Wanita, Male Oriented, dan Perkosaan FSU
in the Limelight
Vol. 5, No. 1
July 1997

Wanita, Male Oriented, dan Perkosaan

Susilo Mansuruddin

Dalam teori Edward Lison, dijelaskan pada dasarnya komposisi tubuh manusia 30% adalah animal. Dari runtutan sejarah, manusia adalah primata atau kera. Sedangkan 70% menyangkut dari sisi karakter pribadi, sosial, budaya, dan yang paling tinggi adalah religius (Warta Utama, 1996).

Kalau merunut dari teori Lison, seorang laki-laki melihat wanita cantik, secara naluri air liurnya akan keluar. Itu artinya ada daya tarik tertentu dalam tubuh wanita. Kalau tidak ada tatanan nilai-nilai sosial, budaya, religius maka komposisi 30% manusia sebagai primata akan cenderung untuk selalu memperlakukan lawan jenisnya seperti halnya (Red. maaf) jago dengan pithik), dan orang cenderung akan memenuhi lampiasan nafsunya. Akan tetapi dari komposisi ini ada hal lain yang mengikat sebagai manusia yakni aspek konvensi tertulis dan tak tertulis berupa tatanan-tatanan atau norma masyarakat untuk membentuk karakter manusia menjadi terarah.

Perkosaan ini merupakan hal yang tabu; sesuatu yang harus disingkiri karena dilarang (Loebis, 1979 : 36). Meski tatanan-tatanan yang sudah berlaku dan diterapkan pada lingkungan sosial pun masih terjadi perkosaan di sana-sini, dan yang menjadi sasaran adalah kaum hawa yang notabene kaum lemah.

Definisi Perkosaan

Definisi perkosaan sendiri masih rumit. Masih banyak perbedaan pandangan tentang definisi perkosaan. Artinya bila laki-laki dengan paksa memasukkan kemaluannya ke vagina perempuan dan meninggalkan sperma didalamnya, itu baru dinamakan pemerkosaan. Namun bila sesama jenis, homo, lesbi, melakukan dengan paksa bukan pemerkosaan lagi, akan tetapi mengarah pada perbuatan cabul. Intinya seorang laki-laki dengan agresifitas memaksa memasukkan kemaluannya dan meninggalkan sperma di dalamnya, itu yang namanya diperkosa. Kalau alat vitalnya sama dan sejenis dan dilakukan dengan paksa, itu perbuatan cabul.

Dalam visi medis pun, seorang dokter juga tak akan dengan mudah mengklaim pasien yang melapor kemudian diperiksa, telah atau baru saja diperkosa. Dokter akan memeriksa vagina sang korban, apakah ada perobekan didalam vagina--menurut searah jarum jam, misalkan jam 12.00, 09.00 atau 15.00--kemudian dicari apakah ada luka-luka memar dalam tubuhnya.

Dan bila ternyata dalam vagina terdeteksi ada sperma yang tertinggal dan terjadi perobekan, dokter akan mengeluarkan visum dengan kata-kata: pada diri pasien ini telah terjadi perobekan akibat benda kenyal sebesar sekian dalam vagina dan tertinggal cairan sperma disertai luka-luka memar di wajah atau badan, tanpa langsung memberikan kesimpulan bahwa si korban telah diperkosa.

Male Oriented

Kalau kita mencoba mencermati kilas balik raja-raja Jawa, akan kita dapatkan bahwa seringkali seorang raja mempunyai satu permaisuri untuk melanggengkan tahta kerajaannya sekaligus untuk memenuhi keturunan silsilah. Artinya, permaisuri adalah istri yang sah. Namun, bukan merupakan rahasia lagi manakala seorang raja di Jawa mempunyai gundik, selir atau istilah sekarang menjadi wanita idaman lain (WIL).

Dari sisi antropoligi sendiri dalam tingkatan stratifikasi perolehan martabat sudah lain. Laki-laki mendapat martabatnya karena bekerja dan membantu. Perempuan mendapat martabatnya dengan mendapatkan pria. Pra berbuat, wanita menarik (Haviland, 1988:87).

Kalau kita menarik sejarah masa lampau, ada semacam dominasi laki-laki sebaai manusia superior dibandingkan dengan kaum hawa yang notabene lemah dan butuh perlindungan. Ini berkaitan dengan adanya budaya masyarakat kita yang sangat male oriented, yang selalu melihat segalanya dari selera laki-laki. Wanita secara kultural dilihat sebgaian orang kedua. Dalam seuatu penilaian yang memuliakan atau meremehkan, laki-laki melihat wanita sebagai obyek seks. Entah itu sebagai gundik atau selir. Bahkan sekarang istilah yang paling memasyarakat munculnya para WIL.

Hal ini membuat wanita selalu dalam keadaan terancam baik itu secara fisik atau secara psikologis. Dalam male culture Jawa, laki-laki selalu memingit wanita atau sering disebut dengan pagar ayu. Di pedesaan Cina tradisional, gadis sering tidak melihat suaminya sebelum perkawinan, karena perkawinan diatur oleh orang tua. Sedangkan dalam Islam atau dalam tradisi perkawinan Jawa, laki-laki diperbolehkan untuk menikah lebih dari satu. Istri yang sudah ada, bisa diwayuh (Kodiran, 1990 : 338). Ini merupakan indikasi dari kekuatan atau superior laki-laki dibandingkan perempuan. Artinya sisi lain sangat tabu sekali seorang perempuan menikah lebih dari satu atau mempunyai laki-laki lebih dari seorang.

Bahwa pemerkosaan dimungkinkan terjadi karena adanya benturan antara male oriented dengan kondisi wanita yang makin menjunjung emansipasi. Di satu pihak wanita itu menjadi semakin bebas, sementara di pihak lain laki-laki tetap memandang wanita sebagai obyek. Ini akhirnya bisa disinyalir dengan munculnya atau timbulnya kasus-kasus perkosaan. Kalau melihat kelas tertentu, masyarakat kelas menengah ke atas male culture mulai terkikis. Bukannya memuliakan atau meremehkan, laki-laki melihat wanita sebagai obyek seks. Entah itu sebagai gundik atau selir. Bahkan sekarang istilah yang paling memasyarakat munculnya para WIL.

Hal ini membuat wanita selalu dalam keadaan terancam baik itu secara fisik atau secara psikologis. Dalam male culture Jawa, laki-laki selalu memingit wanita atau sering disebut dengan pagar ayu. Di pedesaan Cina tradisional, gadis sering tidak melihat suaminya sebelum perkawinan, karena perkawinan diatur oleh orang tua.

Sedangkan dalam Islam atau dalam tradisi perkawinan Jawa, laki-laki diperbolehkan untuk menikah lebih dari satu. Istri yang sudah ada, bisa diwayuh (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1990:338). Ini merupakan indikasi dari kekuatan atau superior laki-laki dibandingkan perempuan. Artinya sisi lain sangat tabu sekali seorang perempuan menikah lebih dari satu atau mempunyai laki-laki lebih dari seorang.

Bahwa pemerkosaan dimungkinkan terjadi karena adanya benturan antara male oriented dengan kondisi wanita yang makin menjunjung emansipasi. Di satu pihak wanita itu menjadi semakin bebas, sementara di pihak lain laki-laki tetap memandang wanita sebagai obyek. Ini akhirnya bisa disinyalir dengan munculnya atau timbulnya kasus-kasus perkosaan.

Kalau melihat kelas tertentu, masyarakat kelas menengah ke atas male culture mulai terkikis. Pria-pria pada golongan menengah ke atas untuk kondisi sekarang memandang wanita sebagai obyek seks, seringkali memakai cara-cara yang lebih sesuai dengan aturan hukum. Seperti kawin cara poligami karena bisa membiayai dua istri atau lebih. Bisa juga mereka ke pelacuran. Sedangkan pada pria-pria dari kelas bawah, seringkali melampiaskan keinginannya itu dengan cara-cara yang kasar.

Pada akhirnya masalah pemerkosaan seringkali dilihat dari sisi dominasi laki-laki terhadap perempuan. Seperti juga yang tercantum dalam hukum di Indonesia, bahwa pengertian perkosaan itu berlaku bila pelaku perkosaan tersebut laki-laki dengan korban wanita.

Hukum Tak Menjangkau?

Pernah terlontar di media massa Menteri Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi akan menghukum mati bagi pemerkosa. Saat itu statemen muncul manakala peristiwa naas menimpa keluarga Acan. Sungguh tragis seorang gadis diperkosa. Dari sisi keluarga jelas akan tercemar. Faktor psikologis dari si Anak sendiri akan 'terbayang-bayang' dalam mengarungi masa depan.

Statemen Mien Sugandi itu, ternyata tak membuat jera bagi pelaku. Bahkan tingkat perkosaan pun kian hari kian tak memandang sasaran yang dijadikan obyek aksi pencabulan. Mulai dari wanita yang lebih tua, pembantu, anak kecil bahkan anak kandung sendiri. Bahkan sudah keberapa ratus kali TKW kita mengeluh, merintih dan meronta karena di negeri orang hanya dijadikan pelampiasan nafsu kaum laki-laki. Dari data LBH tahun 1995 sangat banyak variasi tingkat perkosaan, mulai keterikatan antara orang tua, karyawan, bahkan sampai pada orang terdekat sendiri (teman) (lihat tabel).

Tabel: Data Kasus Perkosaan di Jawa Timur pada tahun 1995


------------------------------------------------------------------------------------

Hubungan antara korban dan pelaku          Jumlah      %

------------------------------------------------------------------------------------

Orang tua  (baik kandung atau tiri)              12         8,9 

Saudara laki-laki (kandung/tiri)                     7         5,6 

Majikan/boss                                             8         6,4

Guru/dosen/pemuka agama                        4         3,2

Teman                                                     44        39,5

Orang asing/orang tak dikenal                   30        29,0

Tidak terindentifikasi                                  9         7,2

------------------------------------------------------------------------------------

T o t a l                                                 124       100 

Sumber: Diolah kembali dari data LBH Surabaya, 1996

Secara teoritis, dalam pasal 285 KUHP ada ancaman hukuman bagi pelaku perkosaan maksimal 12 tahun. Hanya saja kalau terbukti, sangat susah dan rumit untuk membuktikan tersangka sebagai pelaku pemerkosa kalau jelas tidak tertangkap basah. Undang-undang warisan kolonialpun masih memandang laki-laki superior, ada aturan yang melarang perempuan yang sudah menikah untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Misalnya perempuan dilarang melakukan transaksi jual beli dsb, karena dianggap tidak berkemampuan hukum, tidak cakap hukum.

Jadi meskipun Mien Sugandhi akan menghukum mati pemerkosa, namun realitanya pemerkosa masih meraja lela. Bahkan dalam prakteknya di pengadilan seringkali pemerkosa hanya dijatuhi hukuman beberapa bulan saja. Karena memang sulit untuk membuktikan si A adalah pemerkosa. Paling tidak harus ada tiga hal utama untuk membuktikan. Yaitu bukti otentik materi, tuntutan dari korban dan adanya saksi. Salah satu cara lain untuk membuktikan lewat analisa DNA. Tapi analisa ini pun membutuhkan biaya mahal.

Pada akhirnya yang menjadi sasaran adalah kaum hawa yang notabene lemah dari segalanya. Aparat hukum sendiri belum punya batasan ukuran kurungan bagi si pelaku pemerkosa. Masing-masing punya ukuran-ukuran relatif. Bisa pemerkosa terhukum dipenjara selama 5 tahun namun terkadang bisa hany bebebapa bulan dan sudah itu keluar.

Antisipasi Dini

Masalah perkosaan adalah masalah kesempatan. Artinya jangan beri kesempatan pada pemerkosa. Ada beberapa cara untuk menghindari perkosaan. Plaing tidak, wanita yang menjadi sasaran sedapat mungkin ada pihak yang mendampingi saat bepergian sendiri, jangan menimbulkan rangsangan-rangsangan, baik itu dalam bentuk perilaku, pakaian, atau gerakan, pada lawan jenisnya. Terhadap anak-anak harus diajarkan untuk berteriak sekeras mungkin bila ada orang yang 'mengganggunya'.

Yang paling mungkin pada wanita dewasa perlu diingat bahwa meskipun alat 'pemerkosa' itu disebut alat perusak, namun sekaligus alat yang paling lemah . kalau mengetahui itu alat yang paling lemah, saat akan diperkosa, diremas saja dengan keras. Oke?

Daftar Pustaka

Kodiran. 1990. Masyarakat dan Kebudayaan Jawa. Dalam Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Loebis, Ali Basja. 1979. Azas-azas Ilmu Bangsa-bangsa. Jakarta: Erlangga.

Suryani W., Lidya. 1997. Perkosaan dan Perlindungan Hukum bagi Korban. Hal. 180-201. Eko Prasetyo dan Suparman Marzuni (ed.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta.

Suyanto, Bagong & Emy Susanti Hendrarso. 1996. Wanita dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan. Surabaya: Airlangga University Press.

Warta Unair. 2(12), Mei 1996.

________________________
Susilo Mansuruddin, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

[Home]