Sorotan Buku

Menyesali Kambing Hitam Masa Lalu

Judul : Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Mizan Bandung, April 1999, Cetakan I Tebal: 279 Halaman

Jika kebanyakan mahasiswa dianggap tidak cakap menulis, mungkin stereotip semacam itu sudah menjadi pemandangan biasa. Meskipun mereka hidup di tengah-tengah jagat akademisi, terbilang sebagai bagian dari komunitas intelektual yang hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk berfikir kreatif dan kontemplatif. Namun, boleh dibilang menulis karya bermutu sebagai bagian dari proses kreatif tadi menjadi sebuah kemewahan tersendiri.

Seiring dibebaskannya skripsi, yang selama ini menjadi kegiatan penulisan ilmiah paling minimal yang wajib diikuti di beberapa perguruan tinggi terpandang, maka semakin jauh saja mahasiswa dari tradisi yang sewajarnya inheren dengan predikat yang disandangnya. Mahasiswa penulis, atau sekurang-kurangnya yang sudah terbiasa melakukan transkripsi gagasan ke dalam bentuk media verbal sebagai pernyataan gairah kemahasiswaannya, mau tidak mau menjadi tambah langka.

Dan perkecualian diantara sedikit sosok langka itu tadi, salah seorangnya barangkali dapat tercermin dalam buku ini. Buku yang memuat hasil jepretan ke sana ke mari seorang mahasiswa, terhadap berbagai hal yang berhasil ia cerna serta abadikan, sehingga menjadi potret yang lebih fokus, kritis, cerdas dan indah untuk ukuran zamannya. Bahkan sangat istimewa untuk kategori mahasiswa strata pertama yang dengan begitu produktifnya menembus tembok media massa terkemuka yang seringkali mengesankan mitos keangkuhan yang kukuh untuk sekedar ikut mejeng di dalamnya.

Tidak mengherankan, sebab semua tulisan yang dihimpun ke dalam buku ini demikian terasa karakternya, yang khas mahasiswa dan tentu saja jauh lebih maju. Dengan bacaan cukup luas dan memadai, setiap persoalan kecil sekalipun yang sering luput dari pengamatan--jika tanpa disertai sikap jeli-- berubah hidup ke gelanggang kesadaran yang hampir-hampir tidak pernah disadari.

Dan, hampir separuh isi buku ini mengangkat hangatnya dialog dalam beragam wacana keagamaan, di tengah-tengah jargon kebangkitan Islam era 80-an yang semakin menemukan momentumnya. Dengan nada bertanya-tanya dan setengah menggugat sikap-sikap beragama yang seringkali monoton, dengan idealisme yang taktis dan dinamis gaya mahasiswa, ada juga satu-dua gagasan tentang visi keagamaan yang ditawarkan meskipun tidak terlalu orisinal.

Dakwah kampus yang sedang memuncak kemunculannya , dengan maraknya fenomena imam majhul yang mewarnai arah gerakan sebagiannya, tidak lupa juga menjadi semacam keingintahuan sekaligus keprihatinanya. Termasuk juga masalah kesenian islami yang selalu menjadi perdebatan panjang di tengah-tengah masyarakat kampus yang tidak pernah surut mencari identitas Islamnya yang lebih mapan.

Ini terkait erat dengan sorotannya terhadap dunia pendidikan yang tidak usai-usai kesemrawutannya. Seperti sudah jadi kesan umum, setiap ganti menteri maka berganti pula arah relnya. Akibatnya, seumur-umur pendidikan yang semestinya mendesain manusia-manusia kreatif dan dinamis tidak pernah menjadi ajeg . Pendidikan di sini akhirnya lebih serius menciptakan robot-robot yang siap pakai ( instant ). Dan, jika sinyalemen yang memojokkan sarjana kita sebagai tidak cakap praktik di blantika kerja, dan cuma pandai berteori, itu suatu keberuntungan yang masih harus disyukuri. Sebab--kata penulis buku ini--pada kenyataannya kebanyakan sarjana kita adalah miskin kedua-duanya.

Nurruddin Zahir