
CITRA ILAHI DALAM MANUSIA:
PAHAM KESELAMATAN DALAM
KRISTEN ORTHODOKS SYRIA
Oleh Efraim Bar Nabba B.Noorsena
*) Makalah disajikan dalam “Pengajian Injil “ yang
diselenggarakan YAYASAN KANISAH ORTHODOKS SYRIA, di Hotel Sahid Raya, Surabaya
17 September 1999.
Halumma nasjud, halumma natdhara’
ila
al-Masih Mukhalishna, ya Sayidina al-Masih
Kalimatullah…… arhamna ka’iradaika ilal abad.)
Marilah
kita sujud, marilah kita merendahkan diri
Al-Masih, Firman Allah…….kasihanilah kami menurut
KehendakMu sampai selama-lamanya.
Dalam
tabiat IlahiNya sebagai Kalimat Allah (Firman Allah) yang kadim dan selalu
qa’imah (melekat) dalam Dzat Allah, maka ia bukan lain sebagai Citra Allah
(shuratu I-Lah)). Maksudnya, sebagai Firman yang kekal yang keluar dari
Allah, laksana “terang yang memancar dari Sumber terang” (nur min al-Nur),) Allah mewahyukan DiriNya sendiri melalui FirmanNya
sendiri. Karena itu sebagai Firman yang kekal itu, “huwa baha’u majdi I-Lahi
wa Shuratu jawharih “ (Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan Gambar WujudNya.) Maksudnya, DzatNya yang tidak kelihatan itu, dapat
dikenal melalui FirmanNya. Apabila Al-Masih sebagai Firman Allah adalah Citra
Allah sendiri, maka manusia diciptakan “menurut Gambar dan Rupa Allah”. Kitab
Taurat, Sefer Beresyit/Kejadian 1:27 menyebutkan:
Wayyibera Elohim et ha-Adam
be-tselemo, be-Tselem Elohim bara otto zakar uneqbah otam.)
Maka Allah menciptakan Manusia itu menurut GambarNya,
menurut Gambar Allah diciptakanNya dia laki-laki dan perempuan diciptakanNya
mereka.
Sebagaimana disaksikan
Alkitab, bahwa Manusia diciptakan “menurut Gambar dan Rupa Allah”
(Kejadian 1:26, teks Arab: Wa qala I-lahu : linash-na’I al-Insana ‘ala
shuratina kamitslina). Manusia diciptakan menurut Citra Ilahi, sedangkan Citra
Ilahi itu adalah Kristus sebagai FirmanNya yang kekal (‘llm.Al ‘Aqal
al-Ilahi), maka semua manusia diciptakan menurut “pola Kristus” sendiri.
Maksudnya, setiap manusia adalah “images of His Image—men are said to be
according to the Image, not to be images of God”). Dari landasan teologis ini, ada 2 makna yang dapat
dicatat oleh Bapa-bapa Gereja:
1. Origen:Setiap Manusia
lahir secara fitri adalah “kristen”
Dalam pengertian bahwa setiap manusia tidak terkecuali
diciptakan “menurut pola Kristus” itu, Origen dari Iskandariyah (wafat 254)
mengatakan bahwa setiap orang dilahirkan ke dunia pada fitrahnya adalah
“kristen” (dengan huruf “k” kecil). Selanjutnya, Origen mencatat: “if the
firstborn of every creature, is the image of invisible God, the Father is the
arche. In the same way, Christ is the arche of those who are made according to
the Image of God”) (Apabila Ia yang pertama dilahirkan dari Allah
(Firman Allah) adalah Citra Allah yang tidak kelihatan, dan Bapa sebagai pola
azaliNya, maka dengan prinsip jalan yang sama, Al-Masih adalah pola dari
setiap manusia yang diciptakan menurut Citra Allah).
2.
Athanasius: Firman Allah nuzul (turun) ke dunia untuk mengembalikan Fitrah
kemanusiaan yang jatuh
Sebagai mahkota makhluk yang “diciptakan menurut Citra
Allah”, manusia diberikan potensi moral untuk meneladani tabiat Alla (Demut,
“teladan Allah”). Tetapi manusia telah jatuh ke dalam dosa, sehingga Citra dan
Teladan Ilahi itu rusak (sekalipun tidak rusak total). Sisa-sisa Citra Ilahi
dalam diri Manusia itu, adalah kesadarannya masih mempunyai kesadaran mencari
asal muasal kehidupan ini (Jawa : Sangkan Paraning Dumadi), meskipun
pengenalan manusia akan Allah itu sama sekali tidak sempurna, sehingga
memerlukan bantuan dari Allah (Roma 3:21-31).
Kondisi manusia setelah kejatuhan dalam dosa, masih
mempunyai kesadaran akan makna baik dan jahat (Kejadian 3:22), tetapi manusia
tidak mempunyai kekuatan lagi menaklukkan yang jahat. Upah dosa adalah maut
(Roma 6:23).dan sejak kejatuhannya dalam dosa itu maut telah memasuki dunia
(Roma 5:12). Manusia yang sebenarnya diciptakan untuk tujuan kekekalan,
akhirnya mengalami kelapukan dan kematian. Walaupun kesadaran manusia untuk
berbuat baik masih ada, karena citr ilahi yang masih tersisa tadi, tetapi ia
menjadi tidaak berdaya apa-apa. Ibarat, “bensin yang masih ada baunya tapi
sudah kehilangan daya bakar”, maka manusia mempunyai kesadaran akan keabadian,
tetapi tidak mampu lagi mengalahkan maut.
Dalam kesadarannya akan
dimensi keabadian itu, manusia mencoba sekuat tenaga menghidupi dirinya dengan
Firman Allah, meskipun ia tidak mengenalnya. Memang sebagai Firman Allah,
Kristus tidak terbatas: Ia bekerja dimana saja Ia kehendaki, tidak terikat
oleh aspek ruang dan waktu. Karena itu, kita dapat mengakui kebaikan dari
manapun juga asalnya sebagai milik kita orang Kristen. Bahkan, mengutip
kata-kata Yustinus Martyr (wafat 167): “Mereka yang hidup secara akali
(berdasarkan FirmanNya) adalah orang Kristen, walaupun mereka disebut atheis”) Tetapi jarus ditekankan, pengenalan itu sama sekali
tidak sempurna. Karena itulah, Firman Allah itu sendiri “telah nuzul dari
surga demi kita dan demi keselamatan kita” (hadza alladzi min ajlina nahnu
al-basyar, wa min aljli khalashina nazala minas sama)) Karena itu Ia memanggil semua orang –orang datang dan
mengikuti JalanNya.
Dalam maknanya yang penuh secara par exellance setiap
orang yang beriman dan menggabungkan diri secara sakramental dengan
GerejaNya, disebut :Kristen (dengan “K” besar, Kisah Rasul-rasul
11:26). Itulah makna nuzulnya Kalimatullah ke dunia, sebagaimana diungkapkan
oleh Mar Athanasius (wafat 373): “Tiada seorang pun yang dapat menciptakan
kembali manusia dalam citra Allah, kecuali Citra Allah itu sendiri yang datang
sebagai Manusia”)
At-Tajjali:
Pengubah-muliaan dan Mengambil bagian dalam Kodrat Ilahi
Keselamatan dalam Iman
Kristen Orthodoks, tidak hanya dipandang sebagai pembenaran dan pengampunan
dosa saja, atau yang biasanya digambarkan “masuk surga”. Keselamatan juga
dipandang secara positif, pemuliaan dan pengembalian Manusia kepada fitrahnya
yang diciptakan menurut Citra Allah. Itulah yang disebut Rasul Petrus dalam
suratnya: “tasyiru syuraka’a fi ath-thabi’at al-Ilahiyah”(2 Petrus 1:4,
“mengambil bagian dalam kodrat Ilahi”). Hal ini sama sekali bukan berarti
Manusia menjadi Allah dan lebur dalam DzatNya, seperti ajaran dalam paham Wahdatul
Wujud (dalam Islam) dan aliran-aliran Patheisme (Kebatinan Jawa), yang
mengaburkan batas-batas Allah sebagai Khaliq dan Manusia sebagai MakhlukNya.
Manusia adalah manusia, tetap manusia dan akan selalu
menjadi manusia. Menurut Bapa Gereja Yunani, Yuhanna Mansyur
Ad-Dimasyqi, ) kata “Ilahi” dalam 2 Petrus 1:4 di atas, sama
sekali tidak menunjuk kepada Dzat, tetapi menunjuk pada energiaNya yang
memancar dri Dzat itu: yaitu kekudusan, kemuliaaan, kehidupan, kasih dan
kuasaNya. Kita menjadi seperti Allah dalam makna meneladani hidup IlahiNya
(Kejadian 2:26; 3:22). Menurut Bapa-bapa Gereja, theosis (pengilahian) itu
disebut Tajjali (Transfigurasi, “pengubah-muli-aan”) secara sakramental
melalui Perjanjian Kudus (Arami :Qurbana Dqaddisha; Arab: Khidmat
al-Quddus). Karena itu Perjamuan Kuda disebut “obat ketidakbinasaan”. Mengapa?
Sebab kita dilibatkan melalui “kebangkitanNya dari antara orang mati” (1
Korintus 15:20). Kidung Idul Fashha (perayaan Paskah) ini menggambarkan
kebenaran iman tersebut:
Al-Masih
Qama min bainal amwat.
wa wathiy al-mauta bi
al-maut,
wa wahabal hayyata lil
ladzina fil qubr.)
(Kristus telah bangkit dari
antara orang mati,
dengan kematianNya telah
diinjak-injak maut,
dan telah dikaruniakan hidup
kekal bagi orang-orang
yang mati dalam kubur)
Makna Positf
Keselamatan dalam
Kristus :
Manunggaling Kawula Gusti
Dasar teologis dari Tajjali
(Transfigurasi, “pengubahmuliaan”) adalah Inkarnasi Kalimatullah (Basyar
al-Tajjasad). Sayidina Al-Masih adalah Firman Allah yang menjadi Manusia, maka
kemanunggalan kita dengan Allah bukan pada tabiat IlahiNya, dimana hal itu
tidak mungkin. Tetapi dengan darah dan tubuh inkarnasiNya. Mengenai “mengambil
bagian dalam kodrat Illahi” ini, sering digambarkan dengan simbol “pedang dan
api”. Api memanaskan pedang hingga merah, disini energi api mengubah dan
meningkatkan kualitas ketajaman pedang. Tetapi pedang tidak pernah menjadi
api, sebaliknya api juga tidak pernah menjadi pedang) Bisa diaplikasikan, energi (kekuatan) Illahi
itu menyatu dengan tubuh kemuliaan Al-Masih, dan melalui pemanunggalan kita
dengan tubuh kemuliaan Al-Masih, kemanusiaan kita turut dialiri energi
IllahiNya tersebut. Jadi, tujuan keselamatan Kristen Orthodoks secara positif
adalah mencapai “Manunggaling kawulo Gusti”.