Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
NO. 25/XXVIII/23 - 29 Agustus 1999 
                 Wawancara Sri Mulyono Herlambang:
                 "AURI Dikambinghitamkan"

                 SEBUAH jumpa pers yang tidak biasa berlangsung di Kompleks Halim
                 Perdana Kusuma, Selasa, 13 Oktober 1998. Perhimpunan Purnawirawan
                 Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI), yang diketuai Marsekal
                 Muda (Purn.) Sri Mulyono Herlambang, menjadi tuan rumah acara
                 tersebut. Bersama beberapa perwira tinggi purnawirawan AURI, di
                 antaranya A. Andoko, Saleh Basarah, dan Ashadi Tjahyadi, Herlambang
                 mengumumkan niat PP AURI untuk meluruskan sejarah kelam yang
                 menyaput citra AURI selama 32 tahun pemerintahan Soeharto. Bukan
                 rahasia lagi bahwa dalam kaitan dengan G30S-PKI, AURI dicap sebagai
                 basis gerakan militer komunis oleh rezim Orde Baru. Apakah tuduhan itu
                 benar atau tidak, sejauh ini tidak ada klarifikasi resmi. Mungkin karena itu
                 pula, dalam jumpa pers tersebut, PP AURI berusaha memetakan duduk
                 perkara yang sebenarnya. 

                 "Ini bukan balas dendam. Kami hanya ingin menyalakan lilin-lilin kecil
                 yang menerangi bagian gelap dalam lorong sejarah," ujar Herlambang
                 saat itu. Untuk memperbaiki citra AURI, tentu masih diperlukan semacam
                 "buku putih", sementara bagi Sri Mulyono Herlambang sendiri, jumpa pers
                 itu agaknya menjadi momen yang istimewa. Mengapa? Ia memerlukan
                 waktu yang panjang, sekitar 32 tahun, untuk kembali bersentuhan dengan
                 dunia AURI yang amat dicintainya—sebuah dunia yang panji-panji dan
                 kemegahannya sudah "dibuang" jauh-jauh dari ingatan, setidaknya sejak
                 ia mengundurkan diri dari AURI/TNI pada 1 April 1967, tak lama setelah
                 Bung Karno "dimakzulkan" dari singgasana kepresidenan RI. 

                 Ketika itu, Herlambang baru berusia 37 tahun. Ia adalah salah satu dari 16
                 menteri yang ditangkap dan disingkirkan, menyusul turunnya Surat
                 Perintah 11 Maret yang menandai awal kekuasaan rezim Soeharto. Ia
                 disekap selama enam bulan di Penjara Nirbaya, yang berlanjut dengan
                 tahanan kota selama satu tahun. Namun, perwira yang dulu begitu gagah
                 dalam baju upacara AURI itu juga tangguh menghadapi cobaan. Ia teguh
                 berpegang pada doktrin penerbang yang berbunyi, "Plan your fly and fly
                 according to your plan." 

                 Alhasil, tatkala semua pangkat sudah dicopot dari bahunya, Herlambang
                 ganti haluan dan meluncurkan rencana baru. Ia memilih karir sebagai
                 pedagang ayam. "Dengan cara ini, saya menghindar dari dengki dan iri
                 yang amat kental mewarnai pergantian rezim. Sebab, siapa yang peduli
                 kepada seorang tukang ayam?" ujarnya.

                 Pilihan itu sangat radikal karena Herlambang pernah memegang sejumlah
                 jabatan penting dalam jajaran Angkatan Udara Republik Indonesia. Ia
                 pernah menjadi Direktur Operasi Markas Besar AURI (1962-1965), perwira
                 staf udara Markas Besar Angkatan Udara dan Wakil Ketua Komando
                 Operasi Tertinggi atau Koti (1962-1963), Deputi Operasi Menteri
                 (1963-1964), Menteri Negara Diperbantukan pada Presiden dan Ketua Koti
                 (1964-1965), serta Menteri/Panglima Angkatan Udara RI (1965-1966).
                 Pada 1 April 1967, ia diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun.

                 Ia lantas memanfaatkan halaman rumah dinasnya di Jalan Iskandarsyah,
                 Jakarta Selatan, untuk eksperimen peternakan ayam petelur dan ayam
                 potong. Sukses di sini, ia melebarkan usaha dengan mengageni
                 penjualan pesawat terbang serta terjun ke bidang angkutan udara, jasa
                 konsultasi di bidang penerbangan, dan perkebunan kelapa sawit.

                 Ketika pecah peristiwa G30S-PKI, Herlambang sebenarnya tidak lagi aktif
                 di lingkungan AURI. Kendati demikian, ia mampu mencegah pertikaian
                 berdarah antarpasukan di Pangkalan Udara Halim pada 2 Oktober 1965.
                 Merintis karir militer sejak remaja—awalnya menjadi anggota Tentara
                 Pelajar di Solo (1948-1950)—Herlambang dikirim ke Amerika Serikat untuk
                 menjadi kadet penerbang AURI (1950-1951). Marsekal yang pernah
                 menjadi instruktur penerbang Komando Operasi AURI (1954-1956) ini
                 menerbangkan pesawat kepresidenan RI selama dua tahun (1956-1958).

                 Ayah Herlambang adalah guru sekolah di Banyubiru, Ambarawa, Jawa
                 Tengah. Lahir di Solo, 9 November 1930, sebagai anak kedua dari tujuh
                 bersaudara buah perkawinan Siswosudarmo dan Murtinah, selepas SMA
                 di Semarang (1950), Herlambang masuk sekolah penerbangan TALOA,
                 California, Amerika Serikat. Sepuluh tahun kemudian, ia berangkat ke
                 Inggris untuk memperdalam bidang penerbangan di RAF Staff College,
                 Andover. 

                 Menikah dengan R.A. Srini Partoseputro—teman paduan suaranya
                 semasa di SMA—ayah empat anak ini masih bugar di usia 69 tahun. Kini,
                 di sebuah rumah yang asri di kawasan Haji Nawi Raya, Cilandak, Jakarta
                 Selatan, Herlambang suami-istri melewati hari tua bersama Syanita
                 Maharanti, 21 tahun, salah satu dari lima cucunya. 

                 Pertemuannya dengan wartawan TEMPO Ardi Bramantyo, Hermien Y.
                 Kleden, dan fotografer Robin Ong berlangsung dua kali, pekan lalu. Di
                 sela-sela percakapan, ia memperlihatkan sejumlah naskah buku
                 pelurusan sejarah AURI yang akan terbit pada awal Oktober depan.
                 Petikannya:


                 Dalam hubungan dengan peristiwa G30S-PKI, bagian mana dari
                 sejarah AURI yang dibelokkan pemerintahan Soeharto?

                      Yang paling utama adalah tuduhan bahwa AURI menjadi
                      basis komunis. Kita menonton—selama 32 tahun—film
                      G30S-PKI yang menyakitkan hati dan menekan jiwa. Tapi
                      kita sadar bahwa yang menyusun sejarah selalu orang yang
                      menang perang dan yang berkuasa. Dan cepat atau lambat,
                      kebenaran itu akan terbuka dengan sendirinya.

                 Di mana Anda dan apa yang sedang Anda lakukan menjelang dan
                 saat peristiwa itu terjadi?

                      Saya ada di Medan dalam rangka persiapan Dwikora.
                      Setelah mendengarkan radio pada 1 Oktober tentang Dewan
                      Jenderal dan Pak Yani dkk. yang belum ditemukan,
                      langsung saya memutuskan kembali ke pos saya di
                      Jakarta. Soalnya, saya wakil Pak Yani di Komando Operasi
                      Tertinggi (Koti) dan berfungsi sebagai asisten operasinya. 

                 Bagaimana Anda bisa kembali ke Ibu Kota? Bukankah pada saat
                 itu ada larangan menerbangkan pesawat ke luar dan masuk
                 Jakarta?

                      Waktu itu, Soebandrio sedang berkeliling ke daerah untuk
                      rapat-rapat raksasa. Tadinya, saya satu rombongan dengan
                      mereka, sebelum saya ke Medan. Kebetulan hari itu ada
                      pesawat yang dikirim dari Jakarta untuk menjemput
                      Soebandrio yang dipanggil menghadap Bung Karno.

                 Jadi, Anda menggunakan pesawat yang sedianya menjemput
                 Soebandrio?

                      Sampai 2 Oktober (1965) jam 00.00, Pak Bandrio belum
                      kembali ke Medan. Maka, saya putuskan memakai
                      pesawatnya pulang ke Jakarta—sebuah jet star bermuatan
                      12 penumpang yang dipiloti Pak Wage Mulyono. 

                 Apakah pesawat Anda ditembak saat masuk Jakarta?

                      Benar. Ketika pesawat melintas di Tanjungpriok, kami
                      ditembak. Ternyata, malam itu, Komando Cadangan
                      Strategis Angkatan Darat (Kostrad) memerintahkan agar
                      semua artileri medan (armed) menembak pesawat apa saja
                      yang lewat. Rupanya, ada rumor AURI akan mengebom
                      Kostrad yang ada di Gambir. Setelah ditembak, saya
                      perintahkan pilot terus terbang ke selatan. Di daerah Tebet,
                      kami ditembak lagi dan saya minta pilot mematikan saja
                      lampu. Akhirnya, kami berhasil mendarat di Halim.

                 Apa yang terjadi setelah itu?

                      Komandan lapangan waktu itu adalah Kolonel Wisnu
                      (Wisnu Djajengminardo). Hanya dia. Pak Omar Dhani sudah
                      terbang dengan Komodor Leo Wattimena (Panglima
                      Komando Operasi Angkatan Udara)—setelah Presiden
                      meninggalkan Halim menuju Bogor. Saat itu, saya menjadi
                      yang tertua dan pangkatnya paling tinggi (marsekal muda,
                      bintang dua) di Halim. Lalu, masuk informasi bahwa Kostrad
                      akan menduduki Halim keesokan harinya. Maka, mereka
                      meminta saya tetap berada di Halim, sebagai orang yang
                      paling senior. 

                 Suasananya seperti ayam kehilangan induk, begitu?

                      Persis, karena Pak Omar Dhani dan Pak Leo tidak ada di
                      tempat. Lalu, saya putuskan, saya baru akan keluar dari
                      Halim keesokan harinya kalau memang ada serangan dari
                      pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat
                      (RPKAD—sekarang dikenal dengan nama Komando
                      Pasukan Khusus atau Kopassus). Tapi saya minta agar
                      seluruh pasukan AURI yang ada di Halim
                      menyelempangkan senjatanya dengan ujung laras ke
                      bawah. Artinya, kita tidak pada posisi combat (tempur),
                      hanya stand by untuk menghindari pertumpahan darah. Dan
                      Pak Wisnu memerintahkan kepada semua anak buahnya
                      agar tidak melakukan provokasi.

                 Yang mau menyerbu Halim itu Kostrad atau RPKAD?

                      Kostrad. Tapi yang maju ke depan adalah RPKAD sebagai
                      salah satu unit Kostrad. Selain itu, Kostrad mendatangkan
                      batalyon dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

                 Bukankah kedatangan mereka untuk memeriahkan upacara Hari
                 ABRI 5 Oktober 1965?

                      Betul. Pak Harto—saat itu Panglima Kostrad—yang
                      mendatangkan mereka untuk perayaan 5 Oktober. Batalyon
                      yang datang dari Jawa Tengah ini adalah anak buah Pak
                      Harto dan Kolonel Untung. Kemudian, ada perintah susulan
                      dari Kostrad agar mereka membawa senjata lengkap untuk
                      pertempuran garis depan dengan bekal amunisi untuk 10
                      hari.

                 Siapa yang mengirim perintah itu?

                      Kostrad. Namun, apakah ini atas perintah Pak Harto atau
                      bukan, kita tidak tahu. Perintah itu dikirim dengan
                      radiogram.

                 Apa yang kemudian terjadi dengan "penantian" Anda di Halim?

                      Pasukan RPKAD dipimpin Kolonel Sarwo Edhie menyusup
                      dari Klender dengan jalan kaki. Pak Edhie naik panser.
                      Saya ada di kantor Komando Operasi saat itu. Pukul
                      setengah enam pagi, pasukan Pak C.I. Santosa dari
                      RPKAD sudah mendekati Halim juga. Mereka kemudian
                      menembak mati dua orang anggota Pasukan Gerak Tjepat
                      (PGT) yang sedang menjaga gudang bensin dan gudang
                      peluru. Kemudian, terjadi tembak-menembak antara
                      pasukan RPKAD dan pasukan dari Jawa Tengah yang
                      mengambil posisi di sekitar kawasan Asrama Haji
                      sekarang. 

                 Kenapa mereka bisa saling menembak? Bukankah RPKAD ada di
                 bawah Kostrad dan kedatangan batalyon dari Jawa Tengah ke
                 Jakarta juga atas perintah Kostrad?

                      Nah, ini yang perlu diselidiki. Batalyon 454 dari Jawa
                      Tengah memang bekas anak buah Pak Harto. Ada sebagian
                      yang menurut ketika disuruh masuk ke Kostrad pada sore
                      hari setelah Pak Harto mengambil oper. Tapi ada yang
                      mundur karena sudah sepakat dengan G30S. Maka, orang
                      sekarang mulai memikirkan, apakah yang memberikan
                      skenario ini Pak Harto sendiri.

                 Apa yang Anda lakukan setelah tembak-menembak itu?

                      Saya menemui Mayor Santosa. Dia bilang, "Saya mendapat
                      perintah, RPKAD harus menduduki Halim untuk mencegah
                      kemungkinan ada pesawat yang terbang." Karena saat itu
                      saya sudah di luar AURI, saya lantas mengecek pada pihak
                      AURI, apa mereka ada rencana mengebom. Mereka jawab
                      tidak ada. Saya lalu memberi jaminan pada C.I. Santosa
                      bahwa AURI tidak punya rencana mengebom Kostrad. Saya
                      minta agar jangan ada tembak-menembak karena Halim
                      penuh dengan pesawat Hercules yang stand by untuk
                      Dwikora. Kalau terbakar, kita rugi. Dan saya perintahkan
                      agar tidak satu pun pesawat naik ke udara, kecuali ada satu
                      pesawat kecil yang pagi itu sudah mengangkasa bersama
                      Pak Dewanto dan ajudannya untuk memantau situasi
                      Jakarta. Mayor Santosa bisa menerima usul saya, sehingga
                      pertumpahan darah bisa dihindarkan. Pak Dewanto
                      menjemput Pak Sarwo Edhie untuk dibawa ke saya.

                 Kenapa? Anda toh bukan atasannya?

                      Pangkat saya lebih tinggi dan saya di Koti. Dia kan kolonel.
                      Jadi, Pak Dewanto menjemput dia untuk dibawa ke saya.
                      Ketika bertemu, saya bertanya, "Sudah kita bereskan
                      dengan AURI dan tidak akan ada pesawat yang terbang.
                      Sekarang, apa rencana Pak Edhie?" Dia bilang, "Saya
                      harus melapor kepada Pangkostrad, Pak Harto." Saya
                      bilang, Bung Karno memerintahkan panglima semua
                      angkatan, siang atau sore ini, ke Bogor menghadap beliau.
                      Saya sarankan pergi ke Bogor bersama saja karena Pak
                      Harto mungkin ada di Bogor melapor ke Bung Karno.

                 Kabarnya, Anda terbang dalam satu helikopter dengan Kolonel
                 Sarwo Edhie?

                      Akhirnya, dia setuju pergi ke Bogor. Namun, suasananya
                      tegang waktu itu, penuh rasa saling curiga. Kolonel Sarwo,
                      misalnya, mau naik helikopter sama-sama tapi minta agar
                      di dalam pesawat saya diapit oleh dua ajudannya. Di Bogor,
                      kami dijemput resimen Cakrabirawa dan dibawa ke istana.
                      Pak Sarwo makin curiga karena dia tahu yang menculik
                      para jenderal (yang dibunuh pada malam 30 September
                      1965) adalah anak buah Untung, yang menjadi komandan
                      Cakrabirawa. 

                 Siapa saja yang Anda temui di Istana Bogor?

                      Hanya ada Brigadir Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima Kodam
                      Siliwangi. Di kemudian hari, baru saya tahu bahwa pada
                      waktu di Halim, Bung Karno ternyata menulis surat pribadi
                      untuk Jenderal Adjie. Yang saya dengar, Bung Karno
                      menitipkan anak-anaknya pada Jenderal Adjie di saat-saat
                      gawat itu. Sewaktu di Halim, anak-anak Bung Karno
                      memang pamit sebentar dengan ayahnya sebelum
                      diterbangkan dengan helikopter ke Bandung. 

                 Adakah yang Anda percakapkan dengan Brigjen Adjie di Istana
                 Bogor?

                      Dia baru menghadap Bung Karno pada pagi harinya. Saat
                      kami bertemu, dia hanya mengangkat tangan memberi
                      salam. Setelah itu, Brigjen Adjie membuat pernyataan
                      bahwa jika ada hal-hal yang kurang benar, Siliwangi akan
                      masuk Jakarta. Dia akan mendukung Bung Karno.

                 Di mana titik yang menurut Anda paling krusial dalam tuduhan
                 terhadap AURI oleh rezim Soeharto?

                      Kehadiran Bung Karno di Pangkalan Angkatan Udara Halim
                      memang membuat posisi pangkalan seperti menjadi bagian
                      dari skenario gerakan militer G30S. Sebab, selain Bung
                      Karno, ada juga Aidit dan Omar Dhani. Kami direkayasa,
                      seakan-akan dibuatkan citra bahwa Pangkalan Udara Halim
                      menjadi markas besarnya. 

                 Siapa yang merencanakan kedatangan Bung Karno ke Halim?

                      Pada 1 Oktober itu, ajudan Presiden, Pak Mangil,
                      membawa Bung Karno ke Slipi—rumah Bu Haryati—untuk
                      menghindari istana. Dari Slipi, Bung Karno ke Halim. Di
                      sana ada pesawat kepresidenan. Jadi, ajudannya
                      menganjurkan agar Presiden mendekat ke pesawat
                      kepresidenan untuk sewaktu-waktu bisa cepat menghindar
                      bila terjadi sesuatu. 

                 AURI dituduh sebagai basis pangkalan komunis dalam peristiwa
                 G30S. Apa ini ada hubungannya dengan pembunuhan tujuh
                 jenderal di Lubangbuaya?

                      Di Halim itu ada dua lokasi yang bernama Lubangbuaya.
                      Pemakaman para jenderal mengambil lokasi di Desa
                      Lubangbuaya yang penuh pohon karet dan terletak di luar
                      Pangkalan Udara Halim. Sedangkan Lubangbuaya AURI
                      adalah dropping zone untuk latihan penerjunan, bukan
                      tempat pemakaman atau latihan Gerwani. 

                 Tentang Omar Dhani. Menurut Anda, seberapa bersih Omar Dhani
                 dalam peristiwa G30S-PKI?

                      Dia adalah satria, "saptamargais" tanpa reserve di belakang
                      Bung Karno, yang menjadi panglima tertinggi. Dalam hal
                      kesaptamargaan, malah Pak Harto yang perlu diragukan
                      dalam peristiwa 1965. Ketika Bung Karno memanggilnya ke
                      Halim pada 2 Oktober 1965, Pak Harto tidak menaati
                      perintah itu. Pak Harto juga melarang Jenderal Pranoto
                      menghadap Bung Karno.

                 Bagaimana dengan tuduhan keterlibatan Omar Dhani dalam
                 peristiwa G30S itu?

                      Omar Dhani bukan komunis. Dia adalah satria yang
                      memikul beban orang lain di atas bahunya. Dia
                      mengorbankan diri. Dia dipenjarakan selama 29 tahun. Apa
                      yang bisa lebih berat dari itu? Baik dalam pengadilan
                      maupun dalam tanya-jawab di pengadilan, ia tak pernah
                      kehilangan sikap satria. Atas kemauannya sendiri, ia pulang
                      dari luar negeri untuk mempertanggungjawabkan apa yang
                      dia lakukan untuk dan atas nama AURI. Dia mengambil alih
                      semua kesalahan, meringankan beban orang-orang AURI
                      yang tadinya ikut dicurigai.

                 Hal apa yang terasa paling berat dari para purnawirawan AURI
                 seangkatan Anda?

                      Yang paling menyakitkan, anggota-anggota kita yang
                      sebetulnya tidak tahu-menahu tapi dianggap
                      kekiri-kirian—karena jiwa kerakyatannya—dibuat begitu rupa
                      sehingga ditahan. Sedangkan mereka yang dianggap
                      mengerti sebelumnya tapi tidak melapor—tentang peristiwa
                      G30S—ditangkapi semua. Yang kita rasakan sangat tidak
                      adil, mereka yang tidak bersalah ikut masuk penjara sampai
                      9-10 tahun.

                 Setelah Trikora (1962-1963), AURI sempat menjadi "anak
                 kesayangan" Bung Karno. Mengapa angkatan ini bisa kecolongan
                 dalam mengantisipasi G30S-PKI?

                      Enam bulan sebelum peristiwa itu, tiga deputi Omar
                      Dhani—termasuk saya—lepas dari AURI. Saya pindah ke
                      Koti sebagai menteri negara. Sehingga saya tidak aktif lagi
                      mencampuri persoalan internal AURI dan tidak ikut campur
                      dan tidak mengamati kecolongan selama periode April
                      hingga September 1965. Sehingga saya betul-betul tidak
                      tahu mengenai masalah G30S meskipun ditekan-tekan
                      Teperpu atau tim pemeriksa pusat selepas peristiwa itu.
                      Saya tahu ketika jadi menteri negara dan ikut hadir saat
                      Bung Karno memanggil Yani untuk ditanyai masalah Our
                      Local Army Friends dalam Dokumen Gilchrist. 

                 Apa yang disebut dalam dokumen tersebut?

                      Kami menghadap pada Mei 1965. Dokumen Gilchrist (nama
                      Duta Besar Inggris di Indonesia pada masa itu) dilaporkan
                      Soebandrio (saat itu menjabat Kepala Badan Intelijen,
                      Menteri Luar Negeri, dan Wakil Perdana Menteri I) kepada
                      Bung Karno. Ada indikasi penyusupan badan intelijen asing
                      dalam tubuh Angkatan Darat. Karena Yani adalah Menteri
                      Panglima Angkatan Darat (Menpangad), ia dipanggil Bung
                      Karno.

                 Anda masih ingat inti percakapan antara Bung Karno dan Jenderal
                 Yani?

                      Bung Karno bertanya, "Yani, ini ada dokumen. Apa benar di
                      Angkatan Darat ada yang disebut Dewan Jenderal, yang
                      pekerjaannya antara lain menilai kebijaksanaan saya
                      sebagai panglima tertinggi?" Pak Yani menjawab, "Tidak
                      benar, Pak. Kalau nama Dewan Jenderal, itu memang ada
                      dan saya pimpin sendiri, tapi bukan untuk menilai kebijakan
                      presiden/panglima tertinggi, melainkan menilai kenaikan
                      pangkat kolonel menjadi jenderal di lingkungan ABRI."

                 Bagaimana analisis Jenderal Yani terhadap dokumen itu?

                      Mereka melihatnya sebagai dokumen palsu karena tidak
                      sesuai. Ini merupakan pancingan luar negeri. Seperti pidato
                      Bung Karno setelah G30S-PKI soal pembunuhan para
                      jenderal itu, yakni karena keblingernya pemimpin PKI.
                      Kedua, karena ada oknum dalam negeri yang bekerja sama
                      dengan oknum luar negeri. Kita percaya kepada Pak Yani.
                      Beliau sebagai Menpangad sangat loyal kepada Bung Karno
                      tapi sangat anti-PKI.

                 Kembali ke soal AURI. Benarkah AURI setelah Trikora menjadi
                 "anak lelaki" kesayangan Bung Karno?

                      Memang. Setelah Trikora, AURI memang menjadi semacam
                      "anak emas" Bung Karno. AURI kita pada masa itu juga
                      yang paling kuat di Asia. Kemudian, dalam peristiwa 1965,
                      AURI dikambinghitamkan. Sebagai angkatan yang paling
                      dekat dengan Bung Karno, AURI ikut dihancurkan. 

                 Apakah peran AURI sangat menurun setelah Soeharto menjadi
                 presiden?

                      Ya. Salah satu buktinya, setelah Pak Harto menjadi
                      presiden, ia tidak mau memakai pesawat kepresidenan
                      milik AURI selama 4-5 tahun. Kalau bepergian, Pak Harto
                      memakai pesawat Pelita Air Service dari Pertamina. 

                 Mengapa?

                      Karena tidak percaya sama AURI dan takut kalau ada balas
                      dendam. Dia tahu bahwa orang-orang dengan wawasan luas
                      mengetahui skenario dan perannya. Sehingga, waktu itu,
                      terhadap saya sendiri pun ia menaruh syak wasangka.
                      Sejak Pak Harto naik, praktis dominasi Angkatan Darat
                      sangat terasa dalam sektor militer maupun dwifungsi.

                 Maksud Anda?

                      Sekadar contoh, Panglima ABRI selalu dari Angkatan Darat.
                      Lalu, gubernur hingga camat juga sebagian besar dari
                      Angkatan Darat, sehingga pelaksanaan dwifungsi ABRI
                      menjadi sangat rancu. Jangan lagi bicara soal fasilitas.
                      Setelah G30S, praktis peran angkatan lain disisihkan dan
                      Angkatan Darat yang maju. Selama 32 tahun, Pak Harto
                      memanjakan jenderal-jenderalnya (Angkatan Darat) dengan
                      cara luar biasa.

                 Apa bedanya dengan AURI dulu? Toh, Bung Karno juga pernah
                 memanjakan AURI dan menyebut-nyebut AURI sebagai "anak
                 lelaki"-nya?

                      Pemanjaan Bung Karno lebih bersifat strategi. Terus terang,
                      itu setelah AURI berhasil membuka jalan dalam
                      pembebasan Irian Barat (Trikora). Namun, ia tidak
                      menganakemaskan AURI secara orang per orang. Itu
                      berbeda dengan Soeharto, yang memberikan peluang bagi
                      Angkatan Darat sebagai tanda terima kasih atas dukungan
                      mereka sehingga ia bisa menjadi presiden.


                                                                            
                                       Copyright @ PDAT 1 9 9 8