Gundik dalam "Burung-Burung Manyar" FSU
in the Limelight
Vol. 5, No. 1
July 1997

Gundik dalam
Burung-Burung Manyar

Lis Sunaryo
Susilo Mansurudin

"Burung Burung Manyar" adalah karya Y.B. Mangunwijaya atau banyak yang menyebut sebagai Romo Mangun. Roman ini terbit tahun l981. Banyak yang menyebut roman ini sebagai roman yang sarat dengan pengungkapan sejarah perjalanan nusantara sampai pada orde baru.

Roman ini bisa dikatagorikan sejarah karena menyingkap tiga kurun waktu perjalanan sejarah Republik Indonesia. Dimulai dari bagian pertama, dari periode l934-l944; yang menceritakan tokoh Setadewa yang lahir pada saat Indonesia dijajah Belanda. Selain tokoh Setadewa, Roma Mangun juga menampilkan tokoh yang mengiringi perjalanan Setadewa --meski berseberangan-- hingga di akhir cerita, yakni tokoh penting bernama Larasati.

Kemudian dilanjutkan pada bagian kedua, dimulai periode l945-l950; yang melukiskan saat Indonesia dijajah Jepang, diceritakan tokoh Setadewa lebih memilih dijajah Belanda daripada Jepang. Romo Mangun mencoba meng-antagoniskan tokoh Setadewa dengan Larasati. Setadewa yang dalam masa penjajahan Belanda lebih memilih menjadi anthek Belanda dengan memilih menjadi tentara NICA. Sementara Larasati lebih memilih kemerdekaan Indonesia, dan berjuang di pihak gerakan Indonesia. Bertolak belakang dan berseberangan. Sedangkan pada bagian ketiga atau pada bagian pungkasan, yakni periode l968-l978, dikisahkan oleh Mangun wijaya situasi Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru yang sangat lain situasinya dengan periode-periode sebelumnya. Pada bagian ketiga inilah dilukiskan konsep berfikir dua tokoh yang berseberangan yakni antara Larasati dengan Setadewa. Meski kedua tokoh yang tersebut di atas sebenarnya saling mencintai tetapi tidak dapat bersatu dalam perkawinan karena bertentangan dan sangat berlawanan.

Dalam penulisan ini tidak akan mengungkap secara gamblang bagaimana cerita maupun kupasan mendalam mengenai perjalanan roman yang dimulai dari pertama hingga periode ketiga. Akan tetapi penulis mencoba menganalisa sudut terkecil dari kehidupan tokoh-tokoh yang ada dalam roman "Burung Burung Manyar" karya Romo Mangun.

Roman ini secara realitas bisa mengungkapkan mengenai banyak hal kehidupan dalam perjalanan dari awal hingga periode ketiga. Banyak hal yang diungkap; mulai kehidupan batin hidup zaman Jepang--termasuk didalamnya keadaan tak menentu zaman Jepang. Kemudian mengungkap juga moralitas kaum pejuang Republik Indonesia, dan yang akan dikupas dalam analisis kali ini berupa kehidupan batin orang yang hidup sebagai gundik orang-orang Jepang.

Gundik

Gundik, banyak yang menyebut sebagai istri tak resmi, perempuan simpanan, atau yang lebih ekstrem istri yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Artinya, perempuan ini hanya sebagai the second women atau istilah yang fenomental sekarang disebut dengan Wanita Idalam lain (WIL) setelah ada istri utama.

Kalau raja-raja Jawa dahulu banyak pula mempunyai gundik perempuan pedesaan. Meski para raja sudah mempunyai istri utama atau pertama, seringkali masih mencari perempuan lain yang dijadikan sebagai perempuan lain dalam melanggengkan kursi kerajaannya. Ada semacam perasaan tabu manakala seorang raja hanya mempunyai satu istri utama. Kenapa? Karena ada pemahaman yang dinamakan 'lanang temenan' kalau sudah bisa mempunyai Turonggo--simbol laki-laki--sudah bisa mencapai tahta dan mempunyai banyak wanita.

Maka untuk kalangan raja-raja jaman dulu sudah bukan hal yang tabu kalau mempunyai perempuan sampai lebih dari tiga. Inilah yang disebut sebagai selir. Sedangkan istri utama banyak yang menyebut sebagai permaisuri yang notabene keturunan dari permaisuri inilah yang akan melanggengkan kerajaannya.

Bahkan cerita-cerita dari India Utara pun dalam tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna mempunyai lebih dari satu istri, mulai dari Wara Srikandhi, Gandawati, Dewi Ulupi, Dyah Manuhara dan Sembodro.

Adanya laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri atau gundik ini karena banyak faktor. Salah satunya karena faktor superior laki-laki dibanding perempuan waktu itu. Karena lemahnya perempuan, rendahnya pendidikan, ketidakberdayaan wanita karena fungsi wanita hanya sebagai pengasuh anak dan berkutat pada apa yang dinamakan sumur, kasur dan dapur.

Bahkan beberapa waktu yang lalu di Sumatra akibat ulah seorang datuk--banyak yang menyebut sebagai Datuk Maringgih--42 perempuan meninggal hanya sebagai tumbal kesaktian ilmu hitam (murder magic). Itu semua merupakan ilustrasi ketidakberdayaan menghadapi superior laki-laki.

Pembangkangan Terselubung

Dalam roman "Burung-burung Manyar" karya Romo Mangun diilustrasikan bagaimana terjepitnya posisi perempuan saat menghadapi para tentara Jepang waktu itu. Bagaimana Romo Mangun menceritakan liciknya perwira-perwira Jepang menawan wanita istri tentara Belanda yang berhasil ditangkap Jepang. Lihat kutipan di bawah ini:

"Suami tante Pauline (dulu) sersan KNIL Totok yang ditawan di Burma. Dan kini tante Pauline menyambung hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante Pauline, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga ... (BBM: 26).

Ilustrasi di atas, kiranya tidak hanya wanita Jawa saja yang mengenal adanya gundik. Seperti halnya tulisan di atas, tante Pauline yang sebelumnya sebagai istri sersan KNIL-Belanda, akibat masuknya Jepang di Indonesia, maka wanita Belanda pun menjadi korban menjadi gundik para perwira Jepang.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan saat itu wanita harus menjalani kehidupannya sebagai gundik. Paling tidak dalam alam kehidupan Burung Burung Manyar. Pertama, seseorang (wanita) ingin hidup layak pada zaman yang sulit, dan demi menyambung hidup. Kemudian yang kedua, karena kesetiaan pada suami atau saudaranya agar tidak dibunuh oleh para perwira Jepang maka dengan keterpaksaan mereka memilih menjadi gundik Jepang. Seperti digambarkan oleh tokoh Marice (ibu Teto).

"Pokoknya mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpetai yang berwewenang atas nasib Papi. Mami boleh pilih: Papi mati atau mami suka menjadi gundiknya. Mami memilih yang terakhir. Dan mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi. Setadewa anaknya harus tahu segala-galanya beserta mengapanya. Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa ... serta maaf ... (BBM: 34).

Dari kutipan di atas tampak pada zaman itu memang nyata ada kehidupan wanita-wanita yang dijadikan gundik Jepang. Seorang wanita sampai menjadi gundik tentara Jepang, secara naluri sebenarnya tidak menginginkan akan perbuatan untuk menjadi gundik. Hanya karena keterpakasaan semua itu dijalani.

Ini sama dengan konsep Jawa yang "Inggih-inggih ora kepanggih" atau pembangkangan terselubung oleh wanita saat menjadi gundik perwira Jepang. Faktor keluarga merupakan hal yang penting untuk diselamatkan meski harus menjadi gundik yang notabene secara emosi nalurinya mengatakan tidak menginginkan. Karena posisi yang lemah dan ditambah ultimatum menjadikan lebih terjepitlah posisi wanita. Meski dalam hatinya--dalam konsep Jawa--mengatakan semua yang dijalaninya untuk menuruti kemauan perwira Belanda itu hanya sekedar ucapan Inggih-inggih ora kepanggih tadi.

Daftar Pustaka

Darma, B. 1982. Moral dalam sastra. Basis 31(2), Februari: 42--70.

--------- 1990. Perihal studi sastra. Basis 39(8): 337--348.

Mangunwijaya, Y.B. 1981. Burung-Burung Manyar. Jakarta: Djambatan.

Rampan, K.L. 1984. Warna dasar novel-novel Indonesia mutakhir. Horison 1.

Sastrowardoyo, S. 1992. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.

Wardhana, V.S.P. 1984. Burung-burung Manyar: Simbol dan bukan simbol. Horison XVIII.

__________________
Lis Sunaryo, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Susilo Mansuruddin, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

[Home]