FSU
in the Limelight
Vol. 8, No. 1
Jul 2001

Intensionalitas dalam Puisi Baju-baju
Karya K.H.A. Mustofa Bisri

Gatut Lestari

Pendahuluan

Puisi adalah salah satu genre dari karya sastra. Karya sastra pada umumnya adalah bentuk seni yang diejawantahkan dalam bahasa (Coulthard, 1977:1979). Tentunya puisi juga demikian.

Terkemasnya puisi dalam bahasa sangat memungkinkan adanya analisis terhadap struktur dan fitur gaya bahasanya, fungsi penangkapan bahasa, struktur semantik serta konteksnya dalam kerangka linguistik. Itu merupakan suatu kerangka pendekatan analisis wacana.

Analisis wacana adalah "the analysis of language in use" (Brown dan Yule, 1983:1). Strategi analisis tersebut memang berdasar pada berfungsinya ungkapan bahasa dalam "real time processes" (Gumperz, 1982:1). Ungkapan tersebut benar-benar diterapkan dalam proses interaksi komunikatif. Itulah proses pengungkapan makna serta perilaku dalam konteks yang sesungguhnya, serta itulah parole. Demikian pula ungkapan bahasa puisi. Ungkapan puisi dalam berbagai ragam serta gaya itu tentu terus bergulir dalam proses interaksi komunikatif. Ungkapan tersebut dituliskan untuk dibaca, atau dituturkan untuk didengar, lalu dipahami. Pemahamannya pun terus-menerus dikembangkan berdasar atas pemahaman yang lain. Dari wujud ungkapan bahasa yang demikian itulah, analisis wacana puisi beranjak.

Puisi "Baju-baju" karya K.H.A. Mustofa Bisri (1991)--tertera dalam Lampiran--diangkat sebagai bahan kajian dari analisis wacana dalam tulisan ini. Puisi tersebut ditempatkan sebagai teks tertulis, di dalamnya terdapat sebersit penawaran pemahaman makna yang dikehendaki penulis.

Batasan Masalah

Puisi "Baju-baju", sebagi sebuah teks, dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang dalam kerangka pendekatan analisis wacana. Pendekatan tersebut memang menawarkan seperangkat titik tolak pemahaman untuk sebuah wacana.

Tulisan ini mengangkat pokok bahasan tentang intensionalitas teks puisi "Baju-baju". Intensionalitas memang bersangkutan dengan penulisnya. Pokok bahasan tersebut bertumpu pada pertanyaan "Bagaimana penulis mengemas apa yang dikendakinya dalam puisi tersebut serta menawarkan kepada pembaca?".

Landasan Teori

Dalam kerangka teori analisis wacana terdapat suatu pandangan bahwa teks itu terpusat pada penggunanya (Beaugrande dan Dessler, 1987: 1). Orientasi teks tersebut terletak pada pengguna, yakni penulis-pembaca, atau penutur-pendengar. Orientasi yang bersangkutan dengan sikap pembuat teks disebut intensionalitas. Intensionalitas tidak dapat dilepaskan dari orientasi yang bermuara pada teks itu sendiri yakni kohesi dan koherensi teks. Intensionalitas harus terpusat pada orientasi teks. Yang menjadi penting adalah bagaimana pembuat teks membangun keutuhan serta keberterimaan teks demi kehendaknya.

Kemudian, Halliday dan Hasan (1976) menawarkan unsur yang dapat membangun keutuhan (kohesi) teks yang dapat dicermati oleh pembuat teks, yakni unsur semantis, gramatikal, serta leksikal. Unsur tersebut meliputi referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, serta kohesi leksikal. Unsur tersebut dapat diproyeksikan oleh pembuat (penulis maupun penutur) teks. Yang perlu dipahami di sini bahwa kohesi adalah kesatuan semantis dari suatu teks dalam kaitannya dengan konteks situasi. Hal tersebut berterima sehingga membangun keutuhan teks. Dalam hal itu, Halliday dan Hasan tidak mempersoalkan istilah koherensi karena pengertiannya sudah tercakup dalam arti kohesi tersebut.

Kerangka teoritis tersebut merupakan pijakan utama dari pokok bahasan tulisan ini. Arahnya jelas yakni mendasari kajian yang berorientasi pada penulis serta keutuhan teks.

Analisis

Bahan yang diangkat menjadi hal pembicaraan dalam puisi "Baju-baju" adalah biasa. Baju, lurah, camat, bupati, gubernur, aku, ibu, ayah, belajar, bagus, dan buruk adalah ungkapan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Maknanya pun telah dipahami oleh khalayak. Untuk diwujudkan menjadi sebuah teks puisi, ungkapan tersebut tidak sekedar dipilih begitu saja oleh penulisnya, melainkan juga dipilah. Satu ungkapan dipilah untuk dipadukan atau dijukstaposisikan terhadap ungkapan lain dalam suatu konfigurasi dari baris ke baris, sehingga membentuk suatu keutuhan bait teks yang memiliki pertautan semantis. Dari pertautan itu diperolehlah makna yang semakin bernas. Makna yang bernas mencerminkan sebuah kehendak penulis yang ditawarkan kepada khalayak pembaca. Bagaimanakah penulis dapat meramu pemilihan, pemilahan, serta jukstaposisi ungkapan dalam tatanan tertentu dalam puisi "Baju-baju" sehingga menimbulkan nuansa kebernasan makna yang khas? Dengan kata lain, bagaimanakah intensionalitas teks puisi tersebut terwujud?

Proses yang paling awal terjadi tentunya adalah proses berpikir penulis. Secara linguistis, hal tersebut dapat didasarkan pada konsep langue dari Saussure (dikutip dalam Hoed, 1994: 127). Dari konsep tersebut tentu dapat dimengerti bahwa penulis puisi di atas memiliki abstraksi suatu sistem bahasa yang mendasari ungkapan-ungkapan untuk penciptaan puisinya. Sistem tersebut mengarahkan dia untuk mengatur hubungan konsep imaginer dari citra ungkapan yang terpilih dan terpilah ke dalam tatanan struktur morfoleksiko sintaksis serta semantik. Itu adalah sistem tata bahasa (Hoed, 1994: 127). Selain itu, masih menurut Hoed (ibid), sistem tata bahasa saja belum cukup. Terdapat sistem yang mengatur hubungan unsur bahasa dan lingkungan (konteks dan situasi). Sistem tersebut adalah tata wacana. Wacana inilah yang merupakan suprastruktur atau abstraksi sistem ungkapan yang menyeluruh. Sebagaimana dinyatakan oleh van Dijk (1977: 2), wacana adalah bangun teoritis abstrak. Wacana tersebut masih berupa struktur ideasional dari penulis puisi. Wacana itu belum terwujud secara fisik. Akan tetapi, wacana tersebutlah yang memberikan kerangka serta mengarahkan "the actual use of language in concrete situation" (Matthews, 1993: 209) dari puisi "Baju-baju".

Pada saat wacana puisi tersebut diejawantahkan dalam proses pengungkapan yang sesungguhnya, yang tidak terlepas dari konteks serta situasi atau dalam "real time processes", maka dihasilkanlah teks puisi "Baju-baju". Dari teks itulah suatu analisis dapat dilakukan. Teks tersebut, menurut Saussure (dikutip dalam Hoed, 1994: 127), adalah parole. Menurut Lyons (1995: 21), parole merupakan produk dari proses pengungkapan sistem bahasa. Tentunya parole mencerminkan jejak sistem tersebut. Sehubungan dengan itu, ungkapan-ungkapan dari teks puisi "Baju-baju" sebagai produk dari wacana tentunya juga mecerminkan proses dari sistem wacanananya. Kerangka wacana tersebut secara psikologis sangat diwanai pula oleh nuansa batin atau kehendak penulis. Tak pelak bahwa teks puisi "Baju-baju" yang berupa konfigurasi ungkapan akan membentuk keutuhan makna semantis yang dilengkapi oleh percikan kehendak penulis. Keutuhan makna semantik yang menyiratkan kehendak penulis tidak lain adalah kohesi.

Menurut Halliday dan Hasan (1976: 4-10), kohesi sebenarnya adalah konsep yang menyangkut hubungan semantis antarelemen dalam suatu teks. Bagaimanakah wujud hubungan tersebut dalam puisi "Baju-baju" sehingga menimbulkan suatu kohesi?

Jelas sekali bahwa pertama-tama, penulis telah menggunakan unsur pembentuk kohesi berupa pengulangan kata pada judul puisi. Secara sintaktis, bentuk tersebut merupakan reduplikasi. Reduplikasi semacam itu adalah reduplikasi morfermis pembentuk nomina yang memiliki makna 'jamak' (Kridalaksana, 1996: 91-94). Tampaklah bahwa yang dimaksud dari jukstaposisi baju-baju bukan mengacu pada baju yang tunggal. Namun, ungkapan tersebut masih terbuka untuk penafsiran apakah 'baju yang jamak' itu 'berbagai baju yang sejenis' atau 'berjenis-jenis baju yang berbeda. Tidak dapat disangkal bahwa paling tidak jukstaposisi dalam judul tersebut telah mencerminkan arah pembicaraan penulis, serta meggiring pembaca untuk fokus terhadap arah tersebut.

Kemudian, penulis memasukkan unsur referensi pronomina persona, yakni aku. Aku mengacu pada orang pertama. Pada aku penulis meleburkan perannya sebagai penutur, yang sekaligus terlibat langsung dalam peristiwa yang terungkap dalam puisi tersebut. Peran ini lebih membawa pembaca untuk mengalami dan berpikir sebagaimana yang dilakukan aku. Memang bahan pembicaraan si aku sekedar baju. Akan tetapi, dengan struktur, ragam, serta gaya ujarannya yang kias, apa yang dimaksudkan penutur dengan "baju" dapat dipahami melalui ikatan semantis ujaran-ujaran tersebut. Aku memang bukan sekadar penutur, tetapi juga peramu paduan semantis dari ungkapan baju dengan lurah, camat, bupati, gubernur di satu pihak, sedangkan di lain pihak, antara baju, dengan ayah dan ibu. Ungkapan yang dipadukan dengan baju tersebut mengacu pada entitas luar teks, sehingga merupakan pertautan yang bersifat eksoforis. Di sela-sela itu, penutur mencoba menghubungkan "keadaan dan keberadaan" dirinya dengan "entitas gubernur" melalui ungkapan pertanyaan.

Paduan ungkapan yang dijajarkan oleh aku tersebut lebih dapat dicermati sebagai struktur puisi. Untuk itu Hawker (dikutip dalam Pradopo, 1985: 3) menyatakan bahwa dalam struktur puisi terdapat pertalian semantis dari unsur-unsurnya yang dapat membangun kesatuan. Dalam puisi "Baju-baju" tampak bagaimana penutur mempertautkan ujarannya. Aku mengemukakan Baju pak lurah bagus/ baju pak camat lebih bagus/ baju pak bupati lebih bagus lagi/ Apa baju pak gubernur lebih bagus/ Benar kata ibuku/. Apabila dicermati, dari konfigurasi struktur ungkapan penutu itu, kata baju tidak mengacu pada entitas nomina yang sama. Meskipun demikian ungkapan tersebut masih memiliki pertautan yang erat secara semantis. Pertautan tersebut terletak pada bagus, lebih bagus, dan lebih bagus lagi. Hal tersebut menyangkut penggunaan adjektiva. Dilihat dari sudut pemakaiannya adjektiva dapat mengambil bentuk perbandingan (Kridalaksana, 1994: 65). Perbandingan dalam ungkapan tersebut bersifat komparatif dengan hadirnya adverbia lebih serta lebih lagi. Itulah pertautan semantis yang dijalin oleh referensi komparatif (Halliday dan Hasan, 1976: 76). Referensi komparatif juga tampak pada konfiguarasi nomina eksoforis yang mengacu pada "jabatan" yakni lurah, camat, bupati dan gubernur. Secara berurutan, eksofora tersebut menunjukkan tingkatan jabatan yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Akan tetapi, sebelum penutur mengetengahkan jenjang referensi sampai jenjang gubernur, ia memenggal struktur ungkapannya dengan struktur kalimat tanya yang berproposisi "apakah baju gubernur lebih bagus lagi dari yang lain?" dan pernyataan tidak langsung Benar kata ibuku. Penggalan tersebut bersifat gramatikal dan tidak mempengaruhi kesatuan dari pertautan antarstruktur yang bersifar semantis. Kegayutan ungkapan tak langsung tersebut terletak pada kata ibuku; yakni "kata dari ibu penutur". Kata ibu tersebut mengandung makna 'pembenaran' dari pernyatan tentang jenjang perbandingan yang menyangkut baju dan gubernur. Perbandingan terhadap baju jelas merupakan sesuatu yang dimaksud penutur. Akan tetapi, muatan makna perbandingan komparatif, bagaimanapun juga, mengandung "persamaan" selain "perbedaan". Untuk menelaah maksud penulis tentang makna "baju" yang komprehensif perlu dicermati hubungan "baju-baju" dengan "penyandangnya".

Struktur dalam baris-baris berikutnya juga masih dapat ditinjau pertautan semantisnya. Sehubungan dengan adanya "pembenaran" dari ibunya terhadap pertanyaan penutur tentang "baju gubernur yang lebih bagus dari yang lain", penutur masih belum puas. Ia secara naif terus mengajukan ungkapan kepada ibunya Apakah aku bisa jadi gubernur tanyaku. Pertautan semantis ungkapan yang mengandung pertanyaan terlihat dalam unsur leksikal tanyaku. Struktur ungkapan berikut Bisa saja katanya/ Asal kau belajar bagus/ tidak dapat dielakkan pasti bersangkutan dengan ungkapan tanya sebelumnya. Hal tersebut dapat dicermati dari referensi anafora nya dalam katanya yang mengacu pada kata ibu, yang pula berarti "jawaban ibu". Referensi kau secara anaforis mengacu pada penutur yang sedang bertanya sehingga ungkapan kau pasti diucapkan oleh ibu penutur. Bisa saja secara anaforis juga mengacu pada bisa jadi gubernur dan mengandung makna "pembenaran dan penanaman keyakinan". Kemudian, ungkapan tersebut dijukstaposisikan dengan Asal kau belajar bagus, yang bermuatan makna "persyaratan yang harus dipenuhi". Agaknya pemahaman penutur tentang syarat mengapa musti "belajar bagus" masih harus dikaitkan dengan tiga baris ungkapan terakhir.

Pada ketiga baris ungkapan terakhir, penutur mengatakan Ayah ibu dulu/ Belajarnya buruk sekali tentu/ Baju-baju mereka buruk sekali/. Tampaknya dalam ungkapan tersebut penutur memberikan reaksi dan tanggapan terhadap saran berupa "syarat belajar bagus". Ada saran yang demikian dari ibunya itu karena menurut anggapan penutur, "ayah-ibunya dulu belajarnya tidak bagus (buruk)". Hal tersebut terlihat dari anafora nya yang mengacu pada orang tua penutur. Hal itu terlihat jelas dalam ungkapan langsung penutur sebagai tanggapan terhadap kata-kata ibunya tadi. Selanjutnya bagaiman kaitannya dengan belajar buruk? Pertautan semantis semacam itu harus ditinjau secara keseluruhan lagi mulai jukstaposisi belajar bagus dengan baju bagus, yang berarti termasuk baju lurah, baju camat, baju bupati, serta baju gubernur, sampai dengan jukstaposisi belajar buruk dan baju buruk yang bersangkutan dengan baju mereka ("ayah ibu penutur"). Jelas bahwa unsur leksikal yang berantonim membangun pertalian semantis dari jukstapoisis ungkapan di atas. Di situlah penulis meletakkan pandangannya secara tersirat tentang konsep "baju".

Keutuhan semantis yang terjalin dari ikatan makna struktur beserta unsurnya dari puisi tersebut belum cukup mewakili pemikiran penulis secara keseluruhan apabila tidak dikaitkan dengan keberterimaan kontekstual (Halliday dan Hasan, 1976). Keberterimaan kontekstual, oleh Beaugrande dan Dessler (1987: 3), disebut koherensi. Hal tersebut sebenarnya menyangkut konfigurasi konsep dan relasinya.

Konfigurasi yang demikian itu, koherensi, menyangkut masalah nilai dan kondisi kebenarnya dari ungkapan (Lyons, 1995). Kebenaran yang demikian itu berkenaan dengan kebenaran proposisional logis dari ungkapan serta acuannya. Kebenaran itu menyangkut relasi makna intrabahasa dan acuan. Itulah yang menandai bahwa ungkapan berterima secara kontekstual atau berkoherensi. Ungkapan baju lurah bagus, baju camat lebih bagus, baju bupati lebih bagus lagi, begitu pula baju gubernur dapat berterima. Secara logis, jika "baju lurah bagus" maka implikasinya "baju camat, bupati, dan gubernur lebih bagus lagi". Dari segi acuan atau kondisi luar bahasa, dapat ditemui bahwa baju-baju mereka memang demikian. Demikian pula, baju buruk dan belajar buruk, secara logis berimplikasi "jika bajunya buruk, belajarnya juga buruk". Tentunya implikasi logis ini mengena pula pada baju dan belajar bagus. Dari segi acuan bahasa sering juga dijumpai keadaan semacam itu. Itulah upaya penutur membangun koherensi atau keberterimaan. Penutur mempradugakan bahwa jukstaposisi ungkapan-ungkapannya itu dapat berterima sebagaimana dia memahaminya berdasar pengalamannya. Tidak dapat dielakkan bahwa penutur berusaha sungguh-sungguh untuk merajut bagian-bagian ungkapan sebagai pendukung kejelasan makna untuk terwujudnya koherensi. Akan tetapi, pemahaman selanjutnya dari teks tersebut bergantung pada pembaca.

Paduan ungkapan dalam puisi memang sangat penting. Ungkapan bagaimanapun adalah simbol yang mengacu pada sesuatu (Bühler, dikutip Renkema, 1993: 7). Paduannya memang disengaja oleh penutur untuk memenuhi fungsi puitik. Kejelasan ungkapan dari puisi itu dapat dikembangkan oleh fungsi puitik dari pesan yang hendak disampaikan (Jakobson, 1992: 77). Ungkapan baju pada saat disandingkan dengan ungkapan lurah, camat, bupati, gubernur, ayah-ibu, bagus serta buruk maknanya dapat meluas. Kejelasan makna baju yang diletakkan oleh penulis berjajar dengan ungkapan-ungkapan tersebut dapat bersangkutan dengan makna 'kekuasaan', 'kemewahan', 'kesederhanaan', maupun 'kemelaratan'. Fungsi puitik ungkapan-ungkapan tersebut memang dihidupkan oleh penutur untuk menyiratkan kehendaknya atas makna "baju" yang "bukan sekedar penutup badan". Itulah yang dimaksud dengan pengertian makna konotatif (Barthes, 1967: 89-94).

Sesuai dengan pandangan Bühler (dalam Renkema, 1994: 7), ungkapan-ungkapan dari puisi tersebut merupakan gejala paling nyata dari penutur. Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut sarat dengan muatan emotif penutur terhadap apa yang hendak disampaikan. Referensi komparatif yang menyatakan jenjang perbandingan dari ungkapan puisi "Baju-baju" sarat dengan pandangan emotif penutur, bukan hanya terhadap makna "baju", melainkan juga hubungan makna "baju" dengan "penyandangnya" sampai ke "kegiatan dan keadaan seseorang".

Apabila mengingat pernyataan Robert Frost (dalam Ching, 1980: 140) bahwa puisi adalah "the art of saying one thing and meaning another", tentunya benar juga bahwa penutur ingin mengatakan sesuatu yang lain dibalik makna "baju". Itu jelas sekali dari awal ketika dia mengatakan "baju-baju". Maknanya luas. Terus dia kaitkan dengan "penguasa daerah", "belajar", serta "keadaan ayah-ibu buruk". Dari segi wacana, jelas pula strategi penutur dalam membentuk konsep kesatuan makna yang kontekstual, namun bersifat terbuka dalam menawarkan apa yang ia maksud.

Simpulan

Sebenarnya, penutur aku, dalam memercikkan maksudnya melalui puisi "Baju-baju", telah mengasumsikan apa yang dapat diharapkan dan dipahami pembaca tentang ungkapan-ungkapan si penutur tersebut. Itulah suatu presuposisi atau apa yang dipradugakan dan dimaksudkan oleh penutur (Brown dan Yule, 1983: 29). Senada dengan itu, Eco (1979: 6) juga menyatakan bahwa dalam mewujudkan intensinya, penulis (penutur) telah mengantisipasi pemahaman pembaca terhadap maksud penutur. Selaras dengan itu, teks puisi "Baju-baju" adalah wujud dari maksud serta pemikiran penulis yang dikemas sedemikian rupa dalam kohesi dan koherensi. Akan tetapi, teks puisi tersebut tidak dapat lepas dari konteks dan situasi, maka teks tersebut bersifat terbuka. Satu interpretasi atas makna "baju" dapat terus digemakan terhadap makna "baju-baju yang lain". Lyons (1981) menyebut teks yang demikian itu sebagai utterance-inscription (wujud ungkapan nyata) yang sedang dalam proses.

Daftar Pustaka

Barthes, R. 1967. Elements of Semiology. London: Jonathan Cape.

Beaugrande, R. de dan W. Dessler. 1981. Introduction to Text Linguistics. London: Longman.

Bisri, K.H.A.M. 1991. Ohoi: Kumpulan Puisi-puisi Balsem. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Brown, G dan G. Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Ching, M.K.L. et al (ed.). 1980. Linguistic Perspective on Literature. London: Routledge Kegan Paul.

Coulthard, M. 1977. An Introduction to Discourse Analysis. London: Longman.

van Dijk, T.A. 1977. Text and Context: Exploration in the Semantics and Pragmatics of Discourse. London: Longman.

Eco, U. 1979. The Role of the Reader. London: Hutchinson.

Gumperz, J.J. 1982. Discourse Strategies. Cambridge: Cambridge University Press.

Halliday, M.A.K. dan R. Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman.

Hoed, B.H. 1994. Wacana, Teks, dan Kalimat. Hlm. 125-136. Dalam Sihombing (ed.), Bahasawan Cendikia: Seuntai Karangan untuk Anotn M. Moeliono. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan PT Intermasa.

Jakobson, R. 1992. Linguistik dan Bahasa Poetik. Hlm. 64-79. Dalam P. Sudjiman dan A. van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, H. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, H. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lyons, J. 1977. Semantics: Volume 1. Cambridge: Cambridge University Press.

Lyons, J. 1981. Language, Meaning, and Context. Fontana: Fontana University Press.

Lyons, J. 1995. Linguistic Semantics: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.

Matthews, P.H. 1993. Grammatical Theory in the United States from Bloomfield to Chomsky. Cambridge: Cambridge University Press.

Pradopo, R.D. 1985. Pengkajian Puisi: Bagian I dan II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Renkema, J. 1993. Discourse Studies: An Introductory Book. Philadelphia: John Benjamins Publishing Co.

Lampiran

BAJU-BAJU

Baju pak lurah bagus
Tapi baju pak camat lebih bagus
Ketika aku ke kabupaten
Ternyata baju pak bupati
Lebih bagus lagi
Kalau saja aku pernah ke gubernuran
Apa baju pak gubernur lebih bagus?
Benar kata ibuku
Apa aku bisa jadi gubernur tanyaku
Bisa saja katanya
Asal kau belajar bagus
Ayah dan ibu dahulu
Belajarnya buruk sekali tentu
Baju-baju mereka buruk sekali
(Bisri, 1991)

[Volume 1] [Volume 2] [Volume 3]
[Volume 4] [Volume 5] [Volume 6] [Volume 7]

[Home] [Current issue] [Archives] [Staffs] [Submission]