ILMU BEDAH SARAF


Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon.
saanin@padang.wasantara.net.id
Ka. SMF/Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :
Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

9. KELAINAN SARAF TEPI
 
A. Strategi Tindakan Terhadap Penderita Cedera Saraf Tepi
B. Kelainan Saraf Karena Jeratan pada Anggota Atas
C. Kelainan Saraf Karena Jeratan pada Anggota Bawah
D. Cedera Saraf Perifer Traumatika
E. Tumor Saraf Tepi
 
KEMBALI KEHALAMAN UTAMA
 

        4. CEDERA SARAF PERIFER TRAUMATIKA
        
        Cedera  saraf  tepi  adalah  komplikasi  berat   cedera 
        ekstremitas  traumatika,  karena  pemulihan   aktifitas 
        tendon  dan  otot serta perbaikan  sensibilitas  adalah 
        penting  untuk  ekstremitas  yang  berfungsi.   Prinsip 
        pengelolaan   awal   ekstremitas  yang   cedera   sudah 
        difahami.  Sasaran pentingnya adalah luka yang  bersih, 
        penyelarasan struktur, dan pencegahan deformitas; namun 
        makin luas dan berat cedera yang terjadi, makin panjang 
        waktu  yang diperlukan untuk mencapai homeostasis  pada 
        jaringan. Insufisiensi vaskuler, osteomielitis  kronis, 
        dan  kerusakan  sendi semua  berperan  atas  infiltrasi 
        fibrotik  serta penurunan aktifitas. Penelitian  klinis 
        pada  cedera  saraf perifer  traumatika  memperlihatkan 
        variasi  karena  pemulihan fungsi yang  berguna  sangat 
        tergantung  pada  respons  total  ekstremitas  terhadap 
        cedera  dibanding regenerasi saraf yang cedera.  Selain 
        itu saraf perifer hanya berfungsi pada reseptor sensori 
        dan end plate motor yang tepat.
        
        
        PENILAIAN AWAL
        
        Pemeriksaan  klinis  awal adalah  penilaian  umum  atas 
        gangguan fungsi yang dirancang untuk menentukan derajat 
        cedera  saraf tepi. Pada pasien sadar dilakukan  dengan 
        pemeriksaan   otot  volunter  serta   ambang   rangsang 
        sensibilitas. Pemeriksaan otot volunter, perintah  yang 
        umum  lebih  mudah  untuk dilakukan  pada  pasien  yang 
        bingung  dibanding harus melakukan kontraksi otot  yang 
        berturutan;  misalnya, 'silangkan  jari-jarimu'  adalah 
        tes yang memadai untuk mengetahui keutuhan fungsi saraf 
        ulnar.  Peregangan otot secara pasif akan  mewaspadakan 
        pemeriksa akan adanya potensi untuk terjadinya sindroma 
        kompartemen  dengan hilangnya fungsi saraf tepi  secara 
        bersamaan.  Pemeriksaan  ambang  rangsang  sensibilitas 
        juga  dihubungkan  dengan tingkat  reaksi  pasien  yang 
        sadar.  Garpu  tala dapat  digunakan  menentukan  nilai 
        ambang   rangsang  sensibilitas,  yang  bisa   bernilai 
        kuantitatif  baik dengan jarak diskriminasi  dua  titik 
        statik maupun bergerak. Pada pasien tidak sadar  dengan 
        fraktura atau dislokasi, pemeriksa harus tetap  waspada 
        akan  sindroma  kompartemen dan pikirkan  tes  elektro-
        diagnostik  untuk memastikan integritas setiap  potensi 
        dari saraf tepi yang terkena.
             Beratnya  cedera  secara  keseluruhan  saja   bisa 
        memutuskan untuk mengeksplorasi ekstremitas.  Keputusan 
        ini biasanya berdasar atas terkenanya struktur anatomis 
        lain selain saraf tepi, seperti angiogram yang abnormal 
        dan  fraktura  terbuka. MRI  bermanfaat  bila  terdapat 
        cedera pada dua tingkat dan perluasan cedera saraf tepi 
        tidak  diketahui.  Bila  operasi  gawat  darurat  harus 
        segera dilakukan, saraf tepi yang non fungsional  harus 
        ditaksir  secara pengamatan langsung. Saraf yang  putus 
        harus  diperbaiki  sesegera klinis  memungkinkan.  Bila 
        saat debridemen saraf terbuka dan diputuskan  perbaikan 
        tunda,  puntung  saraf harus  disimpai  dengan  jahitan 
        kawat  monofilamen halus untuk mencegah retraksi  serta 
        membantu identifikasi radiologis.
        
        
        SKEMA KLASIFIKASI CEDERA SARAF
        
        Saat PD II, Seddon memperkenalkan klasifikasi sederhana 
        pada   cedera  saraf  traumatika   dengan   terminologi 
        spesifik: neurapraksia, aksonotmesis, dan  neurotmesis. 
        Sunderland  mengidentifikasikan  cedera  kedalam   lima 
        derajat,  berdasar  peningkatan beratnya  cedera,  yang 
        mengakibatkan  gangguan fungsi. Tampaknya  logis  untuk 
        menggunakan  tiga derajat cedera pada  keadaan  klinis. 
        Yaitu: (1) saraf  tepi  mengalami  disorganisasi  berat 
        hingga  regenerasi tak dapat terjadi. Ini  bisa  karena 
        sajatan, tusukan, traksi ataupun penyuntikan saraf yang 
        diikuti  pembentukan  skar. Segmen yang  terkena  harus 
        dieksisi sebagai bagian perbaikan secara bedah. Keadaan 
        ini  yang  disebut neurotmesis oleh Seddon  dan  cedera 
        derajat empat atau lima oleh Sunderland; (2) saraf tepi 
        dengan  interupsi akson dan selubung  mielinnya,  namun 
        bidang  jaringan ikat seperti perineurium  masih  utuh. 
        Terjadi  pengurangan jumlah akson yang  tersedia  untuk 
        regenerasi  dan  bisa terdapat adanya  fibrosis  berkas 
        intrafasikuler.  Ini biasanya karena  penetrasi  peluru 
        atau  tusukan,  traksi atau  kompresi  dengan  disertai 
        iskemia.  Keadaan ini disebut aksonotmesis oleh  Seddon 
        dan  cedera derajat dua atau tiga oleh Sunderland;  dan 
        (3) saraf  tepi  dengan  interupsi  segmental  selubung 
        mielin,  namun  akson dan bidang jaringan  ikat  intak. 
        Tidak  terjadi degenerasi Wallerian, dan gangguan  yang 
        bertanggung-jawab  atas hambatan konduksi  dapat  pulih 
        sempurna. Ini umumnya diakibatkan kontusi, seperti pada 
        fraktura,  atau  kompresi, seperti  pada  'palsi  malam 
        Minggu'.  Pemulihan fungsional terjadi  dalam  beberapa 
        minggu  hingga bulan. Keadaan ini disebut  neurapraksia 
        oleh  Seddon  atau suatu cedera  derajat  pertama  oleh 
        Sunderland.
        
        
        FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENENTUAN TINDAKAN
        
        a. Usia
        
        Satu-satunya  faktor  paling bermakna  dalam  pemulihan 
        setelah  cedera  dan penyambungan saraf.  Hampir  semua 
        pasien hingga usia pubertas mendapatkan hasil yang baik 
        setelah penyambungan saraf. Pasien lebih muda  memiliki 
        kapasitas  intrinsik yang lebih besar untuk  re-edukasi 
        sensibilitas  dan adaptabilitas motor dibanding  pasien 
        lebih tua.
        
        
        b. Jarak Dari End Organ
        
        Cedera  saraf  proksimal (tinggi)  menimbulkan  dilemma 
        yang sulit, baik untuk prognosis pemulihan maupun untuk 
        indikasi  operasi.  Harus  dipertimbangkan  jarak  dari 
        daerah cedera ketitik motor pertama yang akan mengalami 
        reinervasi. Dari saat cedera, terjadi distorsi dan  de-
        generasi progresif end organ sensori dan motor  distal. 
        Dengan   perjalanan  waktu,  terjadi   distorsi   saraf 
        didistal  daerah cedera, bersamaan  dengan  melambatnya 
        proses  regeneratif  pertumbuhan kembali  akson.  Makin 
        proksimal cedera, makin panjang denervasi dari jaringan 
        distal  dan makin lambat pemulihan  fungsi.  Diharapkan 
        bahwa regenerasi akson paling pesat pada tahun  pertama 
        setelah cedera pada orang dewasa, namun interval antara 
        cedera  dan  reinervasi end organ lebih lama  dari  4-5 
        tahun,  pemulihan  fungsional  akan  terbatas.   Cedera 
        proksimal  saraf siatik bisa lebih dari 20-30 sm.  dari 
        end organ paling priksimal.
        
        
        c. Cedera yang Menyertai
        
        Makin luas cedera pada ekstremitas, makin panjang waktu 
        yang diperlukan untuk memantapkan homeostasis jaringan. 
        Saraf  tepi  hanya fungsional untuk pelat  motor  otot-
        saraf  serta reseptor sensorinya. Adanya  jarak  antara 
        puntung  saraf menunjukkan beratnya cedera.  Terkenanya 
        lebih  dari satu saraf merupakan masalah  lebih  serius 
        untuk   terjadinya  pemulihan  fungsional   ekstremitas 
        secara  keseluruhan  dibanding cedera  saraf  terbatas. 
        Defisiensi vaskuler berat atau osteomielitis berat yang 
        merusak  jaringan  lunak sekitar saraf,  berperan  pada 
        infiltrasi fibrotik dan penyembuhan yang terlambat. 
             Insidens   cedera  saraf  yang  berkaitan   dengan 
        fraktura  tidak  diketahui.  Fraktura  humerus   adalah 
        fraktura  yang  paling sering berkaitan  dengan  cedera 
        saraf.  Kebanyakan  cedera  berupa  fraktura  diafiseal 
        (shaft) menyebabkan saraf tepi tetap utuh. Saraf radial 
        terkena   pada  60 %,  saraf ulnar  pada  18 %,   saraf 
        peroneal  komunis pada 15 %, dan saraf median pada  6 % 
        dari  semua  kelainan saraf akibat  fraktura.  Fraktura 
        atau  dislokasi  ditingkat epifiseal  bisa  menyebabkan 
        disrupsi  vaskuler dan cedera saraf. Bebat  fasia  yang 
        ketat  sekitar  sendi  menambah  kemungkinan  kerusakan 
        iskemik  dan traksi. Disfungsi saraf terjadi pada  18 % 
        dislokasi  sendi lutut. Biasanya berupa  cedera  traksi 
        yang bervariasi antara neurapraksia hingga neurotmesis. 
        Saraf  siatik  mengalami  cedera  pada  13 %  dislokasi 
        panggul  atau fraktura asetabuler posterior.  Dislokasi 
        bahu yang bersamaan dengan cedera regang saraf  aksiler 
        sekitar   5 %  dari  kasus.  Cedera  pleksus   brakhial 
        infraklavikuler sering bersama dengan subluksasi  bahu, 
        dimana  cedera supraklavikuler sering ditunjukkan  oleh 
        fraktura  iga  pertama,  prosesus  transversus   tulang 
        belakang   leher,  atau  klavikula.   Prognosis   untuk 
        pemulihan  spontan  lebih  buruk  pada  dislokasi  atau 
        fraktura  tingkat epifiseal dibanding  dengan  fraktura 
        ditingkat diafiseal. Prognosis berbeda antara  fraktura 
        tertutup dan terbuka dan ini berkaitan dengan  beratnya 
        kerusakan  ekstremitas.  Seddon  melaporkan   pemulihan 
        spontan  sebesar  83.5 %  pada  fraktura  tertutup  di-
        ekstremitas atas dengan cedera saraf, namun hanya  65 % 
        pada  fraktura  terbuka  dengan  kelainan  saraf.  Omer 
        mendapatkan  pemulihan spontan sebesar 83 % pada  semua 
        kelainan saraf yang berkaitan dengan fraktura.
        
        
        d. Mekanisme Cedera
        
        Cedera  saraf  yang  berhubungan  dengan  traksi   atau 
        regangan  mempunyai  prognosis  lebih  buruk  dibanding 
        akibat  fraktura. Traksi biasanya mengenai segmen  yang 
        panjang  dari batang saraf. PD II memperlihatkan  hanya 
        58 %  pasien  dengan cedera traksi  pada  lutut  dengan 
        saraf  peroneal  utuh  memperlihatkan  pemulihan  motor 
        secara  fungsional. Selain itu prognosis cedera  traksi 
        tidak dipengaruhi eksplorasi bedah.
             Luka  peluru inseidensnya  meningkat.  Diakibatkan 
        oleh  cedera  kinetik terhadap  jaringan.  Luka  tembak 
        kecepatan  tinggi bisa dengan akibat eksplosi  internal 
        hingga  fraktura  yang  terjadi bisa  jauh  dari  jalur 
        peluru; namun kerusakan karena tekanan yang  tergantung 
        pada  peningkatan kecepatan peluru hanya berlaku  untuk 
        penetrasi peluru pada jaringan dalam. Pada luka peluru, 
        sering  kehilangan fungsi tanpa disrupsi saraf.  Foster 
        melaporkan  secara retrospektif kasus dengan  paralisis 
        motor selama PD I, dimana 67 % membaik dengan  tindakan 
        konservatif. Sunderland melaporkan pemulihan pada  68 % 
        kasus  secara spontan pada PD II. Omer melaporkan  dari 
        kasus  perang Vietnam, pemulihan spontan  terjadi  pada 
        69 %  pada kasus peluru kecepatan rendah dan 69 %  juga 
        pada  peluru kecepatan tinggi. Cedera neurapraksia  dan 
        aksonotmesis  sebanding pada luka tembak, dengan  skala 
        waktu  klinis untuk pemulihan spontan 1-4  bulan  untuk 
        neurapraksia dan 4-9 bulan untuk aksonotmesis.  Rakolta 
        dan  Omer  mendapatkan bahwa  regenerasi  spontan  bisa 
        tertunda  hingga sekitar 11 bulan  tanpa  mengecualikan 
        kemungkinan pemulihan lengkap pada cedera perang  saraf 
        femoral.
             Luka    tembak   kecepatan   rendah    menyebabkan 
        persentase yang tinggi dari kerusakan akson saraf  tepi 
        (neurotmesis)  dibanding luka tembak kecepatan  tinggi. 
        Luka  kecepatan  rendah dengan  gelombang  kejut  lebih 
        kecil  cenderung  langsung  mengenai  struktur  seperti 
        saraf  tepi,  pembuluh darah, dan tulang.  Luka  tembak 
        senapan  mempunyai  persentase yang lebih  tinggi  dari 
        cedera saraf dibanding luka tembak pistol. Luka  tembak 
        senapan memerlukan debridemen teliti dengan  eksplorasi 
        dini   struktur  neurovaskuler,  dan  biasanya   dengan 
        jahitan  primer tunda. Pemulihan spontan  cedera  saraf 
        tepi akibat luka tembak senapan hanya 45 %.
             Laserasi,  injeksi  dan tusukan  merupakan  cedera 
        kecepatan  rendah  yang  sering  tidak   memperlihatkan 
        pemulihan  spontan  setelah  cedera  inisial.  Laserasi 
        dengan terganggunya fungsi saraf tepi karenanya  secara 
        klinis  harus  didiagnosis  sebagi  lesi  saraf   berat 
        (neurotmesis) hingga dibuktikan lain dengan pemeriksaan 
        intra-operatif.
        
        
        e. Tehnik Operasi
        
        Saraf tepi yang disrupsi (neurotmesis) harus diperbaiki 
        sesegera   klinis   memungkinkan.   Anastomosis   harus 
        dilakukan  dengan pembesaran memadai serta jahitan  dan 
        instrumen  yang  baik.  Tegangan  sirkumferensial   dan 
        longitudinal  harus  minimal pada garis  jahitan  untuk 
        mencegah   disorganisasi  internal  berkas   fasikuler. 
        Tehnik  jahitan  epineural bisa  digunakan  pada  semua 
        cedera  saraf  tepi dengan pola berkas  tunggal  (mono-
        fasikuler)  atau  kurang dari  empat  (oligofasikuler). 
        Tehnik  jahitan berkas fasikuler mungkin lebih  disukai 
        untuk   saraf  tepi  dengan  beberapa   berkas   (poli-
        fasikuler) pada avulsi segmen, atau lesi kronik  dengan 
        celah maupun adanya neuroma pada batang saraf.
             Laporan  lebih mutakhir memperlihatkan  keunggulan 
        perbaikan  primer dibanding perbaikan tunda atas  saraf 
        tepi. Kline dan Nusen mendapatkan 72 % pemulihan  motor 
        yang  baik atau lebih baik pada perbaikan primer  saraf 
        median  pada  pergelangan. Moneim dan  Omer  melaporkan 
        83 % pemulihan motor yang baik atau lebih baik  setelah 
        perbaikan  fasikuler kelompok primer pada  saraf  ulnar 
        pada  pergelangan,  sedang Birch dan  Raji  mendapatkan 
        81 % pemulihan motor yang baik atau lebih baik  setelah 
        perbaikan   primer  saraf  median  serta   ulnar   pada 
        pergelangan.
        
        
        f. Faktor Trofik
        
        Berbagai  faktor trofik yang  memperngaruhi  regenerasi 
        saraf  telah diketahui. Diantaranya faktor  pertumbuhan 
        saraf (nerve growth factor) serta faktor penumbuh akson 
        (akson  outgrowth  factor).  Brushart  menemukan  bukti 
        bahwa  reinervasi puntung saraf distal  biasa  terjadi, 
        diikuti  pertumbuhan  pada projeksi  yang  benar  serta 
        hilangnya neuron yang malaligned. Badalamente dan Hurst 
        mengupayakan  untuk  menghambat  protease  neural  yang 
        diaktifkan  kalsium dengan  menyuntikkan  intramuskuler 
        leupeptin  tripeptida.  Inhibisi protease  neural  yang 
        diaktifkan  kalsium membantu pemulihan morfologis  pada 
        cedera saraf tepi.
        
        
        KERANGKA WAKTU UNTUK PEMULIHAN
        
        Waktu   yang   diperlukan   untuk   pemulihan   setelah 
        neurapraksia adalah 1-4 bulan, dan setelah aksonotmesis 
        4-9 bulan. Seperti telah dijelaskan, cedera ekstremitas 
        proksimal  perlu waktu lebih lama untuk  memperlihatkan 
        fungsi  klinis dibandingkan cedera distal,  dan  cedera 
        ekstremitas  luas yang menyebabkan lesi saraf  berganda 
        memerlukan masa yang lebih lama untuk kembalinya fungsi 
        klinis  dibanding cedera yang  mengakibatkan  disfungsi 
        saraf terbatas.
        
        
        Klasifikasi Cedera Saraf
        -------------------------------------------------------
        Seddon          S  Sunderland
        -------------------------------------------------------
        Neurapraksia    I   Blok konduksi [degn. Wallerian (-)]
        Aksonotmesis    II  Diskontinuitas aksonal
            -           III Disrupsi aksonal + endoneurial
            -           IV  Ruptur perineurial,Disrupsi fasikel
        Neurotmesis     V   Diskontinuitas batang saraf
        -------------------------------------------------------