Edi Cahyono's Page


CERITA KAMI
Nomor 12, Tahun ke VI, 1995

Yayasan Maju Bersama:

CERITA KAMI

Edisi perdana terbit Mei 1990
Dewan Redaksi: Edi Cahyono, Esrom Aritonang, Maxim Napitupulu, Mohammad Arif Rusli, Muhammad Husni Thamrin, Razif.
Logo Cerita Kami, Gambar cover, dan ilustrasi: Semsar Siahaan.
Editor naskah dan Tata Letak: Edi Cahyono.
Penerbit: Yayasan Maju Bersama
ISSN 0854-1779

EDITORIAL

Kerja Kontrak nampaknya menjadi strategi pengusaha untuk lepas tangan dari berbagai kesulitan. Paling tidak dengan cara ini suatu perusahaan dapat menentukan berbagai peraturan secara sepihak. Pengusaha bisa menjadi sosok penguasa dengan hak-hak feodal. Di masa lalu bentuk hubungan ini lekat ke masyarakat budak maupun feodal. Kolonialisme Hindia Belanda juga mempraktekan hubungan kerja kontraktual terhadap buruh-buruhnya. Bahkan bila kontrak-kontrak tersebut dilanggar oleh buruh, ganjaran penyiksaan akan segera diderakan ke buruh bersangkutan.

Negeri kita sudah merdeka. Limapuluh tahun usia negeri ini. Namun berbagai kondisi buruk masih harus dialami dan diemban buruh. Berbagai relokasi industri ke Indonesia berangkat dengan keinginan mengeksploitasi habis seluruh potensi ekonomi yang ada. Kondisi buruh sedapat mungkin diletakkan dalam posisi tidak mengganggu jalannya eksploitasi ekonomi.

Kerja Kontrak yang saat ini cukup populer di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia, menjadi cara lama yang dipraktekkan kembali untuk menutup kemungkinan buruh membangun serikat buruh sejati. Bentuk-bentuk persetujuan kontrak kerja antar individu buruh dengan pihak perusahaan memastikan pemandulan potensi buruh untuk berpolitik dan berorganisasi. Apalagi di jaman modal yang akan bergerak sangat bebas melalui persetujuan tarif dan perdagangan internasional (APEC, GATT, WTO, dll.). Praktek-praktek pengebirian melalui kontrak kerja individual ini tidak hanya berlaku di Indonesia yang memang mempunyai kebijakan menolak berbagai aktifitas politik, namun juga berlangsung di negeri maju, misalnya, di negeri tetangga, Australia.

Artinya, kerja kontrak memang satu strategi kaum modal untuk menghabisi gerakan buruh. Untuk menghadapi ini buruh harus bersatu dan membangun serikat buruh sejati, yang benar-benar membela kepentingan buruh.

Belajar, berdiskusi dan berorganisasi harus menjadi perhatian buruh. Mengabaikan belajar dan upaya menambah bekal pengetahuan dalam beroganisasi akan melemahkan posisi buruh di kemudian hari.

Hari esok pasti cerah bila langkah ke kemajuan di mulai sejak hari ini.

REDAKSI

EKONOMI

POTRET PESIMISTIS MENANTI PELAKSANAAN KENAIKAN UPAH REGIONAL UMR DI KODYA BOGOR
Oleh: Buruh Cileungsi

Bogor, Y bukan nama sebenarnya, seolah acuh tak acuh ketika rekan-rekan sekerjanya ribut membicarakan upah minimum regional (UMR) yang akan dinaikan pada bulan April 1995. Buruh pabrik industri Sepatu di Kecamatan Citereup Bogor itu menunjukkan sikap yang biasa-biasa saja. Hal seperti ini sama juga yang dialami oleh baik buruh pabrik elektronik maupun buruh pabrik garmen yang ada di kawasan Cileungsi sebut saja namanya T.

Ia, pun tak mau berkementar, karena nilainya berlebihaan dan sangat klise, padahal rekan-rekanya menyatakan merasa sangat gembira dengan kebijaksanaan pemerintah (Menaker) yang mengeluarkan SK No 396/94 SK No 398/94.

Pemudi lajang asal Jawa Timur itu mengaku tidak yakin dengan kenaikan upah yang bakal diterimanya menjadi Rp 4.600,- akan menaikan taraf hidupnya. Bahkan menurut dia mungkin kenaikan upah itu tidak akan berarti apa-apa selama harga kebutuhaan pokok sehari-hari di sekitarnya tidak bisa diam. "Jadi sama saja gali lobang tutup lobang, kantong tetap saja bolong," ucapnya bergurau.

Kebutuhaan Pokok Naik

Menurut pengalaman buruh-buruh di Bogor, di sejumlah perusahaan yang ada di Bogor kenaikan upah itu hanya di atas kertas saja, sebab masih banyak pengusaha yang tidak memenuhi kebutuhaan pengupahaan ketika pemerintah mengeluarkan SK No 414/93, Hingga kini pun masih ada buruh yang dibayar hanya Rp 3.200,- meski pemerintah menetapkan sebesar Rp 3.800,- bahkan masih ada yang menerima Rp 2.500,- per hari untuk wilayah Jabotabek.

Pengalaman menunjukkan harga kebutuhaan pokok sehari-hari cenderung ikut naik bersama kenaikan upah buruh, ketika upah buruh masih berkisar Rp 2.700,- sehari, harga kebutuhaan pokok sehari-hari masih relatif murah.

Ia, menunjuk contoh, mi pangsit sebagai menu makan siang sebagian besar teman-temanya, ketika itu harganya masih berkisar Rp 400,- seporsi. Tetapi ketika muncul SK Menaker No 414/93 tentang kenaikan UMR di Jabotabek, Maka harga semangkok mi pangsit dengan kualitas yang sama membengkak menjadi Rp 600,-. Krupuk yang sebelumnya Rp 50,- menjadi Rp 100,-/buah, meski sedikit lebih besar, setiap hari rata-rata buruh memakan krupuk sebagai lauknya. Begitu juga kebutuhaan pokok semua naik sepertinya beras, gula, minyak goreng, sabun dan lain-lain.

Nilai upah yang diterima buruh pabrik itu semakin merosot jika dibandingkan lagi dengan harga sewa rumah/bedeng yang diterimanya. Dengan kenaikan upahnya yang lalu saja harga sewa pun ikut membengkak. Rumah yang disewa Y, berdua sama temanya yang semula Rp 35.000,-/bulan menjadi Rp 40.000,- bahkan ada juga yang tadinya Rp 25.000,-/bulan menjadi Rp 35.000,- rumah itu berupa petakan berukuran 3 x 7 meter yang relatif dekat dengan tempat mereka bekerja, sehingga dapat menekan biaya pengeluaraan transpor. Jadi untuk sewa rumah masing-masing mereka berdua mengeluarkan biaya antara Rp 5.000,- atau Rp 10.000,-/bulan ujar Y dan V.

Seenaknya Menaikan Sewa

Dengan kenaikan upah menjadi Rp 4.600,- per hari pada bulan April 1995, Y, justru merasa khawatir, jangan-jangan harga kebutuhan pokok dan sewa rumah akan naik lagi, sebab kenyataanya sekarang ini beberapa jenis bahan pokok sudah mengalami kenaikan, padahal kenaikan upah masih beberapa bulan lagi.

Kenaikan semacam itu sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh Y, saja akan tetapi dialami pula oleh buruh-buruh lainya yang senasib dengan Y. Kenaikan upah yang bakal diterimanya ditanggapi dengan sikap biasa-biasa saja, karena dianggap tidak akan membawa manfaat apa-apa kecuali jika pemerintah turun tangan menanggapi gejolak harga yang bakal muncul saat kenaikan upah itu dilakukan.

Begitu pula dengan pengusaha penyewaan rumah harus mendapat perhatihan dari Pemda setempat, karena mereka cenderung seenaknya menaikkan harga sewa tanpa terkena sanksi hukum apapun.

"Kalau semua tidak naik, bisa menabung" ujar buruh perusahaan elektro yang berlokasi di Cileungsi. Ia sudah mendapatkan upah sebesar Rp 4.600,-/hari tanpa memperoleh tunjangan-tunjangan yang lainya. Ada juga buruh lainnya mengaku belum tahu pasti apakah ia akan mendapatkan kenaikan upah sesuai ketentuan atau tidak. Sebab sampai hari ini belum ada pengumuman apa-apa mengenai hal itu. Beberapa temannya seangkatan, namun bekerja di perusahaan lain, sudah mendapat kenaikan upah. Karena masa kerjanya baru delapan bulan "Kalau tidak ada kenaikan upah, tapi harga-harga sudah naik ya malah bertabah repot. Saya malah lebih sengsara" ucapnya lirih. Akan tetapi ada juga perusahaan yang mematuhi peraturan kenaikan UMR dianjurkan oleh pemerintah Rp 4.600,- (upah pokok), dan mendapat tunjangan yang lainya seperti, uang traspor, premi hadir.

Soal ketepatan waktu pembayaran kenaikan upah sesuai dengan ketentuan pemerintah masih dibicarakan oleh kalangan buruh di Cileungsi.

Cerita ini diolah dari pengalaman kawan-kawan dan dari membaca Suara Pembaruan.
Cileungsi, 16 juli 1995.

ARTIKEL UTAMA

HUBUNGAN KERJA KONTRAK, DISIPLIN, DAN JAM KERJA
Oleh: Razif

Pengantar

Sejalan dengan politik globalisasi yang dilakukan oleh Bank Dunia (World Bank) dan Lembaga Keuangan Internasional (International Monetary Fund, IMF) sangatlah menguntungkan perusahaan-perusahan TNC dan MNC serta perusahaan-perusahaan sub-kontraktor untuk menguliti serikat buruh. Serikat buruh sepenuhnya dikontrol oleh gerak modal dan sudah tidak mengenal batas-batas negara lagi.

Dengan berjalannya politik globalisasi ini, maka kekuasaan-kekuasaan modal mempercepat perputaran modalnya secara cepat dan melakukan penghisapan (eksploitasi) terhadap kelas buruh secara brutal. Kelas buruh dipaksa untuk menyetujui perjanjian kontrak kerja atas dasar aturan main perusahaan. Dengan demikian, Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sudah tidak diperlukan lagi. Jika buruh menolak, maka perusahaan berhak untuk mengeluarkan atau memecatnya dari perusahaan tersebut. Maka, sekarang ini yang terjadi adalah perjanjian kerja secara individu, bukan secara organisasi (baca: serikat buruh).

Situasi dan keadaan ini sudah hampir disahkan di Australia, di mana pemerintah Australia segera meruntuhkan serikat buruh, dengan cara mensahkan kontrak kerja perorangan. Ini mengakibatkan serikat buruh disisihkan peranannya di lingkungan kerja.

Hal itu berarti, pertama, menentang hak berorganisasi melalui penyangkalan hak-hak yang sewajarnya diperoleh oleh kelas buruh. Ketentuan-ketentuan perjanjian kerja industrial diserahkan sepenuhya kepada majikan atau organisasi majikan. Dengan demikian, membatasi ruang gerak tawar-menawar kelas buruh, karena dalihnya majikan adalah yang menjalankan perusahaan.

Kedua, dengan disahkannya kontrak kerja perorangan, maka dampaknya melucuti atau menguliti keberadaan hak-hak kaum buruh dalam mengumpulkan dana organisasinya. Keadaan ini disebabkan pengumpulan dana serikat buruh harus dikumpulkan berdasarkan ketentuan administrasi perusahaan. Sehingga otomatis serikat buruh di Australia sudah tidak lagi mempunyai kekuatan keuangan, untuk menjalankan kegiatan mereka seperti, melakukan pertemuan, menerbitkan bacaan, memberikan pendidikan kepada anggota serikat buruh, dan lain sebagainya.

Ketiga, sistem kontrak kerja perorangan ini merupakan upaya pemerintah untuk menyalah-gunakan kekuasaannya dengan cara melemahkan serikat-serikat buruh agar tidak mampu melindungi dirinya sendiri dan dipaksa untuk menyesuaikan tujuan dan kepentingan pemerintah dan pemilik modal.

Keempat, mendudukan pembatasan-pembatasan baru terhadap konflik-konflik hubungan industrial antara buruh dan majikan. Sehingga dalam keadaan dan situasi ini posisi buruh benar-benar sebagai barang dagangan, jika buruh menentang kebijakan perusahaan tidak ada lagi tempat mereka melakukan perundingan, karena pemerintah dan modal telah bekerjama demi keuntungan perputaran modal.

Persoalan di atas, bisa diandaikan jika modal tumbuh dengan cepat, massa buruh upahan tumbuh pula dengan cepat; dengan kata lain, kekuasaan modal memperluas dan mengontrol sejumlah besar individu. Marilah kita memandang pada kasus-kasus yang seolah-olah menyenangkan: ketika produktivitas modal tumbuh, permintaan terhadap tenaga kerja juga bertambah; akibatnya, harga tenaga buruh, upahnya juga meningkat.

Kita ibaratkan terdapat rumah besar dan kecil; selama rumah-rumah tersebut dikelilingi oleh rumah-rumah yang sama kecilnya akan memuaskan seluruh tuntutan sosial para penghuninya. Tetapi ketika berdiri sebuah istana di sebelah rumah-rumah kecil itu, istana tersebut menyisihkan rumah-rumah kecil menjadi sebuah gubuk. Rumah-rumah kecil tersebut nampak menjadi sangat kecil dan tidak lagi dapat mememenuhi tuntutan sosial, karena rumah kecil tersebut telah terperangkap ke dalam tembok-tembok tinggi istana.

Situasi ini sudah mulai menjalar ke Indonesia, dimana perusahaan MNC/TNC tidak menginginkan adanya serikat buruh sejati, sebab akan menggangu perputaran modal mereka. Dan selain itu, Indonesia adalah bekas negara jajahan atau kolonial yang lebih mudah menjalankan sistem kerja kontrak pribadi. Sebab pada zaman kolonial, pemerintah kolonial telah menerapkan sistem kontrak kerja. Bagaimana bentuk dan isi ceritanya akan dijelaskan dibawah ini. Dan juga sudah tentu akan diperbandingkan dengan situasi dewasa ini.

Setelah pemerintah Indonesia ikut serta dalam meratifikasi/mensahkan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Oganization, WTO) serta berperan aktif dalam Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), yang pada intinya melakukan perubahan pada struktur ekonomi dan politik dalam rangka perdagangan bebas.

Dalam melakukan perubahan pada struktur ekonomi dan politik, pemerintah Indonesia mau tidak mau harus terus-menerus tergantung dengan institusi-institusi keuangan (finansial) dunia, seperti World Bank, IMF, WTO. Atau, untuk masalah hubungan industrial akan terkait langsung dengan lembaga perburuhan Internasional-ILO yang mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lembaga perburuhan ini bekerja untuk perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional yang akan memberikan sejumlah dana untuk melakukan perubahan hubungan kerja industrialisasi dalam sistem kapitalisme.

Perubahan-perubahan hubungan kerja industrialisasi telah direncanakan lama, namun baru diterapkan setelah paska diratifikasi WTO. Trade Union Council for Multinational Companies (TCM), berangkat atas inisiatif merumuskan Commite Tripartit atas problem perusahaan-perusahaan multinasional, yang mengeluarkan garis besar untuk aktivitas perusahaan multinasional. Yang rumusannya sebagai berikut: " ... dalam upaya membantu menstabilkan mata pencaharian rakyat negeri-negeri sedang berkembang dan meningkatkan efektivitas bantuan pembangunan. Selain itu, juga merencanakan mengkatrol secara agresif aktivitas bantuan pembangunan yang spesifik." (Hugh Williamson, Coping With The Miracle. Pluto Press and AMRC 1994, hlm. 75-77) Dengan adanya TCM, maka perusahaan-perusahaan multinasional yang merelokasi perusahaan-perusahaannya ke Indonesia tetap menginginkan mendapatkan buruh yang dibayar dengan murah. Namun modus operandinya sangatlah berbeda, di mana disesuaikan kepentingan perusahaan MNC dengan struktur industri di Indonesia.

Struktur industri Indonesia yang terus-menerus tidak menemui kematangan, dalam pengertian secara teknologi dan tingkat keahlian buruh sangatlah minim. Sementara itu, para pemilik modal di Indonesia tetap berfikir hanya sebagai memperluas modal perusahaan multinasional, tanpa memikirkan bagaimana membuat teknologi sendiri dan meningkatkan skill buruh serta memperbaharui hukum hubungan industrial. Sebagai contoh, ketergantungan terhadap komponen impor yang membuat industri manufaktur di Indonesia berjalan tanpa tiang yang kuat, berarti backward linkages dan forward linkages dari industri manufaktur belum teratur dengan baik. (mencerminkan industri manufaktur Indonesia secara empirik tidak kesetaraan antara proses peningkatan kontribusi nilai terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak diikuti dengan peningkatan kontribusi nilai terhadap barang-dagangan.) Akibat dari ini semua, maka perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia mulai menerapkan apa yang disebut sistem kontrak kerja.

Indikasi ini telah menjamur di hampir seluruh areal industri di indonesia, di mana buruh yang sebelumnya telah menduduki posisi sebagai buruh tetap atau buruh harian, maka sekarang mereka diharuskan untuk mendaftarkan kembali atau perusahaan secara sepihak membuat hubungan industri kontrak kerja.

Dengan terjadinya perubahan ini, maka sekarang ini kaum buruh di Indonesia mempunyai suatu pengalaman baru, dalam pengertian disiplin kerja dan jam kerja juga berubah seiring diterapkannya sistem kontrak yang baru.

Tulisan ini akan memfokuskan pada perubahan disiplin dan jam kerja yang berhubungan dengan diterapkannya sistem kerja kontrak. Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif, penulis akan menjajaki sekilas mengenai hubungan kerja kontrak pada periode sebelumnya. Sebab hal ini juga dapat menjelaskan situasi hubungan kerja kontrak sekarang, di mana hubungan kerja kontrak pada masa kolonial berkaitan erat dengan membuka pasar dan modal asing ke Indonesia.

Sejarah Hubungan Kerja Kontrak

Hubungan kerja kontrak berlaku di Indonesia dengan dicanangkannya kebijakan pintu terbuka pada tahun 1904. Kebijakan ini merupakan pencairan politik ekslusif Belanda yang memaksa pemerintah Hindia Belanda untuk membuka pasarnya untuk kepentingan modal asing lainnya, seperti Inggeris, Amerika, Prancis, Belgia, Jerman, dan lain sebagainya. Hampir semua kekuatan modal asing ini beroperasi di perkebunan Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara). Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, pemerintah Hindia Belanda mengerahkan petani-petani tak bertanah dari Jawa, yang mana mereka di Jawa selain tanahnya sudah dicaplok oleh modal perkebunan besar. Selain itu, para petani tak bertanah ini dibebankan pajak kepala sebesar 50 sen. Pajak sebesar ini tidak sanggup dibayar oleh para petani tak bertanah, sehingga mereka memilih untuk pergi ke Sumatera timur untuk menjadi buruh kontrak.

Sebelum para petani tak bertanah ini bekerja di Sumatera Timur, sebagaimana dikatakan di atas, mereka telah terproletarisasi yang secara nyata terwujud dengan munculnya kuli atau wong boeroeh. Suatu kelas buruh yang timbul sebagai jawaban atas kepadatan penduduk yang mulai tidak bisa diatasi oleh sistem perekonomian pedesaan Jawa lama. Tegasnya, telah terjadi transformasi pada masyarakat pribumi, yakni penglepasan petani dari hak mengolah tanah desa dan kini menjadi penjual tenaga kerja. Dengan munculnya buruh kontrak, maka pengerahan tenaga dalam bentuk kerja kontrak secara berbondong-bondong ke wilayah perkebunan Sumatera Timur menjadi begitu penting.

Dengan berlakunya hubungan kerja kontrak dalam industrial kapitalisme, terbentuklah disiplin dan jam kerja baru, yang dimanifestasikan dalam pembagian kerja, mengejar target produksi, serta permasyarakatan uang telah merasionalkan tata hubungan sosial produksi. Sehingga ikatan-ikatan "adat" lama mulai ditinggalkan atau diberi sifat baru, dan kini berlangsung hubungan yang lebih "murni" ekonomi.

Di lain sisi, akibat dari petani tak bertanah yang berbondong-bondong menjadi buruh kontrak, mereka lari dari lingkungan "adat" desa kemudian mereka disongsong oleh industri perkebunan yang menawarkan sejumlah uang tunai yang disesuaikan dengan target produksi mereka.

Perubahan-perubahan besar ini sering disebut sebagai sebuah reformasi yang sempurna, sebuah revolusi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. (W.F Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Sosial Change, Den Haag, hlm. 110-111.)

Perubahan drastis ini hanya terjadi pada hubungan modal asing, yang tidak diikuti dengan kemajuan modal pribumi. Pemerintah Hindia Belanda tetap melanggengkan struktur ekonomi dan politik feodalistik, dalam pengertian penguasa-penguasa pribumi hanya dijadikan alat untuk mengontrol keberlangsungan eksploitasi kolonial. Para penguasa pribumi diberi hak untuk mengerahkan buruh kontrak dan juga sebagai perantara untuk mendapatkan tanah bagi pemodal asing. Selain itu, para buruh kontrak dalam menandatangani kerja kontraknya diurus oleh penguasa pribumi. Bahkan untuk menjaga buruh-buruh kontrak lari dari perkebunan, pemerintah kolonial membentuk pasukan polisi perkebunan yang terdiri dari orang-orang pribumi.

Para buruh kontrak diharuskan bangun pagi untuk mulai bekerja hingga jam 5 sore, untuk kepentingan mengejar target produksi. Memang mereka mendapatkan ongkos premi hadir, dan pembayaran upah, tetapi mereka tidak dapat menabung karena pemerintah kolonial bersama penguasa pribumi menciptakan mekanisme perjudian. Hal ini menciptakan eksploitasi dan kebrutalan dalam hubungan produksi kerja kontrak. Keadaan ini digambarkan secara baik oleh seorang istri toean keboen, "Fajar sedang menyingsing. Langit yang masih gelap itu digarisi dengan warna-warna redup dan angin pagi yang lembab dan menggigilkan menghinggapi kebun. Para buruh kontrak duduk berjongkok, terkumpul dalam barisan panjang. Gelap dan samar-samar kelihatan bayangan mereka, diliputi kabut dan terang sayub-sayub. Lingkaran cahaya lampu yang diangkat oleh seorang "boy" hanya menyentuh bentuk tuan asisten. Dalam lingkaran cahaya itu menatap sepasang bola mata para buruh kontrak yang sepasang demi sepasang duduk berjongkok itu. Cepat ia menghitung mereka, regu demi regu; demikian mereka dibagi-bagikan untuk pekerjaan. Regu yang ternyata lengkap dapat berangkat dengan cepat, bersama dengan mandor mereka."

Kondisi dan situasi ini merubah disiplin, jam kerja dan kebudayaan (culture) bagi kaum buruh, yang sebelumya bekerja di tanah garapanya sendiri atau berpenghasilan dari menyewakan tanah dan hewan peliharaannya. Sedangkan dalam hubungan produksi sosial kerja kontrak, kaum buruh meghadapi disiplin dan jam kerja yang ketat dan pembagian kerja yang rumit. Konkritnya mereka harus bekerja 15 jam per-hari, mendengarkan kata-kata kasar dari mandor dan toean keboen, memperbaharui kontrak kerja mereka setiap tahunnya, serta menghadapi aparat kepolisian perkebunan apabila mereka ingin melarikan diri, dan mengalami sel penjara seandainya mencoba melarikan diri. Bahkan mereka selalu dihantui oleh apa yang disebut "Poenale Sanctie," sanksi berupa denda bagi setiap buruh kontrak yang tidak mentaati kontraknya.

Pola pembagian kerja yang rumit dan baru yang diperkenalkan kepada buruh kontrak merupakan bagian eksploitasi hubungan produksi kerja kontrak. Kaum buruh ada yang bekerja di perkebunan untuk menyadap karet dan ada pula yang bekerja di pabrik untuk mengolah getah karet menjadi bahan baku setengah jadi yang untuk diekspor ke luar negeri. Dan terdapat pula kaum buruh yang bekerja untuk mengangkut bahan baku tersebut dari pabrik ke pelabuhan.

Sementara itu, sebelumnya, kaum buruh kontrak tidak mempunyai kebiasaan dan pengalaman pola kerja semacam itu. Artinya, mekanisme hubungan sosial produksi kerja kontrak dalam kapitalisme membutuhkan teknologi baru pembagian kerja yang rumit, cenderung mempermudah perkerjaan dan memaksak buruh yang sebelumnya tidak mempunyai keahlian harus menjadi buruh ahli tanpa diberikan training kerja yang baik. Akibatnya, kaum buruh jatuh ke dalam posisi tenaga kerja setengah ahli.

Pada pihak lain, meskipun perusahaan-perusahaan asing terus berkembang dan merubah bentuk menjadi perusahaan transnasional seperti Goodyear yang bergelut dibidang produksi karet mentah, namun perusahaan pribumi yang bergelut pada bidang yang sama dibatasi. Para pengusaha pribumi dibentuk oleh pemerintah kolonial hanya sebatas sebagai pedagang. Dan kemudian dilakukan bentuk kerjasama dengan para pedagang pribumi untuk melakukan distiribusi beras serta kebutuhan pokok kaum buruh lainnya. Sehingga pokok persoalan tentang eksploitasi hubungan kerja kontrak tidak menjadi kritik tajam di media massa, sebab kebanyakan para pedagang ini juga pemimpin redaksi surat kabar atau menjadi penyedia tenaga kerja. Pedagang dan penyedia tenaga kerja ini yang kemudian membentuk diri menjadi kaki tangan perusahaan transnasional. Mereka paling tidak menginginkan agar peraturan kerja kontrak diperbaiki dengan peraturan kerja kontrak yang lebih modern.

Negara kolonial pada umumnya berdiri atas kerjasama dengan kepentingan komprador tradisional, entah pedagang beras, tembakau, penyedia tenaga kerja atau penguasa-penguasa pribumi, yang dapat menguntungkan kekuasaan kolonial. Pemerintah kolonial dilengkapi dengan aparat-aparat kekuatan represif (pemaksa) yang tugasnya untuk mengontrol seluruh kelas dalam masyarakat kolonial dalam rangka kepentingan burjuasi Eropa.

Setelah kemerdekaan kubu penguasa lokal diwarisi kekuatan militer secara relatif dan perlengkapan birokrasi untuk menindas perjuangan kelas domestik dan menjaga kepentingan mereka.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mensejajarkan situasi dan kondisi kerja kontrak pada zaman kolonial dengan zaman Orde Baru. Namun, setidak-tidaknya terdapat unsur yang tersisa dan dibawa ke zaman orde baru.

Perusahaan Transnasional, Sub-Kontraktor dan Hubungan Kerja Kontrak

GATT di bawah payung WTO menuntut standarisasi hubungan industrial, dalam pengertian WTO mencari aturan-aturan standar dan disiplin atas dasar perdagangan bebas-dan mencoba menghilangkan pengaruh-pengaruh penyimpangan dari standarisasi tersebut.

Perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional mencari pasarnya ke wilayah Dunia Ketiga dengan membuka perusahaan-perusahaan sub-kontraknya. Namun demikian, perlu dirumuskan apakah multinasional itu: ia terdiri dari perusahaan induk dan cabang-cabang perusahaannya yang selanjutnya kemudian direlokasi ke negeri-negeri Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Manajemen dari setiap komponen dirancang untuk diajukan keseluruh grup, cabang dan perusahaan-perusahaan yang direlokasi. Dan tidak tertutup kemungkinan perusahaan MNC/TNC akan berpindah-pindah tempat dalam merelokasi pabriknya dari satu negeri ke negeri yang lain. Hal ini tergantung dari pasarnya menguntungkan atau tidak.

Perusahaan-perusahaan MNC/TNC yang merelokasi pabriknya ke Indonesia membawa teknologi baru, manajer dari negeri asalnya, dan sekarang ini mereka merumuskan hubungan industrial kerja kontrak, yang sebenarnya juga didorong oleh International Labour Organization (ILO).

Karakter dari ILO ditentukan dari ideologi dasarnya. Prinsip pokok dari ILO menumbuhkan hubungan organisasi tripartit (pemerintah-pengusaha-Buruh) pada tingkat nasional dan internasional-percaya bahwa posisi massa buruh paling baik diperbaiki oleh modal dan buruh yang bekerjasama di dalam ikatan negara bangsa. Sepanjang sejarahnya, ILO membawa partisipasi buruh dalam hubungan industrial dan kesepakatan kerja bersama. Dalam konfrensinya di Oslo tahun 1974, beberapa prinsip partisipasi buruh dan kesepakatan kerja bersama dirumuskan, pertama, "untuk memperbaiki kualitas kehidupan buruh dalam bekerja dengan memberikan mereka pengaruh dan keterlibatan yang lebih besar dalam kerja, dan menjamin saling kerjasama antara buruh dan pengusaha dalam mencapai kenyamanan kerja industrial, produktivitas dan efisiensi dalam kepentingan perusahaan, buruh, konsumen, dan bangsa."

Dengan ILO merumuskan prinsip tripartit ini ILO memaksakan dan menyamaratakan pada seluruh negeri tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi negeri yang dituju.

Kedua, perspektif ILO terutama menitik-beratkan pada mengangkat isu produktivitas kerja dan menciptakan kondisi kerja yang nyaman-organisasi buruh diasumsikan berdiri sebagai mitra antara buruh dan majikan.

Ketiga, pendekatan ILO ini cenderung memperkenalkan teknologi modern, teristimewa dalam era menstrukturkan kembali industrial kapitalisme. Sehingga dibenarkan untuk juga menjalankan bentuk-bentuk baru organisasi kerja, contohnya memperpanjang jam kerja melalui hubungan produksi sosial kerja kontrak.

Rumusan dan definisi ILO ini untuk sekarang ini mendapatkan sambutan yang luar biasa dari perusahaan-perusahaan MNC/TNC untuk memperkenalkan hubungan industrial kerja kontrak. Apalagi di Dunia Ketiga seperti di Indonesia, beroperasinya perusahaan TNC/MNC merupakan kerjasama antara lembaga-lembaga imperialis seperti World Bank, IMF dan WTO, yang dikendalikan oleh negara-negara Eropa dan Amerika Utara dan dengan komprador lokal.

Perusahaan TNC di sini membangun perusahaan-perusahaan sub-kontraknya yang bekerjasama dengan perusahaan lainnya, terutama untuk industri elektronik. Misalnya, perusahaan Kenwood di Tangerang bekerjasama dengan perusahaan mobil Ford untuk melengkapi sound sistem-nya. Atau sebuah perusahaan elektronik yang berlokasi di Cileungsi bekerjasama dengan Astra mobil yang juga bersifat sama. Dan juga ada perusahaan elektronik yang membeli merek, perusahaan lain seperti Daiwo yang modalnya berasal dari Korea Selatan membeli merk Daiichi yang merupakan perusahaan elektronik Jepang. Hampir seluruh bahan baku perusahaan-perusahaan elektonik ini berasal dari perusahaan induknya atau perusahaan-perusahaan cabangnya yang tersebar di seluruh dunia.

Sementara itu, industri garmen seperti Levis, Kenzo, Arrow, Triumph dan merk terkenal lainnya, disub-kontrakkan ke perusahaan garmen besar seperti, Duta Busana, Great River dan Honey Lady. Perusahaan-perusahaan ini untuk menjalankan produksinya, juga mengimpor bahan bakunya dari luar, terutama untuk serat polyster dan teknologi mesinnya. Juga, mereka mendatangkan perancang-perancang dari luar negeri agar kualitas barang jadinya tidak berbeda jauh dari produk kualitas perusahaan induknya.

Industri-industri sub-kontraktor ini membawa teknologi baru serta mengimpor bahan bakunya ke Indonesia. Akibatnya, struktur industrinya tetap morat-marit. Hal ini terlihat dengan terjadi kebangkrutan pada beberapa industri tekstil di Majalaya (Jawa Barat) dan Pekalongan (Jawa Tengah). Persoalan yang dialami oleh dua lokasi industri ini sederhana saja, yakni terjepit bahan baku. Sebab bahan baku tekstil tersedot ke industri-industri besar, seperti Kanindotex atau Texmaco. Para pemilik pabrik di dua lokasi industri tekstil ini, terpaksa melakukan PHK atau merumahkan buruh-buruhnya. Keadaan ini juga akibat dari mesin-mesin yang sangat tua terus dipergunakan. Hampir rata-rata industri tekstil di Majalaya mengoperasikan mesin tahun 1930-an, saat industri tekstil pertama kali muncul di Indonesia. Sekarang pertanyaan, ke mana saja keuntungan dan nilai lebih yang dihasilkan oleh pabrik itu? Persoalan yang mendasar, para pemilik pabrik tidak mempunyai pandangan ke depan, keuntungan yang diperoleh digunakan untuk mengkonsumsi barang atau benda, seperti membeli mobil-mobil mahal, menyogok birokrasi, dan membayar keamanan untuk mengawasi buruh. Ini semua merupakan biaya tinggi. Para pemilik pabrik tidak pernah memikirkan membangun dapur penelitian dan pembangunan untuk pengembangan industrinya, meningkatkan keahlian para buruhnya. Akan tetapi, yang paling penting bagi mereka adalah bagaimana mengontrol buruh untuk meningkatkan produktivitas buruh. Sehingga yang tumbuh bukan borjuasi yang produktif, namun borjuasi yang konsumtif.

Pada tahap lebih lanjut, buruh-buruh yang di PHK tersebut lari ke industri-industri manufaktur di sekitar Jabotabek. Mereka harus menghadapi apa yang disebut penandatangan kontrak yang bunyinya seperti ini, "jika pihak pertama (pemberi kerja) dan pihak kedua (penerima kerja) jika terdapat perselisihan pihak pertama tidak akan memberika apa-apa".

Namun, karena kebanyakan di antara mereka ingin mendapatkan kerja, maka mereka tidak bisa menolak atau kurang memahami isi dari kontrak kerja tersebut. Selain itu, dalam kontrak kerja tersebut tidak tercantum berapa lama buruh harus bekerja, yang ada bahwa buruh harus mengerjakan target produksi yang telah ditentukan oleh perusahaan tersebut.

Keadaan demikian juga terjadi pada pabrik tekstil dan garmen-PT. Rajabrana dan PT. Ever Shinetex Garment, juga menggunakan sistem hubungan kerja kontrak, di mana buruh harus mengejar target produksi. Akibatnya, disiplin dan jam kerja buruh terus meningkat. Meskipun buruh menerima bonus setiap menyelesaikan target mereka, namun pada kenyataannya mereka diharuskan membayar pajak penghasilan yang dipotong dari komponen upah pokok, uang transportasi, uang makan, sehingga upah yang diterima oleh buruh perusahaan tersebut terus menerus mengalami kemerosotan. Padahal, kalau kita berfikir secara sehat, yang menanggung pajak adalah pihak konsumen dan pemilik pabrik. Akibatnya, terjadi pemogokan yang berlangsung hingga 14 hari.

Lain halnya dengan perusahaan-perusahaan elektronik yang menerapkan sistem hubungan kerja kontrak, yang kebanyakan dalam Kesepakatan Kerja Bersamanya berbunyi, "Karyawan adalah yang terikat pada hubungan kerja secara terbatas dengan perusahaan atas pekerjaan harian secara terputus-putus yang sewaktu-waktu sifatnya (insidentil) dan dengan masa kerja terus menerus kurang 3 (tiga) bulan". Hal ini berarti setelah tiga bulan buruh harus menandatangani kontrak lagi, atau kalau pabrik membeli mesin baru, buruh perlu diberikan pengenalan terhadap mesin tersebut. Sehingga dengan sistem hubungan kerja kontrak terjadi kesinabungan kerja. Artinya, dengan adanya mesin baru, keahlian buruh dan produktivitas kerja juga ditingkatkan. Dengan demikian, jam kerja, disiplin kerja, serta target produksi, perlu dilanjutkan untuk meningkatkan produktivitas dan target produksi perusahaan.

Perusahaan elektronik yang direlokasi dari Korea Selatan, tanpa menetapkan aturan hubungan kontrak yang jelas, tetapi berdasarkan penuturan buruhnya, "Di perusahaan tempatnya kerja tanpa peraturan yang ketat, tetapi yang penting perusahaan menginginkan target produksi tercapai. Dan jika tercapai buruh akan mendapatkan uang insentif". Tetapi, di sini juga terbentur dengan masalah design dan rancang bangun untuk industri elektronik tersebut. Sehingga yang terjadi adalah pembagian kerja yang acak-acakkan sebagaimana seorang buruh yang bekerja di pabrik tersebut menegaskan, "saat datangnya truk kontainer yang membawa barang-barang baku, hampir setiap buruh yang bekerja di line yang berbeda diharuskan mengangkut bahan-bahan baku tersebut, seandainya menolak buruh diancam potongan uang insentif". Kedatangan truk-truk container ini diperkirakan untuk musim target produksi, yakni menjelang lebaran mencapai 100 kontainer, dan buruh mendapatkan upah angkut sebesar 15 ribu rupiah. Sedangkan untuk hari-hari biasa, untuk setiap minggunya 15 truk container, dan hanya mendapatkan bonus angkut sebesar 2 ribu rupiah.

Sementara itu, pembagian uang insentif terhadap masing-masing buruh yang ditentukan oleh kepala line, tidak dijelaskan secara demokratis. Dan kriteria pembagian insentif ini berdasarkan hubungan patronase.

Dari pemaparan di atas, industri manufaktur di Indonesia dengan sistem hubungan kerja kontraknya, tetap tidak demokratis dalam pengertian belum terdapat proses sub-sub divisi yang jelas, sehingga kesinabungan kerja menuntut perampingan. Oleh sebab itu, ketidakmenentuan watak pola-pola kerja sebelum dan sesudah datangnya mesin-mesin berkapasitas besar tetaplah sama, dan bahkan melanjutkan beban eksploitasi yang sudah ada. Contoh konkritnya, sebagaimana dikatakan di atas, bahwa para pemilik industri manufaktur di Indonesia bukanlah industriawan, tetapi pedagang yang hanya membeli lisensi dan merek, yang selanjutnya menentukan target produksi bagi buruh dengan waktu sekitar 10 sampai 12 jam per hari. Sebaliknya, pemilik pabrik mulai memperhitungkan bahwa kerja lembur (overtime) masuk ke dalam biaya produksi yang mahal, maka untuk itu perlu dilakukan pemotongan-pemotongan komponen penerimaan upah buruh, menghilangkan ongkos transportasi dan sebagainya.

Seorang buruh sub-kontraktor di Tangerang menulis puisi tentang situasi hubungan kerja kontraknya. Ia secara tegas berseru, "Teman-teman sudah lama kita dihisap, apakah kalian tidak melihat pabrik ini sudah punya cabang, mesin-mesin bertambah terus dan kemarin si Kapitalis itu mobil Mercynya baru. Mengertilah teman-temanku bahwa semua itu karena perusahaan ini mendapat untung sangat besar dari disiplin dan jam kerja kita". Ini menunjukkan pertumbuhan atau perubahan kebudayaan, dan pertumbuhan kesadaran sosial buruh memandang pemilik modal Indonesia yang konsumtif, dan juga bagaimana hubungan kerja kontrak mempengaruhi pandangan kaum buruh terhadap perubahan disiplin dan jam kerja pada zaman industri "kapitalisme" di Indonesia.***

INTERNASIONAL

Tulisan ini diterjemahkan dari bagian-bagian buku Introductory Course For The Workers, 1991, oleh Eucumenical Institute for Labor Education and Research (EILER), Quezon City, Philippine. Maksud pemuatan tulisan ini sebagai pembanding bagi buruh, dan organisasi buruh Indonesia tentang makna dan peran dari gerakan buruh.

Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh: Edi Cahyono

KURSUS PEMULA UNTUK BURUH:
Gerakan Serikat Buruh
(BAGIAN I)
Oleh: EILER

1. Konsep-konsep dasar Serikat Buruh

a. Apakah Serikat itu?

Sebuah serikat adalah basis organisasi buruh dalam kerangka hubungan buruh versus modal. Buruh mengorganisir dirinya untuk memperkuat posisinya dalam perjuangan untuk Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang lebih baik untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonominya. Serikat menyatukan buruh dan memperkuat kesadarannya.

Sebuah serikat adalah satu organisasi buruh demokratik dan permanen. Adalah satu organisasi permanen yang ditujukan untuk dirinya bagi kebutuhan-kebutuhan buruh sepanjang waktu. Bukan hanya hidup di saat buruh menghadapi satu masalah baru.

Serikat mewakili dan melindungi buruh tanpa diskriminasi yang didasarkan pada jenis kelamin, kebangsaan atau agama. Siapapun di serikat, anggota biasa dan pengurus, mempunyai tanggung-jawab kerja untuk kemajuan serikat.

b. Apakah Serikat Buruh itu?

Serikat buruh, atau gerakan serikat buruh, adalah perjuangan aktif buruh untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan hak-hak lainnya. Adalah upaya buruh untuk mendapatkan bagian nilai yang diciptakan dengan kerja mereka tetapi diambil oleh kapitalis.

Perjuangan buruh biasanya dipusatkan sekitar tiga tuntutan:

  1. Upah lebih besar sebagai satu cara tercepat bagi buruh untuk memperoleh hasil kerja kolektifnya dan untuk menikmati standar hidup yang layak.
  2. mengurangi jam kerja tanpa pengurangan upah sebagai satu langkah langsung dalam meningkatkan pembagian mereka dalam nilai produk-produk yang mereka ciptakan.
  3. Kebebasan berorganisasi serikat buruh untuk menjaga keberadaan buruh menentang kapitalis.

c. Jenis-jenis perbedaan gerakan serikat buruh?

Ada dua jenis gerakan serikat buruh: serikat buruh sejati dan "kuning."

1) Serikat buruh sejati bertahan dan berdiri untuk kesejahteraan kepentingan klas buruh. Perjuangannya untuk baiknya kondisi kerja buruh. Membuat buruh paham situasi mereka sendiri dan buruh sebagai anggota masyarakat. Membongkar dan menentang undang-undang anti-buruh yang diterapkan oleh pemerintah. Tidak menutupi kecurangan yang diipropagandakan oleh kapitalis dan antek-anteknya di berbagai lapisan klas pekerja.

Serikat buruh sejati mengakui dan menegaskan konflik dan pertentangan kepentingan buruh dan kapitalis. Percaya bahwa kenaikan upah, penghasilan-penghasilan dan hak-hak buruh lainnya didapatkan hanya dengan perjuangan. Menyandarkan kepercayaan pada kekuatan, persatuan, tindakan tegas dan keteguhan buruh untuk memenangkan tuntutan-tuntutannya.

Menggunakan mogok dan bentuk-bentuk lain penyelenggaraan aksi sebagai senjata utama menentang kapitalis dan mempertimbangkan negosiasi, keluhan dan arbitrasi/perwakilan hanya sebagai tindakan-tindakan taktik.

2) Keyakinan dan metode yang digunakan serikat buruh "kuning" dalam mengembangkan kepentingan buruh sangat bertentangan dengan serikat buruh sejati. Serikat buruh "kuning" yakin bahwa kepentingan buruh dan kapitalis adalah sama dan harmoni. Propaganda dugaan salah bahwa kemajuan pabrik secara otomatis berarti peningkatan dalam kondisi dan mata pencaharian para buruh.

Prinsip dan keyakinan ini membentuk dasar dari tindakan-tindakan dan perjuangan yang buruh lakukan. Serikat buruh "kuning" memutuskan seluruh konflik antara buruh dan kapitalis dengan negosiasi, prosedur keluhan, arbitrasi/perwakilan, rapat perdamaian dan bentuk-bentuk lainnya yang dimulai dan berakhir di meja runding, meski sebagai kapitalis secara kasar menyerang kedudukan buruh.

Serikat buruh "kuning" secara sengaja keliru dan menyimpangkan perjuangan buruh dan rakyat untuk mencapai kepentingan dan aspirasi terbaiknya. Mencoba menjual gagasan bahwa buruh harus berpartisipasi dalam soal-soal di luar pabrik. Dengan demikian, buruh harus tetap bungkam di pabrik dan di rumah. Bagi aktivis serikat buruh "kuning," masalah-masalah buruh di dalam pabrik adalah terpisah dan harus tidak bersangkut paut pada soal-soal nasional.

2. Bagaimana Kondisi Gerakan Serikat Buruh di Filipina Saat Ini?

Dari sejak awal, pertumbuhan gerakan serikat buruh Filipinan dengan keras dihalangi oleh pemerintah dan kapitalis monopoli Amerika.

Di tahun 1902, ketika federasi buruh Filipina pertama, Union Obrero Democrata (Serikat Buruh Demokratik), didirikan, pemerintah menanggapi dengan represi brutal. Nasib yang sama menimpa organisasi-organisasi berikut seperti Congress of Labor Organizations (CLO-Kongres Organisasi-organisasi Buruh)-organisasi sentral serikat buruh Filipina yang pertama dengan lingkup nasional, didirikan pada 1950. Kejadian sama pada Kilusang Mayo Uno (KMU-Gerakan Satu Mei), organisasi sentral serikat buruh lainnya, didirikan tahun 1980.

Saat ini, dari 10.331.000 penerima upah, 2.951.000 diorganisir di bawah serikat buruh baik yang sejati maupun "kuning."

Meskipun sejumlah buruh diorganisir menuju garis serikat buruh sejati, serikat buruh "kuning" mempengaruhi bagian lebih luas. Hal ini merintangi kemajuan gerakan buruh Filipina.

Satu ukuran yang sangat baik dari dampak serikat adalah KKB. Di tahun 1989, 880.000 buruh dicakup dalam KKB Filipina, yang 248.000 atau 28% di bawah Trade Union Congress of the Philippines (TUCP-Kongres Serikat Buruh Filipina) dan serikat-serikat aliansinya, 120.000 atau 14% di bawah serikat-serikat dan federasi-federasi independen, 80.000 atau 9% di bawah FFW dan serikat-serikat aliansinya, 48.000 atau 5% di bawah WFTU berafiliasi serikat buruh dan 380.000 atau 44% di bawah KMU.

3. Bagaimana Sikap yang Tepat Terhadap Undang-Undang Perburuhan?

Undang-undang adalah kumpulan seluruh kebijakan dan regulasi (peraturan) dirumuskan oleh mereka yang berkuasa dan dipaksakan pada berbagai pihak. Karakter undang-undang bergantung pada karakter dan kepentingan klas pihak yang membuatnya. Ambil suatu misal undang-undang buruh seperti General Order (Perintah Umum) No. 5, Dekrit Presiden No. (PD) 823, Batas Pambansa Blg. (BP) 130 dan 227, Resolusi No 473 dan Executive Order (Perintah Eksekutif) No. 815-undang-undang yang terbatas, bila tidak diabaikan seluruhnya, hak buruh untuk mogok dalam industri-industri vital tersebut atau di industri-industri yang dipengaruhi "kepentingan nasional."

Artinya, sepenuhnya digunakan untuk menerapkan undang-undang adalah: militer, Kepolisian Filipina, kekuatan-kekuatan polisi lokal dan satuan-satuan pengaman pabrik; pengadilan, termasuk Mahkamah Agung, pengadilan sipil dan militer; birokrasi, termasuk Kementrian Tenaga Kerja (MOLE) dan badan-badannya; dan penjara-penjara di Crame, Bicutan dan Penjara Nasional Bilibid.

Namun, ini tidak mencegah buruh di sejumlah tempat melancarkan pemogokan, termasuk satu pemogokan umum di Bataan Export Processing Zon (zon pemrosesan untuk ekspor Bataan) yang mempengaruhi "kepentingan nasional."

Bagaimanapun, ada undang-undang pemerintah yang terpaksa diratifikasi karena perjuangan buruh, seperti undang-undang kerja delapan jam, undang-undang perlindungan terhadap perempuan dan tentang KKB. Ini diharapkan menghentikan kemajuan perjuangan buruh dengan membungkam buruh. Meski dengan kelonggaran-kelonggaran ini, di sisi pemerintah dan kapitalis tidak menghentikan untuk mencari cara-cara menyingkirkan undang-undang ini, mengurangi dampaknya atau menghapuskan seketika bila muncul kesempatan.

Penghasilan tambahan dinikmati buruh berkurang ketika Philipine Labor Code (Peraturan Kerja Filipina) disahkan pada tahun 1974. Blue Sunday Law (Undang-Undang Minggu Biru) dihapuskan, jadi buruh tidak lagi menerima tambahan upah untuk kerja di hari Minggu. Pembayaran cuti melahirkan dikurangi dari 14 menjadi 6 minggu dan dapat digunakan hanya untuk seperempat usia kehamilan. Pembayaran cuti melahirkan sekarang dibebankan pada Sistem Keamanan Sosial, tidak seperti sebelumnya ketika masih menjadi tanggung-jawab kapitalis. Kompensasi untuk kecelakaan-kecelakaan yang berhubungan dengan kerja juga dikurangi di bawah revisi Employees Compensation Act (Undang-Undang Kompensasi Tenaga Kerja).

4. Mempersiapkan Sebuah Serikat Buruh

a. Bagaimana mempersiapkan serikat buruh

Langkah pertama dalam menyiapkan satu serikat adalah menginvestigasi situasi buruh dan karakteristik kapitalis di dalam pabrik. Kebutuhan informasi dapat diambil dengan bergabung dengan dan membagi pengalaman di antara buruh dan pekerja pabrik.

Informasi tambahan dapat diperoleh dari agen-agen pemerintah, seperti Komisi Perdagangan dan Keamanan (SEC) dan Kementrian Tenaga Kerja. Di beberapa instansi, ketika organisator [serikat buruh] dalam hubungan baik dengan personil administratif, mereka mungkin dapat memperoleh dokumen-dokumen vital tertentu melalui pertolongan orang tersebut. Tentu saja, seorang harus sangat hati-hati dalam berurusan dengan mereka untuk menghindari timbulnya kecurigaan di pihak manajemen atau kapitalis bahwa sedang berlangsung suatu pengorganisasian di pabrik.

Dari investigasi ini seseorang dapat dengan tepat menunjukkan metode yang tepat dan bentuk-bentuk dalam menggerakkan kepentingan buruh dan untuk mengorganisir dan memobilisir buruh. Akan juga dimungkinkan untuk menentukan siapa yang dapat dijadikan pendukung dan siapa harus diisolasi sebagai penentang pembentukan serikat buruh.

Tentu saja, investigasi ini tidak dapat sempurna dalam sekali kunjungan. Investigasi adalah proses berjalan sebab kondisi-kondisi di dalam pabrik secara kontinyu berubah.

(1) Membangun kontak

Para organisator serikat perlu membuat kontak-kontak. Lebih baik jika mereka mempunyai kontak-kontak di bagian-bagian dan shift berbeda di dalam pabrik. Harus ada kontak cukup di dalam pabrik untuk melalui pengumpulan suara (pooling) dipilih pemimpin-pemimpin yang potensial.

(2) Membangun kelompok inti

Pilih dari kontak-kontak tersebut yang paling mampu, dapat dipercaya dan dihormati buruh yang ingin membentuk kelompok inti. Dilakukan tanpa menyatakan bahwa prasyarat-prasyarat ini banyak menyatukan kerja di basis dan menanamkan hubungan-hubungan saling percaya di dalam dan di luar pabrik. Kelompok inti ini dapat menjadi tulang-punggung serikat buruh yang akan dibentuk.

Kelompok ini dapat memimpin atau langsung menyelenggarakan aksi-aksi buruh tergantung pada situasi. Dapat menuntut mengorganisir seksi-seksi dan bagian-bagian berbeda di pabrik, dan mengkaitkan dan mengkonsolidasikan mereka melalui pendidikan massa yang komprehensif (menyeluruh). Mereka harus terlatih dalam kerja propaganda.

(3) Pendidikan dan propaganda

Tujuan pendidikan dan propaganda adalah untuk menyadarkan buruh sehingga mereka dapat berjuang untuk kepentingan-kepentingan mereka dan masyarakat secara keseluruhan. Apa pun tingkat keterjangkauan pengorganisasian serikat buruh, pendidikan dan propaganda sangat penting.

Pendidikan biasanya diberikan melalui cara formal dan sistematis dan memerlukan panjang waktu tertentu. Misalnya dalam satu seminar. Di lain sisi, propaganda kampanye, di hampir setiap kasus, dimaksudkan untuk waktu lebih singkat dan tampil dalam berbagai bentuk, seperti menerbitkan bacaan (news-letter), manifes, poster, sajak, sandiwara, dan sebagainya.

(4) Mobilisasi

Segala upaya organisator dilengkapi untuk memobilisasi buruh melalui partisipasi dalam investigasi kerja, penyebaran bahan-bahan bacaan, kegiatan-kegiatan komite serikat dan aksi-aksi massa seperti pengerahan massa (rally) dan demonstrasi yang dikerahkan oleh serikat. Hakekat mobilisasi tergantung pada tingkat kesadaran buruh, pada reaksi yang diharapkan dari kapitalis.

b. Metode pembangunan serikat buruh di bawah situasi-situasi yang berbeda

(1) Di sebuah pabrik tidak terdapat serikat buruh

Adalah penting bahwa satu pondasi yang memadai telah meletakkan pembentukan serikat pada pabrik yang dijadikan target. Hal ini dapat dikemukakan dari evaluasi kelompok-kelompok inti di pabrik. Evaluasi ini dapat mengukur peningkatan pengaruh kelompok inti antar jenjang keanggotaan, yang dapat menjadi faktor menentukan, suka atau tidak, pengorganisasian serikat buruh dapat diselesaikan secara terbuka.

Dapat pula digunakan dua pendekatan lain, tergantung pada sikap kapitalis terhadap pembentukan serikat. Bila kapitalis sangat anti-serikat buruh, disarankan untuk melakukan afiliasi serikat buruh dengan satu federasi buruh yang dipercaya, jadi sesegera mungkin menetapkan legitimasinya. Bagaimana pun, bila kapitalis lebih moderat dan, bila serikat buruh dalam posisi berfungsi, serikat buruh dapat secara bebas didaftarkan ke Kementrian Tenaga Kerja sebelum bergabung ke satu federasi buruh yang dipercaya.

Seperti dinyatakan dalam Peraturan Kerja pasal 234, setiap aplikasi organisasi buruh, asosiasi atau kelompok-kelompok serikat buruh mempunyai hak-hak dan keistimewaan yang dijamin undang-undang untuk legitimasi organisasi-organisasi buruh di bawah isu sertifikat pendaftaran, berdasarkan prasyarat-prasyarat berikut:

(a) Biaya pendaftaran limapuluh peso (P 50);

(b) Nama-nama pengurusnya, alamatnya, alamat pusat dari organisasi buruh, catatan-catatan pertemuan-pertemuan organisasi dan daftar buruh yang berpartisipasi di rapat-rapat;

(c) Nama seluruh anggota paling tidak terdiri dari duapuluh (20) persen dari seluruh staf dalam unit negosiasi yang diperlukan untuk beroperasi;

(d) Bila aplikasi serikat buruh telah ada untuk satu tahun atau lebih, buatkan salinan laporan-laporan keuangan tahunan; dan

(e) Empat (4) salinan konstitusi dan anggaran dasar dalam aplikasi serikat, catatan-catatan yang diterima atau diratifikasi, dan daftar anggota yang berpartisipasi dalam rapat.

Dalam 20 hari setelah aplikasi diserahkan, Divisi Hubungan Kerja Kementrian Tenaga Kerja harus menindak-lanjuti aplikasi tersebut.

Biasanya selama waktu untuk mendapatkan pengesahan ini dan menyerukan rapat massa, berita-berita pengorganisasian serikat buruh sampai ke para kapitalis. Adalah perlu dilakukan penyaringan dengan hati-hati buruh-buruh yang diundang ke pertemuan ini.

Tahap pertama pembangunan serikat buruh adalah penting. Langkah-langkah berbeda dilakukan dalam menyiapkan serikat, tujuan-tujuan serikat, kepemimpinannya, keanggotaannya, struktur organisasional, fungsi-fungsi dan kebijakan-kebijakan lain didiskusikan. Kelompok inti juga dapat membuat rancangan satu konstitusi serikat untuk ditandatangani anggota.

Memiliki satu sertifikat pendaftaran bukan berarti kapitalis akan menerima serikat. Biasanya kapitalis mengganti ke taktik "pecah-belah dan kuasai." Mereka memanggil para pemimpin federasi "kuning" yang direkomendasi oleh Kementrian Tenaga Kerja, yang mengajukan satu petisi untuk pemilihan pengesahan (CE) (sebagai satu saran "demokratik" untuk menjamin bahwa para buruh memilih serikat atau federasi, mereka betul-betul ingin mewakili buruh).

Semua kemungkinan strategi dan trik akan digunakan oleh kapitalis untuk menghentikan pembentukan serikat buruh di pabriknya-termasuk berbohong dan intimidasi dengan kekerasan. Mereka akan mencoba memerankan posisi bapak-angkat, menawarkan posisi-posisi menarik pada buruh militan atau memberikan sejumlah uang pada pimpinan serikat buruh. Bila cara-cara ini gagal, mereka mengganti dengan mengancam dan melecehkan. Mereka membubarkan pimpinan serikat buruh dan anggota yang aktif, meletakkan buruh pada radius atau langsung dekat pabrik. Dalam kondisi seperti ini, ada satu kebutuhan atas serikat buruh sejati yang terorganisir baik yang siap mengadakan aksi-aksi massa yang solid.

Segera setelah serikat buruh diakui (oleh pihak manajemen) harus ada pertemuan jenjang keanggotaan untuk memutuskan bila harus mempelajari kepemimpinan sementara atau bila diperlukan memilih sekelompok dewan pimpinan baru atau mengajukan konstitusi.

Tahap berikutnya adalah mengajukan tuntutan-tuntutan pada kapitalis (untuk negosiasi kolektif) setelah diambil langkah-langkah berikut:

  • Berlandaskan investigasi, menentukan status keuangan dan kondisi produksi pabrik;
  • Mencakup seluruh tuntutan dan masalah-masalah buruh melalui rapat-rapat atau dengan membagi-bagikan formulir-formulir saran;
  • Menyiapkan para pemimpin baris kedua dari jenjang keanggotaan, siapa yang dapat dengan segera memimpin serikat, dalam kasus kapitalis membubarkan yang sedang menjabat pimpinan serikat;
  • Menyiapkan satu komite negosiasi (untuk KKB) yang telah disiapkan untuk seluruh negosiasi-negosiasi kerja;
  • Menyiapkan komite-komite lainnya sebagai pendukung negosiasi-negosiasi; pendidikan, propaganda, organisasi dan keuangan/logistik.
  • Anggota harus diinformasikan seluruh hasil negosiasi untuk mereka putuskan secara cepat tentang hal-hal yang memerlukan keputusan.

(2) Di sebuah pabrik ada sebuah serikat di bawah kepemimpinan serikat buruh "kuning"

Undang-undang menuntut bahwa satu KKB dan wewenang para pimpinan serikat buruh berlangsung untuk 5 tahun. Kadang-kadang KKB dan wewenang para pemimpin serikat buruh berakhir pada waktu yang bersamaan; dalam kasus-kasus lain KKB berakhir lebih awal atau sebaliknya. Tergantung pada yang menjabat, serikat buruh baru dapat berpartisipasi pada pemilihan-pemilihan lokal atau pemilihan-pemilihan pengesahan. Dalam kasus yang lain, adalah penting untuk mempelajari konstitusi dan anggaran dasar serikat buruh dan persetujuan antara serikat buruh "kuning" dan pihak manajemen. Hal ini akan menjamin sebagai petunjuk dalam aksi-aksi yang akan dilakukan.

Pada kasus kantor serikat buruh "kuning" berakhir lebih cepat/awal: berpartisipasi dalam pemilihan lokal.

Kelompok inti harus anggota dari serikat buruh yang menjabat (present), jadi mereka dapat ruang daftar pimpinan mereka pada pemilihan. Biasanya ada di antara para pemimpin serikat buruh "kuning" dan adalah mungkin mempromosikan beberapa dari mereka untuk memasukkan daftar para pemimpin serikat buruh sejati. Ini akan menyingkirkan jenjang kepemimpinan serikat buruh "kuning." Hati-hatilah, bagaimana pun juga, jangan meletakkan para pemimpin yang tak dipercaya ke dalam daftar.

Setelah memenangkan pemilihan dan 60 hari sebelum berakhirnya KKB yang ada, serikat buruh lokal, bila terdapat afiliasi dengan federasi buruh "kuning," dapat memutuskan afiliasi tersebut. Sesegera mungkin mendaftarkan serikat buruh ke Kementrian Tenaga Kerja, bila tidak secara independen terdaftar sebagai satu serikat buruh lokal. Konsolidasi dan pengorganisasian serikat buruh harus siap untuk segenap gempuran dari serikat buruh "kuning," dengan dukungan manajemen, dalam upaya kembali (bergabung), untuk menginfiltrasi atau untuk menyebabkan berbagai gangguan.

Selama 60 hari sebelum berakhirnya KKB (periode bebas) antara kapitalis dan serikat atau federasi apa pun, satu petisi untuk pemilihan pengesahan dapat diserahkan ke kantor cabang Kementrian Tenaga Kerja. Paling tidak harus ditandatangani duapuluh persen (20%) staf yang tercakup dalam unit negosiasi.

Pihak penilai kantor cabang Kementrian Tenaga Kerja harus mengambil keputusan, baik memegang atau tidak memegang pemilihan pengesahan, dalam duapuluh hari kerja setelah mematuhi petisi. Selama periode 20 hari ini, harus dilakukan dengar-pendapat, berpartisipasi dalam semua pertemuan-pertemuan yang berkaitan; pembuatan petisi serikat, kapitalis dan serikat-serikat dan federasi-federasi lain yang rajin berpartisipasi dalam pemilihan pengesahan.

Bila pihak penilai memutuskan bahwa tidak ada pemilihan pengesahan dilakukan, pengaju petisi dapat memasukkan satu permohonan pada Biro Hubungan Kerja Kementrian Tenaga Kerja dalam sepuluh hari setelah adanya keputusan. Dalam kasus permohonan tidak diluluskan, pengaju petisi dapat mengajukan kasus ke Pengadilan Tinggi Filipina.

Bila pihak penilai memutuskan bahwa pemilihan pengesahan harus dilakukan, pemilihan pengesahan harus ditempatkan dalam duapuluh hari kerja setelah dimasukkan. Selama periode duapuluh hari, harus dilakukan satu dengar pendapat, dengan pertisipasi dari seluruh serikat dan federasi buruh yang mendukung, untuk memutuskan siapa dapat atau siapa yang tidak dapat berpartisipasi (pencatuman/pengabaian) dalam pemilihan pengesahan, guna memastikan waktu pemilihan dan menyiapkan hal-hal lainnya.

Lima hari sebelum pemilihan, satu perwakilan Kementrian Tenaga Kerja harus menempatkan dasar-dasar pemikiran dari pabrik satu daftar pendukung, tanggal dan waktu pemilihan dan nama-nama serikat-serikat buruh dan federasi-federasi penentang.

Di hari pemilihan serikat-serikat buruh penentang, kapitalis dan Kementrian Tenaga Kerja harus menunjuk para pengawas pengumpulan suara, yang mempunyai hal mempertanyakan berbagai hal berkaitan dengan pengumpulan suara. Setiap suara keberatan atau suara menentang harus ditempatkan dalam satu amplop diletakkan di samping wakil Kementrian Tenaga Kerja. Keputusan untuk memasukkan atau tidak suara-suara ini dapat dilakukan selama penghitungan yang sesungguhnya.

Serikat buruh yang diterima oleh pemilih suara sah dimasukkan oleh para pemilik suara sah, dapat didaftarkan sebagai satu-satunya dan perwakilan negosiasi ekslusif dari seluruh buruh di dalam unit terkait. Bagaimanapun juga, dalam rangka mendapatkan pemilikan yang sah, paling tidak 50 persen dari seluruh suara yang diterima dapat memasukkan suara mereka (Masalah Perwakilan pasal 256).

Bila serikat buruh penentang tidak mencapai mayoritas suara, tanggal untuk melakukan pemilihan antara dua serikat buruh dengan jumlah suara tertinggi dalam lima hari harus disiapkan oleh wakil Kementrian Tenaga Kerja. Dalam rangka untuk menghentikan pemilihan seluruh serikat buruh penentang harus paling tidak menjangkau 50 persen dari jumlah keseluruhan suara.

Dalam kasus KKB telah habis masa berlakunya lebih cepat/awal atau berbarengan KKB dan kantor para pemimpin "kuning" berakhir secara berurutan: masukkan satu petisi untuk pemilihan pengesahan ke Kementrian Tenaga Kerja.

Pengajuan untuk memasukkan petisi pemilihan pengesahan sebagai berikut:

(1) Nama yang mengajukan petisi dan alamatnya dan afiliasinya bila ada;

(2) Nama, alamat dan esensi dari pekerjaan staf;

(3) Deskripsi Unit Negosiasi (bargaining) kecuali kalau keadaan menghendaki sebaliknya; dan lebih lanjut mengadakan, unit negosiasi yang ada dan jenjang keanggotaan, tidak dapat disertakan staf pengawas dan/atau para sekuriti serikat;

(4) Jumlah staf yang dinyatakan dalam unit negosiasi;

(5) Dalam satu pembentukan [serikat] terorganisir, paling tidak ditandatangani duapuluhlima persen (25%) dari jumlah pekerja di unit negosiasi.

Dapat disarankan kepada serikat buruh baru untuk hadir secara terbuka hanya selama periode bebas, yaitu, 60 hari sebelum masa berakhirnya KKB. Serikat baru dapat didaftarkan pada Kementrian Tenaga Kerja sebagai satu serikat buruh independen atau sebagai afiliasi dengan satu federasi buruh. Pada waktu selanjutnya, serikat buruh akan mempunyai identitas legal dan dapat mendaftar sendiri sebagai satu serikat buruh tersendiri setelah pemilihan pengesahan.

Tahap-tahap untuk pemilihan pengesahan seperti diindikasikan oleh Peraturan Perburuhan pasal 256-261 seperti didukung oleh Keputusan Menteri No. 9 E (seri 1986).

Juga dapat diantisipasi selama pemilihan-pemilihan pengesahan, kapitalis, perwakilan tertentu Kementrian Tenaga Kerja dan para pimpinan serikat buruh "kuning" akan bersekongkol menentang serikat buruh sejati. Bila mereka mengira bahwa pembuatan petisi serikat buruh sejati kuat dan disiapkan untuk pemilihan pengesahan, mereka menunda keputusan. Bila di lain sisi, keputusan cepat dan segera. Serikat buruh sejati, harus disiapkan untuk mengadakan aksi-aksi massa yang solid untuk menghapus kolusi ini.

(3) Ketika berurusan dengan pengurus serikat yang kooperatif atau yang ramah

Ada kondisi-kondisi di mana kepemimpinan serikat melindungi dan berjuang untuk kesejahteraan dan kepentingan buruh meskipun mereka tidak menjadi pengikut serikat buruh sejati. Tipe kepemimpinan seperti ini biasanya tergantung pada proses legal untuk menyelesaikan masalah-masalah buruh. Keanggotaan serikat juga tergantung pada para pemimpin ini yang tidak ada di pabrik, anggota serikat tidak aktif.

Para pemimpin serikat ini harus bersedia melanjutkan dengan tanggung-jawab mereka. Mereka harus didorong, bersama anggota-anggota serikat yang aktif, untuk menghadiri kursus-kursus tentang serikat buruh sejati. Organisator [serikat buruh] harus membantu mereka dalam mengkonsolidasikan serikat buruh mereka.

Selama pemilihan serikat buruh lokal, para pemimpin serikat buruh lokal, para pemimpin serikat buruh yang tidak aktif harus digantikan oleh anggota-anggota yang aktif. Komite-komite berbeda harus disiapkan sebagai kebutuhan organisasi dan sebagai kondisi-kondisi dalam mendapatkan izin serikat. Langkah-langkah ini akan melindungi kebutuhan dari hari ke hari serikat buruh, dan membantu persiapan untuk mengadakan aksi-aksi massa kolektif/bersama untuk suksesnya tuntutan-tuntutan buruh.

Organisator harus memberitahu para pemimpin serikat tentang seluruh aksi yang telah dilakukan jadi menegakkan persatuan erat di antara sesama mereka.***

Bersambung ke Cerita Kami nomor 13

SEJARAH

SEJARAH PEMIKIRAN SERIKAT BURUH DI INDONESIA
Oleh: Razif

Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan gagasan-gagasan serikat buruh tahun 1950-an. Gagasan itu perlu kita pahami karena mempunyai benang merah hingga dewasa ini. Agar pemahaman kita lebih baik, saya terlebih dahulu akan menjelaskan masa sebelum tahun 1950-an itu.

Pada masa sebelum tahun 1950-an, yakni masa pendudukan Jepang, gagasan-gagasan tentang serikat buruh tidak berkembang. Gagasan-gagasan yang tidak berkembang itu, mempunyai dampak pada periode-periode selanjutnya.

Kenapa gagasan-gagasan tentang serikat buruh itu tidak berkembang? Untuk menjawabnya, kita perlu memahami pengaruh pendudukan Jepang (1943-1945) atas masyarakat Indonesia. Jepang menguasai Indonesia dengan cara pemerintahan militer (fasisme). Penjajahan cara militer Jepang itu tidak banyak dipermasalahkan oleh para tokoh pergerakan Indonesia. Orang-orang yang mau melanjutkan perjuangan demokrasi dengan menyatakan sikap anti fasismee dan anti imperialisme, dituduh menjadi boneka atau kaki tangan Belanda. Mereka dianggap ingin mengembalikan Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Padahal, orang-orang yang anti fasisme dan imperialisme itu sebenarnya ingin menyatakan sikap bahwa mereka menentang kekuasaan Jepang.

Jadi, dapat kita simpulkan, pada masa pendudukan Jepang itu gagasan anti fasisme tidak banyak dihiraukan. Tuntutan demokrasi kurang terdengar. Seolah-olah, semua cita-cita kerakyatan yang telah menjadi azas perjuangan dilupakan begitu saja, atau dianggap tak penting lagi. Bahkan semangat perjuangan di kalangan pemimpin kaum buruh yang progresif, juga turut terasa gejala itu.

Hampir semua cita-cita demokrasi ditindas pada masa pendudukan Jepang. Anti Jepang yang bersifat anti fasis, sukar dibangkitkan. Gagasan anti fasisme Jepang tidak berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, persoalan demokrasi menentang fasisme (Jepang), gagasab anti militerisme (Jepang), soal anti-kediktakturan militer (Jepang), tidak menjadi persoalan bagi para pemikir politik Indonesia pada saat itu. Akibatnya ide-ide progresif, gagasan dan pemikiran tentang serikat buruh sama sekali mati pada masa pendudukan Jepang.

Meskipun akhirnya Jepang menyerah pada tentara Sekutu, kondisi di atas sangat berpengaruh, setidaknya terdapat dua kubu serikat buruh, yakni SOBSI yang berdiri 29 November 1946 merupakan gabungan antara Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI) dan Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GSBV) dan kubu lainnya non-SOBSI yang terdiri dari Gabungan serikat pekerja Horizontal.

Setelah Indonesia merdeka, dari tahun 1945 sampai tahun 1951 perusahaan-perusahaan asing ada di bawah kontrol serikat-serikat buruh. Sebagai contoh perusahaan kereta api direbut oleh SBKA, Perusahaan minyak (BPM) direbut oleh Serikat Buruh Minyak dan perusahaan-perusahaan vital lainnya berada di bawah kontrol atau pengawasan serikat-serikat buruh. Dan dalam periode ini praktis hampir tidak terdapat pemogokan atau perselisihan antara buruh dan majikan.

Akan tetapi terdapat saling tuding antara anarko-sindikalisme Partai Buruh Indonesia (PBI) yang merupakan peleburan dari Barisan Buruh Indonesia (BBI) dengan SOBSI. Pertentangan ini sebenarnya di sekitar antara yang pro perundingan dengan Belanda dengan yang menolak perundingan dengan Belanda.

Dengan masuknya imperialisme, kericuhan yang terjadi di kalangan serikat-serikat buruh mempunyai pengaruh penting. Imperialisme masuk ke Indonesia melalui perjanjian Linggarjati pada tahun 1946 dan perjanjian Renville pada tahun 1947. Untuk meredakan kembali percekcokkan ini memang sulit, apalagi setelah persetujuan Konfrensi Meja Bundar (KMB) diberlakukan yang menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan milik asing yang dikuasai oleh kaum buruh harus diserahkan kembali ke pemilik modal asalnya.

Perjanjian KMB mempunyai dampak yang luar biasa. Selain kembalinya lagi beroperasi modal-modal asing, yang lebih parah adalah munculnya mekanisme kontrol terhadap kaum buruh. Pertama adalah dikeluarkannya UU Darurat No. 16/51 yang pada intinya mengekang hak mogok dan membela majikan dari pada kaum buruh.

Pelaksanan UU tersebut adalah dengan mengharuskan pihak-pihak yang berselisih memberi tahu kepada P4D tiga minggu sebelumnya, apabila hendak melakukan aksi setelah tidak diperoleh penyelesaiaan dari sesuatu perselisihan. Segera setelah P4D menerima surat pemberitahuan tersebut. P4D diharuskan memberi tahu kepada menteri Perburuhan, dan menteri wajib menyerahkan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh P4D itu kepada P4P. Proses selanjutnya P4P berhak mengadakan putusan mengikat atau mengadakan angket yang tidak boleh ditolak oleh pihak-pihak yang berselisih dan pihak-pihak tersebut dilarang mengadakan aksi.

Konsepsi gagasan serikat buruh semacam ini yang mulai mengganggu organisasi-organisasi buruh, tidak lain adalah akibat kekalahan dari perundingan KMB yang merupakan "bahaya dari luar" biasanya terjadi bersama dengan "kerusuhan dari dalam."

Akibat perundingan KMB ini, Indonesia menjadi negeri terbelakang. Sumber keterbelakangan ini ialah eksploitasi dan penghisapan ekonomi kolonial yang dipadukan dengan sisa-sisa feodalisme. Ciri eksploitasi kolonial, pertama, suatu negeri dijadikan tempat penanaman modal imperialis, terutama di lapangan produksi bahan-bahan mentah. Kedua, sebagai sumber tenaga kerja yang murah. Ketiga sebagai sumber bahan mentah dan keempat sebagai pasar bagi barang-barang produksi negeri imperialis.

Situasi dan keadaan inilah yang memunculkan gagasan atau pemikiran untuk menaklukkan serikat-serikat buruh. Hal yang konkrit sejak perundingan KMB adalah menundukkan kaum buruh dengan sejumlah perangkat perjanjian, agar kaum buruh mau menerima modal asing dan barang-barang produksi imperialis.

Imam Soepomo yang gagasannya tidak berbeda jauh dengan Dr. Soetomo, yakni ingin melepaskan unsur-unsur politik dari serikat buruh-membuat perjanjian kerja yang memojokkan kaum buruh. Menurut dia perjanjian kerja ialah suatu perjanjian yang menyatakan kesanggupan pihak kesatu, buruh, untuk bekerja pada pihak lainnya, majikan, dengan menerima upah dan kesanggupan majikan untuk menerima buruh itu sebagai pekerja dengan membayar upah. Jadi perjanjian kerja, adalah kewajiban suatu pihak untuk bekerja. Sementara bekerja pada pihak lainnya sifatnya berarti hubungan bekerja di bawah pimpinan pihak lainnya.

Lebih jauh Imam Soepomo menegaskan perjanjian kerja, yakni penetapan secara merdeka tentang syarat-syarat perburuhan antara buruh dan majikan, memberikan kepada buruh yang cakap kemungkinan mendapat syarat-syarat perburuhan yang lebih baik dan karena itu juga; usaha umum atas didikan yang lebih sempurna dan perhatian buruh atas berkembangnya perusahaan.Dengan demikian perjanjian kerja merupakan dasar pokok dari perekonomian negara.

Sementara itu, Imam Soepomo memandang serikat buruh hanya sebagai alat untuk melakukan tawar-menawar upah, sebagaimana ia tegaskan: "Didalam hal serikat buruhnya dapat meringankan penghidupan buruh, jika serikat buruh itu nanti bertindak keluar semata-mata hanya untuk mencapai upah dan syarat-syarat perburuhan lainnya yang layak bagi penghidupan buruh dan keluarganya, antara lain dengan mengadakan perjanjian-perburuhan, dan ke dalam semata-mata untuk memberi bantuan kepada mereka yang sangat membutuhkan bantuan itu."

Pengaruh pemikiran Soepomo ini mempermudah intervensi pemerintah dalam perselisihan antara buruh dan majikan. Dalam hal ini posisi pemerintah adalah melindungi perusahaan sebagai sumber mata pencaharian buruh. Setelah perjanjian KMB yang salah satu pointnya menjamin investasi asing maka pemerintah terutama melindungi perusahaan-perusahaan asing. Contoh konkritnya maskapai-maskapai minyak melepaskan konsesinya yang ada di tangan dan sebagai imbalan mereka diakui sebagai kontraktor perusahaan negara. Masing-masing anggota Tiga Besar menjadi kontraktor dari perusahaan negara yang berbeda. Hubungan mereka adalah sebagai berikut: Shell dengan Permigan, Stanvac dengan Pertamina, dan Caltex dengan Pertamina.

Maskapai-maskapai ini memperoleh kontrak selama dua puluh tahun untuk daerah konsesi mereka yang lama dan jangka waktu dua puluh tahun di daerah dan kontrak baru (sepuluh tahun untuk kegiatan eksplorasi dan dua puluh tahun untuk eksploitasi). Ketiga maskapai itu memilih daerah yang berdekatan dengan daerah operasinya. Stanvac memperoleh daerah di Sumatera bagian tengah sekitar lapangan Lirik. Shell memilih dua daerah baru di Sumatera Selatan dan sebuah daerah yang berdekatan dengan daerah Tanjung Kalimantan. Caltex mendapat dua daerah dekat lapangan Duri di Sumatera bagian tengah.

Sedangkan kontraktor asing ditunjuk sebagai agen penjual ekslusif untuk memasarkan minyak negara berhak untuk memiliki 20 persen dari perolehan hasilnya. Pengawasan manajemen tetap berada pada tangan kontraktor asing. Konsesi ini ditentang oleh Serikat Buruh Minyak (SKBM) yang berhasil mengorganisir 500 ribu buruh minyak dan Serikat Buruh Pelayaran untuk melakukan pemogokan di Sumatera bagian tengah dan selatan. Aksi pemogokan ini juga bertepatan dengan usaha menggagalkan ekspor minyak Indonesia untuk membantu aksi PBB dalam perang Korea.

Lain halnya Menteri perburuhan memandang pemogokan yang diorganisir oleh Serikat Buruh, merupakan tindakan yang kecil bagi pemerintah dan rakyat untuk memperbesar produksi dan mempertinggi kesejahteraan umum, sekalipun pemogokan itu ditujukan kepada perusahaan-perusahaan asing.

Penutupan-penutupan sementara perusahaan sebagai perlawanan terhadap pemogokan sama saja akibatnya dengan pemogokan-pemogokan yang dilakukan oleh pihak buruh. Syarat mutlak untuk menghindarkan perselisihan perburuhan ialah adanya suasana dan pengertian yang baik antara buruh dan majikan.

Buruh dan pengusaha hendaknya sama-sama berusaha supaya perselisihan-perselisihan perburuhan dapat dihindari atau setidak-tidaknya dikurangi.

Hal senada ditegaskan oleh Tedjasukmana, yang mengatakan bahwa disamping mengajukan tuntutan-tuntutan, demonstrasi-demonstrasi dan pemogokan-pemogokan untuk mendapatkan perbaikan nasib kaum buruh perlu menunjukkan, bahwa mereka juga memperhatikan kebutuhan negara dan masyarakat pada umumnya. Harus pula ditunjukkan kegiatan buruh di lapangan pembangunan, mempertinggi produksi yang menggambarkan bahwa kaum buruh juga sanggup untuk menunaikan kewajibannya sebaik-baiknya, bahwa memperbaiki nasib buruh berarti juga memperbaiki kemakmuran nasional dan dengan demikian mempertinggi potensi nasional, ke arah perekonomian nasional.

Demikian pula dengan yang dilontarkan oleh ST. Tanah: "ketentraman itu bukan karena gerakan buruh kurang giat atau lemah, akan tetapi sebab pemerintahnya ikut menetapkan tarif upah dan harga barang, dua hal yang selamanya terikat dan tak dapat dipisahkan, sebenarnya ia secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa, senjata mogok sebagai tindakan harus diganti dengan permusyawaratan di meja konperensi, antara suara kaum buruh yang diwakili oleh para pemimpinnya dengan pihak pemerintah dan pihak kaum majikan.***

KONTAK MOGOK

PEMOGOKAN BURUH DI PT TIMUR JAYA
Senin, 31 Juli 1995
Oleh: Buruh Cileungsi

Tiga ratus buruh laki-laki dan limabelas buruh perempuan PT TIMUR JAYA mengadakan aksi mogok menuntut uang transpor dan uang makan. Upah yang mereka dapatkan per hari sebesar Rp 4.600,- itu termasuk tunjangan yang lainnya sepertinya (uang makan, transpor, dll). Karena dengan keadaan yang sangat minim itu buruh-buruh berunding mengadakan tuntutan, karena mereka berpendapat sangat wajar untuk menuntut hak, kata dua orang buruh yang bekerja di PT TIMUR JAYA yang tak mau disebut namanya ketika kami mengobrol dengan mereka setelah kejadian aksi mogok.

Kira-kira mereka bekerja sekitar 6 bulan di PT tersebut, yang bertempat di daerah Cileungsi Bogor, adalah cabang dari PT TIMUR JAYA yang ada di Jakarta (Kapuk).

Kronologi Pemogokan

Sebelum pemogokan terjadi, buruh sudah ada kontak pemogokan antar devisi. Akan tetapi rencana tersebut diketahui oleh Perusahaan karena ada salah satu buruh yang membocorkan rencana pemogokan dalam arti mereka condong ke perusahaan. Setelah mendengar isu tersebut pihak Perusahaan mengadakan meeting besar dengan buruh dan staf yang lainnya di ruangan Pabrik (musyawarah).

Boss berkata, "Apa yang menjadi keluhan buruh-buruh mengenai upah?" Buruh-buruh menjawab, "Yang kami minta adalah, uang transpor, dapat makan" (karena buruh PT tersebut tidak dapat makan). Ternyata meeting tinggal meeting, pihak majikan tidak mengabulkan tuntutan tersebut, seandainya pihak perusahaan menyediakan makan perusahaan takut buruh-buruh akan keracunan, itu keputusan dari perusahaan.

Buruh tidak mendapatkan hasil tuntutan, justru mereka dibeberkan tentang kerugian-kerugian perusahaan yang kata perusahaan kira-kira sebesar Rp 200 juta. Akan tetapi buruh-buruh tidak putus asa dengan adanya keputusan tersebut. Kemudian di lain hari buruh-buruh mengadakan perundingan secara sembunyi, mereka berpedoman akan meneruskan tuntutan tersebut karena mereka merasa dirugikan.

Tepatnya hari Senin tanggal 31 Juli 1995 jam 07.00 WIB buruh-buruh yang masuk shift I dan sebagian shift II mengadakan aksi mogok dengan membawa spanduk untuk mengadakan tuntutan yaitu:

1. uang transpor,

2. mendapat jatah makan

Pada saat pemogokan mesin-mesin dimatikan, tidak ada aktivitas kerja, semua buruh ada di halaman pabrik. Selang beberapa waktu datang aparat keamanan dan pihak penengah, seperti misalnya Koramil (Komando Rayon Militer), Polisi dan Depnaker. Pihak polisi menyuruh buruh-buruh masuk untuk bekerja seperti biasa, akan tetapi buruh menolak tetap mengadakan aksi di halaman.

Jam 10.00 WIB, pihak perusahaan mengadakan perundingan bersama buruh atas saran pihak Koramil, yaitu sepuluh orang dari buruh. Perundingan tersebut kira-kira selama dua jam dengan hasil sebagai berikut, buruh akan mendapatkan tambahan uang sebesar Rp 900,- (Apabila buruh rajin bekerja dan disiplin dalam bekerja), artinya disini buruh harus benar-benar rajin bekerja tak boleh terlambat, andaikan tidak memenuhi syarat tersebut buruh tidak akan mendapatkan tambahan uang Rp 900,- itu tadi. Buruh pun tidak setuju.Pada tanggal 1 Agustus 1995, buruh mengadakan pemogokan kembali, karena buruh tidak puas dengan ketentuan tersebut di atas. Akan tetapi buruh tidak kompak lagi karena adanya tekanan-tekanan dari pihak perusahaan dan ada salah seorang buruh yang tadinya ikut menyusun tuntutan akan tetapi mereka mengingkari tuntutan yang mereka bikin. Dan mereka justru menyuruh buruh-buruh untuk masuk bekerja kembali (mereka mungkin kena iming-iming dari perusahaan). Dengan adanya kejadian seperti ini buruh-buruh menjadi kalang kabut dan merasa bingung, akan tetapi ada beberapa bagian buruh yang sepakat akan mengundurkan diri karena peraturan tersebut sangat berat merugikan bagi buruh dengan uang tambahan sebesar Rp 900,- sekitar 42 orang buruh dengan sepakat mengundurkan diri mereka kira-kira bekerja selama enam bulan.

Di sinilah kelemahan buruh sangat kelihatan sekali karena pengorganisasianya kurang rapih akibatnya buruh itu sendiri akan menerima akibat-akibat dari pihak pengusaha sedangkan pengusaha itu sangat kuat karena modal yang mereka miliki dan dukungan dari pihak aparat yang secara langsung ikut campur tangan, disini posisi buruh sangat lemah sekali.***

HUKUM PERBURUHAN

PEMAHAMAN DASAR TENTANG HUKUM DAN HUKUM PERBURUHAN
(Materi Pendidikan Pemula untuk Buruh)
Oleh: Surbakti

Pendahuluan

Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah misalnya. Karena kawan-kawan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan: "UMR = Rp 4.000,-, kalau saya menuntut Rp 7.000,- maka saya melanggar hukum, menuntut hal yang tidak wajar, berlebihan dan terlalu banyak. Dan kalau saya melanggar hukum, maka saya akan berurusan dengan polisi atau tentara!"

Benarkah pemikiran semacam itu? Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.

Proses Penciptaan Hukum

Pada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang proses penciptaan hukum.

1. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan

Sekarang marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat.

2. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan

Di sisi lain terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah, maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan tanah tersebut. Orang-orang 'miskin' itu bekerja dan sepenuhnya hidup tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak, maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa yang dia inginkan.

Sehingga pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah menciptakan suatu peraturan tertentu).

Pengertian Dasar Tentang Hukum

Dari uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum ialah suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.

Jadi sesungguhnya hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas daripada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah, sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan 'hukum', maka hal itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal, tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga berarti:

1. Buku-buku yang berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;

2. Lembaga-lembaga penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan, kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;

3. Manusia penegak hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan lain-lain.

Oleh karena itu, hukum barulah dapat ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut secara selaras dan disiplin menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita memiliki peraturan-peraturan yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok, atau polisi masih sewenang-wenang. Atau seluruh perangkat telah sempurna bekerja, tetapi masyarakat sama sekali tidak mengindahkannya atau tidak mematuhinya. Sehingga dapat dikatakan, hukum baru dapat ditegakkan apabila seluruh subyek hukum menjalankan fungsinya. Untuk dapat dipatuhi, maka hukum haruslah menjamin keadilan untuk masyarakat yang akan menjalankannya. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah apakah hukum kita telah menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena, apabila hukum tidak menjamin keadilan, maka akan terjadi banyak keresahan-keresahan dalam masyarakat. Hal itu mensyaratkan bahwa haruslah terjadi perubahan atau reformasi hukum.

Hukum dan Perkembangan Masyarakat

Seorang hakim Agung dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa "Hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat." Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:

Pada tahun 30-an masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus berkembang. Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar, tetapi sudah menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Tetapi peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar tidak menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja tidak! Melainkan, peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah peraturan tentang kendaraan bermotor.

Persis seperti itu pula dengan apa yang terjadi pada perkembangan perjuangan kaum buruh di Indonesia. Kalau pada tahun 50-an kebutuhan kaum buruh dinilai dengan tidur beralaskan tikar, berpenerangan lampu teplok, beralas kaki sandal jepit, dan lainnya, sehingga itulah yang digunakan sebagai standar menentukan upah, apakah di era canggih sekarang ini di mana orang telah memakai listrik, menemukan satelit atau komputer, kita tetap menerima upah berstandarkan tikar, lampu teplok dan sandal jepit??!! Tidak! Sekali lagi: tidak! Kenapa? Karena masyarakat telah berkembang. Dan kita tidak hidup di tahun 50-an. Kita hidup sekarang di tahun 90-an, di tengah teknologi dan inflasi. Itulah karenanya peraturan yang ada sekarang hanyalah membuat kita resah, gelisah melihat kebutuhan-kebutuhan yang kian hari kian tak dapat terpenuhi. Lalu mengapa hukum tidak dapat menjawab keresahan-keresahan kita? Mengapa hukum yang ada tidak membuat kita merasa adil atau terlindungi? Jawabannya adalah karena proses penciptaan dan perkembangan hukum yang ada sekarang telah memasuki tahap penciptaan hukum yang berpihak pada sisi kepentingan sekelompok orang yang bernama pemodal. Masyarakat sendiri berkembang dalam tahap-tahap. Dimulai dari masyarakat primitif à perbudakan à feodal à kapitalis à masyarakat tanpa klas. Setiap bentuk masyarakat itu mempunyai ciri-cirinya yang sangat spesifik (khusus), terutama pada struktur ekonomi dan pola produksinya. Sehingga berangkat dari ciri tersebut kemudian mempengaruhi watak negara. Yang berarti juga mempengaruhi segala unsur dalam negara termasuk politik, hukum, dan lainnya.

Pada masyarakat kapitalis, di mana sekelompok kecil menguasai pemilikan alat-alat produksi dan di sisi lain sekelompok besar lainnya hanya memiliki tenaga untuk melakukan kerja, maka masyarakat terbagi atas kelas-kelas terutama dalam hubungan ini, kelas pemilik modal dan kelas buruh. Dan pada masyarakat kapitalis watak negara pun menjadi kapitalistis (berpihak pada klas kapitalis). Kalau watak negara kapitalistis, maka hukum yang berlaku juga diwarnai dengan keberpihakannya pada klas pemodal.

Hukum dalam Masyarakat Indonesia

Walaupun banyak orang yang mengatakan pasal 33 UUD 1945 bersifat sangat sosialis, tetapi perkembangan masyarakat Indonesia, tidak dapat dipungkiri, telah masuk dalam tahap masyarakat kapitalis. Lihatlah pabrik-pabrik yang berdiri megah-megah itu dimiliki oleh segelintir orang saja. Badan-badan usaha milik negara pun sekarang telah mulai diswastanisasikan, dimiliki oleh kaum bermodal. Dan kita pun memilah orang-orang menjadi: orang-orang bermobil, berumah mewah, memiliki perusahaan-perusahaan kita sebut pengusaha dan orang-orang yang berebutan naik "bis karyawan," makan mie instan setiap hari, tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh kita sebut buruh. Semua itu membuktikan bahwa Indonesia sekarang adalah negara kapitalis. Dan apabila kita bertanya: jadi seperti apakah sistem hukum Indonesia? Jawabannya pasti sistem hukum yang kapitalistis.

Oleh sebabnya, secara umum dapat kita simpulkan bahwa sulit sekali kaum tertindas di Indonesia untuk mendapatkan keadilan melalui hukum. Banyak peristiwa yang tidak dapat diselesaikan secara adil oleh perangkat hukum. Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau Kalimantan misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal yang mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak dapat juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu menjadi lahan industri, real estate atau lapangan golf. Atau kasus-kasus pemogokan dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan senjata. Banyak juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum, seakan-akan hukum tak pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak lagi peristiwa lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum hanyalah menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal.

Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum, kita dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:

1. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang bersengketa);

2. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak. Hukum perburuhan adalah salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas, yaitu pada intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.

Hukum Perburuhan di Indonesia

Sekarang kita akan membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh jenis hukum inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari. Hukum perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari untuk melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Namun untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya begini, kenaikan upah yang ditetapkan menurut peraturan akan dirasakan besar apabila hanya melihat jumlahnya. Tetapi kalau kita juga mempelajari kenaikan-kenaikan harga di pasar, maka jumlah ini akan terlihat sangat kecil, bahkan kenyataanya dapat dikatakan tidak ada kenaikkan sama sekali.

Selain itu juga secara keseluruhan peraturan-peraturan perburuhan yang berlaku sekarang di Indonesia merupakan rangkaian dari proses pemenjaraan hak kaum buruh. Untuk hal ini tentu saja kawan-kawan harus mempelajarinya melalui diskusi-diskusi kelompok. Tetapi mungkin pada bagian ini kita akan coba pelajari sedikit tentang hukum perburuhan dan di sisi apa ia sangat merugikan kaum buruh.

Peraturan Mengenai Upah

Upah kecil dan sangat tidak realistis, kita tidak perlu membahasnya karena hal itu kawan-kawanlah yang dapat merasakannya sehari-hari. Tetapi terhadap pelanggaran ketentuan upah, apa sanksi yang dapat dikenakan terhadap majikan? Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 pasal 32 menyebutkan apabila majikan melanggar ketentuan mengenai upah maka dia dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Sekarang marilah kita hitung, kalau saja sebuah perusahaan mempekerjakan 1000 orang buruh, dan melanggar ketentuan upah minimum Rp 500,- kepada setiap orang buruh setiap hari. Dalam satu hari saja keuntungan yang dapat diambil oleh majikan dengan merampas hak buruh mencapai = Rp 500,- x 1000 = Rp 500.000,-. Dalam sebulan = Rp 500.000,- x 25 = Rp 12.500.000,-. Dalam satu tahun = 12 x Rp 12.500.000,- = Rp 150.000.000,-.

Tentu saja dengan hal ini majikan akan memilih melanggar ketentuan upah dengan sanksi Rp 100.000,- ketimbang membayarkan hak buruhnya.

Ketentuan ini sangat tidak masuk akal dan sangat tidak adil untuk buruh. Padahal ketentuan hukum menyebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran hukum haruslah jauh lebih berat daripada bentuk pelanggarannya, karena itulah yang akan membuat setiap pelanggarnya menjadi jera untuk melanggar hukum. Tetapi apakah ketentuan ini diterapkan dalam PP No. 8 tahun 1981?

Ketentuan mengenai Hak Mogok

Dalam konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang telah diratifikasi (disyahkan berlaku) oleh Indonesia dinyatakan bahwa mogok adalah hak buruh. Dalam sejarah pun mogok memang merupakan senjata kaum buruh. Mengapa? Karena dengan mogoklah kaum buruh dapat menyeimbangkan kekuatannya dengan pemodal yang mempekerjakannya. Tetapi kemudian berlakulah rangkaian peraturan yang setahap demi setahap sebenarnya mempereteli senjata kaum buruh ini. Misalnya saja pada pasal 13 UU No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, menyebutkan "penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan." (UU No. 22 tahun 1957 dan Penpres No. 7 tahun 1963) yang sesungguhnya mengatur tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang di dalamnya telah mengambil alih fungsi mogok dengan dibentuknya lembaga arbitrase yang terdiri dari Perantaraan Depnaker, P4D, dan P4P. Lembaga-lembaga yang pada kenyataannya sama sekali tidak berpihak pada buruh, dan sangat melemahkan tuntutan buruh terpusat pada ketentuan normatif saja.

Demikian juga tentang kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak kesejahteraan lainnya, yang bukan saja tidak diatur dalam peraturan tertulis yang berpihak pada kepentingan buruh, tetapi juga ditegakkan oleh pegawai-pegawai negara yang pada prakteknya sangat berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Untuk itu kawan-kawan harus terus mempelajarinya. Kunci dari segala permasalahan ini ialah tidak adanya organisasi atau serikat buruh yang benar-benar dapat mewakili dan melindungi kepentingan-kepentingan kaum buruh di Indonesia. Untuk itu negara juga merampas hak berorganisasi buruh melalui peraturan-peraturan tentang hak berorganisasi yang sebenarnya sama sekali tidak memberikan kesempatan kaum buruh untuk berorganisasi. Oleh karena itu sesungguhnya hukum yang berlaku sekarang tidak dapat dijadikan alat perjuangan kaum buruh, bahkan kaum buruh harus berjuang untuk sebuah perubahan hukum yang lebih adil.

Jadi, mempelajari hukum perburuhan bukanlah untuk membuat kita tahu, hapal kemudian dijadikan pedoman untuk perjuangan kita. Tetapi mempelajari hukum perburuhan berarti mencoba dengan kritis melihat sisi-sisi yang merugikan kaum buruh dan berjuang untuk melakukan perubahan. Apabila hukum sudah dianggap adil oleh kaum buruh, maka hukum dapat dijadikan alat untuk perjuangan kaum buruh. Dapatkah hukum berubah? Tentu saja dapat sebagaimana yang telah kita bahas di muka, bahwa hukum itu mengikuti perkembangan masyarakat. Maka perkembangan kesadaran dan kekuatan kaum buruh untuk memperjuangkan haknya adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan hukum.

Selamat berjuang!****

SENI

DIBALIK TEMBOK PABRIK
Oleh: Buruh Cileungsi

Tembok-tembok megah dipinggir kawasan menara
Bercat putih bersih seperti kampus Universitas
Banyak mengundang peminat ingin tinggal di sana
Dikempit selembar ijazah hasil sekolahnya dengan gembira

Entah apa yang dialami di sana
Kerja keras seperti kuda piara
Dijejali cemeti dengan aturan yang memikatnya
Seperti jam kerja, cuti dan dikurangi hak-haknya

Kuda-kuda kini disel tak bisa lepas seenaknya
Diroda-roda pedati memenuhi target ekspor
Kuda sakit memakan rumput pahit tak ada gizi
Dipacu seharian lunglai rasanya

la tertidur lelap karenanya
Keesokan hari bekerja seperti biasa
Mengejar target dengan detik-detiknya
Tak sempat bercanda ria dengan nasibnya

Karena waktu menyitanya
Karena dibikin lupa karenanya
Karena sang pengusaha yang kaya
Disinilah nasib kuda kini merana.

****

ooo0ooo

| Top | Mayday di Indonesia | Analisis Sejarah Indonesia Page | Anti-Imperialisme Page | Inside Factory | Snapshots | Essays | Selected-Works Page | Library | Art of Liberation | Histomat Page | Child in Time | 1965 Coup in Indonesia | Tempo-Doeloe Page |