Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Kontemporer
Depan Induk eGroups Termahal Perpisahan AsiaWeek Mira Bangga Badai Petualangan Kontemporer The Nutcracker Ballet PAMI FFAP FFA Segar Praktek Billy Elliot Terpuji Tahun Baru

 

Sherina, Impian Keluarga Kontemporer

DENGARLAH penuturan Nyonya Rita ketika mengantar putrinya, Kasya (8), menonton film Petualangan Sherina. "Berkali-kali saya datang ke bioskop, selalu kehabisan tiket. Akhirnya saya pilih minggu kemarin, dengan perhitungan anak-anak sekolah sedang EHB (evaluasi hasil belajar - Red) sehingga kemungkinan agak sepi. Ternyata, penuh juga. Rupanya banyak orangtua berpikiran serupa. Begitu saya sampai di Plaza Senayan, cindil-cindil

banyak banget," cerita Rita. Antrean dilukiskannya panjang melingkar-lingkar. Begitu sampai di depan loket, dia hanya kebagian dua tiket, yang duduknya pun terpisah. Padahal, ia datang bertiga, dengan suaminya sehingga si suami terpaksa menunggu di luar. "Begitu tiket habis di giliran saya, pecah tangis anak kecil di belakang saya. Ibunya, ibu muda dengan tiga anak, menenang-nenangkan si anak bahwa besok dia akan pulang kantor lebih siang agar bisa menonton," Rita bercerita. Seorang ibu muda punya tiga anak, banyak juga anaknya? "Mungkin suaminya juga tiga...," seloroh Rita.

Banyak orangtua punya pengalaman serupa. Mira Lesmana, produser film Petualangan Sherina, menghadapi protes beberapa orangtua yang tak kebagian karcis di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan.

"Saya sedih melihat anak-anak yang sudah berjam-jam menunggu ternyata tidak mendapatkan karcis, jadi saya berusaha menambah jumlah copy film," kata Mira.

Film yang pertama kali diputar tanggal 14 Juni lalu, semula disiapkan sembilan copy, enam untuk Jakarta (Senayan 21; Pondok Indah 21; Puri 21; Gading 21; Mega 21; Anggrek 21), dan satu masing-masing untuk Bandung (BIP 21), Yogyakarta (Mataram), dan Surabaya (Galaxy 21).

Mira sendiri barangkali belum mengecek sampai ke sini, bahwa pada hari kesembilan pemutaran di Jakarta, menurut sumber yang sangat bisa dipercaya, jumlah penonton mencapai 49.587 orang, dengan pemasukan Rp 863.675.000.

Di Yogya, pada hari kedelapan, tercatat 18.739 penonton, dengan jumlah pemasukan Rp 93.695.000. Ditambah jumlah penonton di Bandung dan Surabaya, bisa dipastikan, pemasukan film ini sudah menjebol angka Rp 1 milyar dalam waktu kurang dari dua minggu, yang berarti separoh biaya produksi film itu sendiri, yakni Rp 2 milyar. Biaya promosi film, juga sebesar Rp 2 milyar, ditunjang oleh banyak sponsor.

***

APAKAH sebetulnya keistimewaan Petualangan Sherina, sehingga seperti magnet menyedot keluarga berbondong-bondong datang menonton? Salah satu faktor, pasti kebintangan Sherina yang sebelumnya dikenal sebagai penyanyi (berikut kemungkinan faktor-faktor lain: baca Petualangan di Era Industri Hiburan, halaman 13).

Disutradarai Riri Reza, film ini mengisahkan pindahnya Sherina (Sherina Munaf) dari Jakarta ke Bandung, mengikuti kepindahan orangtuanya, keluarga Pak Darmawan (Mathias Muchus), yang bakal bekerja di sebuah perkebunan di Lembang.

Di tempat barunya, Sherina mendapatkan teman-teman baru, antara lain Sadam (Derby Romero) yang sangat nakal di sekolah. Sadam ternyata putra atasan ayahnya. Ketika Sadam diculik oleh komplotan yang dipakai oleh rival bisnis sang ayah, Sherina-lah yang membebaskan.

Itulah petualangan Sherina, yakni upaya membebaskan teman dari cengkeraman penculik, disertai nyanyi-nyanyi dan dilatarbelakangi oleh pemandangan indah bumi Parahyangan yang elok, yang berhasil direkam menjadi gambar-gambar yang bagus sepanjang film.

Di luar urusan gambar, sebetulnya tak ada yang istimewa pada film ini. Dramaturginya lemah. Untuk mengukur kekuatan dramatik ini sebetulnya gampang saja. Kalau penonton anak-anak itu bertepuk-tepuk girang ketika penjahat ditangkap misalnya, berarti mereka terbawa alur dramatik.

Acuan dramatik ini terpotong taruhlah misalnya ketika Sherina lari dari kejaran penjahat, malah nyanyi di tempat peneropongan bintang begitu melihat bintang-bintang di langit. Dari segi musik, theme song yang terkesan begitu penuh aransemennya pada beberapa bagian justru mengganggu kuping.

Toh mungkin ada segi lain yang membuat Petualangan Sherina berhasil memikat penonton-meski dia tak harus semencekam Home Alone atau seliris dan semanis Melody pada masa dulu kala.

Sherina, dara berusia 10 tahun yang sebagai penyanyi dikenal dengan suara dan teknik mengagumkan-di antaranya dengan vibrasi, sesuatu yang jarang dilakukan oleh vokal anak-anak-kemungkinan merupakan daya tarik tersendiri bagi keluarga Indonesia.

Untuk album perdananya, Andai Aku Besar Nanti (1999), dia memenangkan empat penghargaan Anugerah Musik Indonesia (Penyanyi Anak-anak Terbaik, Lagu Anak-anak Terbaik; Album Anak-anak Terbaik; Penyanyi Pendatang Baru Terbaik). Dalam ekspose pemberitaan media massa, Sherina juga kemudian dikenal sebagai bocah cilik yang aktif dengan berbagai kegiatan, bisa berbahasa Inggris, bisa balet, bisa memainkan piano.

Sukses film Petualangan Sherina sebagai film keluarga barangkali menggambarkan: inilah sosok yang dirindukan keluarga mutakhir Indonesia.

Dari waktu ke waktu, selalu hidup impian orangtua yang diproyeksikan ke anak. Pada tahun 1930-an, di Amerika juga dikenal bintang film Shirley Temple, yang dalam beberapa hal bolehlah disebut sebagai impian masa itu dan juga impian dari waktu ke waktu: anak = orang dewasa kecil.

Kecanggihan teknik menyanyi Sherina (yang jelas sama tuntutannya dengan penyanyi dewasa), sosoknya dalam strategi pencitraan media massa, semua memberi andil pada sukses film ini di bioskop.

"Kasya hapal semua lagu Sherina," cerita Nyonya Rita mengenai anaknya. "Dia menyanyi sepanjang film. Kasihan tetangganya..." (p08/cp/bre)