Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
                                               Wawancara 
                   NO. 27/XXVIII/6 - 12 September 1999 
                 Wawancara Ismail Suny:
                 "Sekretariat Negara Pernah Maha
                 Berkuasa"

                 ANAK muda itu sesungguhnya belum cukup umur untuk menjadi anggota
                 Gabungan Saudagar Kaya Raya Aceh. Usianya baru 18 tahun. Barangkali
                 dia yang paling muda di antara yang hadir dalam pertemuan antara kongsi
                 usaha tersebut dan Presiden Sukarno. Peristiwa yang berlangsung pada
                 1948 itu terjadi di Banda Aceh, saat Bung Karno berkunjung ke sana.
                 Dalam pertemuan yang kemudian tercantum dalam sejarah nasional
                 Indonesia itu, para saudagar, yang mewakili kaum anak negeri Aceh,
                 menyerahkan sumbangan berupa uang dan perhiasan emas. Sumbangan
                 inilah yang kemudian dibelikan sebuah pesawat terbang—diberi nama
                 Seulawah—bagi Republik Indonesia. Adapun remaja itu bernama Ismail
                 Suny, dan dia hadir mewakili ayahnya, Haji Mohammad Suny, seorang
                 saudagar kaya dan ternama di kawasan Aceh selatan. 

                 Ismail Suny lahir di Labuhanhaji, Tapaktuan, Aceh selatan, pada 7
                 Agustus 1929. Ia anak ketiga dari 18 bersaudara, dari pasangan M.H.
                 Suny dan Cut Nyak Sawani. Lulus dari Sekolah Menengah Islam di Aceh,
                 bekas Tentara Pelajar ini melanjutkan sekolahnya di SMA Budi Utomo,
                 Jakarta—sekolah favorit pada masa itu. Pada 1957, remaja yang cerdas ini
                 melanjutkan studi ke Fakultas Hukum dan Kemasyarakatan Universitas
                 Indonesia. Gelar master of civil law ia peroleh dari University of McGill,
                 Montreal, Kanada, pada 1960.

                 Pulang dari Kanada, Suny bersama Profesor Sugarda Purbacaraka
                 mendirikan Universitas Cenderawasih di Irian Barat. Dari Irian, ia kembali
                 ke Jakarta untuk mengambil program doktor di Universitas Indonesia.
                 Pada 1963, desertasinya—berjudul Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,
                 Suatu Penyelidikan Dalam Hukum Tata Negara—mencuatkan nama Ismail
                 Suny sebagai ahli hukum tata negara. Dua tahun kemudian, oleh
                 almamaternya, ia diangkat menjadi Guru Besar Fakultas Hukum UI.
                 Promosi yang membuat Suny lebih diperhitungkan, khususnya di
                 kalangan cerdik cendekia, ini berlangsung pada 1 Oktober 1965—hanya
                 satu hari setelah pecah peristiwa G30S-PKI.

                 Ayah lima anak ini kemudian masuk gelanggang politik. Ia menjadi
                 anggota DPRGR-MPRS (1967-1969). Suny termasuk salah satu tokoh
                 yang ikut menjatuhkan Sukarno tatkala MPRS menolak pidato
                 pertanggungjawaban presiden dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Tapi,
                 dalam sepak terjang sebagai politisi, Suny rupanya lebih menampilkan
                 sikap dan visi seorang intelektual. Ia dicopot dari MPRS pada 1969. Kabar
                 yang beredar waktu itu menyebutkan, profesor ilmu hukum ini terlalu
                 keras mengkritik proses pembuatan Undang-Undang Pemilu.

                 Saat menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah (1973-1978), ia dihadang
                 pengalaman pahit. Kritiknya tentang kekuasaan Soeharto—yang dinilainya
                 mengarah pada kediktatoran—membuat Suny dijebloskan ke Rumah
                 Tahanan Nirbaya. Selama satu tahun dalam penjara, ia sempat
                 menyelesaikan autobiografinya yang diberi judul Mencari Keadilan. Lepas
                 dari tahanan, Suny kembali mengajar. Sikapnya terhadap rezim Soeharto
                 tetap keras, sampai pada saat ia menerima tawaran menjadi Duta Besar
                 RI untuk Kerajaan Arabi Saudi (1992-1997). Menurut Suny, langkah ini
                 diambilnya setelah Pak Harto bersikap lebih adil terhadap Islam. 

                 Kini, penasihat Presiden Habibie untuk masalah Aceh ini melewatkan hari
                 tua yang tenang bersama istrinya yang jelita, Rosma Daud, di sebuah
                 rumah yang asri di Jalan Jenggala, Jakarta Selatan. Di rumah ini pula, ia
                 menerima wartawan TEMPO, Edy Budiyarso, Hermien Y. Kleden, dan
                 fotografer Robin Ong, untuk sebuah wawancara khusus.


       Anda ditangkap polisi tak lama setelah diskusi dengan para
                 mahasiswa di IKIP Jakarta pada 27 Desember 1977. Apa sebetulnya
                 yang Anda perbincangkan dalam pertemuan tersebut?

                      Alasan penangkapan itu adalah ucapan-ucapan yang saya
                      kemukakan dalam diskusi. Saya mengatakan, di dalam
                      kabinet Soeharto ada dua orang komunis. Saya juga
                      menyebutkan, Soeharto mempunyai simpanan pribadi
                      sebesar Rp 140 miliar—jumlah uang yang luar biasa
                      besarnya pada masa itu.

                  Siapa yang Anda maksud sebagai dua jenderal yang berindikasi
                 PKI?

                      Salah satunya Sudharmono (bekas wakil presiden
                      RI—Red)—satu jenderal lainnya, saya lupa. Sudharmono
                      dulu berasal dari Kesatuan Ranggalawe. Memang tidak
                      semua Kesatuan Ranggalawe itu jelek. Informasi yang saya
                      peroleh dari tentara Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta
                      menyebutkan, Sudharmono ditangkap karena dianggap PKI
                      (Partai Komunis Indonesia). Yang menangkap Sudharmono
                      waktu itu adalah Pak Umar Wirahadikusumah. Ia salah satu
                      pimpinan tentara Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta pada
                      masa itu. Tapi, atas jaminan Pak Harto, Sudharmono
                      kemudian dibebaskan.

                  Apa saja reaksi atas diskusi yang kemudian membawa Anda ke
                 dalam tahanan?

                      Kawan saya, Prof. Dr. Soeparman, S.H., menelepon saya
                      malam-malam. Dia bilang: "Yang Suny katakan itu benar.
                      Dan saya mau menjadi saksi." Banyak mahasiswa protes,
                      dan mereka menawarkan diri untuk menjadi "sandera"
                      menggantikan saya. Penahanan itu berlangsung seminggu,
                      setelah itu dilepas.

                  Bukankah Anda ditahan lagi pada April 1978?

                      Benar. Tapi kali ini karena pidato-pidato ketatanegaraan
                      saya di hadapan para mahasiswa.

                  Apa yang Anda lontarkan dalam pidato-pidato itu sehingga Anda
                 ditangkap?

                      Intinya, agar Soeharto jangan menjadi presiden untuk ketiga
                      kalinya. "Gerakan" itu dimulai pada 1977, dari sebuah
                      diskusi kami di UI, ITB Bandung, ITS Surabaya, dan
                      beberapa kampus di Yogyakarta. Mereka meminta saya
                      bicara dari segi hukum tata negara tentang batas
                      kekuasaan presiden.

                  Lalu, apa yang Anda paparkan? 

                      Saya bilang, kita ini seperti kembali lagi ke tahun 1967
                      ketika MPRS bersidang begitu alot saat mau menjatuhkan
                      Bung Karno. Saya katakan, jika presiden terlalu lama
                      berkuasa, ia akan menumpukkan kekuasaan sehingga tidak
                      bisa berhenti menjadi presiden. Karena itu, untuk mencegah
                      orang menjadi presiden selama-lamanya, kita harus
                      membuat amendemen—seperti halnya Amerika Serikat—agar
                      presiden cukup dua kali saja berkuasa. Tapi tidak satu
                      orang pun yang menyambung pernyataan saya pada waktu
                      itu. 

                  Kenapa Pak Harto marah? Anda juga banyak mengkritiknya pada
                 1967, dan Pak Harto toh tidak marah.

                      Sebab, pada waktu itu Soeharto tidak terlalu ingin jadi
                      presiden. Kita bahkan harus membujuk-bujuknya agar mau
                      memegang jabatan tersebut. Dan menurut saya, Pak Harto
                      pada waktu itu takut menghadapi kekuasaan Sukarno. Pada
                      waktu pengangkatannya sebagai pejabat presiden, dia
                      bahkan tidak mau membacakan pernyataan diangkat
                      sebagai pejabat presiden. Anda bisa cek itu di
                      dokumen-dokumen sejarah. Tapi, setelah dua tahun lebih
                      berkuasa, dia sudah menunjukkan tanda-tanda bisa menjadi
                      diktator. Jadi, dia bersikap seperti orang Jawa yang
                      mau-tidak-mau, dan kekuasan serta sikapnya telah
                      melampaui yang ada di dalam UUD 1945—sesuatu yang
                      sudah kita semua mengetahui. 

                  Siapa yang menangkap Anda waktu itu?

                      Kolonel Agus Mahidin. Ia pernah menjadi Ketua DPR Jawa
                      Barat dan sekarang menjadi anggota DPR. Saya diperiksa
                      setiap hari di "kampus kuning" (istilah untuk barak tentara
                      Batalion Tajimalela di Bekasi selatan, yang bangunannya
                      bercat kuning) sebelum masuk ke Rumah Tahanan Nirbaya,
                      Jakarta Timur. 

                  Anda sendirian masuk ke sana?

                      Saya ditahan bersama dengan Bung Tomo, Mahbub
                      Djunaedi (tokoh NU), dan Imadudin Abdurahim (aktivis
                      Islam). Tuduhan kepada kami adalah soal subversif,
                      melawan pemerintah yang sah. Saya ditahan tidak lama,
                      hanya satu tahun kurang dua hari. Tetapi Imadudin ditahan
                      lebih lama karena dia mengkritik keras Soeharto. 

                  Apa yang Anda lakukan di penjara?

                      Menulis buku, dan berpikir serta bersiap-siap untuk
                      melakukan sesuatu yang lain selepas penjara karena setiap
                      saat saya bisa saja dipecat dari jabatan pegawai negeri. Di
                      sana, saya juga bertemu dan berbincang dengan tokoh PKI
                      seperti Soebandrio. Ada juga Jenderal Rusman, yang
                      pernah menguasai Irian Barat. Soebandrio itu sudah rajin
                      sembahyang sampai menjadi imam. Para tokoh PKI
                      melontarkan komentar kepada saya: "Itulah Suny, kamu
                      yang mengangkat Soeharto tetapi kamu tetap ditangkap
                      juga." Saya juga bilang kepada mereka bahwa saya juga
                      mengangkat "tauke" kalian, Bung Karno. Tetapi, kalau Bung
                      Karno berbuat salah, saya kritik, seperti halnya saya kritik
                      Soeharto kalau dia salah. Dan itu membuat saya masuk
                      penjara. 

                  Selama setahun itu Anda hanya ditahan tanpa diadili? 

                      Betul. Pemerintah beruntung tidak membawa saya ke
                      pengadilan karena kalau ke pengadilan, akan terbuka
                      semua kasus-kasus itu. Umpamanya soal uang Soeharto
                      yang ada di BCA. Informasi itu saya dapatkan dari Brigjen
                      Badrosono (bekas Ketua Umum Persatuan Sepakbola
                      Seluruh Indonesia/PSSI, 1974-1977), yang mengantarkan
                      uang tersebut untuk disimpan di Bank Central Asia (BCA)
                      milik Liem Sioe Liong. Bagaimana mungkin seorang
                      presiden yang hanya pegawai negeri memiliki uang yang
                      jumlahnya begitu besar? Itu jumlah yang luar biasa besar,
                      apalagi pada masa itu. 

                  Siapa saja selain Anda yang mengetahui informasi tersebut?

                      Anak Badrosono yang kuliah di ITB dan kawan-kawannya,
                      para aktivis mahasiswa di ITB. Yang mengantarkan uangnya
                      itu Badrosono sendiri. Yang paling penting, pada kemudian
                      hari ternyata benar bahwa Soeharto—lewat
                      anak-anaknya—memiliki 40 persen saham di BCA. 

                  Apakah Anda diperiksa pihak berwajib khusus menyangkut kasus
                 ini?

                      Saya diperiksa oleh orang Bank Indonesia. Kebetulan dia
                      menjadi pembantu rektor di UI. Kepada saya, dia
                      mengatakan bahwa hasil pemeriksaan itu benar: uang
                      sejumlah itu betul ada di BCA. Tetapi, dalam pemeriksaan,
                      informasi yang disampaikan kepada saya itu ditarik. 

                  Bagaimana pergaulan dengan Bung Tomo di penjara? Bukankah
                 Anda termasuk pengagum Bung Tomo? 

                      Betul. Dan saya tidak pernah menyangka orang seperti
                      Bung Tomo bisa ditahan pada zaman Indonesia merdeka. Di
                      dalam penjara, saya katakan kepada beliau, "Bung
                      dipenjara karena membela UUD 1945 dan mempertahankan
                      tujuan kemerdekaan." Suatu ketika, saat kami
                      memperingati 17 Agustus, Bung Tomo menangis tatkala
                      bendera dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan.
                      Saya katakan, "Mengapa Bung menangis? Biasa sajalah."
                      Lalu, kepada beliau, saya kutipkan kata-kata Ho Chi Min
                      yang berbunyi bahwa dari penjaralah muncul orang-orang
                      besar. Dan Bung Tomo memang sudah menjadi orang
                      besar. 

                  Kembali ke soal diskusi di kampus. Apa lagi yang kerap Anda
                 paparkan dalam diskusi terbuka di kampus?

                      Bagaimana rekayasa aturan dilakukan di Sekretariat
                      Negara—saat lembaga itu berada di bawah kaum militer.
                      Saya menganggap pikiran-pikiran Sudharmono tentang
                      konsep pertanggungjawaban presiden sulit diterima.
                      Misalnya, presiden bertanggung jawab kepada MPR yang
                      baru, bukan kepada MPR yang mengangkatnya. Ini kan
                      kacau. Sebab, orang yang baru diangkat tidak tahu masalah
                      presiden yang diangkat oleh MPR sebelumnya. Lalu, kita
                      bicara demokrasi, tapi anggota MPR lebih banyak yang
                      diangkat presiden ketimbang yang dipilih melalui pemilihan
                      umum. Konsep-konsep ini kan awalnya berasal dari Setneg
                      (Sekretariat Negara). Sebagai meester in de rechten
                      (sarjana hukum), dia seharusnya tidak membuat keputusan
                      dan nasihat yang menyimpang.

                  Sebagai sesama ahli hukum, apakah Anda pernah mendiskusikan
                 hal ini dengan Pak Dharmono?

                      Saya pernah menyindir Sudharmono bahwa dulu, ketika
                      para menteri sekretaris negara itu berasal dari orang yang
                      berpendidikan sipil murni, produk undang-undangnya
                      demokratis. Tetapi, setelah 100 persen dipegang
                      Sudharmono, semuanya diatur secara militer atas nama
                      hukum. Konsep-konsepnya di Setneg itu otoriter dan
                      konsep otoriter itu dekat sekali dengan komunis. Jadi,
                      kalaupun saya sekarang berkawan baik dengan beliau,
                      tetap saja saya harus mengatakan hal ini. 

                  Ini menyangkut masa lalu yang penting dari seorang pejabat tinggi
                 negara. Pernahkah hal ini Anda kemukakan sebelumnya kepada
                 publik?

                      Saya menyebut soal komunis dalam diskusi di IKIP Jakarta
                      pada September 1977. Namun, kalau mau dilihat latar
                      belakangnya, dia itu orang Pesindo. Pesindo di Aceh,
                      misalnya, memang tidak punya hubungan dengan komunis.
                      Tapi Pesindo di Jawa menjadi embrio PKI. (Ketika soal
                      tuduhan PKI dan Setneg tidak demokratis dikonfirmasikan
                      kepada Sudharmono, ia hanya menjawab singkat, "Orang
                      ngomong apa, biarin aja.")

                  Publikasi yang dikeluarkan aparat keamanan pada 1978
                 menyebutkan, Anda meminta maaf karena tidak dapat
                 membuktikan pernyataan Anda itu?

                      Itu tidak benar. Saya tidak pernah meminta maaf dalam
                      pemeriksaan. Polisi yang justru tidak berani membawa
                      kasus saya ke pengadilan. Saya sendiri mau ke pengadilan
                      karena kalau saya tidak kuat, saya bisa dihukum. Kalau
                      saya dianggap salah karena memfitnah Sudharmono, saya
                      bisa dibawa ke pengadilan. Dan saya siap dengan
                      saksi-saksi dari orang Siliwangi yang memang sudah
                      bersedia bersaksi. 

                  Mengapa Anda banyak mengkritik Sudharmono?

                      Sekarang ini kami berkawan baik. Tapi tetap harus saya
                      katakan, kebijakannya telah banyak merusak
                      ketentuan-ketentuan demi menguntungkan Soeharto.
                      Republik ini hancur antara lain karena banyak aturan-aturan
                      yang dibuat Sudharmono dan kemudian diterapkan,
                      dipaksakan, baik di DPR maupun MPR. Sampai-sampai,
                      Guru Besar Hukum UI, Prof. Soeyono Hadinoto,
                      mengatakan kepada saya, "Suny, kamu usahakan agar
                      lulusan-lulusan Akademi Hukum Militer (AHM, kampus
                      Sudharmono) memegang kendali hukum di negara
                      Indonesia." Beliau ingin agar lulusan Akademi Hukum Militer
                      itu jangan disamakan dengan lulusan Fakultas Hukum. 

                  Lo, apa begitu parahnya? Dan mengapa harus membedakan
                 kinerja dari segi sipil dan militer?

                      Saya bukannya mau membedakan antara sipil dan militer.
                      Tapi, konsep pertanggungjawaban presiden yang diatur
                      melalui Setneg—di bawah Sudharmono—itu salah. Dan saya
                      harus meluruskan hal ini. Di mana pun di dunia ini,
                      pertanggungjawaban presiden diberikan kepada badan yang
                      mengangkatnya. Namun, melalui Setneg, aturan-aturan
                      hukum ini direkayasa sedemikian rupa sehingga
                      menguntungkan kekuasaan Soeharto. Misalnya, kepada
                      siapa presiden harus bertanggung jawab. Ini pernah saya
                      tanyakan kepadanya. Dia mengatakan, tanggung jawab
                      diberikan kepada institusi. Dan institusinya itu MPR.

                  Bukankah mekanismenya memang demikian?

                      Benar. Tapi MPR yang mana? Selama masa Soeharto,
                      pertanggungjawaban selalu diberikan kepada MPR yang
                      baru, bukan kepada MPR yang mengangkatnya. Ketika
                      terjadi perdebatan tentang itu, saya membuat diskusi di
                      FHUI pada akhir 1977. Saya undang pakar-pakar hukum
                      dan sudah dibukukan hasilnya. Yang terpenting adalah
                      pertanggungjawaban harus diberikan kepada MPR yang
                      mengangkat, dan presiden sebaiknya hanya berkuasa
                      dalam dua periode. Hal ini, oleh para pendiri bangsa—yang
                      kebanyakan berpendidikan Belanda—juga ditafsirkan bahwa
                      apa yang disebut dalam UUD 1945 adalah seorang presiden
                      dapat dipilih kembali untuk dua kali masa jabatan. Tetapi,
                      pada masa Soeharto, pertanggungjawaban itu dibuat agar
                      Soeharto tidak bisa jatuh-jatuh karena Soeharto
                      bertanggung jawab kepada MPR yang baru, yang tentunya
                      MPR yang baru ini tidak menguasai masalah. 

                  Kenapa pertanggungjawaban atas penyimpangan ini Anda
                 "timpakan" ke Sudharmono?

                      Sebab, pada waktu itu yang mengatur adalah Sekretaris
                      Negara dan yang memberi penjelasan adalah Sudharmono.
                      Jadi, karena MPR-nya diatur terus, Soeharto selalu
                      menang. Ketika MPR yang baru terbentuk, dia selamat juga
                      karena inti MPR dipegang semua oleh Soeharto. Kan
                      anggota MPR yang diangkat Soeharto itu jumlahnya 600
                      orang lebih—jauh lebih besar daripada yang dipilih—dari
                      1.000 anggota MPR yang ada. 

                  Hal ini berlanjut dalam pemerintahan Habibie. Ketetapan No.
                 X/MPR/1999 kan menyebutkan Habibie bertanggung jawab kepada
                 MPR tahun 1999?

                      Makanya, legislative error ini harus diubah. Untuk itu, perlu
                      ada sidang istimewa (SI) terlebih dahulu untuk meminta
                      pertanggungjawaban Habibie.

                      Apakah itu tidak justru menguntungkan Habibie secara
                      politis, karena lebih dari 70 persen anggota MPR lama
                      (1997) terdiri dari anggota Golkar dan ABRI?

                      Gagasan lama untuk meminta pertanggungjawaban
                      presiden oleh MPR yang mengangkat muncul kembali
                      dalam perdebatan DPR setelah reformasi. Kalau tidak
                      begitu, yang akan menang lagi-lagi ide-idenya Sudharmono.
                      Padahal, supremasi hukum harus menjadi yang utama.
                      Kalau yang dikhawatirkan adalah soal menguntungkan
                      Habibie, toh jika Habibie tidak bisa
                      mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya
                      dalam SI, dengan sendirinya dia akan sulit terpilih dalam
                      Sidang Umum MPR mendatang. 

                  Anda bicara begini apakah bukan karena sekarang Anda
                 "orangnya" Habibie?

                      Ada yang mengatakan seperti itu. Tetapi, kalau saya
                      dianggap membela Habibie sekarang, itu karena saya
                      berpihak kepada hal yang saya anggap benar, bukan karena
                      Habibienya semata-mata. Jangan lupa, saya pernah masuk
                      tahanan selama satu tahun pada 1978 karena melawan
                      Soeharto. Itu karena saya menyuarakan hal yang saya
                      anggap tidak benar. 

                  Lagi, tentang Setneg. Memangnya seberapa besar kekuasaan
                 Setneg sampai bisa merancang ketentuan yang mengubah
                 konstelasi politik nasional?

                      Saat itu, Setneg begitu berkuasa. Mereka bisa menahan
                      RUU dari departemen terkait. Lebih-lebih setelah menteri
                      sipil seperti Mr. Yusac diganti oleh orang-orang seperti
                      Sudharmono dan Moerdiono. Anda baca sendiri, bagaimana
                      Moerdiono mengakui bahwa Undang-Undang Keselamatan
                      Negara ditahan selama 10 tahun di Setneg. Jadi,
                      masalahnya, menteri tertentu terlalu lama menempatkan
                      orang di sana, sehingga Setneg menjadi lembaga yang
                      maha berkuasa. 

                  Padahal, seharusnya para menteri Setneg itu cuma anggota
                 kabinet biasa, begitu?

                      Persis. Mereka sangat berdosa kepada republik ini karena
                      seharusnya menyampaikan RUU, tetapi dia malah
                      menginjak-injak RUU itu dengan cara menahannya. Menurut
                      saya, perlu ada UU Keselamatan dan Keamanan Negara,
                      tetapi tidak boleh mematikan demokrasi. Saya sudah
                      merasakan hak saya dicabut selama satu tahun kurang dua
                      hari karena UU Subversif. Moerdiono sekarang mau
                      bersih-bersih dengan mengatakan dia pernah menahan
                      sampai 10 tahun UU Keselamatan Negara. Padahal, tugas
                      dia itu kan menyerahkan RUU kepada DPR. Kalaupun
                      ditahan, wajarnya sebulan. Kegagalan kita membuat
                      undang-undang yang baik di antaranya karena Setneg
                      menahan terlalu lama.

                  Jangan-jangan, orang-orang Setneg pada masa itu memang tidak
                 punya pilihan dan tidak sanggup berbuat apa-apa di bawah
                 Soeharto?

                      Menurut saya, niat baiknya yang tidak ada. Sebab, ketika
                      saya diinterogasi di tahanan, ada 500 pertanyaan yang saya
                      jawab. Di antaranya, militer itu tidak boleh dibenarkan 100
                      persen. Militer di Indonesia itu tidak harus melawan
                      Soeharto dengan memberontak, tetapi bisa mengatakan
                      kepada presiden bahwa ini atau itu tidak baik. Saya pikir
                      kalau disampaikan seperti itu, seorang presiden akan
                      mengerti. Kenyataannya? Tidak ada satu jenderal pun yang
                      berani melawan Soeharto. Juga, tidak ada jenderal yang
                      berhenti. Kalau sekarang mereka berani omong, itu karena
                      Soehartonya sudah jadi setengah mayat. Bukan mengambil
                      risiko dengan mengatakan apa yang salah saat dia
                      berkuasa. 

                  Anda pernah mendebat kekuasaan Soeharto, sampai masuk
                 tahanan. Mengapa Anda kemudian menerima jabatan Duta Besar
                 RI untuk Kerajaan Arab Saudi yang diberikan Soeharto?

                      Karena saya melihat izin Pak Harto kepada Habibie untuk
                      membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, pada
                      1991, menandakan adanya suatu perubahan perlakuan
                      terhadap Islam. Organisasi gerakan Islam, yang
                      terpinggirkan pada masa lalu, mendapatkan kebijakan baru
                      yang dibuat oleh Soeharto itu. 


                                                                            
                                       Copyright @ PDAT 1 9 9 8