5. OBAT-OBAT TERAPEUTIK
Kemajuan dalam pendekatan 'intensivist' terhadap kela-
inan akut berakibat tampilnya metoda yang lebih ilmiah
dan sempurna terhadap pasien cedera kepala, dengan ma-
salah berganda yang menyertainya. Pengelolaan agresif
setiap masalah, diharapkan, dapat mengurangi insidens
kerusakan sekunder. Pertama dapat diharapkan bahwa se-
tiap pendekatan dapat mengurangi kematian disebabkan o-
leh komplikasi medikal, dan ini telah dikerjakan dalam
serial prospektif yang terdokumentasi baik. Penelitian
juga memperlihatkan bahwa kebanyakan pasien yang 'dise-
lamatkan' oleh pengelolaan agresif tidak berhubungan
dengan derajat beratnya kelainan atau vegetatif, namun
nyatanya berjalan menjadi hanya kelainan yang sedang a-
tau membuat pemulihan yang baik. Jadi pendekatan siste-
matik atau intensif terhadap pengelolaan cedera kepala
berat adalah efektif, cukup untuk membenarkan pernyata-
an sumber-sumber lain dalam tujuan ini.
Sayangnya pengalaman dengan terapi obat-obatan se-
jauh ini kurang memuaskan.Disebabkan oleh keirreversi-
belan dari beberapa kerusakan dan kerumitan patogenesis
cedera kepala, tampaknya tak mungkin akan ditemukan o-
bat ajaib bagaikan penisilin. Tampaknya lebih mungkin
bahwa kombinasi beberapa obat serta intervensi, masing-
masing dengan efek menguntungkan yang kecil, akan mem-
bentuk impak kumulatif yang nyata terhadap outcome. E-
fek kecil dari masing-masing obat ini sulit untuk di-
perlihatkan secara tegas ketidakhomogenannya pada pasi-
en cedera kepala, jumlah yang besar dari pasien yang
diperlukan untuk melengkapi trial klinik, dan hambatan
biaya. Dengan dasar pemikiran ini, kita dapat segera
menilai obat-obatan yang umum digunakan dan merenung-
kan kemungkinan lain yang lebih baik.
Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaktik pada pasien dengan
cedera kepala berat tetap kontroversial. Penelitian be-
dah saraf tahun 1972 menunjukkan 40 persen dari mereka
tidak menggunakan obatnya secara teratur baik karena
ketidak-pastian indikasi atau karena risikonya, sangat
tidak mendukung pertimbangan untuk membenarkan pemakai-
annya. Janet memelopori penelitian epilepsi pasca cede-
ra dan menemukan bahwa komplikasi ini terjadi sekitar 5
persen dari pasien yang masuk karena cedera kepala non
misil dan 15 persen darinya merupakan pasien cedera ke-
pala berat. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan in-
sidens yang tinggi dari epilepsi yang muncul kemudian:
(1) kejang dini, terjadi dalam minggu pertama; (2) he-
matoma intrakranial; dan (3) fraktura tengkorak depres-
sed. Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin yang
dimulai sesegera mungkin (dalam 24 jam) mungkin mence-
gah terbentuknya fokus epileptogenik. Young mengadakan
penelitian yang memperlihatkan pemberian fenytoin pro-
filaktik tidak mencegah kejang pasca cedera baik dini
maupun tunda. Pada penelitian ini konsentrasi plasma
dipertahankan antara 10 dan 20 ug/ml. Walau diperingat-
kan bahwa mempertahankan kadar obat yang tinggi dapat
mempengaruhi hasil penelitian, dianjurkan menggunakan
antikonvulsan hanya setelah pasien mendapat serangan
kejang. McQueen menentukan bahwa karena insidens yang
rendah dari kejang pasca cedera (7 % dalam satu tahun;
10 % pada dua tahun), penelitian klinis acak harus men-
cakup 1200 pasien untuk bisa disimpulkan. Karenanya se-
mua penelitian yang dilaporkan adalah terlalu kecil
(dengan faktor dari paling tidak enam). Bobot dari pem-
buktian karenanya terus didukung dengan pemberian rutin
antikonvulsan pada kelompok risiko tinggi, namun tidak
perlu pada semua pasien dengan cedera kepala. Akhir-a-
khir ini Temkin melaporkan pada pasien cedera kepala
berat yang mendapatkan fenytoin atau plasebo yang di-
mulai 24 jam dari cedera dan diteruskan untuk satu ta-
hun, akan mengurangi insidens kejang selama minggu per-
tama setelah cedera, namun tidak setelahnya.
Saat ini digunakan fenytoin (500 mg intravena da-
lam 10 menit) pada ruang gawat darurat pada semua pasi-
en dengan cedera kepala berat. Dosis disesuaikan kadar
darah terapeutik yang dicapai. Menurut Young, pencapai-
an kadar darah lebih dari 15-20 ug/ml bisa dipegang.
Kebutuhan keseluruhan mungkin diberikan sebagai dosis
tunggal perhari. Tak ada ketentuan yang ketat dan cepat
untuk bila menghentikan antikonvulsan, walau Temkin a-
khir-akhir ini memberi batasan untuk menghentikan peng-
obatan setelah minggu pertama pada kebanyakan kasus.
EEG secara umum tak berperan dalam menentukan kebijak-
sanaan ini. Obat ini harus tapered off bertahap. Terda-
pat bukti serupa bahwa karbamazepin (Tegretol) lebih
disukai untuk pemakaian jangka panjang karena memperba-
iki tampilan dalam tes fungsi kognisi.
Steroid
Walau kortikosteroid tidak terbukti memperlihatkan man-
faat pada cedera kepala, beberapa ahli bedah saraf
menggunakannya untuk kasus berat. Dua penelitian mem-
buktikan bahwa dosis steroid sangat besar mungkin me-
ngurangi tingkat mortalitas pada cedera kepala berat.
Namun pemeriksaan yang lebih ketat oleh Faupel melapor-
kan penurunan kematian dicapai sebagai akibat pening-
katan yang besar dari pasien yang hidup dengan vegeta-
tif. Bila kelompok outcome dibagi kedalam baik (pemu-
lihan baik dan cacad sedang) dan buruk (cacad berat,
vegetatif dan mati), tidak ada perbadaan yang bermakna
secara statistik antara kelompok yang diberi steroid
dan yang diberi plasebo. Gobiet membandingkan kelompok
yang diberi deksametason dosis tinggi (96 mg/hari) de-
ngan kelompok dosis konvensional (16 mg/hari), dan ke-
lompok plasebo. Tidak ada perbedaan yang bermakna seca-
ra statistik angka kematian antara kelompok dosis ting-
gi dan plasebo, namun penelitian ini terbatas karena
menjadi non blinded dan sekuensial (semua pasien menda-
pat pengobatan yang serupa dalam satu tahun).
Bagaimanapun harus waspada terhadap kesalahan ben-
tuIk II dan kesalahan efek keuntungan aktual karena
jumlah sampel yang tidak adekuat. Saul, Ducker, Salcman
dan Carro mengira bahwa steroid mungkin menolong sub
kelompok tertentu pasien dengan cedera kepala. Pustaka
menyajikan beberapa artikel yang mendukung pandangan
bahwa kerusakan otak karena cedera, kontras dengan tu-
mor otak, tidak berreaksi baik terhadap steroid, baik
dalam arti mengontrol TIK ataupun adalam arti memper-
baiki outcome. Terakhir penelitian NASCIS II, memperli-
hatkan keuntungan efek dari metilprednisolon dosis san-
gat tinggi pada cedera cord spinal, mungkin memacu lagi
perhatian terhadap penggunaan steroid untuk cedera ke-
pala (dosis lihat bab cedera cord tulang belakang).
Mannitol
Obat ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi te-
kanan intrakranial. Umumnya sediaan yang digunakan ada-
lah larutan 20 persen mannitol (bm 180). Umumnya diper-
caya bahwa mannitol mempertahankan gradien osmotik an-
tara plasma dan otak, dengan akibat pergeseran cairan
keluar dari otak dan, karenanya, menurunkan TIK. Pem-
buktiannya agak sulit, dan tentu mungkin ada mekanisme
lain dimana mannitol menurunkan TIK. Osmolalitas serum
tidak diperbolehkan diatas 320 osmol/liter, bila mung-
kin, dalam usaha mencegah asidosis sistemik dan gagal
ginjal. Dosis tepat mannitol berragam. Lazimnya diguna-
kan 1-2 g/kg diberikan intravena secepat mungkin. Bila
pasien memperlihatkan perburukan neurologis atau herni-
asi tentorial, mannitol diberikan sesegera mungkin da-
lam perjalanan keruang CT scanner. Pasien harus dalam
kateter Foley terpasang, karena diharapkan terjadi diu-
resis. Dengan penggunaan yang sinambung, mannitol in-
travaskuler akan seimbang dengan diotak dan kadar darah
lebih tinggi yang progresif diperlukan untuk menimbul-
kan respons.
Urea 30 persen (bm 60) dan gliserol 10 persen se-
belumnya digunakan bergantian dengan mannitol pada pe-
makaian kronik. Obat-obat ini mempunyai berat molekul
lebih kecil dan cenderung lebih cepat mencapai keseim-
bangan dengan otak. Urea juga berhubungan dengan insi-
dens yang tinggi dari hemoglobinuria dan pengelupasan
kulit yang berat bila ia terinfiltrasi. Wald dan McLau-
rin melaporkan pemakaian gliserol per oral pada pasien
cedera kepala, namun obat-obat oral tidak dipertimbang-
kan pemakaiannya dalam cedera kepala akut karena bebe-
rapa alasan.
Lasix
Telah dilaporkan penggunaan furosemid, baik sendiri ma-
upun bersama-sama mannitol pada cedera kepala dan dalam
berbagai situasi. Schettini, Stahurski dan Young mem-
perlihatkan bahwa diuresis dapat ditingkatkan dengan
mengkombinasikan mannitol dan furosemid pada pasien be-
dah saraf, dengan pengerutan otak yang lebih konsisten
dan pasti. Puncak diuresis 17 ml/menit dicapai dalam 30
menit pemberian mannitol, dan penurunan ke 4 ml/menit
selama 70 menit berikutnya. Sebaliknya, selama perja-
lanan waktu yang identik, kombinasi infus mannitol-fu-
rosemid menghasilkan tingkat ekskresi air permulaan se-
besar 30 ml/menit, diikuti peninggian hingga 42 ml/me-
nit, dan kemudian menurun ke 17 ml/menit. Pasien mene-
rima 1.4 g/kg mannitol + 0.3 mg/kg furosemid. Efek me-
rugikan yang ditemukan pada pemberian kombinasi terjadi
hanya berupa peninggian kecepatan kehilangan elektrolit
yang bisa dikoreksi. Penemuan ini diperkuat oleh Wil-
kinson dan Rosenfeld.
Bikarbonat Sodium
Selama dengan hipoksemia, pH arterial yang rendah saat
masuk, menunjukkan asidosis sistemik, tidaklah jarang.
Bila pasien dalam keadaan shok, biasanya karena asido-
sis laktik. Bila tekanan CO2 arterial (PaCO2) tinggi,
menunjukkan kombinasi asidosis respiratori dan metabo-
lik. Asidosis harus dikoreksi, dan bikarbonat sodium
mungkin diberikan dengan dosis 1 mEk/kg setiap 10 menit
atau hingga pulih. Harus diingat bahwa pemulihan asido-
sis ringan dapat terjadi cepat dan spontan bila venti-
lasi dan perfusi diperbaiki dengan intubasi dan pemu-
lihan tekanan arterial sistemik. Sebagai pegangan umum,
pH darah arterial dibawah 7.1 menunjukkan asidosis me-
tabolik berat dan diharuskan pemakaian bikarbonat sodi-
um. Pada tahap ini, fungsi kardiak dirugikan oleh asi-
dosis. Dosis secara kasar dihitung berdasar formula:
dosis bikarbonat sodium (mEk) ekual dengan 0,2 kali be-
rat badan (kg) dikali 27 mEk/menit dikurangi tingkat
bikarbonat serum pasien. Setengah dari dosis yang dihi-
tung diberikan pertama-kali, dan dosis berikutnya dibe-
rikan setelah pengulangan pemeriksaan pH.
Tris-hidroksi-metil-aminometan (THAM)
Sudah dibuktikan bahwa cedera kepala berhubungan dengan
asidosis metabolik seperti ditunjukkan tingkat laktat
CSS yang tinggi. Juga telah diperlihatkan bahwa pasien
dengan laktat CSS yang tinggi memiliki outcome yang le-
bih buruk dan bahwa ini dengan perjalanan yang memburuk
umumnya memperlihatkan penurunan progresif pH CSS dari
7.3 hingga 7.2 karena asidosis laktik. Beberapa kelom-
pok telah memeriksa peran asidosis dalam patogenesis
kerusakan neuronal. DeSalles, Kontos dan Becker akhir-
akhir ini mempelajari kebermaknaan prognostik laktat
CSS ventrikular pada cedera kepala berat dan menemukan
nilai pH yang lebih rendah pada otak pasien yang menda-
patkan operasi atas hematoma subdural akuta. THAM ada-
lah agen penyangga yang mempenetrasi CSS dan karenanya
secara teoritis lebih superior dari bikarbonat sodium
dalam mengobati asidosis CSS. Akioka menggunakan dog e-
pidural balloon model memperlihatkan manfaat THAM ter-
hadap TIK. Diperkuat oleh Gaab dengan menggunakan cold-
lession edema model pada tikus. Diikuti Rosner dan
Becker yang melaporkan manfaat THAM pada cat fluid per-
cussion model. Mereka menemukan bahwa THAM berhubungan
dengan pengurangan morbiditas dan mortalitas seperti
juga penurunan TIK setelah cedera perkusi. Penelitian
klinis atas obat ini sekarang dipelopori Medical Colle-
ge of Virginia.
Barbiturat
Penelitian menunjukkan adanya efek protektif barbiturat
terhadap otak pada anoksia dan iskemia serebral. Juga
telah dicatat bahwa barbiturat efektif dalam mengu-
rangi tekanan intrakranial. Penelitian Richmond dan To-
lonto menunjukkan bahwa tak ada manfaat yang dapat di-
ambil dari pemberian barbiturat dosis tinggi dalam
pengendalian TIK maupun outcome. Dalam kedua penelitian
barbiturat diberikan sebagai terapi inisial. Pada pene-
litian mutakhir memakai pentobarbital dosis tinggi yang
diberikan setelah semua pengontrol TIK konvensional ga-
gal, didapatkan efek yang nyata bermanfaat terhadap
TIK. Karena penelitiannya bersifat silang, tak bisa
didapat efek pentobarbital terhadap outcome. Bagaimana-
pun terbukti bahwa barbiturat harus dicadangkan untuk
pasien yang gagal terhadap semua bentuk terapi hiper-
tensi intrakranial.
Protokol pemberian pentobarbital adalah memberikan
dosis loading 10 mg/kg dalam 30 menit dan 5 mg/kg seti-
ap jam selama tiga jam, diikuti dosis pemeliharaan 1
mg/kg/jam diatur hingga dicapai kadar serum 3 hingga 4
mg%. Hipotensi adalah faktor penimbul keterbatasan.
Nalokson
Nalokson adalah antagonis narkotik, terbukti memulihkan
hipotensi akibat cedera kepala pada kucing. Diperkira-
kan bahwa pelepasan opiat endogen bertanggung-jawab a-
tas hipotensi pasca konkusi. Beberapa data ada yang
mendukung dan membantah nilai obat ini pada cedera ke-
pala. Penelitian terakhir NASCIS II memperlihatkan ti-
dak ada manfaat nalokson pada cedera cord spinal.
Hipnotik Aksi Singkat
Karena barbiturat cenderung menimbulkan hipotensi dan
lamanya pemulihan setelah penghentian, diteliti obat
anestetik yang memiliki aksi lebih singkat untuk me-
ngontrol hipertensi intrakranial. Althesin, suatu obat
anestetik steroid intravena, walau tidak pernah diizin-
kan penggunaannya di USA, sangat populer di Britania
Raya sebelum produksinya dihentikan karena hubungan-
nya dengan anafilaksis. Etomidat merupakan pilihan yang
baik untuk penggunaan anestetik, namun belum ada data
dalam penggunaan jangka panjang pada cedera kepala.
Oksigen Hiperbarik
Walau Sukoff dan Ragatz melaporkan 1981 bahwa terapi
oksigen hiperbarik (HBO) dapat mengurangi TIK dan mung-
kin mempunyai nilai dalam mengobati edema serebral
traumatika, jenis terapi ini tidak digunakan secara lu-
as karena, secara umum, hasilnya tidak terlalu istime-
wa. Selanjutnya pengobatan ini, dimana dilakukan penye-
lubungan pasien dalam ruang hiperbarik, sulit dikerja-
kan pada pasien kritis. Namun telah dibuktikan terjadi-
nya penurunan TIK yang konsisten selama pemakaian oksi-
gen hiperbarik dengan tekanan dua atmosfer serta dila-
porkan terjadinya perbaikan neurologis. Terakhir ini,
Rockswold, Ford, Bergman dan Anderson melaporkan pene-
litiannya dengan HBO pada cedera kepala berat. Ditemu-
kan walau HBO jelas memperbaiki survival pasien dengan
skor SKG 4 hingga 6, ia tidak memperbaiki persentase
pasien dengan pemulihan baik.
Pembersih Radikal Bebas
Peran oksigen radikal dalam patogenesis cedera kepala
sudah mendapat perhatian yang sangat besar. Schettini,
Lippmann dan Walsh memperlihatkan pengurangan kematian
yang dramatik pada dog epidural balloon compression-de-
compression model dengan menggunakan native superoxide
dismutase (SOD) setelah cedera. Karena penelitian ini,
SOD dalam bentuk nativ maupun bentuk konyugasinya, mu-
lai diteliti secara klinis.