Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
undefined
undefined

*) SOSOK YESUS DI MATA SANTRI

JAWA: SELAYANG PANDANG

MENGENAL KITAB KUNING

Oleh: Bambang Noorsena

 

 *) Dikutip dari buku "Menyongsong Ratu Adil" Andi Offset th.2003

 

 

          Kitab kuning adalah sebutan untuk kitab-kitab Islam klasik (kutub al-qadimah) yang lazim digunakan sebagai buku-buku teks di pesantren. Disebut demikian karena biasanya kitab-kitab itu ditulis di atas kertas kuning berkualitas murah. Pada dasarnya apa yang dipelajari di pesantren adalah mengupas dan mendalami isi al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Dengan mendalami al-Qur’an mengenai dasar-dasar keyakinan Islam, lahirlah ushuluddin atau teologi Islam. Kitab-kitab teks yang biasanya digunakan dalam bidang ini, misalnya Jawahir al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Baqani dan Sullamut Taufiq, karya Syeikh Nawawi al-Bantani. Kitab-kitab Tafsir al-Qur’an yang lazim dipakai secara luas adalah tafsir Jalalain, tafsir Munir dan tafsir Ibnu Katsir, sedangkan kitab-kitab yang menyangkut ilmu-ilmu Hadits, antara lain: Arba’in an-Nawawiyah, Shahih Bukhari, Bulugh al-Maram dan sebagainya.

          Dari ayat-ayat al-Qur’an mengenai hukum lahiriah ilmu fiqh dengan berbagai madzabnya. Karena di Indonesia madzab Syafi'’ yang banyak dianut, maka kitab-kitab fiqh yang diajarkan bercorak syafi’iyyah. Untuk menyebut beberapa saja diantara kitab-kitab itu, misalnya: Fath al-Qarib al-Mujib, Kifayat al-Ahyar dan Safinatun Najah. Ilmu Tasawuf juga tak kalah penting, karena melalui kajian ini seorang Muslim mendapat petunjuk untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Kitab-kitab yang lazim dipakai, misalnya al-Dalail yang berisi wirid-wirid, Riyadh ash-Shalihin, al-Insan al-Kamil, dan masih banyak lagi.[1] Selain bidang-bidang penting di atas, tentu saja pengenalan bahasa Arab menjadi syarat awal bagi kajian lebih lanjut. Dalam pada itulah, timbul ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi’, dan salah satu kitab yang lazim di bidang ini adalah Matan Jurumiyah yang cukup terkenal itu.[2]

          Pada Bab III buku ini sudah dikedepankan citra Yesus dalam kepustakaan Jawa, terutama menunjuk kepada literatur-literatur Kejawen. Dengan mengangkat literatur pesantren, Bab ini kiranya dapat melengkapi pandangan dari “salah satu varian Islam Jawa” (menurut istilah Mark R.Woodward),[3] --atau  “kaum Jawa sub-kultur santri” (menurut analisis kultural Clifford Geertz).[4] Bagaimana sosok Yesus, atau yang lebih dikenal dengan al-Masih ‘Isa bin Maryam itu, ditampilkan dalam kitab-kitab kuning tersebut? Secara ringkas, pandangan pesantren mengenai Yesus dan Kekristenan dapat disebut bersifat dialectical relationship. Maksudnya, di satu pihak ‘Isa digambarkan sebagai tokoh yang mulia, sangat dekat dengan Allah, bahkan tradisi Islam memberikan beberapa gelar dan peranan yang tidak diberikan kepada nabi-nabi lain, termasuk Nabi Muhammad sendiri. Misalnya, peranan ‘Isa pada akhir zaman sebagai Hakim yang Adil yang mengalahkan al-Masih ad-Dajjal (Anti-Christ).

          Tetapi pada pihak lain, karena latarbelakang perjumpaan teologis tertentu pada masa lalu kedua agama semitik ini, tampaknya ‘Isa berusaha keras untuk dipisahkan dengan Kekristenan. Mengapa? Karena Kekristenan dianggap telah menyelewengkan ajaran ‘Isa yang sebenarnya, dan Injil yang beredar sekarang dituduhnya sudah tidak asli lagi.[5] Tetapi terlepas dari warisan teologis masa lalu itu, melacak sosok historis ‘Isa dan peranannya dalam kesalehan normatif Muslim, lebih menarik ketimbang mengembangkan sebuah apologi Kristiani menjawab kesalahpahaman Islam. Bahkan masalah yang disebut terakhir ini, di kalangan tertentu sudah banyak bergeser, seiring dengan kemajuan dialog antariman akhir-akhir ini.

 

Kristologi “Kalimat Allah”di dalam al-Qur’an dan Citra ‘Isa al-Masih

 

                Apabila kita menelusuri perdebatan klasik Kristen-Islam mengenai sosok Yesus, patut dicatat di sini bahwa baik penekanan akan kelilahian-Nya dalam Iman Kristen, maupun penolakan atas klaim Kristen tersebut, keduanya didasarkan pada gelar yang sama yang diakui kedua agama. Dalam hal ini, gelar ‘Isa sebagai Kalimat Allah (Firman Allah) yang,--terlepas bagaimana penafsiran kedua pihak,--dikaitkan erat dengan Roh Allah, baik dalam kelahiran maupun dalam karya Yesus.[6]

          Di bawah ini akan dicontohkan ayat al-Qur’an yang memuat penegasan kedudukan Yesus sebagai Firman Allah dan Roh Allah, dan bagaimana interpretasikan dalam beberapa tafsir al-Qur’an:

 

v      Al-Qur’an, s.Ali Imran/3:39

 

Anna llaha yubasyiruki bi yahya mushadiqan bi kalimatin min Allah…Artinya: Sesungguhnya Allah akan memberi kabar gembira kepadamu (wahai Zakaria) dengan seorang anak yaitu Yahya yang akan membenarkan Firman dari Allah.”

 

          Mengenai ayat di atas, Tafsir Jalalain menafsirkan makna ayat bi-kalimatin min Allah (dengan Firman dari Allah) sebagai :

“…bi kalimatin (kelawan Kalimat), ka’inatin min Allah (kang mujud saking Allah), ay bi ‘Isa (tegese kelawan Nabi Isa) annahu Ruhullah (satuhune Nabi ‘Isa iku Roh Allah), wa summi kalimatan (lan den arani kalimat) liannahu khuliqa bi kalimati kun (karana Nabi ‘Isa iku den dadekaken) bi kalimati kun (karana kalimat Kun).[7]

Terjemahan:

“…dengan Firman yang berwujud dari Allah, maksudnya yaitu Nabi ‘Isa, sesungguhnya Ia adalah Roh Allah, dan disebut Firman karena Nabi ‘Isa diciptakan dengan firman: Jadilah!”.

 

          Ketika menjelaskan ungkapan dalam ayat: mushadiqan bi Kalimatin min Allah (membenarkan Firman dari Allah), Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, mengutip riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang berbunyi:

Qala kana Yahya wa ‘Isa abnaya khalat, wa kaanat ummu Yahya taquulu li Maryam, “Anni ajud alladzi fii bathni yasjudu li alladzi fii bathniki”. Fadzalika tasdiiqi lahi fii bathni umihi, wa huwa awwali min shaddaqa ‘Isa wa kalimati llahi ‘Isa.[8]

 

Terjemahan:

Kata Ibnu ‘Abbas r.a.: Yahya dan ‘Isa adalah saudara sepupu dari pihak ibu, dan ibu Yahya pernah berkata kepada Maryam: “Aku mendapati bahwa bayi yang ada dalam perutku bersujud kepada bayi yang ada di perutmu”. Yahya sudah membenarkan ‘Isa sejak dalam kandungan ibunya, dan dialah orang yang paling awal menyaksikan kebenaran ‘Isa, yaitu ‘Isa sebagai Firman Allah.

 

          Ibnu Katsir juga mengutip riwayat Qatadah, bahwa putra Zakaria itu dinamakan Yahya: “disebabkan Allah menghidupkan dia dengan iman” (lianna llahu ahyahu bi al-iman). Selain Qatadah, dikutip pula riwayat dari Ikrimah, Mujahid, al-Sudi, al-Rabi’ bin Anas, yang menjelaskan ciri-ciri anak yang akan dilahirkan tersebut: “Dia adalah orang yang pertama membenarkan ‘Isa anak Maryam” (huwa awwalu man shaddiqan bi ‘Isa ibnu Maryam).[9] Membaca sekilas tafsiran di atas, kita diingatkan dengan peranan Yahya Pembaptis sebagai seorang bentara al-Masih dalam Injil yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan-Nya (Yohanes 1:29; 3:38).[10] Sedangkan ucapan Ashba (Elizabet) kepada Siti Maryam, secara harfiah dijumpai hampir sama dengan catatan Injil Lukas 1:39-45.

 

v      Al-Qur’an,s.Ali Imran/3:45

 

Idz qalati al-Mala ‘ikatu Ya Maryam, Inna llaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu asmuhu al-Masih ‘Isa bnu Maryam wajihan fi al-dunya wa al-akhirat wa min al-muqqarabin.

Artinya: “Ingatlah ketika Malaikat berkata: Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kabar gembira kepadamu dengan Firman dari Dia, namanya al-Masih ‘Isa putra Maryam, yang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan salah seorang dari mereka yang didekatkan di sisi Allah”.

 

          Tafsir Jalalain menafsirkan kata-kata: Innallaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu, “satuhune iku bungahe Allah ing sira, kelawan kalimat saking anak, (ay waladin) tegese iku anak” (Sesungguhnya itu kabar gembira dari Allah kepadamu, dengan Firman mengenai seorang anak, yaitu kelahiran seorang anak).[11] Sedangkan penyebutan Yesus yang selalu dihubungkan dengan nama ibunya, untuk menekankan kelahiran insani-Nya dari perawan Maryam tanpa seorang bapa. Itulah “kristologi Qur’an yang menolak klaim Kristen mengenai kelahiran kekal Firman Allah dari Dzat-Nya. Dengan demikian ‘Isa bnu Maryam itu disebut namanya:

“… bi nisbatihi (kelawan nisbate iku) ilaiha (maring Maryam) tanbina ‘ala (karana ngelingaken satuhune Maryam) annaha taliduku (iku manake Maryam ing anak) bi laa ab (kelawan ora nana bapa)”.[12]

 

Terjemahan:

“… dengan menghubungkannya kepada Maryam, karena untuk memperingatkan bahwa sesungguhnya Siti Maryam itu melahirkan anaknya (‘Isa) tanpa melalui perantaraan seorang ayah.”

 

          Jadi, meskipun kristologi gereja yang menekankan bahwa Yesus adalah Firman Allah terdengar menggema dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas, tetapi Islam tidak turut serta merta memindahkan makna teologisnya sebagaimana yang dipahami iman Kristen. Ungkapan “bi kalimatin minhu” (dengan Firman dari-Nya), dalam sejumlah tafsir al-Qur’an tidak dipahami sebagai Firman kekal yang bersifat ghayr al-makhluq (bukan ciptaan), melainkan sebagai kalam takwiniyyah (kata penciptaan kun, “Jadilah”). Meskipun demikian, berbeda dengan makhluk lainnya, ‘Isa diciptakan melalui Firman Allah secara langsung seperti Allah juga menciptakan Adam.

          Meskipun teologi Islam tidak ragu-ragu menolak keilahian Yesus, tetapi pada abad-abad kemudian gema dari perdebatan gereja mengenai kekal atau tidaknya Firman Allah itu dipentaskan kembali, dan diterapkan untuk memahami al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Karena penekanan bahwa makhluk atau tidaknya Kalam Allah tersebut, maka selanjutnya teologi Islam lebih dikenal sebagai Ilmu Kalam, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad ‘Abduh:

 

Wa qad yusama ‘ilm al-kalami, anna lianna asyhara mas’alatin wa qa’a fiha al-khilaafu baina ‘ulama’I al-quruni al-ula, hiya ‘anna kalam allah almatluwwa haditsu aw qadiim. Artinya: “Kadang-kadang disebut ilmu Kalam karena masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama Islam pada abad-abad pertama Hijrah, yaitu mengenai apakah Kalam Allah yang dibaca itu baru ataukah qadim (kekal).[13]

 

          Ibnu Jahm, salah seorang tokoh Mu’tazilah mengejek para pengikut Iman al-Asy’ari yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, dengan kata-kata yang cukup menarik dibandingkan dengan pergumulan teologis Gereja ketika menghadapi kaum Arianisme:

Saya menemukan sebuah ayat dalam Firman Allah untuk membuktikan bahwa al-Qur’an itu diciptakan. Demikianlah Firman Allah: “Al-Masih ‘Isa Putra Maryam itu Rasul Allah dan Firman-Nya”. Nah, kalau ‘Isa disebut Firman Allah dan kita mengatakan bahwa ia itu diciptakan, mengapa pada saat yang sama kita tidak mengatakan bahwa al-Qur’an itu juga ciptaan?[14]

 

          Selanjutnya dalam rangka menghadapi Mu’tazilah tersebut, al-Asy’ari mengenalkan dalil bahwa “Sifat-sifat Allah itu tidak sama dengan Dzat tetapi juga tidak berbeda dengan Dzat-Nya” (ash Shifat laysa al-Dzat wa laa hiya ghairuha). Kalau kita cermati, sebenarnya dalil ini sangat dekat dengan kristologi gereja mengenai kekekalan Firman Allah, yang dalam iman Kristen wujud temporal-Nya dikenal dalam kemanusiaan ‘Isa al-Masih, sedangkan dalam Islam nuzul menjadi al-Qur’an.

          Karena itu, apabila iman Kristen menekankan kodrat ganda Yesus yang serentak pula: kammala bi al-Lahut wa kammala bi an-nasut (sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya insani), begitu juga Islam mengenal al-Qur’an sebagai kalam nafsi (kalam yang kekal) sekaligus kalam lafzi (kalam temporal). Merujuk paralel yang begitu dekat itu, Sayyed Husein Nasr dalam Ideals ad Realities of Islam,[15] menyejajarkan posisi Yesus dalam Iman Kristen dengan al-Qur’an, dan posisi Nabi Muhammad sebagai penerima Firman Allah dengan Sayidatina Maryam yang juga menjadi mediator kelahiran Firman Allah yang menjadi manusia.

 

Kedudukan ‘Isa: wajihan fii al-dunya wa

al-akhirah wa min al-muqarrabin

 

 

          Selanjutnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna “wajihan fii al-dunya wa al-akhirah” (yang terkemuka di dunia dan di akhirat), bahwa ‘Isa adalah seorang yang terkemuka dan berkedudukan di dunia karena Allah mewahyukan kepadanya aturan-aturan agama, dan di akhirat karena Allah memperkenan kepadanya memberikan syafaat di sisi Allah atas orang-orang dengan seijin-Nya (wa fii dar al-akhirati yusyafa’I ‘indallah fii man bi-idzini lahi fihi).[16] Penjelasan yang sama dapat dijumpai pula dalam tafsir Jalalain: “… fi al-dunya bi al-nubuwwati, wa al-akhirat bi-syafa’ati wa al-darajat al-ula: tegese kagungan ing alam dunya klawan kenabian, lan ing alam akhirat klawan syafaat dan pira-pira derajat kang luhur”.[17] Maksudnya, ‘Isa al-Masih terkemuka di dunia karena ia dikarunia kenabian, dan di akhirat dengan syafaat dan derajat yang tinggi.

          Selanjutnya, makna wa min al-muqarrabin (dan termasuk dari yang didekatkan), dalam tafsir Jalalain dibubuhkan keterangan: ‘indallah(di sisi Allah). Jadi, ‘Isa termasuk seorang diantara yang didekatkan di sisi Allah. Sedangkan 2 tafsir lainnya, yaitu Marah Labid Tafsir al-Nawawi dan Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas, menjelaskan bahwa ‘Isa berada di surga ‘Aden. “Wa min al-Muqarrabin” (dan termasuk yang didekatkan)”, demikian Tafsir Ibnu ‘Abbas, “ila llah fii janat ‘and” (kepada Allah di surga ‘Aden).[18]

          Sedangkan dalam tafsir Munir kita membaca keterangan bahwa ‘Isa didekatkan: ‘ila ‘isa sirafa ‘ila as-sama’ wa tashahabal al-mala’ikah (kepada Allah di surga ‘aden, dan hal itu menunjukkan seperti nubuatan yang terjadi atas ‘Isa yang diangkat ke langit dan bersahabat dengan para malaikat).[19] Dalam al-Qur’an selain dalam kata al-Muqarrabun dihubungkan dengan malaikat terdekat Allah (Q.s. an-Nisa’/4:172, “al-al-malaikat al-muqarrabun”), dalam satu ayat dihubungkan kitab catatan orang-orang yang berbakti, yang disebut ‘illiyyin.20 Wa maa adzra ‘aka maa ‘iliyyun? Kitabun marqum, yasyhaduhu al-muqarrabun. Artinya:”Tahukah kamu apakah illiyin itu? Itulah kitab tertulis, yang disaksikan oleh al-muqarrabun (Q.s. al-Muthaffifin/83:18-21). Syeikh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan : ay yasyhadu al-mala’ikat al-muqarrabun (yaitu disaksikan oleh malaikat-malaikat yang terdekat dengan Allah).21 Tetapi yang menarik, karena al-Muqarrabin dalam al-Qur’an juga dikaitkan dengan ‘Isa (Q.s. ali-Imran/3:45), maka Imam al-Ghazali juga menghubungkan Yesus dengan penyaksian amal kebaikan itu di kerajaan langit. Al-Ghazali menulis dalam kitabnya Bidayat al-Hidayah, yang akan kita kutip sebagai berikut:

 

Faa man ‘alima (maka sapane wong kang weruh) dzalika (wong iku ing mangkono-mangkono) wa ‘amila bihi (wong kelawan ilmu) tsumma ‘allamahu (maka nuli mulanga wong) wa da’a ilaihi (lan ngajak-ajak wong maring ilmu) fadzlika (maka utawi mangkono-mangkono) yud’u ‘adziman (wong iku diarani wong ing agung) fi malakut as-samawat (ing dalem kraton pira-pira langit) bi syahadati ‘Isa ‘alaihi assalam (kalawan disekseni Nabi ‘Isa ‘alaihi salam).22

 

Terjemahan:

Sebab bagi siapapun yang mengetahui ilmu tersebut dan mengamalkannya, mengajarkannya dan mendakwahkannya kepada orang lain, maka ia disebut orang yang mulia di kerajaan langit dengan disaksikan oleh Nabi '’Isa alaihi salam.

 

          Kitab yang dimaksud oleh al-Ghazali di atas adalah Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan ilmu-ilmu Agama), yang memuat berbagai-bagai bidang dan sudah diterbitkan ribuan kali. Lebih-lebih, di kalangan kamu Suni peranan al-Ghazali sangat dominan, sehingga kitab-kitabnya menjadi acuan hampir di seluruh pesantren di Indonesia. Ungkapan yang disebut dalam kitab Bidayat al-Hidayah yang kita kutip di atas, ternyata termaktub juga dalam Kitab Ilya’ Ulumuddin yang diredaksikan sebagai sabda Kanjeng Nabi ‘Isa sendiri:

 

Wa qala ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam (Lan dhawuhe sapa ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam).23 Man(utawi sapa wonga) ‘alima wa ‘amala (lamun iku pinter lan nglakoni ilmu) wa ‘amala (lan mulangna) faa dzalika yud’u ‘adziman (mangka iku bakal disebut wong kang mulya) fii al-malakut as-samawat (ing alam malakut ana ing langit).24

 

Terjemahan:

Bersabda ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam: “Barangsiapa yang menguasai ilmu dan melaksanakannya, lalu mengajarkan kepada orang lain ilmu itu, maka orang itu akan disebut sebagai seorang yang mulia di alam malakut yang ada di langit.

 

 

 

 

Kesucian Yesus dan Peranannya sebagai

Teladan Kesalehan Muslim

 

          Secara teologis, dengan memisahkan Yesus dari agama Kristen, Islam dapat mengembangkan pandangannya sendiri secara khas, khususnya secara etis dengan mengambil sosok ‘Isa sebagai salah satu teladan kesalehan Muslim. Lebih-lebih dari perspektif sufi, yang bersamaan dengan penegasan bahwa Muhammad adalah “puncak kenabian”, tanpa keberatan apapun ‘Isa digelari “puncak kesucian”. Dalam konteks inilah, kita membaca narasi-narasi mengenai ‘Isa dalam literatur pesantren, yang dalam beberapa hal juga menggemakan kembali kisah-kisah dalam Injil.

 

v      Al-Maidah: Mukjizat al-Masih Menurunkan Hidangan dari Langit

 

Salah satu contoh, sebuah kisah mengenai mu’jizat ‘Isa mendatangkan makanan dari sorga. Memang, dasar kisah ini juga dijumpai dalam al-Qur’an, bahkan surah kelima dinamakan dengan al-Maidah (Hidangan). Latar belakang injil dari kisah ini adalah Perjamuan Malam, yang juga menjadi sentralitas iman Kristen dan mendasari perayaan ekaristi (Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:15-20). Dalam Islam kisah ini diambil, tetapi makna sakramentalnya yang berpusat pada pengorbanan ‘Isa al-Masih, sudah barang tentu tidak turut diambil alih.

Dalam kitab Duratun Nashihin, karya ‘Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir, memuat pengembangan kisah yang dimuat dalam Q.s. al-Maidah/5:111-115. Dikisahkan bahwa memenuhi permintaan kaumnya, ‘Isa berdoa kepada Allah dan hidangan itu memang benar-benar turun dari langit. Lalu ‘Isa berdoa, sementara hidangan berwarna merah itu turun diantara awan-awan: Allahuma aj’alhun minasy syakirin. Allahuma aj’alha rahmatan lil ‘alamin, wa laa taj/alha matslatan wa ‘uqubatan. Artinya: “Ya Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang pandai bersyukur. Ya Allah, jadikanlah hidangan itu sebagai rahmat untuk semesta alam, dan jangan jadikan sebagai bencana dan siksaan”.25

          Setelah mengambil air wudhu untuk sembahyang, sambil menangis Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Siapa diantara kamu yang baik amalnya, silahkan tegak membuka hidangan itu, dengan menyebut nama Allah dan memakannya”. Tetapi Simon (Syam’un), salah seorang tokoh dari kaum Hawariyin itu, mengatakan kepada Yesus: “Engkau yang utama membukanya”. Maka ‘Isa pun berdiri untuk sembahyang, ia menangis sambil membentangkan sapu tangan dan membaca kalimat: Bismillahi khair ar-raziqin (Dengan Nama Allah Pemberi rezeki yang paling baik).26 Kisah ini kemudian disambung dengan mu’zijat penggandaan makanan yang dinikmati oleh orang-orang miskin secara merata sampai 40 hari lamanya.

          Membaca contoh kisah tersebut, kita diingatkan dengan beberapa penggalan kisah dalam Injil dan disatukan. Doa yang berlatarbelakang liturgi Seder Yahudi mengenai pembebasan dari Mesir, dan oleh Yesus dianggap telah digenapi dalam pengurbanan-Nya sendiri, di sini menjadi sekedar doa ucapan syukur kepada Allah sebagai sebaik-baik pemberi rezeki. Sedangkan pengakuan Petrus bahwa ‘Isa adalah al-Masih, Putra Allah yang hidup (Matius 16:16), yang dalam Injil terjadi dalam konteks lain dimasukkan dalam mukjizat al-Maidah tersebut. Dalam kasus ini, dapat disimpulkan bahwa kisah-kisah Yesus ini, sekalipun menggemakan kisah-kisah dalam Injil, tetapi dengan melakukan reinterprestasi khas Islami pandangan teologis Kristen itu tidak membebani lagi untuk mengangkat sosok Yesus secara bebas dan kreatif dalam rangka kesalehan Muslim sendiri.

          Sebagai catatan akhir, sang pengarang menutup kisah di atas dengan penekanan moralitas Islam yang berbunyi sebagai berikut:

 

Ya ayyuhal ikhwan (He para sedulur) sa’ala qauma ‘Isa min ‘Isa ‘alaihissalam thamaman (nyuwun sapa kaume Nabi ‘Isa saking Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ing panganan) faa sa’aluu ‘aqiiba shaumukun (mangka padha nyu-wuna sira kabeh ing dalam sakwuse pasanira kabeh) rahmatullah wa maghfiratuhu (ing rahmat Allah lan pangapurane Allah).27

 

Terjemahan:

“Wahai saudara-saudara, kaum Nabi ‘Isa minta kepada Nabi ‘Isa alaihissalam sekedar makanan, tetapi mintalah kalian semua, yaitu pada penghujung puasa kalian semua rahmat Allah dan pengampunan dari Allah).

 

v      Sabda-sabda Yesus dalam Kitab Kuning

 

Sejumlah amsal yang dihubungkan dengan ‘Isa al-Masih juga bertebaran di sejumlah kitab kuning, yang sebagian menggemakan ayat-ayat Injil. Misalnya, dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali menulis bahwa Yesus melarang seorang meletakkan ilmu hikmat kepada yang bukan ahlinya. Sebaliknya, kita tidak boleh menghalangi seorang yang memang berkompeten untuk hal itu untuk mengajarkannya. Pada akhir sabda Yesus tersebut, kita membaca ungkapan yang mirip sabda Yesus tersebut, kita membaca ungkapan yang mirip dengan Matius 9:12; Markus 15:38 dan Lukas 5:31. Sabda Yesus itu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin berbunyi sebagai berikut:

 

Kalthabibi (kaya dokter) al-rrafiqi (kang tumindak alus) yadda’u al-ddawa’a (nyelehake sapa tabib ing tamba) fi mudhi’I al-dda’I (ing dalem panggonane penyakit)28

 

Terjemahan:

Hendaklah kamu bertindak seperti seorang tabib yang penuh kehalusan (kasih sayang) meletakkan obat pada tempat yang sakit.

 

          Demikian pula dalam kitab Bidayat al-Hidayah Imam al-Ghazali juga mencatat sabda Yesus yang sekilas membayangkan pergumulan-Nya saat kematian pada waktu mengadakan perjamuan malam dan di taman Getsemani:

 

Allahuma (Huwa Allah) la tusymitni aduwwi (ampun ngantos bungahaken Tuwan sebab kula ing musuh kula), wa la tasu’ni fi shadiqi (lan ampun nyusahken Tuwan sebab kula ing kanca kula) wa la taj’al musibati fi dini (lan ampun ndadosken Tuwan ing musibah kula ing dalem agama kula).29

 

Terjemahan:

Ya Allah, janganlah Engkau membiarkan musuhku bergembira melihat penderitaanku, dan jangan pula Engkau membiarkan temanku bersedih melihat penderitaanku. Janganlah Engkau menimpakan musibah kepada iman atau agamaku.

 

          Ungkapan pertama kiranya khas seperti doa-doa dalam Mazmur (Mazmur 25:2-3;Lukas 23:33-42). Sedangkan doa berikutnya yang menyebut identitas agama, agaknya merupakan formulasi Islam atas doa Yesus yang mengutip Mazmur: Eloi, eloi lamma sabakhtani. Ya Ilahi, ya Ilahi, Mengapa Engkau meninggalkan aku (Mazmur 22:2;Markus 15:34). Tetapi kemiripan-kemiripan itu sama sekali tidak terlalu berarti secara teologis, karena pada dasarnya Islam menyangkal jalan salib Yesus. Karena itu, doa-doa semacam ini dipindahkan sebagai sebuah ungkapan pergumulan manusiawi secara umum, tidak harus merujuk kepada penyaliban.

          Selanjutnya, dalam Ihya ‘Ulumuddin kita juga membaca ungkapan Yesus, yang sepintas membayangkan kisah simbolis Injil mengenai pohon ara yang tidak berbuah (Matius 21:18-22) sebagai berikut:

 

Qala ‘Isa ‘alaihi salam: Maa aktsaran al-syajara wa laisa kulluha bimutsrin, wa maa atsaran al-tsamara wa laisa kulluha bithaybin, wa maa atsaran al-muluma wa laisa kulluha nafi’

 

Terjemahan:

Sabda ‘Isa alaihissalam: “Alangkah banyaknya pohon dan tidak semua berbuah, alangkah banyaknya buah-buahan dan tidak semua boleh dimakan, dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan dan tidak semua berguna.30

 

          Masih banyak kisah-kisah kesalehan Muslim dalam Ihya ‘Ulumuddin yang secara tidak langsung menggemakan kembali kisah-kisah Injil mengenai pelayanan Yesus. Misalnya, al-Ghazali mengisahkan mukjizat Yesus menyembuhkan penyakit kusta. Dikisahkan bahwa ‘Isa alaihissalam melihat seorang penderita kusta berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan saya dari banyak hal yang telah menimpa orang lain”. “Engkau bebas dari kesengsaraan apa?”,tanya ‘Isa kepadanya. “Roh Allah”,jawab penderita kusta itu, “Saya lebih beruntung ketimbang mereka yang tidak mengenal Allah”. “Engkau berkata benar”,kata ‘Isa lagi, “ulurkanlah tanganmu”. Orang itu mengulurkan tangannya dan seketika sembuh atas rahmat Allah.31

          Dalam rangka teladan kehidupan zuhud, khususnya di kalangan kaum sufi, sosok Yesus mengambil peranan cukup penting, ketimbang yang terbaca dalam tulisan polemik akhir-akhir ini, yang sering menutup-nutupi keagungan Yesus hanya karena khawatir akan dijadikan dalil untuk mendukung Kekristenan. Dalam al-Qur’an sendiri, ‘Isa dan ibunya Maryam memang terlindung dari jamahan setan (s.Ali Imran/3:36). Dalam penjelasannya atas ayat ini, Tafsir Jalalain mengutip Hadits Riwayat Syaukan: Ma min mauludi yuladu ila massahu asy-syaithan haina yuladu fayastahilla sharikhan ila maryam wa ibnaha. “Tidak ada seorang pun yang ketika lahirnya tidak disentuh oleh setan sehingga bayi itu menangis, kecuali Maryam dan anaknya”.32 Ide ini sebenarnya mengingatkan sifat imaculata (cf.Liturgi Kristen Arab: bi-ghayr al-fasad wulidtu Kalimat Allah,”ketidakbernodaan Maryam ketika melahirkan Firman Allah”),supaya Yesus yang secara fisik disebut “buah rahim” Maryam (Lukas 1:42) benar-benar terjaga kesucian-Nya.

 

 

Sindroma Salib dan Sekitar Kematian

‘Isa al-Masih dalam al-Qur’an

 

          Gambaran al-Qur’an dan kitab-kitab kuning mengenai keagungan ‘Isa sebagaimana yang dikemukakan di atas, pada akhirnya toh harus dibedakan dengan iman Kristen yang dianggap telah menyimpangkannya. Salah satu masalah yang menjadi perdebatan klasik Islam-Kristen adalah masalah akhir kehidupan ‘Isa, khususnya mengenai kematian-Nya di kayu salib. Padahal, seperti diakui oleh komentator tertua al-Qur’an, Ibn Jarir ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fii Tafsir al-Qur’an, berbagai penafsiran itu tidak pernah memuaskan. Bahkan banyak penafsir Islam yang keberatan dengan teori penggantian itu berdasarkan prinsip keadilan Ilahi.33

          Misalnya, teori penggantian di kayu salib oleh orang lain (Simon dari Kirene, Yudas Iskariot) yang didasarkan atas surah an-Nisa’/4:157-158, tidak selalu memuaskan para penafsir Islam sendiri, karena secara gramatikal tidak cocok dengan maksud tersebut. Pertama, kalau seorang menggantikan Yesus mestinya digunakan kata ganti diri ketiga tunggal. Jadi, lakin syubiha lahu (melainkan yang disamarkan bagi dia) dan bukan lakin syubiha lahum (melainkan yang disamarkan bagi mereka). Kedua, ayat ini tidak menggunakan bentuk fi’il mar’ruf dengan subyek penjelas, melainkan bentuk fi’il majhul yang tidak menjelaskan siapa penggantinya.34 Munculnya teori penafsiran baru di kalangan sekte Ahmadiyyah, yang mengemukakan bahwa Yesus mati secara wajar dan kuburan-Nya ditemukan di India,35 karena ketidakjelasan berita al-Qur’an sendiri mengenai akhir kehidupan ‘Isa al-Masih.

          Sebab selain ayat-ayat al-Qur’an menegaskan kenaikan ‘Isa ke langit, pemberitaan mengenai kematian riil-Nya juga tidak kurang tegas. Teori penggantian yang lebih populer diajarkan dalam kitab-kitab kuning dan dianut kebanyakan umat Islam, juga mendapatkan ganjalan dari ayat-ayat yang menegaskan kematian-Nya. Karena itu, ungkapan “mutawaffika” (mewafatkan engkau) dalam surah Ali Imran/3:55, dalam sepanjang sejarah tafsir diartikan secara berbeda-beda. Ada yang mengambil makna “menidurkan”,”memegang dan menyempurnakan”, yaitu terkait dengan pengangkatan ‘Isa tanpa mengalami kematian di kayu salib sesuai dengan surah an-Nisa’/4:157-158.

          Sementara itu para penafsir lain mengatakan bahwa ungkapan tawaffa adalah penghalus dari kata “mati”. Jadi mutawaffika maksudnya mumituka (mematikan engkau). Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I, mengutip pendapat-pendapat ‘Ulama terdahulu yang menganut paham bahwa ‘Isa sudah mati, antara lain pendapat Qatadah:

 

Inni rafi’uka ‘illaya wa mutawaffika, ya’ni ba’da dzalika.36

Artinya: “Aku akan mengangkat engkau lebih dahulu kepada-Ku dan kemudian Aku mewafatkan engkau sesudah itu.”

 

          Makna ini diterima juga oleh Ibnu Abbas r.a menurut riwayat Ali bin Abi Thalhah, tanpa menjelaskan kapan matinya: Inni mutawaffika ay mumituka.”Aku mewafatkan engkau, yaitu mematikanmu”. Juga, Wahb bin Manabbih menurut riwayat Ibnu Ishaq, mengatakan: tawaffihi llahi tsalatsa sa’at min awwal al-nahaar haina rafa’ihi ilaih. “Allah mematikan dia selama tiga hari, kemudian dihidupkannya kembali dan kemudian diangkatnya ke sisi-Nya”.37

          Dari riwayat-riwayat tersebut, dibuktikan bahwa pada waktu dahulu masalah yang dihadapi umat Islam sebenarnya bukan pada penyangkalan akan kematian ‘Isa sendiri, baik yang dipercayai akan terjadi pada akhir zaman, maupun banyak riwayat lain yang justru membuktikan bahwa kematian itu telah terjadi, tetapi Allah menghidupkan kembali dan kemudian mengangkat ‘Isa ke sisi-Nya. Hal ini sesuai dengan kata qabla mautihi (“sebelum kematian-Nya”) dalam surah an-Nisa’/4:159 yang menegaskan kematian ‘Isa al-Masih. Para penafsir al-Qur’an biasanya mengartikan kematian ‘Isa al-Masih itu terjadi pada hari kiamat. Dengan demikian tafsiran ini disesuaikan dengan eskatologis hadits yang menantikan kedatangan kembali ‘Isa pada akhir zaman untuk mengalahkan Dajjal, dan kematian itu terjadi setelah ‘Isa menyelesaikan tugasnya sebagai Hakim yang adil.

          Jadi, ‘Isa belum mati pada masa dahulu, tetapi akan dimatikan Allah pada hari kiamat. Tetapi kata yang mendahului ayat di atas: layu’minuna bihi (sungguh-sungguh beriman kepada ‘Isa) di sini secara gramatika bukan menunjuk masa depan (istiqbal, future tense) melainkan menggunakan kata kerja masa kini (mudhari’) meskipun kejadiannya pada masa lalu. Dengan demikian, berimannya kaum ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam ayat tersebut terjadi pada masa hidup ‘Isa bukan pada akhir zaman nanti.38 Dari uraian sekilas tersebut, persoalan sebenarnya pada sindroma salib, yang agaknya mendapat dukungan dari surah an-Nisa’/157-159, meskipun ayat itu makna sebenarnya masih kabur, dan konteksnya bahkan tidak sedang membicarakan iman Kristen, melainkan reaksi atas kesombongan orang Yahudi. Salah satu buktinya, para penafsir kuno tidak pernah keberatan bahwa ‘Isa sudah mati pada zamannya, dan Allah telah membangkitkan kembali pada hari ketiga, asal saja kematian itu tidak terjadi di kayu salib.

          Dari uraian di atas, barangkali latar belakang ini dapat menjelaskan sindroma “salib Kristus” di kalangan masyarakat Islam yang sangat mewarnai penilaian mereka terhadap Kekristenan. Salah satu kitab kuning yang mungkin merekam salib tersebut, dapat disebut misalnya Ta’lim al-Muta’allim, karya Syeikh Zanuji, sebagai kitab panduan belajar santri yang sangat terkenal di pesantren:

 

Wa amma (anapun utawi) asbabu (pira-pira sebab) bisyani al-‘ilmi (lali marang ilmu) fa aklu (mangka iku) al-kuzbati (mangan tumbar) al-rrathbati (kang isih teles) wa aklu al-tufaa’i (lan mangan buah-buah) al-haamidl (kang kecut) wa nanthararu (lan ningali marang wong) ila al-mashlub (kang dipentheng)…39

 

Terjemahan:

Adapun perbuatan-perbuatan yang menyebabkan orang gampang lupa menghafal ilmu, antara lain makan tumbar yang masih mentah, buah-buahan yang masam dan melihat kepada salib …

 

          Apakah karena dilatarbelakangi “sindron salib” ini, yang begitu kuat tanpa disertai tafsiran yang cukup bernilai historis mengenai akhir hidup Yesus, dan yang masih diperuncing oleh warisan perjumpaan kedua agama yang kurang mengenakkan, telah melahirkan ejekan kepada Kekristenan di Jawa? "Aja dadi Kristen (Jangan menjadi Kristen)”, begitu ejekan yang ditujukan kepada orang-orang Jawa yang menjadi Kristen di Ngoro,”marga wong Kristen mengko yen mati dipentheng” (sebab orang Kristen itu nanti matinya disalib). Kesan ini cukup mencolok, tetapi agak kurang efektif menahan orang-orang Jawa dari kultur abangan yang cukup besar melakukan konversi kepada Kekristenan, karena kepercayaan bahwa Yesus adalah Ratu Adil yang lebih mengisi relung-relung pengharapan dan degub kalbu kerinduan di dada mereka.



[1] Tasawuf yang lazim diajarkan di pesantren-pesantren adalah tasawuf Suni, khususnya diajarkan oleh Imam al-Ghazali (wafat 1111M),bukan tasawuf Falsafi seperti yang antara lain dikenal dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi. Antara kedua aliran tasawuf ini,diakui ada semacam ketegangan. Kasus Syeh Siti Jenar pada salah satu aspeknya dapat dipandang mewakili kedua aliran pemikiran ini. Di kalangan Nahdatul ‘Ulama, aliran-aliran tarekat yang diakui masih berada dalam alur suni ini digabungkan dalam thariqah al-Muktabarah. Dalam kaitan dengan pembahasan kita tentang citra Yesus dalam Islam, dapat dikatakan bahwa tasawuf falsafi lebih liberal dalam melakukan lompatan “bahasa teologis” ke dalam tradisi Kristiani. Misalnya, soal metafora Anak Allah. Sedangkan dalam tasawuf suni yang lebih terikat dengan bahasa teologis Islam, sehingga “passing over” semacam itu masih sulit terjadi, lebih-lebih dengan alasan memelihara kemurnian ‘aqidah.

[2] Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai. Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang: Kalimasahada Press, 1993), h.47-48. Kajian lebih lengkap dapat dibaca: Zamakhsari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1984)

[3] Mrk R.Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Yogyakarta: Lkis,1999).

[4] Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago-London:The University of Chicago, 1960)

[5] Demikianlah misalnya ditekankan dalam Jawahir al-Kalamiyah, bahwa kitab Taurat sudah dipalsukan dan Injil tidak dapat dipercayai lagi karena banyaknya pertentangan dalam kitab tersebut. Lihat: ‘Abd al-Hafidz, Tarjamah al-Jawahir al-Kalamiyah bi Lughat al-Jawi (Surabaya:Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh, tanpa tahun), h.32-44.

[6] Menurut Geoffrey Parrinder, penegasan al-Qur’an bahwa ‘Isa adalah Firman Allah yang diberikan kepada Maryam dan Ruh dari-Nya tampaknya diarahkan kepada bidah-bidah Kristen tertentu, khususnya melawan pengertian primitif bahwa Allah telah memperanakkan secara jasmani ‘Isa melalui Maryam. Geoffrey Parrinder, Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University Press, 1977),p.45-51.

[7] H.Muhammad Sa’id bin H.’Abd al-Nafi’, Terjamah Tafsir al-Jalalain bi Lughat al-Jawi. Jilid I (Surabaya: Syarikat Maktabah wa Mathba’at Ahmad bin Sa’id bin Nahban wa auladuh, tanpa tahun),h.44

[8] Imam Ibnu Katsir al-Quraisyi ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Jilid I (Beirut:Dar al-Fikr, 1412 H/1992),h.443-444.

[9] Ibid,h.443.

[10] Geoffrey Parrinder, Op.Cit.p.45-46.

[11] Tafsir Jalalain bi Lughat al-Jawi, Op.Cit,h.42.

[12] Ibid,h.46.

[13] Syaikh Muhammad “Abduh, Risalah at-Tauhid (Kairo:Dar al-Hilal, 1963),h.27.

[14] Dikutip oleh Abdiyah Akbar Abdul Haqq, Sharing Your Faith with a Muslim ( Minneapolis, Minnesota: Bethany House Publishers, 1990),p.68. Mengenai penekanan Mu’tazilah akan kemakhlukan al-Qur’an dan hubungannya dengan teologi Kristen, lihat: Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Alih bahasa :Abu Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib (Jakarta : Logos Publishing House,1996),h.184-185.

[15] S.H.Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta. Alih Bahasa: K.H.Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid (Jakarta:LAPPENAS,1981).

[16] Ibnu Katsir,Jilid I, Op Cit,h.447.

[17] Tafsir Jalalain bi Lughat al-Jawi, Op.Cit,h.42.

[18] Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,tanpa tahun),h.37.

[19] ‘Allamah Asy Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir an-Nawawi, Juzz I (Surabaya:al-Hidayah,tanpa tahun),h.97. Ungkapan bahasa Ibrani Gan ‘Eden, ‘Taman Eden” (Kejadian 2:8).Sedangkan al-muqarrabun yang dalam al-Qur’an juga dihubungkan dengan malaikat yang terdekat (Q.s.an-Nisa’/4:172), sejajar dengan kerubim yang dalam tradisi Yahudi-Kristen dikaitkan dengan malaikat yang menjaga taman Eden (Kejadian 3:24). Baik ungkapan qerubim maupun al-muqarrabin, keduanya berasal dari akar kata yang menunjukkan kedekatan (Ibrani:kereb; Arab:qarib,”dekat”).Karena para kerub adalah malaikat terdekat yang dihubungkan dengan tahta Allah: Adonay Tsebaot yosyev ha-kerubim.”Tuhan semesta alam, yang bersemayam di atas para kerub” (1 Samuel 4:4).

20 Kata ‘illiyin ini sejajar dengan bahasa Ibrani ‘elyon (yang tinggi).Dalam bahasa Ibrani, kata ini biasanya menunjuk surga atau “Yang Mahatinggi”(misalnya:El ‘elyon,”Allah yang Mahatinggi”).

21 Marah Labid Tafsir an-Nawawi,Juzz II.Op.Cit.h.433.

22 Syeikh al-Allamah Hujjat al-Islam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, Tarjamah Bidayat al-Hidayah (Surabaya:Maktabah al-Hidayah,tanpa tahun),h.40.

23 Dalam buku-buku yang banyak beredar sekarang sudah lazim bahwa Nabi Muhammad disebut dengan shalallahu ‘alaihi wassalam, “shalawat Allah dan salam atas beliau”(SAW), sedangkan nabi-nabi  lain termasuk ‘Isa diberi sebutan ‘alaihissalam, “salam atas dia”(AS) saja. Tetapi kitab-kitab kuning seperti yang salah satunya dikutip di atas tidak membedakan sama sekali.

24 K.H.Misbah bin Jaiz al-Mustafa, Ihya’ Ulumuddin bi al-Ma’na al-Jawi. Juzz I (Pekalongan: Maktabah Raja Murah, tanpa tahun),h.52.

25 K.H.Asrar, Tarjamah Durat an-Nashihin. Jilid II (Pekalongan: Maktabah wa Mathba’at Raja Murah,tanpa tahun),h.522.

26 Ibid,h.523.

27 Ibid,h.527.

28 Kiai Misbah bin Jaiz al-Mustafa, Op.Cit, h.248.

29 Terjemah Bidayat al-Hidayah,h.34.

30 Ihya ‘Ulumuddin bi Lughat al-Jawiy, Juzz I,h.203.

31 Ihya ‘Ulumuddin, Juzz IV. Kisah ini dkutip oleh Idries Shah untuk menekankan kedekatan tradisi Sufi Islam dengan sosok Yesus.Lihat: Idries Shah, Meraba Gajah dalam Gelap. Sebuah dialog Islam-Kristen (Jakarta:Grafiti Press,1978),h.25.

32 Tafsir Jallalain bi Lughat al-Jawiy,Juzz I,h.42.

33 Mahmoud Mustafa Ayyoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam (Yogyakarta:Fajar Pustakan Baru ,2001),h.105-153. Cf.Kamil Husein, seorang penulis Arab-Muslim, malahan mengomentari teori ini: “No cultured Muslim belivers in this nowadays.” Kamil Husein, City of Wrong. Translated ini English by Kenneth Cragg (Amsterdam, 1959),h.222.

34 Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993),h.208-209.

35 Pencetus gagasan ini pertama kali Mirza Ghulam Ahmad, Nabi dan pendiri sekte Ahmadiyyah, dalam bukunya yang ditulis dalam bahasa Urdu, Meshi Hindustan Mein. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jesus in India. Jesus escape from the Cross and his Journey to India (London:The London Mosque,1978).

36 Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I,h.450.

37 Ibid, h.450-451.

38 A.Hasan, Maulvi Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub, Officieel Verslag Deebat antara Pembela Islam dengan Ahmadiyah Qadian (Jakarta:Jemaat Ahmadiyah Indonesia,1986).

39 K.H.Misbah Zain al-Musthafa, Ta’lim al-Muta’allim li Zarnuji Rahmat Allah. Tarjamah ila al-Lughat al-Jawiy (Surabaya: Maktabah Asy Syaikh Salim bin Sa’d Nahban,tanpa tahun),h.65-66.