yang akan datang.***

SEJARAH

SEJARAH PEMIKIRAN SERIKAT BURUH DI INDONESIA (1950-1970-AN)
Oleh: Razif

Djokosudjono, salah seorang pemikir dan pendiri serikat buruh kereta-api, di tahun 1950-an menegaskan, "pemerintah tidak perlu kuatir kalau hak mogok di tangan kaum buruh akan digunakan secara sembarangan, sehingga mengacaukan perekonomian negara." Buruh cukup mengerti dan hati-hati menggunakan senjata mogok ini. Sejarah telah membuktikannya. Sebelum tahun 1950 hampir tidak ada pemogokan. Buruh merasa pada waktu itu tidak ada kepentingan untuk mogok. Kepentingan mempertahankan negara yang baru merdeka menjadi lebih penting. Imperialisme Belanda, yang hendak kembali menjajah, menjadi musuh utama yang harus dihadapi.

Tetapi, setelah 1950 pemogokan kembali ramai. Tatkala itu perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) selesai ditandatangani. Apa penyebabnya? Perusahaan-perusahaan modal asing, yang saat revolusi berhasi direbut kaum buruh, harus dikembalikan kepada pemilik semula. Inilah pemicunya.

Berdasarkan statistik Kementerian Perburuhan, di tahun 1951 terjadi 541 kali pemogokan. Pemogokan tersebut diikuti oleh 319.030 buruh, dan berakibat hilangnya 3.719.914 hari kerja. Di tahun 1952 terjadi 4.003 perselisihan perburuhan. Ini berarti 45% lebih banyak jika dibanding tahun 1951. Dalam kenyataannya yang terjadi sesungguhnya lebih banyak dari catatan pemerintah.

Penyerahan kembali perusahaan-perusahaan yang telah berhasil direbut, membuat buruh mengerti bahwa kemerdekaan telah dikurangi. Suatu hal yang tak dapat dimengerti adalah sikap pemerintah yang mengeluarkan Peraturan Larangan Mogok dan lock-out (pnutupan pabrik). Peraturan ini ditegaskan dengan Undang-Undang Darurat No. 16. Undang-Undang inilah yang kelak mendorong terbentuknya Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).

Pihak-pihak yang berselisih harus memberi tahu kepada P4P tiga minggu sebelumnya jika hendak melakukan aksi. Setelah menerima surat pemberitahuan, P4P diharuskan memberi tahu Menteri perburuhan. Kemudian P4P berhak mengadakan angket yang tak boleh ditolak oleh pihak-pihak yang berselisih. Ini berarti tidak lain memindahkan hak mogok dari tangan buruh kepada P4P (baca pemerintah).

Padahal hak mogok adalah hak azasi kaum buruh. Hak ini dijamin oleh UUD 1945, pasal 21. Hak ini tidak boleh dipindahkan, sekalipun kepada pemerintah. Tiap usaha-usaha pemerintah untuk memindahkan hak azasi ini ketangannya berarti suatu perampasan, dan tidak sah. Namun tetap saja hal itu terjadi. Di dalam komposisi P4P pemerintah tetap menginginkan perimbangan 5:3:3, yaitu 5 wakil Pemerintah, 3 wakil buruh dan 3 wakil majikan.

Dengan demikian UU Darurat No. 16 tersebut tetap berjalan. Baik pemerintah maupun partai-partai politik lainnya sepakat untuk menjalankan. UU ini akhirnya disahkan oleh parlemen pada bulan April tahun 1957 sebagai UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

Sementara itu, gagasan Soepomo di awal abad ke-20 sangat berpengaruh kepada beberapa serikat-serikat buruh. Menurut Soepomo, buruh harus melepaskan diri dari lapangan politik. Serikat buruh hanya bergerak pada bargaining ekonomi, politik adalah urusan partai politik.

Meskipun pada saat itu hampir kebanyakan serikat buruh mengakui dirinya di bawah partai politik tertentu, namun pernyataan mereka tentang bagaimana buruh harus berjuang tidak berbeda dengan Soepomo.

Anwar Tjokroaminoto, Menteri Sosial yang mewakili Partai Serikat Islam Indonesia menegaskan, "...negara kita menghendaki masyarakat yang bahagia, masyarakat di mana tiap-tiap anggotanya bisa merasakan bahagia hidup merata, dengan mempergunakan tenaga dan kekayaan dari rakyat dan tanah air. Masyarakat yang bebas dari penindasan. Masyarakat yang tidak terbagi-bagi menjadi lapisan atau kelas-kelas yang berlawanan kepentingannya." Lebih jauh ia juga menegaskan, "kita tahu, bahwa di dalam perekonomian, faktor yang terpenting ialah modal dan tenaga. Kedua-duanya itu sekarang mempunyai tenaga-tenaga yang tidak dapat bergerak sendiri-sendiri, tetapi harus harmonis."

Penegasan ini tidak berbeda dengan Imam Soepomo. Meskipun dengan kalimat yang lain, satu-satunya jalan untuk mencapai imbangan yang seadil-adilnya ialah keinsyafan pada buruh dan majikan. Buruh berhak atas penghidupan yang layak baginya dan keluarganya, serta majikan berhak juga atas keuntungan yang layak, yakni keuntungan yang cukup bagi penghidupan yang layak baginya dan keluarganya. Keinsyafan itu mendorong buruh dan majikan untuk kerja bersama-sama, meyakinkan bahwa perusahaannya adalah lapangan usaha yang sama.

Satu-satunya serikat buruh yang secara tegas menentang dirinya sebagai onderbouw (pendukung/pengikut) partai hanyalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Hal ini ditegaskan dalam peraturan dasar SOBSI pasal I, "bahwa SOBSI adalah bersifat non partai...." Bersifat non-partai berarti SOBSI tidak serupa dengan organisasi partai politik. Jadi SOBSI sebagai organisasi massa tidak membedakan keyakinan politik. Sedangkan partai politik membatasi keanggotaan yang seideologi. Sedangkan SOBSI tidak melarang anggotanya memasuki suatu partai politik, sebaliknya partai politik melarangnya.

Namun perkataan bersifat non-partai jangan disamakan dengan non-politik. Non-politik berarti tidak menitik-beratkan pekerjaannya kepada soal-soal politik.

Bagaimanapun, setiap politik yang muncul, terutama yang bersangkutan dengan kepentingan buruh, misalnya politik larangan mogok Natsir (Masjumi) yang kemudian diteruskan oleh Tedjasukmana, embargo Mr. Soebardjo (dari Masjumi), tentu akan ditentang oleh kaum buruh. Karena politik larangan mogok dan politik embargo Amerika adalah merugikan kaum buruh dan rakyat Indonesia. Jika SOBSI menentang, ini bukanlah SOBSI ingin menentang, tetapi kaum modal monopoli asing menghendaki supaya SOBSI menentangnya. "Yang bertanggung jawab atas terjadinya tentangan itu adalah pada modal monopoli asing dengan pembantu-pembantunya (seperti Natsir-Masyumi, Tedjasukmana, Mr.Subardjo-Masyumi dst.). Pendek kata, politik SOBSI adalah menentang setiap politik dari manapun juga datangnya, bila merugikan kaum buruh dan rakyat Indonesia. Sebaliknya SOBSI akan menyokong setiap politik asal saja politik membela hak-hak dan kepentingan kaum buruh. Keputusan SOBSI ini merupakan hal yang demokratis, karena memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk belajar dan bekerja secara demokratis.

Tidak demikian dengan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang tegas-tegas menyatakan diri sebagai anaknya Masyumi. Lebih jauh SBII dalam kongresnya yang keenam menegaskan "SBII sangat ingin hanya ada satu serikat buruh Islam di Indonesia dengan bentuk kesatuan." Dengan perkataan lain SBII bersedia bergabung dengan serikat buruh lainnya yang mempunyai ideologi yang sama, hal ini dapat dipahami sebab dalam tahap pertamanya SBII berusaha agar tiap-tiap buruh muslim tidak menjadi alat dari musuh ideologinya. Untuk itu setiap organisasi atau partai Islam menjaga hal ini dan menginsafi bahwa persoalan ideologi adalah prinsipil.

Saat Masyumi dan PSI dilarang aktifitasnya oleh Soekarno, karena terlibat PRRI-Permesta, SBII masuk ke dalam Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO). Dan pada saat yang bersamaan Jusuf Wibisono mengutarakan "Bahaya Merah" di Indonesia dan diperlukan pembentukan front anti-gerakan rakyat. Pembentukan front ini harus bersama-sama dengan angkatan darat yang alatnya menggalang kerjasama buruh dan militer yang kemudian dikenal sebagai Badan Kerjasama Buruh-Militer (BKS-BUMIL). Pembentukan BKS-BUMIL ini dengan pertimbangan: bahwa konstelasi gerakan organisasi buruh di Indonesia pada dewasa ini merupakan gerakan buruh yang terpisah-pisah dan beraneka-ragam, sesuai dengan pandangan hidup masing-masing golongan. Untuk itu ditetapkan kepada seluruh organisasi buruh untuk segera membentuk organisasi persatuan dari pusat sampai ke daerah-daerah dengan bentuk yang nyata. Tujuan pembentukan BKS-BUMIL adalah untuk mengontrol dan menghancurkan serikat-serikat buruh yang berpolitik dan untuk menjamin modal asing masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti setelah peristiwa berdarah 1965 yang melahirkan Oder Baru.

Kelahiran Orde Baru memberikan dampak ekonomi-politik yang dalam bagi perkembangan masyarakat Indonesia, terutama dengan diizinkannya secara bebas beroperasinya penanaman modal asing melalui UU No. 1 tentang PMA di tahun 1967. Modal asing yang masuk ke Indonesia benar-benar dijaga kepentingannya oleh rezim Orde Baru dengan cara restrukturisasi organisasi buruh. Restrukturisasi ini adalah agar buruh dibutakan dari politik (depolitisasi). Langkah pertama dalam menghancurkan serikat-serikat buruh progresif adalah dibentuknya Majelis Pimpinan Buruh Indonesia (MPBI) yang terdiri dari 25 serikat buruh nasional, tujuannya untuk menyatukan dan bersama-sama mendukung hak-hak berserikat dan meningkatkan upah dan kondisi buruh. Namun tujuan ini sama sekali tidak berjalan dan sesungguhnya hanya melakukan hubungan antara pejabat-pejabat serikat buruh tertinggi dengan pemerintah. Tujuan sebenarnya adalah untuk mengubah serikat buruh sehingga pergerakan buruh dapat lebih baik menjalankan fungsi ekonomi dan sosial serta diarahkan untuk "pembangunan." Partisipasi tersebut diselenggarakan melalui sejumlah konperensi dan seminar di sekitar topik tenaga kerja untuk "pembangunan."

Akhirnya, setelah tekanan militer secara terus-menerus dan setelah tekanan kampanye "penggabungan" partai-partai non-pemerintah dapat dilakukan, pada 20 Februari 1973 dibentuk Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Federasi ini merupakan gabungan beberapa pusat-pusat serikat buruh nasional. Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan keberadaan serikat buruh. Dengan demikian membatasi jumlah serikat buruh yang digabungkan ke dalam FBSI. Sebagai ketuanya dipilih Agus Sudono, bekas presiden GASBIINDO; sedangkan Sekretaris Umumnya Suwarto dari Operasi Khusus. Ini merupakan suatu kondisi memungkinkan "menormalkan" aktivitas serikat buruh dengan menampilkan pejabat militer pada pimpinan eksekutif serikat buruh.

Seluruh perkembangan di atas memperlihatkan kekuatan militer untuk menghancurkan pergerakan serikat buruh di Indonesia. semata-mata namanya tetap serikat buruh: sebuah nama yang mencerminkan usaha menjauhkan serikat buruh dari kaum buruh itu sendiri dan kaum buruh seluruh dunia yang mempunyai perjuangan dan bertahan.***

KOPERASI

TENTANG KOPERASI:
Tanggapan terhadap Artikel Rilus A. Kinseng
Oleh: Edi Cahyono

Tulisan Rilus A. Kinseng, "Membangun Koperasi Yang Tangguh * Belajar dari Belanda", (Kompas 12 Juli 1995) menggugah saya untuk menanggapinya. Ada poin yang mengganjal dan dirasakan kurang tepat, seperti penyebutan Max Weber, yang dapat disalah-artikan seolah-olah merupakan salah seorang pemikir koperasi; dan bagaimana letak konteks gerakan koperasi di dalam masyarakat kapitalis.

Pertama berkaitan dengan ide koperasi sendiri. Koperasi lahir dari upaya menanggulangi krisis ekonomi di dalam masyarakat. Kondisi-kondisi malese, ambruknya perekonomian setelah perang menjadi pendorong masyarakat membangun koperasi. Secara teoritis, gagasan koperasi dikembangkan dari kaum sosialis utopia seperti: Robert Owen, Saint-Simon, Charles Fourier, dan anarkhis Prancis Pierre Joseph Proudhon. Ide ini dibawa dari Inggris ke berbagai wilayah lain selama abad ke-19 sebagai konsekuensi dari Industrial Revolution (revolusi industri) yang merombak tatanan sosial-ekonomi. Selama pertengahan hingga akhir 1800-an, bisnis koperasi dikembangkan berdasarkan Rochdale Principles (1844). Kaum sosialis utopia inilah yang memandang perubahan ke masyarakat sosialis dapat dilakukan dengan diam-diam melalui reformasi di dalam masyarakat kapitalis itu sendiri. Pada awalnya, mereka membangun lembaga-lembaga sosial khususnya untuk menolong orang sakit, para alkoholis dsb. Bermunculan founding father (pendiri) koperasi untuk membangun kolektif bisnis. Secara prinsip, kolektif dibangun untuk saling berbagi dan meratakan kesejahteraan di antara sesama anggota. Mottonya adalah 'keeping our money working in our community' (biarkan uang kita [tetap] berakumulasi di dalam komunitas kita). Ide Robert Owen ini untuk membangun komunitas yang memungkinkan adanya hak-hak yang sama (equal rights) sebagai produsen, sekaligus konsumen demi kemajuan masyarakat.

Meskipun berawal dari Inggris, mungkin negeri yang saat ini cukup berhasil mengembangkan aktivitas koperasinya adalah Kanada (di samping Spanyol dengan Mondragon-nya yang legendaris). Di Kanada terdapat 489 group koperasi-jumlah terbesar terletak di Propinsi Quebec, meliputi 380 group.

Sejarah koperasi di Kanada dimulai sekitar 1900 ketika pertama kali dibangun credit union (serikat per-kredit-an). Kemudian pada 1909, beberapa koperasi di Ontario dan Nova Scotia bergabung membentuk Cooperative Union of Canada (serikat koperasi di Kanada), guna membantu pengembangan koperasi.

Setelah Perang Dunia I, para imigran Eropa yang telah memiliki pengalaman panjang berkoperasi mengembangkannya di Kanada; imigran Eropa Timur di New York; imigran Finlandia ke Upper Midwest dan New England; dan para Bohemian di Ohio dan Pennsylvania memulai langkah-langkah keberhasilannya dalam pengembangan koperasi-koperasi grosir supermarket (wholesale) dan pembangunan kompleks perumahan; pada saat yang sama bertumbuhan pula koperasi-koperasi pertanian (farmers' cooperatives) dari Nova Scotia hingga British Columbia, dan dari New England hingga California.

The Cooperative League of the USA (sekarang disebut National Cooperative Business Association) diorganisir dalam tahun 1916 oleh sekelompok aktivis koperasi konsumer New York. Di tahun 1940an, lembaga ini telah menjadi organisasi payung dari seluruh negara bagian, memberikan saran dan mempromosikan usaha-usaha koperasi. Kelompok-kelompok pendukung lainnya termasuk American Institute of Cooperation dan The Cooperative Housing Foundation of Canada, saat ini berperan sebagai penghubung antara koperasi-koperasi lokal dengan pemerintah pusat.

Di tahun 1920-an, bisnis koperasi meluas ke banyak sektor ekonomi, khususnya jasa keuangan. Antara 1920 dan 1925, misalnya, jumlah credit union di AS meningkat duakali; antara 1925 dan 1930, meningkat tigakali.

Pembangunan koperasi berlanjut selama 1930an dan 1940an, mereka menemukan beragam tantangan dari Resesi Dunia 1930 dan perekonomian seusai perang. Agen-agen pemerintah mendukung melalui kebijakan yang menguntungkan dan membiayai program-program koperasi. Koperasi-koperasi pertanian membantu para petani bertahan dari depresi, dan koperasi penyediaan listrik desa membelanjakan listrik untuk hampir setengah juta keluarga-keluarga AS di 42 negara bagian. Di kota-kota, koperasi-koperasi membantu mewujudkan perumahan untuk rakyat selama masa setelah perang.

Konsentrasi dalam pembangunan koperasi sebagai salah satu tulang punggung ekonomi rakyat ini sebagai langkah yang harus diambil mengingat di saat yang sama negeri-negeri baru sosialis bermunculan di Eropa. Pemerintah AS sangat membantu pemulihan kembali perekonomian Eropa seusai perang melalui Marshall Plan-nya.

Saat ini koperasi ikut berperan dalam meluaskan sektor-sektor ekonomi AS dan Kanada. Sekitar 90 juta dari 235 juta warga AS dan 10 dari 25 juta warga Kanada menjadi anggota koperasi. Koperasi Kanada mempekerjakan lebih dari 70.000 orang dan memiliki kekayaan lebih dari 45 milyar dollar. Sedang di AS, koperasi memiliki kekayaan lebih dari 73 milyar dollar.

Aliansi Koperasi Internasional (The International Co-operative Alliance), berpusat di Genewa, Switzerland, beranggotakan organisasi-organisasi dan afiliasi di 66 negeri di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Afrika, India, Asia, dan Australia. Koperasi-koperasi ini banyak yang bekerja dalam perdagangan dan pembangunan internasional.

Beragam kolektif bisnis seperti pertanian, pengolahan kayu dan hutan, distribusi pangan, pembangunan perumahan, manufaktur, per-bank-an, per-kredit-an, pabrik roti, percetakan, toko buku, jasa periklanan, kerajinan tangan, biro perjalanan, turisme, green house (rumah berkonsep lingkungan), penitipan anak, manufaktur garmen, jasa taksi, penggilingan, restaurant, konstruksi, siaran radio, dan sebagainya cukup eksis dan dapat diandalkan sebagai lembaga ekonomi di masyarakat. Mereka pun mempunyai pusat-pusat studi dan pengembangan, di beberapa universitas terdapat jurusan yang khusus disiapkan untuk memikirkan masa depan koperasi.

Sebagai sebuah bisnis tentu saja koperasi berorientasi mencari laba. Sebagai suatu bisnis, di dalam masyarakat kapitalis mereka harus siap bersaing untuk mendapatkan pembeli. Ini problem. Untuk itu, sebagai misal, beberapa koperasi pertanian dan manufaktur di India, Meksiko (khususnya di Mondragon), dan partner koperasi distribusi mereka di Eropa, Amerika dan Kanada memperkenalkan kembali barang-barang yang diproduksi dan dimanufaktur tanpa diuji-cobakan terhadap hewan, atau tidak mengandung zat kimia, dan untuk produk-produk pertanian mereka mempromosikan produk-produk organik (sayur, buah, beras dsb.), yang tidak menggunakan pupuk kimia produk pabrik. Ini menjadi salah satu strategi baik dalam menarik pembeli, mengingat isu lingkungan menjadi cukup penting dalam dasawarsa-dasawarsa belakangan ini. Dengan cara ini, koperasi produksi barang-barang organik dapat menguak pangsa pasarnya sendiri yang sebelumnya telah dikuasai big business (kaum monopoli) swasta. Memungkinkan mereka dapat bersaing dengan produksi non-koperasi, meskipun harga jual produk-produk koperasi sedikit lebih mahal dari non-koperasi. Masyarakat umum menjadi percaya bahwa koperasi menawarkan hidup lebih sehat.

Hal yang cukup penting dari koperasi adalah bahwa mereka membangun sistem manajemen terbuka dan dikontrol oleh anggota dan para pekerjanya. Azas mereka dalam membangun koperasi adalah capital shared atau berbagi modal (uang, gedung, peralatan kantor, tenaga, pikiran dsb.) untuk mewujudkan satu tujuan yaitu membangun kesejahteraan bersama dalam kolektif. Kesadaran anggota untuk membayar iuran dibentuk oleh tujuan tersebut. Dan, agar setiap anggota tahu seluk-beluk koperasi, bila seseorang berminat masuk menjadi anggota koperasi, mereka harus terlibat dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan koperasi itu sendiri untuk tenggang waktu tertentu. Dengan demikian keterlibatan seseorang di dalam koperasi bukan semata-mata untuk membeli saham dan menantikan pembagian deviden-nya. Namun, belakangan ini dikarenakan persaingan bisnis yang ketat koperasi cenderung menggunakan tenaga kerja yang tetap agar laju aktifitas produksi tidak terganggu.

Sebagai sebuah bisnis, profesionalisme dan manajemen yang baik tentu menjadi syarat yang tidak dapat diabaikan. Bila kebutuhan untuk tenaga profesional dalam bidang-bidang tertentu tidak ditemui diantara anggota koperasi, biasanya para pengurus koperasi memutuskan untuk menggaji (hired) beberapa orang untuk jabatan tertentu. Orang-orang seperti ini bisa tidak menjadi anggota koperasi, karena mereka bergabung bukan terdorong oleh keinginan sendiri, akan tetapi diambil karena kemampuannya mengelola suatu pekerjaan secara efektif dan dapat melipat-gandakan keuntungan bisnis koperasi tersebut. Di banyak koperasi posisi Direktur Pelaksana (General Manager) sering diduduki oleh orang gajian ini. Meskipun demikian kontrol anggota (membership) terhadap jalannya bisnis tetap dapat dilakukan melalui mekanisme-mekanisme demokrasi yang diyakini representatif (lihat diagram).

 

Keanggotaan

 
 

Dewan Pengurus

 
 

Direktur Pelaksana

 

Personalia

 

Administrasi keuangan

sistem komputer dan informasi

 

Akuntan

menejer

menejer

menejer

pekerja

pekerja

pekerja

Tentu saja terdapat pembagian kerja lebih spesifik di dalam masing-masing divisi yang dibentuk. Dengan struktur manajemen ketat ini koperasi sebagai bisnis bekerja dan berproduksi, dan siap menghadapi produk dari perusahaan swasta.

Yang terpenting dari koperasi adalah pemilikan dan kontrol secara kolektif, selain itu di dalam sistem ini terkandung prinsip-prinsip dasar perusahaan yang dianut masyarakat Barat tentang tujuan dan manajemen seperti:

  • Keanggotaan terbuka-siapapun dapat menjadi anggota koperasi;
  • kontrol demokratik-satu anggota, satu suara, tanpa menghiraukan jumlah saham yang dikuasai anggota;
  • Promosi pendidikan-anggota belajar tentang gerakan koperasi dan mengoperasikan koperasi milik mereka sendiri;
  • Distribusi deviden berdasarkan kekerapan penggunan jasa koperasi - bukan berdasarkan proporsi seseorang dalam investasi;
  • Pembatasan keuntungan dari saham yang ditanamkan anggota di koperasi;
  • Kerjasama aktif antar sesama koperasi.

***

Koperasi dapat tumbuh dengan baik bila kondisinya memungkinkan. Keberhasilan koperasi di negeri lain yang digambarkan di atas dapat terwujud dikarenakan pertumbuhan gerakan koperasi itu sendiri tidak terlepaskan dari perkembangan masyarakat. Saat revolusi industri berlangsung, gerakan koperasi pun dimulai. Hal ini tentunya tidak dapat diabaikan, mengingat proses monopoli/oligopoli hingga kartel yang menjadi begitu berpengaruh dalam bisnis di masyarakat kapitalis masih dalam tahap awal perkembangannya. Kekuatan ekonomi tertinggi dalam kapitalisme ini belum benar-benar menguasai hayat hidup orang banyak.

Bila kita tengok koperasi di Indonesia kondisinya sangat berbeda dari koperasi yang berkembang di negeri industri maju. Perkembangan sejarah koperasi di Indonesia memang tidak mengalami proses perjuangan dan tantangan serta konflik yang menyebabkan koperasi perlu ditegakkan. Sistem perekonomian kolonial yang dibangun Belanda dan Jepang memang menghasilkan kemiskinan yang berpengaruh luas khususnya di Jawa dan Sumatra; akan tetapi di lain sisi tindakan yang diambil oleh bumiputera adalah membangun gerakan politik ketimbang gerakan ekonomi.

Meskipun kemudian dalam merumuskan UUD'45 dirasakan perlu menegaskan adanya sistem perekonomian yang bersifat kolektif, namun akar dan sejarah dari gerakan koperasi sendiri tidak ada. Dalam perjalanan pembangunan ekonomi Indonesia berbagai pihak menginterpretasikan sendiri-sendiri makna rumusan UUD'45-yang lahir dalam kondisi perang tersebut.

Bagaimanapun, ada tiga bentuk koperasi di Indonesia, pertama koperasi dibangun sebagai cara untuk mendapat penghasilan tambahan. Seperti yang diadakan di kantor-kantor pemerintah, pabrik-pabrik dan sebagainya (lazim disebut koperasi karyawan).

Kedua, pemerintah mendukung koperasi, sebab hanya dengan cara seperti ini dapat dihasilkan produk murah. Koperasi seperti ini mengumpulkan seluruh produk tersebut dan mendistribusikannya dengan harga "murah." Secara khusus koperasi ini dijalankan untuk produk-produk pertanian yang dapat dijual dengan kontrol harga oleh pemerintah (misalnya: KUD/koperasi unit desa). Praktek perdagangan koperasi tipe ini dilakukan melalui monopoli. Besarnya peranan pemerintah dalam koperasi tipe ini membuat pihak produsen menjadi kurban ketimbang sebagai kekuatan bisnis yang patut diperhitungkan. Hingga saat ini petani lah yang menjadi kurban koperasi. Laba justru dikantungi para tengkulak yang biasanya adalah para pengurus KUD dan para pegawai Bulog (Badan Urusan Logistik).

Ketiga, adalah koperasi borjuis atau koperasi kapitalis. Koperasi seperti ini hanya sebuah kedok untuk berlangsungnya hubungan yang sebetulnya kapitalistik. Yaitu, pengusaha mengatur strategi terhadap buruh-nya bahwa pada suatu saat buruh tersebut akan memiliki alat produksi. Jadi, seolah-olah buruh memiliki kontrol terhadap jalannya perusahaan. Bentuk koperasi ini dapat ditemui pada koperasi taksi, sarana angkutan umum (seperti angkutan pinggir kota), dan sebagainya. Dalam praktek koperasi seperti ini, buruh-buruh transportasi tersebut tetap harus mengumpulkan dan menyetorkan sejumlah uang, kurang lebih sama dengan buruh transportasi yang bekerja di perusahaan non-koperasi, kepada perusahaan. Pihak perusahaan menyebut setoran ini sebagai biaya angsuran untuk memiliki kendaraan. Biasanya, proses mengangsur ini berlangsung sekitar tiga hingga lima tahun. Pada kenyataannya kendaraan yang dipergunakan terus-menerus selama tiga hingga lima tahun akan menjadi barang yang tidak berdaya-guna dan tidak berharga lagi. Sehingga, jelas bentuk koperasi seperti ini sebagai strategi pengusaha menipu para buruh-nya.

Bila koperasi akan dibangun secara serius, maka sudah pasti akan berhadapan dengan peranan besar yang dimainkan para pengusaha besar dan kaum monopolis swasta.

Bagaimanapun, koperasi memang sistem ekonomi yang tidak melahirkan jurang sosial-ekonomi kaya-miskin secara tajam. Bila dimungkinkan sistem ini dapat berkembang di manapun, kapanpun untuk siapapun. Bila kita tengok, sebagai contoh, derasnya pemogokan buruh, protes petani/rakyat yang terjadi sambung-menyambung, pengangguran yang mendorong berbagai tindak kejahatan, tidak lain mengindikasikan adanya krisis ekonomi. Nampaknya, sebagai sebuah bentuk sistem perekonomian koperasi dapat diajukan sebagai salah satu jalan ke luarnya. Di dalam masyarakat industri maju koperasi dapat tumbuh, berkembang dan membentuk jaring-jaring sejak produksi, distribusi hingga pasarnya sendiri. Langkah untuk memasuki bisnis koperasi tentu saja mesti diawali dengan memahami makna dari gerakan koperasi itu sendiri. Paling tidak di Indonesia telah ada "embrio" koperasi yang tersebar di berbagai kalangan seperti kantor-kantor pemerintah, di beberapa pabrik maupun di pedesaan. Diperlukan keberanian untuk mengubahnya menjadi sebuah aktifitas bisnis yang mandiri. Kebiasaan menanti dukungan dan uluran tangan pihak lain untuk merealisir satu gagasan harus mulai ditinggalkan. Bangunlah koperasi yang sebenarnya, tanpa harus mengabaikan prinsip utama koperasi yang mengandalkan kekuatan dan kontrol kolektif.***

OPINI

UPAH DAN PEMOGOKAN
Oleh: Razif

Bulan Januari lalu Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief kembali mengumumkan kenaikkan upah minimum regional (UMR) sebesar 10,63% yang berlaku mulai 1 April 1996. Tingkat kenaikan upah baru dilakukan berdasarkan hasil survey Depnaker berserta Dewan Penelitian dan Pengupahan Nasional (DPPN).

Hasil kenaikkan ini mengundang suara-suara sumbang dari pihak wakil rakyat yang mengatakan bahwa kenaikan upah sekarang ini hanya menutupi inflasi dan meroketnya harga-harga kebutuhan pokok. Sementara dari pihak buruh sendiri menegaskan bahwa kenaikan upah sekarang ini sama sekali tidak memadai, bahkan telah didahului oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Untuk itu kita perlu periksa apakah betul inflasi hanya mencapai 8%, dan jika betul buruh hanya menikmati kenaikan upah-nya sekitar 2% dan ini belum memasukan hitung mereka untuk kerja lembur dan mengejar target produksi. Apabila inflasi melebihi dari 8%, maka upah yang akan diterima buruh pada bulan April nanti sama sekali tidak ada artinya.

Ditambah pula dengan peraturan pajak yang baru setiap orang yang berpenghasilan lebih dari Rp 144.000,- dikenakan pajak penghasilan (Pph) sebesar 10%. Pph ini pun akan dikenakan terhadap penghasilan buruh yang diterima dari kerja lembur.

Terlepas dari nada sumbang berbagai pihak di atas, patut kita pertanyakan pula bahwa jauh hari sebelum kenaikan upah diumumkan gejolak perburuhan atau pemogokan cenderung meningkat. Jadi apakah kenaikan upah sekarang ini ada hubungannya untuk meredam pemogokan buruh? Untuk menjawab persoalan ini mari kita periksa beberapa kasus pemogokan yang setidaknya mewakili bagi pengkondisian kenaikan upah. Dan juga yang perlu patut kita pertanyakan pula, biasanya menjelang lebaran kaum buruh melakukan aksi mogok, sekarang ini nampak begitu marak kembali bak air yang beriak. Apakah ini juga ada kaitannya dengan instruksi Menaker yang mengharuskan perusahaan untuk membayar Tunjangan Hari Raya (THR) dua minggu sebelum lebaran? Dan seringkali dilanggar oleh pihak pengusaha.

Inflasi

Bagi kaum buruh inflasi bukanlah istilah asing lagi, kata ini dapat kita rasakan sehari-hari seperti, harga beras yang membumbung, harga cabai yang semakin "pedas" atau harga daging yang meroket. Kenaikan harga kebutuhan pokok itu diperbandingkan dengan nilai tukar yang diperoleh tenaga bekerja buruh per hari terus-menerus merosot, bahkan kaum buruh terus menombok. Contoh konkritnya harga 1 liter beras untuk mutu beras skala menengah telah mencapai Rp 950,-, sedangkan harga daging 1 kg telah mencapai Rp 17.000 kg untuk yang produk dalam negeri, sedangkan produk luar-negeri Rp 13.000 kg. Sementara itu harga cabai, yang dikenal sebagai bumbu masak harga 1 kg telah mencapai Rp 14.000,- hingga Rp 18.000,-.

Sekarang marilah kita perhitungkan kemampuan yang bisa dicapai oleh buruh dengan harga kebutuhan pokok yang tinggi. Kaum buruh biasanya mendapatkan upah satu minggu sekali atau dua minggu sekali, kalau kita hitung kaum buruh mendapatkan upah Rp 33.000,- per minggu, sementara mereka perlu beras seminggu 7 liter yang berarti perlu mengeluarkan uang Rp 6.650,-. Sementara itu untuk lauk-pauk dan bumbu masak diperkirakan kaum buruh mengeluarkan Rp 17.500,-, belum lagi ditambah uang transportasi untuk per-minggu bisa mencapai Rp 5.000,-, selain itu kaum buruh juga harus menyisihkan uang mereka per-minggunya Rp 5.000,- hingga Rp 10.000,- untuk biaya sewa rumah. Ini baru kebutuhan pokok kaum buruh, belum biaya-biaya sosial lainnya seperti iuran hansip dan sampah yang per bulannya mencapai Rp 2.000,-.

Nah, jadi kalau kita perhitungkan dari pendapatan kaum buruh selama mereka bekerja satu minggu sama sekali tidak mendapatkan apa-apa. Apalagi perhitungan ini didasarkan pada upah buruh yang belum yang masih berlaku sekarang. Dan jika diperhitungkan dengan tingkat kenaikan upah yang akan dinaikkan oleh Menaker yang mencapai 10,63%, sedangkan kenaikan harga kebutuhan pokok telah mencapai 20-30%, sehingga nilai rill upah yang diterima buruh sama sekali tidak ada artinya. Maka, ada benarnya pernyataan Ketua Bappenas bahwa upah buruh sekarang terus-menerus melorot, dan hanya dapat membeli sandal jepit.

Mengapa kenaikan upah sebesar 10,63% masih belum ada artinya bagi kaum buruh? Mari kita ambil contoh untuk wilayah Jawa Barat yang tingkat kenaikan upahnya sama yakni, Rp 5.200,-. Kalau kita hitung secara nominal kenaikan upah buruh di wilayah ini mencapai angka Rp 600,-. Kenaikan angka sebesar ini tidaklah setara dengan pengeluaran rill yang dialami oleh kaum buruh sehari-hari, sebagaimana telah kita jabarkan secara sederhana di atas.

Sementara itu tingkat inflasi di masing-masing daerah berbeda-beda. Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah tingkat inflasi di Jakarta pada tahun 1995 sebesar 9,54 persen, sedangkan untuk Yogyakarta mencapai 9,64% dan untuk Bandung sebesar 6,36%. Sedangkan tingkat inflasi tertinggi terjadi di kota Menado (Sulawesi Utara) yang hampir mencapai 13%. Jadi kalau kita hitung dari tingkat kenaikan upah yang rata-rata tiap daerah hanya berkisar antara Rp 500,- hingga Rp 600,-, dan ini hanya sedikit menutupi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Lagi pula, apakah masuk-akal bahwa penentuan upah senantiasa dipukul rata secara regional, padahal tingkat inflasi dan harga barang berbeda-beda untuk setiap wilayah. Maka sudah saatnya Depnaker harus digugat untuk turut menyertakan buruh dalam menentukan upah.

Mogok

Berdasarkan hasil pemantauan surat kabar Kompas pemogokan buruh untuk tahun 1995 hampir mencapai rata-rata 5 kali setiap harinya. Tuntutan mogok buruh ini berkisar pada upah yang rendah, pemogokan buruh ini merupakan manifestasi dari rasa ketidak-puasan terhadap tenaga bekerja yang mereka keluarkan setiap harinya. Kalau kita hitung bahwa pemogokan terjadi setiap harinya di lima pabrik dan seandainya diambil rata-rata satu pabrik mempekerjakan 1.000 orang buruh, berarti yang terlibat pemogokan 5.000 orang buruh, berarti perusahaan kehilangan jam kerja setiap harinya 3.500 jam kerja.

Contoh lainnya pemogokan besar pada tahun 1995 terjadi pada PT Great River Industri (GRI) yang memproduksi garmen dari berbagai merk terkenal pemogokan ini melibatkan sekitar 6.000 buruh PT. GRI. Pemogokan ini berlangsung selama dua minggu, kalau kita perhitungkan jam kerja yang hilang adalah 6000 x 7 jam x 14 hari, maka jam kerja yang hilang ialah, 588.000 jam.

Sebab-musabab kaum buruh GRI melakukan pemogokan karena selama ini perusahaan belum memberikan UMR, dalam pengertian upah sebesar Rp 4.600,- di luar tunjangan uang makan dan uang transpor. Jadi pada kenyataannya upah yang diterima oleh buruh GRI di bawah Rp 4.600,-. Persoalan yang tidak masuk akal, pihak personalia GRI tidak akan mem-PHK buruh-buruh yang terlibat penogokan, asalkan mereka membuat pernyataan tidak bersalah dan tidak lagi mengulangi perbuatan pemogokan.

Sementara itu, sekitar 300 pekerja pabrik pemintalan benang PT. Musitex Perkasa Spinning Mill (MPSM), di desa Puspanegara Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor pada waktu yang sama juga melakukan aksi pemogokan. Pasalnya para buruh menolak diberlakukannya upah sistem borongan. Dalam pengumuman dari pihak perusahaan disebutkan antara lain, dengan sistem borongan buruh diberi target harus menyelesaikan 1 bal atau 8 karung bahan baku kapas sampai jadi benang per hari. Mereka menolak sistem tersebut, karena berdasarkan praktek sehari-hari, target itu tidak mungkin dapat dipenuhi. Masih dalam pengumuman yang sama, disebutkan pula, kepada para pekerja yang tidak menerima keputusan itu dianggap mengundurkan diri, sementara bagi yang masuk kerja dianggap menyetujui kebijaksanaan perusahaan. Dalam keterangan lain wakil buruh di pabrik tersebut, upah yang mereka terima selama ini sudah sesuai dengan upah minimum regional (UMR) yakni Rp 4.600 per-hari. Bahkan mereka juga memperoleh uang makan dan pelayanan transportasi. Namun bila sistem borongan diberlakukan, maka upah pekerja tidak akan mencapai UMR, karena bila target borongan yang tidak mungkin bisa diselesaikan itu tidak terpenuhi.(Bisnis Indonesia, 26/9/1995).

Dari dua kasus pemogokan di atas, pemogokan buruh di Indonesia tetap bergelut pada soal upah yang belum dipenuhi oleh pengusaha. Pihak pengusaha untuk tidak memenuhi upah para buruhnya mempunyai bermacam-macam cara, baik dengan cara menghapuskan komponen-komponen tunjangan dalam UMR seperti uang makan dan transportasi atau memberlakukan sistem borongan alias buruh harus mengejar target produksi.

Melihat fenomena pemogokan ini, Mennaker Abdul Latief yang juga seorang pengusaha nasional memandang perlu untuk menaikan upah buruh setiap tahun.

Kalau kita menengok ke belakang yakni, sejak Abdul Latief menjabat sebagai Mennaker 19 Maret 1993 ini berhasil menaikan rata-rata upah minimum regional (UMR) buruh sebesar 98,8 persen dalam waktu empat tahun. Kalau pada akhir Repelita V rata-rata UMR masih Rp 2.049, pada tahun 1996 sudah mencapai Rp 4.073,-. Namun kalau kita perbandingkan dengan laju pemogokan dari tahun 1993 hingga tahun 1995 terus melambung, sebagai contoh tahun 1994 saja tingkat pemogokan sudah mencapai 1.000 kali pemogokan lebih. Dan kalau dihitung secara akumulasi, sejak tahun 1993 hingga tahun 1995, kemungkinan besar tingkat pemogokan akan berkisar 3.000 hingga 4.000 kali. Tingkat pemogokan inilah yang menyebabkan Mennaker mengambil kebijaksanaan untuk menaikan upah setiap tahunnya, hingga ia menegaskan bahwa tingkat kenaikan upah tahun ini telah mendekati kebutuhan hidup minimum (KHM).

Sebagai orang awam juga akan memahami bahwa yang dikatakan upah telah mendekati KHM, hal ini merupakan angka manipulasi. Keadaan ini akan terlihat dari perbandingan pembayaran upah dengan pengeluaran buruh sehari-hari yang tidak setara dengan tenaga bekerjanya yang dikeluarkan setiap jam. Tidaklah dapat dipungkiri bahwa kenaikan upah sekarang ini adalah salah satu instrumen untuk meredam maraknya pemogokan buruh.

Maraknya pemogokan buruh, seperti kasus pemogokan buruh di Medan pada tahun 1994 atau kasus Jombang pada tahun 1995 akan menurunkan gairah investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sebab kata kuncinya stabilitas atau rust en orde (keamanan dan ketertiban) perlu dikedepankan ketimbang pemerataan. Nah, untuk menjaga kenyamanan investor dari maraknya pemogokan buruh, maka perlu dinaikan upah buruh yang kalau kita perhitungkan hanya mencapai Rp 500,- hingga Rp 600,-.

Ditambah pula dengan kebijakan Mennaker bahwa para pengusaha diharuskan membayar tunjangan hari raya (THR) dua minggu sebelum hari raya. Kebijakan ini untuk mendinginkan gejolak pemogokan buruh, yang biasanya mencapai puncaknya menjelang hari raya.

Yang menjadi pertanyaan dapatkah di masa depan kenaikan upah dan pembayaran tunjangan akan mengekang dan meredam gejolak pemogokan buruh?***

RESENSI

PEMOGOKAN SEBAGAI SENJATA ALTERNATIF
Oleh: Buruh Cileungsi

Pemogokan buruh (sebagai kajian sejarah)

Minat sejarawan Indonesia terhadap bidang kajian sejarah sosial dalam beberapa dekade ini cukup mengairahkan. Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Kuntowijoyo adalah mereka yang tak asing lagi dengan sejarah jenis tersebut.

Umumnya karya sejarah sosial lahir dari dunia akademis atau karya-karya tersebut awalnya ditulis untuk memenuhi gelar sarjana, master dan doktor, demikian juga dengan buku karya Bambang Sulistio ini. Mulanya kajian sejarah tentang pemogokan ini ditulis sebagai tesis di fakultas sastra UGM.

Peristiwa pemogokan pabrik gula tahun 1920 dan terjadi hampir di seluruh pulau Jawa menjadi bahan kajiannya.

Penelitian tentang gerakan buruh dalam literatur sejarah biasanya hanya diselipkan atau hanya pelengkap dalam penuturan sejarah nasional Indonesia, baik masa pergerakan nasional maupun masa kemerdekaan. Apalagi gerakan buruh yang terorganisir dan mampu mndinamisir perlawanan rakyat terhadap perlawanan rakyat terhadap kolonialisme.

Menempatkan gerakan buruh sebagai bagian dari unit sejarah nasional Indonesia dan bagian dari perjuangan rakyat itulah yang diangkat penulis. Kasus pemogokan buruh pabrik gula di Karesidenan Madiun, Surabaya, Pasuruan sampai pada seruan umum untuk melakukan mogok di seluruh Jawa rentang waktu 1918 sampai 1928 menjadi bahan kajian.

Pemogokan buruh dalam masa itu dianggap sebagai gerakan modern kaum buruh dan tani di daerah industri gula, dianggap demikian karena gerakan buruh Indonesia sudah terorganisir melalui serikat buruh Indonesia di pabrik gula yang terkenal dengan nama Personel Fabriek Bond (PFB) dan berada di bawah Central Serikat Islam (CSI). Sebelumnya gerakan buruh dan tni belum terorganisir baik dan bersifat reaksioner.

Gerakan buruh modern dengan pemogokan sebagai senjatanya memiliki kekuatan tawar menawar terhadap pemilik modal sekaligus kolonialis, walaupun belum sampai pada tataran politis yaitu sebagai sebuah organisasi politik yang radikal.

Dalam pemogokan tersebut tetap memasukkan petani, elit politik pribumi dan kolonialis, dan manajer pabrik sebagai variabel pengkajian penelitian. Karena variabel tersebut dilibatkan kajian sjarah ini cukup bervariasi dan arah pendekatan sejarah yang multi disipliner dan dimensional menjadikan kajian tentang pemogokan buruh yang terorganisir ini terasa tuntas.

Di mulainya kebijaksanaan politik kolonial Belanda terhadap daerah Hindia Belanda yang salah satunya adalah ditetapkannya liberalisme ekonomi, memiliki determinasi kuat terhadap pola gerakan kaum buruh. Kebijaksanaan ekonomi itu juga memperkuat argumen tentang pola hubungan industrial yang dibagi atas tiga klas sosial yaitu:

  • para pekerja dengan organisasi buruhnya
  • manajer perusahaan dan
  • pemerintah dengan seluruh aparatnya

Untuk sampai pada kesimpulan pemogokan sebagai model gerakan baru kaum buruh, saya mengaitkan dengan konstalasi politik di negeri Eropa Umumnya. Serikat buruh di Eropa muncul dari semangat menentang kapitalisme yang dianggap melahirkan kesenjangan dan melakukan eksploitasi terhadap kaum buruh.

Kesimpulan ini hampir tidak jauh berbeda dari historiografi mengenai Indonesia lainnya, yaitu sulit lepas dari determinasi kolonialisme sehingga memaksakan kita bahwa pemogokan adalah muatan baru, atau produk budaya baru.

Dalam hal menjawab bagaimana dan mengapa pergolakan terjadi, tetapi belum mampu mengurai bagaimana praksis program yang dirumuskan organisasi, akibatnya kita diajak mengetahui pergulatan dalam organisasi buruh atau pergulatan yang terjadi pada tingkat elit politik organisasi, buruh dalam posisi apatis tanpa inisiatif untuk melakukan pemogokan.

Mungkin hal ini disebabkan data diperoleh dari arsip dan surat kabar yang diterbitkan organisasi buruh.***

BURUH INDONESIA...!
BERTEATER PUN DIBUNGKAM!
Oleh: Esrom Aritonang

Kehadiran teater buruh di Indonesia, sebagai satu media "baru" perjuangan buruh, ternyata mendapat sambutan keras dari pemerintah. Sangatlah jelas, lewat berbagai dalih dan alasan, pemerintah telah melarang beberapa acara pementasan. Sebagai contoh, pencekalan pementasan Teater Buruh Indonesia (TBI) dan teater Sanggar Pabrik. Namun, perlu disadari, ini hanyalah salah satu bukti tindakan kesewenang-wenangan pemerintah terhadap buruh.

Apakah kesewenang-wenangan itu hanya ketika buruh berteater?

Pada dasarnya, dalam kehidupan kesehariannya, buruh tertindas: baik lewat upah rendah yang ditetapkan pemerintah, peraturan yang condong membela pengusaha, penangkapan aktivis buruh, sampai pada pengekangan hak berkumpul dan berserikat: hak membentuk serikat buruh sendiri yang murni dan sejati membela buruh. Jadi, kegiatan teater buruh, apa gunanya bagi kaum buruh? Besarkah artinya bagi perjuangan buruh?

Teater adalah suatu organisasi kesenian, di mana sekelompok buruh berlatih mengungkapkan dan menuturkan nasibnya yang tertindas. Lewat teater, buruh mengisahkan penderitaan mereka kepada masyarakat luas. Kegiatan berteater, maupun kegiatan kesenian lainnya, adalah suatu cara perlawanan yang cepat dan efektif sekali apabila digunakan untuk membangun kesadaran dan solidaritas di kalangan buruh. Jadi, kalau peranannya tidak penting, pemerintah tidak akan melarang buruh berteater.

Pemerintah tidak menginginkan hal itu terjadi, buruh dipaksa diam dan cukup bekerja di pabrik saja. Namun, justru yang terjadi sebaliknya. Buruh tidak menyerah begitu saja, perlawanan lewat teater (kesenian) terus berlanjut. Hasrat kaum buruh untuk merdeka, bebas dari penindasan, semakin menggebu dan membara. Maka, pemerintah pun kian berang: terjadilah pencabutan izin pementasan, pencekalan, dan pembubaran pertunjukan teater buruh.

PELARANGAN BERUNTUN TERHADAP TBI

Pelarangan di Jakarta

Pada tahun 1995 yang lalu, lakon drama yang akan dipetaskan oleh TBI, "Senandung Terpuruk dari Balik Tembok Pabrik," dipermain-mainkan oleh peraturan perizinan. Padepokan teater ini ingin mementaskan drama karya mereka itu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Pementasan yang tadinya direncanakan berlangsung tanggal 13-14 Mei 1995, ternyata, dilarang oleh Kepala Direktorat Sosial Politik (Kadit Sospol) DKI Jakarta.

Pihak TBI tidak menerima begitu saja perlakuan sewenang-wenang Kadit Sospol itu. TBI menggugat pelarangan itu melalui Pengadilan. Yayasan Sisbikum (Saluran Informasi Sosial dan Bimbingan Hukum), yayasan yang selama ini aktif membina TBI, mendukung tindakan ini. Gugatan diajukan lewat tim kuasa hukum TBI, Pardomuan Simanjuntak dkk.

Kalau dicermati, alasan pelarangan pementasan TBI, sangatlah aneh dan tidak masuk akal. Pada persidangan tanggal 24 Juli 1995, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang dipimpin oleh hakim Benyamin Mangkoedilaga S.H., tim kuasa hukum Kadit Sospol DKI Jakarta John Sumele dkk. mendalilkan bahwa salah satu alasan membatalkan pertunjukan, karena TBI tidak mau merubah judul drama. TBI mengajukan judul yang menggunakan istilah "buruh." Padahal, menurut Kadit Sospol, sejak pemerintahan Orde Baru berdiri, istilah "buruh" tidak dikenal lagi. Pemerintahan Orde Baru hanya mengenal istilah "tenaga kerja," berdasarkan UU No. 14/1969.

Tim kuasa hukum TBI menyatakan bahwa dalil itu keliru. Pardomuan Simanjuntak selanjutnya menyatakan bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang menggunakan istilah "buruh." Jadi, meskipun ada UU No. 14/1969, bukan berarti bahwa pemerintahan Orde Baru tidak mengenal lagi istilah "buruh."

Menurut Pardomuan Simanjuntak, adanya UU No. 14/1969, juga bukan berarti bahwa segala peraturan perundang-undangan "Orde Lama" yang memakai istilah "buruh," tidak berlaku lagi. Kuasa hukum TBI ini kemudian memaparkan beberapa undang-undang "Orde Lama" yang masih memakai istilah "buruh," dan undang-undang itu masih dipakai oleh pemerintahan Orde Baru. Contohnya, antara lain, UU No. 1/1951, UU No. 21/1954, UU No. 22/1957, UU No. 18/1958, dan UU No. 12/1964. Bukti yang lebih telak dan sulit dibantah, lembaga pemerintahan Orde Baru, P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) dan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah), justru tetap menggunakan istilah "buruh."

Mengenai surat yang isinya tidak memberi TBI izin untuk mentas, tim kuasa hukum Kadit Sospol berdalil bahwa surat itu hanya sekedar pemberitahuan saja. Tim kuasa hukum TBI juga membantah dalil ini. Menurut Pardomuan Simanjuntak, surat itu jelas sudah merupakan keputusan final. Dengan adanya surat tersebut, Polda Metro Jaya tidak bersedia mengeluarkan izin keramaian. Menurut pihak Polda Metro Jaya, izin baru ke luar apabila pihak Kadit Sospol memberikan surat rekomendasi. Akibatnya, TBI tercekal untuk mentas di TIM Jakarta.

Pada persidangan berikutnya, sebagaimana diberitakan harian Kompas (15 Agustus 1995), didengarkan keterangan Remi Silado sebagai saksi. Menurutnya, pelarangan atas pementasan TBI suatu hal yang aneh, karena TBI sebelumnya sudah mendapatkan izin. Namun, izin itu kemudian dicabut oleh Kadit Sospol.

Remi Silado, tokoh teater dan pengamat musik ini, pernah aktif melatih anggota-anggota TBI ketika padepokan teater ini pertama kali berdiri. Ketika ditanya oleh kuasa hukum Kadit Sospol, apakah Remi Silado mengetahui alasan pelarangan pementasan TBI, Remi Silado menyatakan, "Saya tidak mengetahui alasannya." Kuasa Hukum Kadit Sospol selanjutnya menjelaskan, rekomendasi pentas akan dikeluarkan jika pihak TBI mau mengganti nama padepokannya. Remi Silado kemudian menyatakan bahwa ia sudah menyaksikan pementasan TBI dengan lakon cerita yang sama, dan tidak mengalami pelarangan. Pementasan itu terlaksana di Bogor, Jawa barat.

Penulis naskah sinopsis drama TBI, Rostymalina Munthe, menyatakan bahwa ia ikut hadir pada rapat tanggal 1 Mei 1995 di Kantor Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Dalam rapat tersebut, pihak TBI diminta menjelaskan apa itu teater buruh, siapa saja anggotanya, dan apa hubungannya dengan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Selanjutnya, pihak TBI ditanyai, kenapa menggunakan istilah "buruh." Salah seorang peserta rapat dari pihak Kadit Sospol mengusulkan agar nama TBI diganti dengan nama lain. Pihak TBI kemudian mengusulkan nama "Taburi." Pihak Kadit Sospol tidak mau menerima nama tersebut. Rostymalina juga menyatakan bahwa istilah "buruh" masih dipakai di Indonesia. Istilah itu masih ada dalam perundang-undangan, contohnya, dalam P4P dan P4D.

Selanjutnya, kuasa hukum Kadit Sospol mempertanyakan, mengapa judul memakai kata "terpuruk," kata itu kan berarti tertekan. Sedangkan menurut tim kuasa hukum itu, tidak ada yang tertekan di Indonesia. Rostymalina menjawab, bahwa dalam rapat itu sudah diusulkan nama baru, yakni "Senandung dari Balik Tembok," namun tetap juga ditolak.

Rostymalina masih melanjutkan kesaksiannya. Pada rapat dengan Kadit Sospol itu, pihak TBI kemudian diminta sebentar ke luar ruangan. Setelah satu jam, baru dipanggil masuk guna mendengarkan keputusan rapat secara lisan. Kadit Sospol tidak memberikan rekomendasi, selama nama padepokan (TBI) dan jalan cerita drama tidak diganti. Pihak TBI tidak mau menerima alasan itu, mereka meminta pernyataan secara tertulis. Kadit Sospol menerbitkan surat penolakan pemberian rekomendasi, yang kemudian digugat oleh pihak TBI melalui pengadilan.

Pelarangan TBI di Surakarta

Pementasan TBI di Taman Budaya Solo, Surakarta, yang direncanakan akan manggung dua hari, tanggal 23-24 September 1995, juga dilarang oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Pelarangan itu membuat berang sekitar 40 orang mahasiswa. Para mahasiwa yang tergabung dalam Komite untuk Kebebasan Berekspresi (Kuberesi) ini, pada hari Selasa, tanggal 29 September 1995, melakukan unjuk rasa menentang pelarangan tersebut. Kelompok mahasiswa itu membagi-bagikan selebaran kepada para wartawan. Isi selebaran itu menyerukan agar lembaga perizinan dihapuskan, menuntut kebebasan berserikat, dan menuntut kebebasan berekspresi bagi potensi kreatif (Kompas, 27 September 1995).

Kelompok Kuberesi itu gagal menyampaikan tuntutan mereka ke DPRD Kodya Surakarta. Di saat para demonstran itu tiba di depan gedung Balai Kota Solo, pasukan gabungan Polisi dan tentara sudah membuat pagar betis penghadang. Pihak DPRD menghimbau agar kelompok itu tidak mengatasnamakan kelompok Kuberesi. DPRD meminta agar ditunjuk wakil yang benar-benar penduduk Kodya Surakarta untuk bertatap muka dengan anggota DPRD. Tentu saja himbauan semacam itu ditolak oleh Kuberesi. Mereka tidak bersedia membacakan dan menyerahkan pernyataan mereka kepada DPRD.

Sikap Plin-Plan Pemerintah

Pelarangan yang ditimpakan kepada TBI, tidak membuat padepokan teater ini mundur. Mereka tetap berani menggelar pemetasan di berbagai kota. Tampaknya, sikap pemerintah Orde Baru, benar-benar plin-plan. Terkadang melarang, terkadang mengizinkan.

Pada tanggal 30 Agustus 1995, pementasan TBI berlangsung aman di Jakarta; tanpa ada pencekalan atau pembubaran dari aparat keamanan. Drama yang dibawakan tetap sama, yakni "Senandung Terpuruk dari Balik Tembok Pabrik." Pementasan itu berlangsung di Studio Oncor, Jalan Tebet Barat XII/21, Jakarta. Demikian juga dengan pementasan di Bogor, Jawa Barat, juga tidak mengalami pencekalan.

Tampaknya, dapat diduga, bahwa alasan pelarangan itu karena TBI dibina oleh Sisbikum, satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif memberi penyuluhan dan penyadaran kepada buruh di bidang peraturan-peraturan perburuhan. Organisasi semacam ini tidak diakui pemerintah.

PEMBUBARAN PENTAS SANGGAR PABRIK

Buruh-buruh yang tergabung dalam teater Sanggar Pabrik, sangat terkejut. Masa latihan sudah usai, panggung sudah siap, undangan sudah terjual, dan izin sudah diberikan oleh pemerintah. Namun, Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta, menjadi saksi bisu atas kekecewaan mereka. Pihak keamanan datang, dan Kepala Kepolisian (Kapolsek) Kebayoran Baru, melarang pementasan berjudul "Surat Cinta Kepada Marsinah di Surga." Peristiwa pembubaran sewenang-wenang ini terjadi pada tanggal 16 September 1995.

Pembubaran itu sangat tidak masuk akal. Jauh hari, pihak Sanggar Pabrik sudah mengajukan surat permohonan izin kepada Polsek Kebayoran, dengan menyertakan surat izin penyewaan gedung. Menurut keterangan Sumarno, koordinator pertunjukan itu, pihaknya sudah mendapatkan izin tertulis dari Polsek Kebayoran Baru. Surat izin itu sudah diterima tanggal 22 Agustus 1995, dan ditandatangani oleh wakil Polsek, D.J. Situmorang. "Dengan surat ini, kami menganggap perizinan sudah selesai," ujar Sumarno (Forum Keadilan, No. 13, Th. IV, 9 Oktober 1995, Hal. 26).

Ternyata, sialnya, dua hari menjelang hari pementasan, pihak Polsek membatalkan surat izin tersebut. Alasan Polsek, sangat tidak masuk akal, yakni alamat teater Sanggar Pabrik terletak di Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur; sedangkan pementasan dilangsungkan di Jakarta Selatan. Berdasarkan surat Kapolsek Kebayoran Baru, pihak Sanggar Pabrik sebagai penyelenggara harus minta izin ke Polda Metro Jaya dan juga harus ada rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pihak Sanggar Pabrik tidak bisa memenuhi persyaratan mendadak itu, karena hari pertunjukan semakin dekat. Anggota-anggota Sanggar Pabrik akhirnya bertindak untung-untungan. Kalau dilarang... ya, apa boleh buat! Mereka membulatkan tekad dan mempersiapkan pementasan. Namun, pintu gedung pertunjukan telah dikunci dan penjagaan dari pihak keamanan berlangsung secara ketat. Pementasan tetap batal, dan hadirin yang ingin menyaksikan pementasan itu bubar.

Teater Sanggar Pabrik tampaknya tidak kehilangan keberanian. Mereka mengadukan pembubaran itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bahkan mereka pun mentas di hadapan Komnas HAM. Rencana selanjutnya, Sanggar Pabrik akan mengajukan gugatan lewat pengadilan.

Pembubaran ini jelas bertolak belakang dengan hasil Rapat Koordinasi (Rakor) Menko Polkam tentang kebijakan perizinan. Menurut pemerintah, kini kegiatan semacam pentas teater tidak perlu izin kepolisian, tetapi cukup dengan pemberitahuan (Forum Keadilan, No. 13, Th. IV, 9 Oktober 1995, Hal. 26).

Akan tetapi, dapat diperkirakan bahwa pelarangan itu bukan semata-mata masalah perizinan berkesenian. Ini berkaitan dengan politik. _Sanggar Pabrik_ merupakan teater yang dibina oleh Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pimpinan Muchtar Pakpahan. Sampai saat ini, pemerintah Orde Baru tidak mengakui SBSI sebagai serikat buruh. SBSI hanya dipandang sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

TEATER BURUH TERUS BERJUANG

Perjuangan buruh lewat kesenian, tidak mengenal kata jera. Satu hal yang patut dibanggakan, kalau teater-teater yang bukan buruh dicekal pementasannya oleh pemerintah, mereka jarang menuntut lewat pengadilan. Teater kaum buruh, tidak demikian. Buruh berani menggugat lewat pengadilan. Ini jelas suatu langkah maju, bahwa kaum buruh tidak selamanya mau ditindas dan dibodoh-bodohi baik oleh pengusaha maupun oleh pemerintah.

Kaum buruh sekarang ini, sudah memperluas arti kata perjuangan. Bukan hanya lewat mogok, tetapi juga lewat kesenian. Pencekalan bukan sesuatu yang harus ditakuti oleh kaum buruh. Pencekalan hanyalah satu bukti bahwa pemerintah tidak ingin buruh memakai kesenian sebagai senjata perjuangan. Apalagi, kalau kesenian itu menggambarkan atau menceritakan kisah kehidupan buruh yang tertindas.

Kesenian bukan milik pemerintah. Juga, bukan milik seniman-seniman congkak. Kesenian adalah milik rakyat. Buruh berhak menggunakannya. Buruh perlu menuliskan, menceritakan, melakonkan, bahwa dirinya ditindas habis-habisan, dan buruh akan menentang penindasan itu. Puisi, cerpen, drama, atau apa pun bentuk keseniannya, harus dibuat sebanyak-banyaknya guna membangun solidaritas di kalangan buruh.

Berbagai aktivitas kesenian buruh tumbuh semakin subur. Ikut aktif menyokong senjata utama perlawanan kaum buruh: mogok dan organisasi. Misalnya, penyair buruh dan penyair muda Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan sekitarnya), bergabung dan membacakan puisi-puisi yang memberi semangat bagi kaum buruh. Acara ini berlangsung sambil berbuka puasa bersama. Bertempat di Jalan Beringin, Perumahan Periuk Jaya, Tangerang, tanggal 4 Februari 1996 yang lalu. Penyair-penyair yang ikut ambil peranan ialah Dingu Rilesta, Wowok Hesti Prabowo, Wibowo Niagara, Shobir Pur, dan beberapa penyair lainnya (Harian Republika, 5 Februari 1996). Mereka juga membentuk perkumpulan bernama Bubutan (Budaya Buruh Tangerang). Tanggal 10 Februari 1996, Bubutan berencana menggelar pertunjukan di rumah Bapak H. Boediardjo, mantan menteri penerangan.

Pada akhir Desember 1995, penyair-penyair buruh juga tampil membacakan sajak-sajak mereka di Gorong-gorong Budaya, Depok, Jawa Barat. Selanjutnya, pada pertengahan Januari 1996, teater ABU (Aneka Buruh) menggelar repertoar (episode) berjudul "Kesaksian." Teater ABU mengisahkan berbagai persoalan pahit yang menimpa kaum buruh. Misalnya, masalah ketentuan UMR yang tidak ditaati pengusaha, masalah kesejahteraan buruh yang diabaikan, jam lembur yang dipaksakan, perlakuan kasar mandor-mandor perusahaan, dan setumpuk persoalan lainnya. Musik dangdut biasanya menjadi musik pengiring pertunjukan. "Teater bagi kami adalah sarana komunikasi tentang pengalaman kami sehari-hari," ungkap Anjani, salah seorang anggota teater ABU.

Selain teater-teater yang sudah disebutkan di atas, masih ada beberapa teater lagi, misalnya, teater Pekerja Perempuan dan Teater Buruh Sanggar Wanita. Semuanya mengisahkan kehidupan kaum buruh yang tertindas... dan memang, pada akhirnya, buruh harus melawan penindasan itu, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Buruh yang sadar akan ketertindasannya, akan mencapai kemenangan dalam perjuangannya!

Teater buruh, tiada mengenal kata jera dalam berkesenian membela buruh.***

KONTAK MOGOK

PAJAK PENGHASILAN: KASUS PT. RAJABRANA
Oleh: Edi Cahyono

Dalam tahun 1995 lalu buruh PT. Rajabrana (dan PT. Wasindo Agung)--beralamat di Jl. Raya Bogor Km 35, Cimanggis-Bogor, dan berkantor pusat di Jl. Cempaka Putih Tengah II/1, Jakarta Pusat,--mengadakan pemogokan dengan tuntutan penghapusan pajak penghasilan yang dikenakan ke upah mereka berdasarkan PP 21.

Modal

PT. Rajabrana adalah perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) didirikan pada 9 Pebruari 1977, berdasarkan persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) nomor: 14/A/SP.01/BKPM/ II/7.

PT. Rajabrana telah 2 kali mengajukan proposal ke BKPM. Di dalam proposal ke BKPM ini tercantum, antara lain:

 

1977

1980

1. NILAI EKSPOR (US$)

3,873,750

0

2. RENCANA INVESTASI (RP.)

146.390.000

186.976.000

A. MODAL TETAP

   

- Tanah

6.000.000

10.848.000

- Bangunan

18.000.000

27.540.000

- Mesin, Suku Cadang

110.390.000

117.069.000

- Nilai Impor Mesin (US$)

0

187,310

- lain-lain

12.000.000

31.519.000

B. MODAL KERJA

253.609.999

177.370.001

C. INVESTASI

399.999.999

364.346.001

3. SUMBER PEMBIAYAAN (RP.)

   

A. Modal Sendiri

100.000.000

150.000.000

B. Laba Ditanam Kembali

0

0

C. Pinjaman

300.000.000

214.346.000

- Luar Negeri

0

0

- Dalam Negeri

300.000.000

214.346.000

D. Investasi

400.000.000

364.346.000

4. MODAL PERSEROAN

   

A. Modal Dasar

100.000.000

150.000.000

B. Modal Ditempatkan

100.000.000

150.000.000

C. Modal Disetor

75.000.000

0

5. PENGGUNAAN TANAH

3.000 M2

5.000 M2

===================================

6. PRODUKSI:

1977

1977

1980

Jenis Produksi

Kain Wanita Halus

Pakaian Jadi

Kain Rajut

Satuan

Meter

Potong

Meter

Kapasitas

3.150.000

1.200.000

1.200.000

Ekspor

2.400.000

1.200.000

1.200.000

(%)

76%

100%

100%

PT. Rajabrana mengerjakan produksi garmen merek: Liz Wear, Liz Sport, Liz Elizabeth, Koret, Bechamed, Savilli, Studyo, CTS, Sarto dsb. Produk-produk ini 60 persen diekspor ke AS dan sisanya ke Jerman, Belanda, Singapura. Dikerjakan oleh sekitar 8.000 buruh. Seluruh material (kain, benang, kancing dsb.) didatangkan dari luar negeri. Pabrik ini hanya melakukan penjahitannya hingga menjadi pakaian jadi.

Upah Buruh

Bagaimanakah sebetulnya proses penghitungan upah buruh PT. Rajabrana sehingga layak terkena pajak?

Berdasarkan informasi pada akhir tahun 1995, buruh-buruh pabrik ini mengungkap bahwa:

Gaji Pokok

25 (hari) x 4.600

Rp 115.000

Uang Lembur

120 (jam) x 885

Rp 106.200

Tunjangan Makan

23 (hari) x 700

Rp 16.100

Tunjangan Transpor

23 (hari) x 600

Rp 13.800

Tunjangan Khusus /(sebetulnya adalah uang perangsang)

 

Rp 8.500

Premi + Tunjangan masa kerja

 

Rp 11.600

Jaminan Kematian (JK+JKK+JPK)

 

Rp 9.025

Sisa Cuti

 

Rp 30.500

Total

 

Rp 310.725

Biaya Jabatan

Rp 15.536

 

Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)

Rp 2.760

 

Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Rp 216.000

 

Potongan Kena Pajak (PKP)

Rp 76.428

 

Potongan PPh.21

Rp 7.600

Rp 7.600

Sisa

 

Rp 303.125

Potongan (JK+JKK+JPK)

Rp 9.125

 

Jamsostek (JHT)

Rp 2.760

 

Diterima

 

Rp 291.340

======================================

Jamsostek dibayar perusahaan:

Rp 14.131

 

Diterima

 

Rp 291.340

======================================

SPSI

Rp 250

 

Sisa

 

Rp 291.090

======================================

Kerja Lembur

Yang menjadi pertanyaan buruh-buruh pabrik tersebut adalah pertama, perhitungan yang dimasukkan dalam komponen upah namun kemudian dikeluarkan lagi, yaitu Iuran JHT, Potongan JK+JKK+JPK. Kedua, potongan Pph berdasarkan PP.21.

Sebetulnya Pph yang dikenakan terhadap penghasilan buruh di perusahaan ini tidak tepat. Mengapa? Sebab untuk mendapatkan penghasilan melebihi Rp 144.000,- (batas tidak kena pajak) per bulan adalah, buruh-buruh tersebut telah dipaksa untuk bekerja 7 hari dalam seminggu (tidak ada hari libur), selain rata-rata buruh harus kerja lembur sampai jam delapan malam (di pabrik ini hanya berlangsung 1 shift). Dalam sebulan rata-rata buruh melakukan lembur di atas 120 jam. Cara memperhitungkan jam kerja dan lembur ini adalah sebagai berikut:

Jam kerja dari 07.00 - 15.00, dan lembur seperti ini:

jam 15.00 - 16.00 = 1,5 jam

jam 16.00 - 17.00 = 2 jam

jam 17.00 - 18.00 = 2 jam

jam 18.00 - 19.00 = 2 jam

jam 19.00 - 20.00 = 2 jam

Bila seorang buruh bekerja lembur hingga pukul 18.00 hanya dihitung 5 jam (artinya yang 0,5 jam digugurkan oleh pihak perusahaan), dan bila buruh tersebut bekerja hingga pukul 20.00 dihitung 8 jam kerja lembur. Perhitungan untuk hari libur (Minggu) diterapkan penghitungan 2 kali lipat ketimbang hari biasa. Dalam hitungan kerja lembur seperti ini banyak buruh bekerja lembur sekitar 160 jam setiap bulannya. Selain itu merekapun tidak diperbolehkan mengambil cuti tahunan. Oleh sebab itu pihak perusahaan menggantikannya dalam bentuk uang (lihat Cuti Tahunan di atas yang diperhitungkan dalam uang). Artinya, buruh-buruh perusahaan ini telah dijadikan mesin.

Dalam kondisi seperti itu, tepatkah pemerintah memajaki penghasilan buruh? Penghasilan yang terlihat melampaui Rp 144.000,- di atas didapat melalui pemaksaan kerja oleh pengusaha terhadap seluruh buruh di perusahaan tersebut.

Mogok

Terjadilah, pada 26 April s/d 9 Mei 1995 buruh-buruh PT. Rajabrana dan PT. Wasindo Agung melakukan pemogokan. Para buruh memblokir semua jalan masuk ke lingkungan pabrik, dan tidak memperkenankan orang luar memasuki kawasan itu, termasuk petugas keamanan yang didatangkan dari Kodim Depok, Polres Bogor, Koramil, dan Polsekta Cimanggis.

Blokade di jalan masuk berupa gang di permukiman penduduk ini, dilakukan dengan memasang bangku panjang melintang. Puluhan buruh wanita bergerombol di tempat itu, sehingga tidak memungkinkan orang ke luar-masuk. Setiap kali ada yang mencoba, mereka segera mengepung, menarik-narik, dan diteriaki.

"Kami akan terus mogok kerja. Berapa hari saja sampai tuntutan agar pengelola pabrik menghapus potongan PPh. Pemotongan itu tidak manusiawi. Berapa sih penghasilan kami, sementara harga barang-barang semuanya sudah naik termasuk tempat kos," ujar sejumlah buruh.

Beberapa orang buruh mengatakan, seharusnya penghasilan semua buruh di dua pabrik itu tidak dikenai PPh. Sebab penghasilan yang mereka terima dalam satu bulan atau kalau dihitung per hari, belum memenuhi syarat sebagai penghasilan yang terkena pajak.

Salah seorang buruh lajang yang sat itu memperlihatkan daftar upah bulan April 1995 ke wartawan. Di kertas itu di antaranya tertera gaji pokok sesuai UMR (baru) Rp 69.000, upah lama Rp 45.125, tunjangan makan Rp 11.250, tunjangan transpor Rp 12.500, dan lainnya. Total penghasilannya Rp 165.872.

Tapi jumlah itu kemudian dikurangi PPh Rp 11.100 jaminan kesehatan Rp 4.885, Jamsostek Rp 2.760, dan iuran SPSI Rp 250. Total penghasilan bersih yang diterima buruh itu Rp 146.877.

"Ada teman saya yang total upahnya hanya Rp 121.000 juga terkena PPh sebesar Rp 4.000," kata seorang buruh lainnya. (Kompas, 27/4/95)

Seusai Pemogokan

Patut diketahui adalah, seusai pemogokan, di mana pihak perusahaan di depan wakil rakyat di DPR telah berjanji tidak akan mem-phk buruh-buruh-nya, ternyata ingkar. Tiga bulan setelah itu, secara bertahap pihak perusahaan mem-PHK buruh-buruh yang terlibat pemogokan, dan terutama yang dianggap menjadi dalangnya. Beberapa yang dapat disebutkan dari divisi garment adalah: Kasta, Sutaji, Alip, Ratna. Dan yang tidak terhitung adalah PHK terhadap ratusan buruh dari divisi sweater.

Kebijakan phk massal ini diredam melalui bentuk hubungan kerja baru terhadap buruh-buruh yang terkena phk tersebut. Yaitu, beberapa ditawarkan untuk menguasai mesin jahit, melalui mesin-mesin jahit yang dikuasakan tersebut dibangun hubungan sub-kontrak dengan pihak perusahaan. Agar para sub-kontraktor tidak dapat mengambil-alih produk akhir, maka mereka hanya diperbolehkan mengerjakan bagian-bagian tertentu saja dari proses produksi, hasil produk secara utuh tetap dikerjakan di pabrik.

Sedangkan untuk menutup kebutuhan atas tenaga kerja yang berkurang banyak, disebabkan oleh phk massal, pabrik melakukan perekrutan baru. Namun, yang perlu diketahui adalah, dalam perekrutan buruh baru ini telah diajukan sistem kerja kontrak yang berlaku selama 6 bulan. Sistem kerja konktrak ini tentu saja semakin mengurangi hak-hak buruh.

Catatan Penutup

Diskusi tentang pajak penghasilan ini harus dikedepankan kembali, mengingat dalam bulan April 1996 ini upah buruh Jabotabek akan naik menjadi Rp 5.200/hari atau Rp 156.000/bulan. Jumlah sebesar ini akan terkena Pph 10 persen. Bila Pph ini dikenakan maka buruh hanya akan menerima Rp 4.680/hari atau hanya terjadi kenaikan Rp 80,- dari upah lama (naik 1,73%). Padahal harga kebutuhan sehari-hari telah melambung demikian tinggi, melampaui tingkat inflasi yang diakui pemerintah sebesar 8,64 persen. Sudah waktunya bagi buruh untuk bersatu dan mempertanyakan ke pemerintah kelayakan dari pajak penghasilan ini.

Perlu kiranya mengkaji kembali perkataan Kepala Pusat Penyuluhan Perpajakan Drs Yohad Hardjosemitro dan Staf Pemungutan PPh Direktorat PPH Ditjen Pajak Tjondro Hermono yang pernah mengatakan bahwa pengusaha pemberi kerja dilarang mengenakan PPh atas upah buruh, jika upah yang diterimanya dalam satu hari tidak melebihi Rp 14.400. Sebab sejalan dengan penetapan batas "Penghasilan tidak kena pajak" (PTKP) sejak 1 Januari 1994 yang menjadi Rp 1,728 juta setahun, Dirjen Pajak pun menetapkan upah harian senilai Rp 14.400 ke bawah sebagai batas tertinggi PTKP atas upah buruh.(Kompas, 17/3/94)

Penggugatan terhadap pajak penghasilan ini harus dilakukan. Mengingat, jumlah upah buruh belum pernah layak untuk menutup kebutuhan hidup; adalah tidak tepat pemerintah memajaki penghasilan buruh ini.***

KLIPING

UMR Bisa Diartikan Lain
Dayat Hidayat

Saya seorang karyawan harian tetap bekerja di suatu perusahaan, mengucapkan terima kasih kepada pemerintah khususnya Bapak Mennaker yang telah menetapkan kenaikan UMR (upah minimum regional). Yaitu untuk wilayah Jabotabek dari Rp 4.600 menjadi Rp 5.200/hari, terhitung 1 April 1996 lewat SK No Kep-02/Men/1996 tertanggal 8 Januari 1996.

Setelah saya membaca seluruh kalimat yang terdapat dalam SK itu, ada dalam 1 ketetapan yaitu ketetapan keempat yang membuat saya dan teman-teman senasib mengartikan besarnya UMR yang akan saya terima bukan Rp 5.200 yaitu lebih besar dari UMR yang ditetapkan.

Dalam ketetapan keempat itu ditulis, besarnya upah terendah yang diterima oleh pekerja harian tetap sebesar upah minimum bulanan. Sedangkan untuk wilayah Jabotabek upah minimal untuk pekerja bulanan ditetapkan Rp 156.000/bulan.

Menurut perhitungan saya sebagai karyawan harian tetap, maka upah minimum yang harus saya terima adalah Rp 156.000 dibagi 25 hari kerja akan mendapat angka Rp 6.240/hari. Dengan demikian salahkah saya dan teman-teman jika menuntut kepada perusahaan untuk membayarkan upah minimal sebesar Rp 6.240, bukan Rp 5.200/hari sebelum pemerintah dalam hal ini Mennaker memberikan penjelasan yang lain.

Suatu hal lagi, yang membuat saya berkecil hati bagaikan bunga yang mekar sebentar layu kembali. Betapa tidak, telah terbayang kenaikan upah yang akan saya terima tetapi ternyata pemerintah tidak menaikkan BPKP (batas penghasilan kena pajak) yaitu Rp 144.000/bulan. Percuma saja saya naik upah, ternyata masih harus kena potongan pajak penghasilan yang jumlahnya senilai dengan besarnya kenaikan upah saya.***

(Kompas, 2 Februari 1996)

Sekilas Info:

Jumlah kasus-kasus pemogokan di Indonesia dalam satu dekade terakhir adalah:

1985

1986

1987

1988

1989

78

73

37

39

19

 

1990

1991

1992

1993

1994

61

100

251

300

1.350

Sedang pemogokan sepanjang tahun 1995 belum ada pengumuman resmi, namun diperkirakan lebih dari 1.500 kasus.

SISIPAN

UMR yang berlaku 1 April 1996

ooo0ooo

| Top | Mayday di Indonesia | Analisis Sejarah Indonesia Page | Anti-Imperialisme Page | Inside Factory | Snapshots | Essays | Selected-Works Page | Library | Art of Liberation | Histomat Page | Child in Time | 1965 Coup in Indonesia | Tempo-Doeloe Page |