Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Pengelola
                                         Wawancara NO. 28/XXVIII/13 - 19 September 1999 
                                          Wawancara Dahlan Ranuwihardjo:
                                          "Sistem Proporsional dan 100"
                                          Kursi ABRI Bikinan Soeharto" Mengetengahkan Achmad Dahlan Ranuwihardjo
                                          berarti menampilkan potret aktivis gerakan mahasiswa yang nyaris komplet
                                          memperjuangkan idealisme kaum muda. Dari 1945 hingga 1947, sebagai
                                          pelajar, dia memimpin majalah Api Merdeka, yang terbit di Yogyakarta.
                                          Sewaktu perang kemerdekaan berkecamuk, dia menjabat komandan regu
                                          Corps Mahasiswa. Dahlan sempat berjuang di front Lamongan, Jawa Timur, di
                                          bawah Divisi Ronggolawe, yang dipimpin Kolonel Djatikusumo. Selepas
                                          penyerahan kedaulatan, sebagian besar tentara pelajar meninggalkan dinas
                                          militer, tapi Dahlan tidak. Dalam kedudukan sebagai perwira militer, ia
                                          mendapat tugas belajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Hal
                                          ini seiring sejalan dengan terpilihnya dia sebagai ketua umum Himpunan
                                          Mahasiswa Islam (HMI). 
                                          Di Ibu Kota, pria kelahiran Pekalongan 13 Desember 1925 ini semakin aktif
                                          dalam gerakan mahasiswa. Namanya memang sudah terpatri sebagai salah
                                          seorang bapak pendiri (founding fathers) HMI, bersama pencetus HMI, Lafran
                                          Pane. Dahlan giat membidani kelahiran HMI di Yogyakarta pada 5 Februari
                                          1947, begitu pula di Jakarta, ia bekerja keras membangun independensi HMI,
                                          di samping memimpin Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
                                          (1952). Dan ia berhasil, termasuk menggalang solidaritas organisasi ekstra
                                          kampus. Atas saran KSAD, Letjen Ahmad Yani, Dahlan melepas karir
                                          militernya dan pensiun dengan pangkat letnan satu (1990). Ia memilih karir
                                          sebagai politisi dan selalu bersama HMI tatkala organisasi ini melalui
                                          masa-masa sulit: periode kemerdekaan 1947-1950, demokrasi liberal
                                          1950-1960, Orde Lama 1960-1965.
                                          Tumbuh dewasa dalam asuhan pamannya, Mr. Mohamad Roem?politisi
                                          kawakan Indonesia pada masa awal kemerdekaan?Dahlan muda memilih
                                          sikap politik yang lebih "taktis dan moderat" ketimbang sang Paman. Sikap ini
                                          jelas terlihat saat ia memandu HMI melalui masa kritis pada 1964. Ketika itu
                                          HMI harus memilih, misalnya, menerima paham Nasakom (Nasionalisme,
                                          Agama, dan Komunis)?yang digagas Bung Karno?atau terancam bubar.
                                          Dahlan memilih yang pertama, kendati ada kawan yang "menghujat"-nya
                                          karena dianggap bersikap munafik. "Itu sikap taktis untuk menyelamatkan
                                          HMI. Dan secara batin HMI tidak pernah menerima ide Nasakom," tuturnya. 
                                          Pada awal Orde Baru, memang, ayah enam anak ini langsung "terimbas"
                                          politik Soeharto. Ia?saat itu duduk sebagai anggota DPR?menentang keras
                                          klaim Soeharto tentang konsensus nasional dalam pembuatan
                                          Undang-Undang Pemilu pada 1967. Berdasarkan klaim konsensus nasional
                                          itulah Soeharto secara sepihak menetapkan pemilu dengan sistem
                                          proporsional. Padahal, Dahlan, yang duduk di panitia khusus pembuatan
                                          Undang-Undang Pemilu, mengusulkan sistem distrik. Perdebatan keras itu
                                          mementalkan ia dari kursi DPR?bersama dengan Adnan Buyung Nasution dan
                                          Ismail Suny?melalui mekanisme recall. Dan itulah recall pertama dalam
                                          sejarah Orde Baru. 
                                          Peristiwa itu membuat Dahlan?salah satu pemikir di Sekretariat Bersama
                                          Golkar?praktis keluar dari lingkar elite politik masa itu. Peristiwa tersebut
                                          membawanya pula pada sebuah keputusan pribadi yang penting, yakni
                                          berhenti menjadi politisi. Ia kemudian memusatkan kegiatannya sebagai
                                          pengacara, pengamat politik, dan dosen.
                                          Kini, di sela-sela kesibukannya sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas
                                          Nasional, Jakarta, ia tetap aktif memberi seminar. 
                                          Pekan lalu, di sebuah rumah bersahaja penuh buku dan koleksi pernak-pernik
                                          milik istrinya, di Kompleks Pesanggrahan Permai, Petukangan, Jakarta
                                          Selatan, ia menerima wartawan TEMPO Dwi Arjanto, Hermien Y. Kleden, dan
                                          fotografer Fernandez Hutagalung untuk sebuah wawancara khusus. 
                                          Petikannya:
                                          Mengapa HMI menolak berada di bawah naungan partai?
                                                    Pada waktu itu keras benar polarisasi politik antara partai
                                                    pemerintah dan oposisi. Partai pemerintah (Partai Sosialis
                                                    Indonesia, PSI) dipimpin Sjahrir dan ormas-ormasnya.
                                                    Oposisinya adalah Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI),
                                                    Partai Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Nah, gaya
                                                    PSI itu memang suka nyaplok. Jadi, motivasi kemandirian HMI
                                                    itu antara lain untuk mencegah pencaplokan Persatuan
                                                    Mahasiswa Yogyakarta (PMY) oleh para mahasiswa sosialis.
                                          Apakah Lafran Pane, pencetus HMI, sudah memikirkan soal
                                          kemandirian saat membentuk organisasi ini pada 5 Februari 1947?
                                                    Hal itu belum terpikirkan oleh Mas Lafran. Konsep independensi
                                                    baru belakangan muncul. Saya yang pertama kali memakainya.
                                                    Motivasinya adalah agar mahasiswa, yang dipelopori HMI,
                                                    jangan ikut polarisasi politik. Dan jangan dipengaruhi partai-partai
                                                    politik. 
                                                    Masyumi memang meminta kami bergabung. Saat itu tidak ada
                                                    organisasi Islam yang tidak di bawah Masyumi. Mereka bilang,
                                                    "Kenapa HMI menyendiri? Nanti akan didirikan seksi mahasiswa
                                                    di Masyumi." Tapi Mas Lafran menjawab dengan diplomatis,
                                                    "Waktu mendirikan HMI, itu tidak saya pikirkan."
                                          Jadi, apa yang terpikir?
                                                    Yang terpikir adalah agar mahasiswa Islam jangan menyendiri,
                                                    tapi berintegrasi dengan kehidupan bangsa. Dari situ kemudian
                                                    muncul doktrin muslim nasionalis. Dalam bahasa populernya,
                                                    tunjukkan ke masyarakat bahwa yang namanya orang Islam itu
                                                    bukan santri teklek (bakiak). Dan kalau sudah jadi mahasiswa,
                                                    jangan lupa Islamnya.
                                          Bukankah sempat muncul tuduhan separatisme terhadap HMI pada
                                          masa itu? 
                                                    Tuduhan separatis dilancarkan oleh mahasiswa-mahasiswa
                                                    sosialis. Tapi, kalau separatis dalam arti ingin keluar dari negara
                                                    republik proklamasi, itu tidak benar.
                                          Bagaimana dengan persoalan fanatisme?
                                                    Itu juga tidak benar. Anda tahu, mahasiswa HMI zaman Belanda
                                                    itu termasuk anak-anak "bergaul". Terus terang, saya juga
                                                    pernah ikut hura-hura, sewaktu belum jadi ketua Pengurus Besar
                                                    (PB) HMI. Kalau ada pesta hari ulang tahun, ya, ikut
                                                    dansa-dansi. Setelah jadi ketua PBHMI, saya tidak lagi
                                                    berdansa di pesta. Suatu ketika, tahun 1951, di sebuah pesta,
                                                    dua pengurus HMI Pusat, Norman Rajab dan Agustin Aminudin,
                                                    mengajak saya turun dansa. Dengan halus saya tolak karena
                                                    sudah jadi ketua umum PB HMI. 
                                          Apakah polarisasi politik, yang juga mempengaruhi gerakan
                                          mahasiswa, masih berlangsung menjelang Pemilu 1955?
                                                    Ada polarisasi, tapi bentuknya lain lagi. Setelah tahun 1950,
                                                    polarisasi itu terjadi antara partai nasionalis dan golongan Islam.
                                                    Isunya adalah negara Islam dan Pancasila, yang meruncing dan
                                                    menajam pada 1953. 
                                          Anda pernah berkirim surat ke Bung Karno pada April 1953, meminta
                                          penjelasan soal Pancasila dan negara Islam. Apakah Anda juga
                                          berpendapat bahwa Bung Karno mulai berpihak pada golongan
                                          tertentu?
                                                    Surat itu saya kirim karena saya berpendapat bahwa tidak ada
                                                    yang bertentangan antara Islam dan Pancasila. Malah,
                                                     Pancasila sesuai dengan ajaran Islam. Tapi, kok, ada pihak
                                                    yang mempertentangkannya dan mengalternatifkan Pancasila
                                                    dengan Islam? Artinya, harus memilih, Pancasila atau Islam.
                                                    Surat saya itu dijawab Bung Karno pada peringatan Isra' Mi'raj
                                                    pada saat malam harinya di Istana Negara.
                                          Siapa saja yang menjadi motor pertentangan polarisasi Islam dan
                                          Pancasila ketika itu?
                                                    Dari golongan nasionalis, eksponennya Bung Karno sendiri.
                                                    Eksponen dari golongan Islam adalah Masyumi, yang diwakili
                                                    ketua umumnya, Mohamad Natsir. Saat itu kan kita mau
                                                    menghadapi pemilu. Nah, pemilu akan memilih DPR dan
                                                    Konstituante, yang akan menetapkan UUD yang tetap. Masalah
                                                    utama yang akan dihadapi dalam sidang Konstituante adalah
                                                    masalah dasar Pancasila atau dasar Islam bagi negara.
                                                    Yang menghendaki dasar Islam itu empat partai, yang gigih
                                                    bicara adalah Moh. Natsir.
                                          Apa inti jawaban Bung Karno terhadap surat Anda?
                                                    Bung Karno mengakui adanya cita-cita Islam. Tapi Pancasila
                                                    tidak bertentangan dengan cita-cita Islam. Bahkan, dalam akhir
                                                    ceramahnya, ia mengutip pendapat Mohamad Natsir. Sewaktu
                                                    bicara di Pakistan Institute for International Relations, Karachi,
                                                    pada 1951, Pak Natsir mengatakan, "Your part and ours is the
                                                    same. Only it is differently stated. What you call Islam in your
                                                    country is called Pancasila in my country."
                                          Apakah Anda menyimpan kekhawatiran tertentu di balik pengiriman
                                          surat itu?
                                                    Yang saya prihatinkan adalah polarisasi antara nasionalis dan
                                                    Islam akan menguntungkan PKI. Dan itu terbukti. PKI, yang
                                                    sudah morat-morat pada 1950 akibat pemberontakan Madiun,
                                                    bangkit menjadi partai nomor empat pada Pemilu 1955.
                                          Tapi apakah pertikaian antara golongan Islam dan nasionalis memang
                                          sudah sedemikian memprihatinkan? 
                                                    Pertentangan ideologis sebetulnya hanya menyentuh aspek
                                                    simbol, bukan aspek substansif, seperti Pancasila tadi. Kalau
                                                    dipahami, butir-butir Pancasila kan tak ada yang bertentangan
                                                    dengan Islam. Di lain pihak, partai-partai Islam, walaupun ngotot
                                                    menghendaki dasar Islam untuk Indonesia, mereka belum
                                                    pernah merumuskan secara persis apa yang dimaksud dengan
                                                    "Dasar Islam bagi Negara".
                                          Bahkan Masyumi? 
                                                    Bahkan Masyumi. Beberapa kali saya tulis hal ini. Tidak pernah
                                                    ada yang membantah. Dokumennya juga tidak ada. Saya sudah
                                                    bertanya ke sana-kemari. Saya tanya tokoh Masyumi dan tokoh
                                                    NU, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Masjkur, K.H. Idham Chalid, dan
                                                    lainnya. Saya juga berdiskusi dengan tokoh Partai Syarikat
                                                    Islam seperti Anwar Tjokroaminoto. Saya tanya kepada
                                                    teman-teman yang ikut gerakan Darul Islam. Saya tetap tidak
                                                    memperoleh jawaban. Sampai kemudian saya simpulkan
                                                    dasar-dasar Islam untuk negara itu hanya sloganisme dan
                                                    verbalisme.
                                          Apa reaksi yang Anda terima gara-gara pengiriman surat itu?
                                                    Kalangan Masyumi tidak senang. Kata mereka, HMI tidak
                                                    memihak umat Islam tapi malah memihak Presiden Sukarno
                                                    yang anti-Islam? Saya jawab, anti-Islamnya itu yang bagaimana?
                                                    Presiden Sukarno tidak setuju dengan cita-cita Masyumi akan
                                                    negara Islam dan menghendaki negara nasional. Tapi itu kan
                                                    tidak berarti anti-Islam.
                                          Jadi, Anda merasa HMI tidak memihak Bung Karno?
                                                    HMI tidak memihak siapa-siapa. Independensinya tetap terjaga.
                                                    Bahkan, sewaktu HMI mengalami cobaan yang amat berat pada
                                                    1964.
                                                    Yang Anda maksudkan tatkala organisasi ini "dikeroyok"
                                                    PKI dan sayap PNI Asu (Ali Sastroamidjojo dan Suratman)?
                                                    Betul. Mereka menuntut dibubarkannya HMI. Istilahnya,
                                                    pengganyangan HMI. Sebelumnya, Masyumi dibubarkan pada
                                                    Agustus 1963. Saya pernah duduk di kepemimpinan Gerakan
                                                    Pemuda Islam Indonesia (GPII) pada 1956-1959. Anggota
                                                    terdaftar GPII mencapai 2 juta di seluruh Indonesia. Organisasi
                                                    ini juga dibubarkan. 
                                          Mengapa tuntutan pembubaran ini muncul jika HMI benar-benar
                                          organisasi independen?
                                                    Alasannya, HMI anak Masyumi. Karena Masyumi sudah bubar,
                                                    HMI harus dibubarkan. Argumen itu jelas salah. Dan Bung Karno
                                                    tahu betul bahwa HMI bukan anak Masyumi. Sejumlah fakta
                                                    menunjukkan HMI anggota Front Nasional (Front Nasional
                                                    Pembebasan Irian Barat). HMI menerima Manipol. Waktu itu
                                                    alasannya karena isi Manipol adalah perjuangan nasional dan
                                                    perjuangan anti-imperialis internasional. Kita juga pendukung
                                                    revolusi Indonesia.
                                          Berarti, HMI memilih bekerja sama dengan rezim Bung Karno?
                                                    La, iya. Wong, berdiri di belakang Bung Karno. Pertimbangan
                                                    waktu itu begini: HMI pasti dibubarkan jika tidak taat kepada
                                                    Pemimpin Besar Revolusi. Apakah tidak terlalu mahal sikap ini?
                                                    Dalam kondisi kritis itu saya menjabat penasihat PBHMI.
                                          Apakah Anda tetap berpendapat bahwa HMI tetap independen setelah
                                          menerima Nasakom?
                                                    Independensi HMI itu murni tapi bukan berarti netral. Bahkan,
                                                    kalau perlu harus berpihak. Kami memilih berdiri di belakang
                                                    Bung Karno karena sejak berdiri HMI selalu menyatu dengan
                                                    kehidupan nasional dan pemerintah sah Republik Indonesia,
                                                    yaitu pemerintahan Bung Karno. Selalu saya katakan ada empat
                                                    unsur. Untuk Pemimpin Besar Revolusi, HMI oke. Manipol, oke.
                                                    Front Nasional, oke. Yang tidak oke, hanya Nasakom.
                                          Tidak okenya itu bagaimana?
                                                    Tidak sungguh-sungguh, hanya dalam bentuk lahir. Nasakom itu
                                                    digariskan Pemimpin Besar Revolusi untuk menghadapi invasi
                                                    imperialisme internasional. HMI juga menentang imperialisme.
                                                    Tapi, untuk kerja sama dengan Nasakom, terus terang saja,
                                                    tidak sungguh-sungguh. Dalam hati ini kita tetap menentang
                                                    ideologi marxisme-komunisme. Langkah ini lebih sebagai
                                                    strategi dan taktik. 
                                          Mengapa HMI mengambil sikap penuh risiko itu?
                                                    Yang bersikap begitu itu kan bukan hanya HMI. Angkatan Darat
                                                    juga punya sikap yang sama terhadap Nasakom. Secara intern,
                                                    kalangan umat datang kepada saya. Mereka bilang, Nasakom
                                                    buat HMI hanya gaya dan permainan di kalangan elite atas.
                                                    Namun, kami tetap muslim dan anti-ideologi marxisme dan
                                                    materialisme.
                                          Masa, tidak ada yang memberikan komentar sumbang?
                                                    Tentu ada. Seorang kawan lama dari GPII berkomentar, "Kalau
                                                    begitu, Anda munafik."
                                                    Saya bilang, "Oke, saya munafik." Tapi argumen saya, HMI itu
                                                    bukan hanya kader umat, tetapi kader bangsa. Jadi, perlu sikap
                                                    taktis untuk menyelamatkan organisasi ini. Dan soal munafik,
                                                    saya toh tidak munafik kepada Allah, kepada sesama ikhwan
                                                    atau kawan-kawan. Saya munafik kepada PKI. Dan bagi saya,
                                                    itu hukumnya wajib.
                                          Karena pertentangan ideologi?
                                                    Karena PKI sendiri munafik. Apa benar PKI Pancasilais? Omong
                                                    kosong! Jadi, saya munafik terhadap orang munafik. Anak-anak
                                                    HMI bisa memahami sikap yang saya gariskan ini. Anak-anak
                                                    HMI paham, dari segi ideologis, sampai kapan pun kami tidak
                                                    bisa menerima Nasakom.
                                          Apakah Anda harus menghadapi protes mahasiswa ketika mengambil
                                          keputusan itu?
                                                    Mereka bisa menerima sikap yang digariskan para penasihat,
                                                    kendati tentu saja ada gejolak kecil di sana-sini. Eki Syachrudin,
                                                    misalnya, marah-marah ketika dalam pertemuan diharuskan
                                                    menyanyikan lagu Nasakom, ha-ha-ha....
                                          Sedikit tentang keluarga. Anda tumbuh dewasa dalam asuhan paman
                                          Anda, Mr. Mohamad Roem. Mengapa Anda tidak memilih bergabung
                                          dengan Masyumi padahal paman Anda adalah tokoh Masyumi?
                                                    Itulah sikap demokratis yang saya pelajari dari Mr. Roem. Saya
                                                    menjadi tokoh HMI yang mengambil sikap independen, dan
                                                    paman saya tokoh Masyumi. Tapi kami akrab di bawah satu
                                                    atap. Jika Paman menerima tamu tokoh partai, para duta besar,
                                                    atau tamu penting lain, saya selalu boleh ikut duduk,
                                                    mendengar, berkomentar. Kadang-kadang, saya mengambilkan
                                                    teh dan melayani sembari mendengarkan diskusi mereka.
                                                    Begitulah cara Paman membesarkan dan mendidik saya.
                                          Namun, dalam berpolitik, Anda tampaknya lebih pragmatis daripada
                                          Mr. Roem. Ia memilih masuk penjara karena berbeda pendapat
                                          dengan Bung Karno, sementara Anda bisa meyakinkan HMI untuk
                                          menerima Manipol dan Nasakom demi kelangsungan organisasi.
                                                    Dari Paman, saya belajar watak ikhlas, demokrat, watak fatsoen
                                                    dalam politik. Tapi, dalam cara berpolitik praktis, strategi, dan
                                                    taktik serta ideologi, Paman Roem bukan guru saya. Di bidang
                                                    ideologi, misalnya, Bung Karno yang menjadi guru saya.
                                                    Selebihnya, saya belajar secara otodidak.
                                          Bagaimana Anda mengambil sikap antara "guru" dan paman Anda,
                                          tatkala Bung Karno memenjarakan Mr. Roem selama empat tahun
                                          (1962-1966)?
                                                    Saat itu saya anggota DPRGR dan keluarga memang mendesak
                                                    saya berbuat sesuatu. Suatu hari, bersama Bung Roeslan
                                                    Abdulgani, kami bertemu Bung Karno. Setelah satu jam
                                                    berbincang ke sana-kemari, akhirnya saya tanyakan soal Paman
                                                    Roem. Bung Karno menjawab, "Dahlan, tugasmu itu apa?"
                                                    Jawab saya, "Sebagai anggota DPRGR." Bung Karno berkata
                                                    lagi, "Ya, sudah, lakukan saja tugasmu dengan baik." Sepatah
                                                    kata pun ia tidak menjawab soal Paman Roem.
                                          Sekarang, tentang hubungan Anda dengan Pak Harto. Tampaknya,