Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
garuda.gif (3492 bytes) Jaksa Agung Andi Muhammad Galib dalam kunjungannya ke Surabaya Jumat (7 Agt 1998) menyatakan, perkosaan massal yang terjadi 13-14 Mei lalu, terlalu dibesar-besarkan oleh LSM, karena bukti-buktinya sampai sekarang tidak ada.
   

 

kosong.gif (814 bytes)

Benarkah Terjadi Perkosaan Massal?

 

JAKARTA (2 Agustus 1998) -- Pemberitaan media massa nasional dan internasional mengenai perkosaan massal telah menyulut sejumlah aksi demonstrasi di Jakarta, Singapura dan Hongkong, namun belakangan ini ada dugaan bahwa informasi itu merupakan propaganda politik untuk menjatuhkan nama Indonesia. Selain curiga atas adanya ketidakbenaran informasi yang dilansir media massa, beberapa pihak menduga informasi itu bohong dan sengaja disebarkan untuk menjatuhkan dan menjelekkan pemerintah dan masyarakat Indonesia di mata dunia. Bahkan menurut beberapa kalangan, informasi tersebut merupakan bagian dari ''upaya sistematis'' untuk menambah buruk citra Indonesia di luar negeri. Perkosaan massal -- seperti dilaporkan Tim Relawan -- terjadi saat kerusuhan 13-15 Mei lalu. Tim itu menampung pengaduan, lalu melaporkannya ke Komnas HAM. Namun tim itu tidak pernah melaporkan kasus-kasusnya kepada polisi untuk pengusutan lebih lanjut. Tim Relawan mempublikasikan korban perkosaan dan pelecehan seksual yang melapor hingga 3 Juli 1998 sebanyak 168 orang -- 152 di Jakarta dan sekitarnya dan 16 di di Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya. Umumnya, mereka yang melapor adalah wanita keturunan Cina. Menurut juru bicara Tim Relawan, Ita Fatia Nadia, modus operandi perkosaan merupakan peristiwa yang tak bisa dipisahkan dari kerusuhan Mei itu. Tanpa melakukan cek dan recek apalagi penelitian, pers menulis berita itu. Akibat laporan yang dimuat di berbagai media cetak dan elektronik nasional dan internasional, citra bangsa Indonesia yang tengah terpuruk akibat resesi ekonomi, semakin buruk. Apa pun alasannya, informasi kasus perkosaaan mendesak untuk dituntaskan. Pemerintah telah mengutuk terjadinya kerusuhan. Dan sesuai dengan tuntutan masyarakat, telah pula dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) diketuai Wakil Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman. Selain itu, pemerintah juga membentuk komite khusus bagi perlindungan wanita dari segala tindak kekerasan. Komite ini independen dan setingkat dengan Komnas HAM. Setelah tuntutan untuk membentuk tim khusus diwujudkan pemerintah, isu perkosaan massal di masyarakat relatif menurun. Pemberitaan di media massa cetak dan elektronik juga cenderung reda. Sebelumnya, pers tampak bersemangat mengulas masalah itu. Setelah lewat media cetak, penyebaran isu tersebut dilakukan secara terbuka disertai penghujatan kepada Islam melalui internet. Tak heran jika Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam (KISDI) Jumat (31/7) mengadukan majalah Jakarta-Jakarta kepada Menpen, karena di Rubrik Metro-Sex edisi 609 Juli 1998, ada tulisan berjudul Vivian yang secara lugas menuduh umat Islam sebagai dalang perkosaaan. Pengamat sosia, Eddy Noor, berpendapat laporan telah terjadi perkosaan massal sulit dipercaya serta tidak logis. Laporan itu, menurut dia, diungkapkan secara sepihak oleh aktivis-aktivis LSM tanpa disertai keberanian untuk menunjukkan korban dan mengadukannya kepada polisi. Ia menambahkan laporan itu merupakan ''upaya sistematis'' untuk menjelekkan pemerintah dan masyarakat Indonesia sebagai tindakan balas dendam atas kerugian akibat kerusuhan Mei lalu. ''Buktinya laporan itu sebatas laporan dengan mengandalkan pers agar tersebar sehingga citra pemerintah dan bangsa ini menjadi buruk,'' katanya. Mungkin saja ada satu atau dua kasus perkosaan, lalu masalah itu dibesar-besarkan oleh para aktivis LSM, karena memang kesempatan itu terbuka, sebab perkosaan sulit dibuktikan. Pemerintah, kata Eddy Noor, diharapkan tidak terjebak dengan propaganda itu dan pers tak begitu saja terseret informasi tanpa bukti. Sayangnya, pers telah terlibat jauh karena mereka menulis apa saja yang dikatakan para aktivis LSM tentang perkosaan. Ia mendesak pemerintah meminta bukti kepada LSM dan Tim Relawan dari laporan-laporan orang yang mengaku menjadi korban perkosaan, agar kasusnya bisa ditangani. Ketidaklogisan dari laporan itu, menurut dia, terletak pada informasi bahwa perkosaan terjadi di jalanan, di kendaraan, di taksi, atau di ruko. Padahal saat terjadi kerusuhan, suasana panik manusia berhamburan sehingga sulit bagi orang untuk melakukan perzinahan. Secara psikologis, katanya, suasana saat itu kurang mendukung untuk terjadinya pemerkosaan. Eddy menilai upaya sistematis untuk memburukkan citra Indonesia itu tak ubahnya dengan fitnah dan kejahatan kepada negara. Pemerintah harus menuntut bukti dan bila bukti itu tak ada, maka si penyebar isu harus dipidana. Anggota Komisi II DPR Lukman Harun juga mendesak pemerintah meminta bukti dari pihak yang telah mempublikasikan isu perkosaan massal. ''Selama ini yang ada hanya desakan agar pemerintah menyelesaikan kasus itu, sedangkan buktinya mana? Tampaknya kasus itu hanya dipolitisir oleh pihak tertentu agar Indonesia sebagai bangsa barbar,'' katanya. Lukman mendesak pemerintah agar tidak begitu saja menerima laporan tertulis tentang kasus itu, karena ada kemungkinan hal tersebut hanya untuk menjebak dan mempermalukan pemerintah. Sampai awal Agustus ini, belum ada laporan kasus perkosaan kepada polisi, sehingga penyelesaiannya secara hukum terhambat. ''Ini jelas propaganda politik untuk menjatuhkan pemerintah dan masyarakat,'' kata Lukman Harun. Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri juga meragukan data itu. Tim Relawan menurutnya memang terus bekerja, tetapi korbannya tidak dilaporkan kepada polisi. Dalam pandangan Megawati, kepolisian mendapatkan informasi melalui pihak kedua, Tim Relawan. ''Teman saya seorang polisi telah mengecek ke alamat korban dan menemukan orang yang dilaporkan telah diperkosa, ternyata tenang-tenang saja.'' Kenyataan itu menurut Megawati menimbulkan keraguan. ''Ah, masa iya telah diperkosa. Kok dia tenang-tenang saja,'' kata Mega pada dialog nasional ''Hati Nurani Korban Perkosaan'' beberapa hari lalu. Memang ada kesulitan dalam mengusut kasus perkosaan, apalagi yang sifatnya massal, karena budaya masyarakat yang belum terbuka dan jaminan kepastian hukum terhadap korban perkosaan. Semua pihak sedang menanti kejelasan mengenai isu perkosaan massal itu. Jika kasus itu benar terjadi, semua pihak menuntut agar hal tersebut ditangani secara hukum. Tetapi jika isu itu tak terbukti, para oknum yang telah bertindak buruk kepada bangsa dan negaralah yang harus ditindak tegas.  Sri Muryono/Antara

barstart.gif (370 bytes)