Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

MENENGOK SEJARAH PEMIMPIN WANITA

Berbicara mengenai sejarah berarti berupaya untuk membuka kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kancah kehidupan umat manusia dan berusaha menghadirkan kembali informasi-informasi masa lampau sehingga terasa segar di masa sekarang. Sejarah membantu kita untuk mendapatkan informasi kehidupan yang telah lampau. Sejarah memiliki dua mata pedang. Sejarah bisa bernilai positif, akan tetapi tidak jarang pula bernilai negatif, tergantung bagaimana manusia memposisikan sejarah itu sendiri.

Berkenaan dengan pemimpin wanita yang saat ini tengah menjadi isu sentral di negeri ini, banyak yang memberikan analisa keabsahannya dengan menampilkan pendekatan sejarah (historic approuch). Salah satunya adalah pendapat Nasaruddin Umar-pemerhati masalah agama dan gender-Pembantu Rektor IAIN Jakarta. Tokoh ini menilai bahwa sampai detik ini wacana konseptual kepemimpinan wanita belum pernah tuntas dalam lintasan sejarah dunia Islam. Dalam hal ini kita perlu melihat kembali pemahaman fakta sejarah yang coba dikedepankan para tokoh, dimana fakta sejarah ini sering dijadikan sebagai legitimasi terhadap fakta senada yang terjadi kemudian. Ada satu hal yang harus kita sepakati bahwa sejarah adalah suatu fakta/kenyataan yang pernah terlahir dalam kancah kehidupan manusia. Jadi dengan kata lain sejarah hanyalah sebatas fakta, dan fakta bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan rujukan karena fakta/kenyataan tidaklah selalu bernilai benar. Fakta adalah sesuatu yang harus dihukumi dan bukan menjadi sumber hukum. Bagaimanapun juga fakta sangat mungkin mengandung kesalahan/penyimpangan, sehingga mau tidak mau kita harus memposisikan sejarah sebatas sebagai gambaran apakah kenyataan pada saat itu sesuai dengan aturan ataukah tidak. Bahkan pelurusan terhadap pemahaman fakta yang salah terhadap sepenggal kisah dalam lintasan sejarah hanyalah untuk menggambarkan secara obyektif kenyataan yang sesungguhnya terjadi untuk kemudian bisa dikatakan kenyataan tadi sesuai atau tidak dengan hukum Islam.

Sebagai contoh dalam hal kepemimpinan wanita, Ratu Balqis digambarkan dalam Al Qur’an sebagai penguasa wanita yang memiliki kerajaan ‘super power’ telah tercatat dalam lintasan sejarah. Akan tetapi kekuasaan tersebut tidak dibenarkan eksistensinya. Ini terbukti bahwa pada saat itu Nabi Sulaiman dimunculkan sebagai tokoh yang dibebani kewajiban untuk menyeru Ratu Balqis dan seluruh penduduk di negeri Saba’ (negeri dimana Ratu balqis berkuasa) agar tunduk pada ajaran tauhid yang dibawa Sulaiman (QS : An Naml : 29). Untuk membendung kekuatan Ratu Balqis Nabi Sulaiman terpaksa harus berkoalisi dengan jin dan burung (QS : An Naml : 17) hingga akhirnya kemenangan ada di pihak Nabi Sulaiman. Ratu Balqis diperistri dan kekuasaan/kepemimpinan negara dipegang oleh Sulaiman (QS : An Naml : 44).

Demikian juga fakta kepemimpinan Sajaratud- Durr -putri keturunan Salahuddin- bukanlah preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara. Kondisi yang melingkupi pengangkatan Sajaratud-Durr dari dinasti Mamalik ini adalah karena kenyataan pada saat itu dimana keturunan Salahuddin yang akhir tidak ada laki-laki. Meninggalnya Malikus Shalih ketika baru tiga bulan berkuasa, segera menuntut pengganti. Karena tidak ada laki-laki maka kekuasaan dilimpahkan kepada putri Sajaratud-Durr. Akhirnya kekuasaan dipegang oleh Izzudin Aibek Al-Jasyamkir yang kemudian menikahinya, karena pada saat itu ulama-ulama menilai ketidakbolehan bagi wanita untuk memimpin negara.

Tidak jauh berbeda adalah kondisi para Sulthanah yang pernah berkuasa di Kerajaan Aceh, baik Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam maupun Sulthanah Fatimah. Naiknya para Sulthanah ini ke singgasana penguasa segera mendapat protes keras dari ulama-ulama Mekkah pada saat itu karena dinilai sebagai sebuah penyimpangan terhadap konsep kepemimpinan menurut hukum Islam.

Dengan demikian jelaslah bahwa baik Ratu Balqis, Putri Sajaratud-Durr maupun para Sulthanah Aceh itu bukanlah merupakan simbol kepemimpinan yang dibenarkan oleh Islam. Naiknya tokoh-tokoh wanita tersebut di atas kursi kekuasaan bukan karena kehendak untuk mengikuti aturan Islam dalam konsep kepemimpinan, tetapi lebih karena keterbatasan kondisi pada saat itu. Di dalam Islam hal semacam ini dipandang sebagai sebuah penyimpangan terhadap hukum Allah. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kita akan menjadikan sesuatu yang menyimpang itu sebagai sumber rujukan ? Bila demikian sampai kapan penyimpangan ini akan terus berlangsung ? Dan apakah kita rela untuk hidup dalam kondisi yang menyimpang ? Sungguh ironis !

Kembali ke Menu Utama