PERLAWANAN MUSLIMIN CINA TERHADAP KOMUNISME, 1940 - 1960
Oleh: Mohammad Iqbal, sebagaimana ditulis dalam Majalah Al Muslimun, 2002
Munculnya komunisme, pada kenyataannya hanya menimbulkan kesengsaraan rakyat, di manapun di dunia. Revolusi yang mereka bawa selalu membawa petaka berupa pembunuhan massal, teror dan intimidasi, serta penentangan terhadap ajaran agama. Sejarah komunisme di Indonesia telah membuktikannya, apa yang terjadi sejak peristiwa di Tangerang tahun 1926, pengkhianatan tahun 1948 di saat menghadapi kolonialis Belanda, serta teror di tahun 1965.
Sejarah rakyat Cina sebenarnya penuh oleh perlawanan terhadap komunisme, yang dihapuskan dari buku sejarah ketika komunis Cina mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Cina di tahun 1949. Mereka melegenda di kalangan penduduk Altai (Turkistan – Cina), hingga ke seluruh daratan Cina, bahkan juga di Asia Tengah bekas Uni Sovyet (
Usman Khan Batur
Usman dilahirkan pada tahun 1899 di Kuk To Gai, distrik Altai. Distrik Altai merupakan sebuah plato yang dikenal juga sebagai Dzungaria, dikelilingi oleh pegunungan Altai dan Tien (
Ayah Usman, Islam Bai, seorang Kazakh (Cossack), seorang petani sekaligus penggembala hewan ternak. Sejak usia sepuluh tahun, Usman diasuh oleh sahabat ayahnya Boko “Batur” (Boko sang pendekar – julukan orang Tartar bagi pejuang). Ia seorang veteran peperangan antara orang Kazakh melawan orang Manchu yang saat itu menjajah Cina, hingga akhirnya orang Manchu tidak berhasil menguasai wilayah tersebut. Boko mengasuh Usman selama 18 bulan. Ia mengajarnya berbagai ketrampilan bergerilya, antara lain menembak dengan senapan biasa, lalu senapan mesin, menembak sasaran bergerak, serta menembak sasaran bergerak dari atas kuda yang sedang berlari kencang. Juga keahlian khas orang Tartar dan Mongol yang juga dimiliki oleh suku Indian di Amerika; yakni berkuda tanpa pelana, meloncat turun - naik dari kuda yang sedang berlari, serta bagaimana bertahan menunggang kuda selama berjam-jam dan hanya dapat beristirahat di atas kuda tersebut. Keahlian berkuda orang Tartar memang diakui oleh berbagai bangsa di dunia. Keahlian ini pulalah yang menyebabkan nenek moyang mereka, Attila, berkuda dari Turkistan hingga sampai di Hungaria dan akhirnya berkuasa di
Boko berpisah selamanya dengan Usman ketika ia gugur dalam pertempuran melawan pasukan komunis di
Berkat usahanya, daerah Altai berhasil dibersihkan dari kaum komunis. Sehingga pada tanggal 22 Juni 1943, masyarakat Altai sepakat mengangkat Usman sebagai Khan-nya (Warlords – bangsawan atau pimpinan klan). Usman menerima gelar tersebut dalam sebuah upacara di Bul Ghun, suatu tempat yang menjadi pertemuan dari tiga jalan masuk menuju Plato Altai – Dzungaria, yakni jalan dari Uni Sovyet, Mongolia dan ibukota Dzungaria, Urumchi. Rakyat mengelu-elukan Usman sebagai Khan mereka.
Upacara tersebut dihadiri oleh utusan dari Uni Sovyet dan
Usman masih memikirkan lebih jauh tentang tawaran Choi, namun ia mencurigai cara Choi berbicara yang terkesan terlalu manis. Ia juga tahu bahwa Republik
Malam harinya Qasim mendatangi Usman secara diam-diam. Boleh jadi darah Kazakhnya menentang usaha memasukkan Usman, pahlawan suku Kazakh – Cina, ke dalam perangkap. Ia menceritakan kepada Usman bahwa ia adalah salah seorang cucu pahlawan Kazakhastan – Uni Sovyet, Ablai Khan, yang bertempur melawan Rusia pada awal abad ke-19. Qasim menceritakan kepada Usman tentang bagaimana Uni Sovyet mengingkari janji terhadap 3,5 juta rakyat Kazakh di negerinya, bahwa mereka akan menghormati agama Islam dan tidak akan menindas rakyat. Kenyataannya setelah orang Kazakh meletakkan senjata, tentara Rusia melakukan pembasmian terhadap para pejuang, pembunuhan dan pembuangan, serta perusakan terhadap masjid-masjid. Usman akhirnya berketetapan hati.
Ketika keesokan harinya Choi mendesaknya untuk memberi jawaban, Usman bersuara keras menolak. Choi beserta dua orang Kazak tersebut meninggalkan Altai. Segera setelah sampai, polisi rahasia Uni Sovyet (NKVD) menggaruk kedua orang Kazakh tersebut. Qasim yang telah berusia lanjut dihukum mati, sedangkan Sultan
Pada bulan November 1944, pecah pemberontakan di daerah sebelah selatan Altai, yakni di
Pemerintah Cina komunis pun menyadari bahaya dari bergabungnya Ali ke dalam pasukan Usman. Pemerintah pun mengundang rakyat Turkistan Cina atau yang mereka sebut sebagai Sinkiang – Uighur (termasuk Altai) untuk mengadakan perundingan. Usman pun menunjukkan itikad baik dengan mengirimkan utusan, beserta utusan dari suku-suku Tartar muslim yang lain di wilayah tersebut. Pada tanggal 4 Juni 1946 tercapai persetujuan di mana rakyat Sinkiang diberikan otonomi yang luas. Kepala propinsi (region) tetap seorang Han (Komunis), namun staf-staf pemerintahannya dijabat oleh wakil dari suku-suku setempat bersama sejumlah kecil orang Han. Juga diadakan Dewan Daerah di mana masing-masing suku mengirimkan wakil sebagai perwujudan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Tetapi hanya dua setengah bulan sejak permufakatan itu terjadi, Ali Khan Ture diculik NKVD dan selanjutnya nasibnya tidak diketahui. Ia dituduh berkhianat terhadap pemerintah Sovyet. Dua minggu kemudian tentara sekutu Uni Sovyet dan Mongolia Luar menyerbu Altai. Pemerintah komunis Cina sama sekali tidak bereaksi walaupun sebagian negeri mereka tengah dianeksasi, nampaknya mereka telah bersepakat terlebih dahulu dalam bentuk konspirasi, tentang agresi militer ini, dengan pemerintah Sovyet dan Mongolia yang sama-sama berhaluan komunis dan hanya berbeda kebijakan politik. Pada kenyataannya Usman beserta rakyat Altai mengangkat senjata, namun kali ini dalam kapasitas sebagai rakyat Cina menentang agresi militer asing (Sovyet – Mongol). Nampaklah bahwa sebenarnya orang Tartar yang muslim tidak ada keinginan untuk memisahkan diri dengan Cina, karena mereka dahulu telah hidup bersama-sama dengan orang Han, berjuang sependeritaan melawan orang Manchu, sebagai rakyat Cina. Bukti bahwa telah terjadi konspirasi antara pemerintah Cina dengan Uni Sovyet ini nampak nyata beberapa bulan kemudian, ketika terjadi perundingan yang berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan antara Sovyet – Cina di bawah Stalin dan Mao.
Menghadapi gempuran darat oleh tentara
Pasukan komunis Cina yang tidak tahu diri, pemakan bangkai hasil berburu pasukan Sovyet – Mongol, menyerbu Usman beberapa waktu kemudian. Pemimpinnya bernama Jendral Tao. Usman bertahan selama sembilan bulan di bawah kepungan tentara Cina di Bar Kul. Bahkan mereka tidak malu-malu lagi untuk meminta bantuan Uni Sovyet secara terbuka, yang kemudian mengirimkan pasukan kavaleri tank dan artileri. Di bawah tekanan berat tersebut Usman berhasil menembus kepungan. Ia membawa serta dua orang sahabatnya, Janim Khan seorang Uighur, serta Yol Bars yang merupakan orang Mongol. Mereka bertiga bersama-sama keluarga, melintasi pegunungan menuju ke Khan Ambaltau pada awal September 1950. Sebagian pengikutnya menuju ke gurun Go Bi di Mongolia.
Beberapa pengikut Usman mengusulkan agar mereka meninggalkan Turkistan dan bergabung dengan orang-orang nasionalis di
Namun kenyataannya tentara komunis Cina tetap menginginkan kematian Usman. Mereka menyerangnya dari segala penjuru secara tiba-tiba pada tanggal 1 Februari 1951. Usman disertai oleh seorang putrinya yang baru saja berusia 17 tahun, yang tidak sempat merasakan manisnya masa remaja akibat teror kaum komunis terhadap rakyat Tartar, ia bernama Az-Apay. Ayah dan anak itupun bertempur bersama-sama untuk terakhir kalinya. Karena luka-lukanya mereka pun dapat ditangkap. Sebagaimana pahlawan Umar Mochtar dari
Ma Ying
Ma Ying adalah seorang muslim dari suku Han, atau yang lebih dikenal sebagai orang “Hui”, yakni sebutan orang Han bagi muslim, dari suku manapun di Cina. Ia berdinas dalam angkatan bersenjata Cina nasionalis dan mendapat reputasi yang cukup baik selama peperangan Cina – Jepang. Ia seorang muslim yang tidak dapat mentolerir kekuasaan anti agama kaum komunis. Ia mengorganisir gerakan
Ia melancarkan serangan-serangan kepada pasukan komunis di Hsi Ning. Pertempuran berlangsung tiga hari tiga malam dan akhirnya berhasil mengusir pasukan komunis dan merebut T’ung Chi Ch’iao dan Hsiao Ch’iao di bagian barat
Jumlah korban yang tidak sedikit itu memaksa pemerintah komunis untuk menawarkan perundingan damai (taktik ini selalu muncul berulang kali di tiap masa pergerakan menentang penjajahan). Mereka membentuk sebuah delegasi yang dikirim ke Shui Hsia, diketuai oleh Wakil Gubernur Propinsi Ching Hai dan Wakil magistrat Huang Chung. Mereka telah diberitahu sebelum keberangkatan mereka bahwa mereka harus menerima semua persyaratan yang diajukan Ma, kecuali penentangan terhadap ajaran komunis. Namun Ma tetap berkeras menentang paham komunisme berikut kebijakan politik mereka, sehingga Ma kembali bertempur.
Ketika tentara komunis memulai serangannya, Ma yang telah mengatur formasi pasukannya secara militer, melancarkan sergapan. Sejumlah pasukannya memancing komunis ke Shui Hsia, yang lain kembali menyerang pusat
Pasukan komunis kemudian menempuh cara lain, mereka hendak menyergap pasukan Ma ketika mereka telah berhadap-hadapan, atau dalam jarak yang cukup dekat sehingga pasukan kavaleri Ma tidak dapat berbuat banyak. Selama ini mereka, pasukan komunis, selalu kocar-kacir formasinya oleh pasukan kavaleri Ma. Jadi mereka menyamar dengan mengenakan seragam tentara nasionalis, lalu berbaris menuju ke Shui Hsia. Namun intelijen Ma telah melaporkan siasat tersebut, sehingga Ma telah mempersiapkan pasukan sebelum kedatangan mereka. Ia mengirimkan pasukan untuk menyambut “bala bantuan” tersebut dan beramah-ramah untuk menghindari kesan curiga. Setibanya di dekat basis di Shui Hsia, kelompok penyergap pasukan Ma menyapu bersih mereka. Pada saat yang bersamaan, dua ribu orang di bawah pimpinan Ma Lu, yang berjalan dengan pincang akibat luka yang dideritanya dalam pertempuran terdahulu, menyerang dan menduduki ibukota kabupaten Huang Chung. Pasukannya bertahan selama tujuh hari di dalam
Namun takdir Allah Swt. menentukan lain. Di antara indahnya bunga yang sedang mekar pada musim semi di tahun 1950, Ma dan pasukannya disergap oleh pasukan komunis dengan kekuatan seratus
Dengan demikian gerakan rakyat bersenjata menentang komunisme itupun hidup terus. Mereka tetap aktif sampai musim semi tiga tahun berikutnya. Hingga akhirnya mereka terpaksa bergerak di bawah tanah.
Ma Hu Shan
Ma Hu Shan adalah seorang muslim dari suku Han sebagaimana Ma Ying. Ia berasal dari Lien Hsia, propinsi Kan Su, Cina Utara. Ia dikenal karena menjadi veteran perang melawan Rusia di Sinkiang ketika ia masih menjadi wakil komandan Divisi 36 tentara nasionalis.
Setelah perlawanan orang-orang Tartar di Cina Barat (
Seruan Ma tidak sia-sia, di
Mula-mula komunis mencoba mendekati keluarga Ma dan para pemimpin pergerakan tersebut, menawarkan bantuan ekonomi. Beberapa dari mereka yang lemah pun terbujuk untuk mencoba meyakinkan Min bahwa sia-sia saja melanjutkan perjuangan karena pemerintah telah berubah kebijakannya. Mereka tidak lagi menindas rakyat. Min pun akan dihadiahi sebidang tanah dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan daerah, antara lain jabatan Ketua Distrik Swa Tantra (otonom) dari daerah yang membawahi Ku Yuan, Hai Yuan dan Ching Yuan di Propinsi
Tetapi pemerintah komunis tidak berputus asa. Mereka justru mencoba mengintensifkan bujukan mereka dengan tawaran yang lebih tinggi dan bernilai. Ia diberi bermacam-macam hadiah, termasuk sebuah mobil yang pada saat itu menunjukkan betapa tinggi status sosial seseorang. Hanya pejabat teras partai saja yang memiliki mobil pribadi. Akhirnya tekad orang tua itupun goyah. Ia merasa terlalu tua dan hanya ingin hidup tentram menikmati akhir usia, tanpa harus dibebani lagi oleh permasalahan rakyat yang menderita di bawah komunisme. Ia akhirnya menerima semua tawaran pemerintah berikut hadiah-hadiahnya, serta berjanji akan bekerja sama. Kemudian ia pergi ke ibukota
Walaupun Min menyerah, para pengikutnya tetap memilih tidak. Apabila pemimpin lalai ia tidak lagi dipatuhi, ini merupakan ajaran Islam. Sehingga ratusan ribu pengikutnya di wilayah Kan Su memilih untuk tetap berjuang bersama Ma Hu Shan dan kelompoknya. Hal ini kembali mengkhawatirkan pemerintah, sehingga mereka mencoba mendekati Ma sebagaimana mereka lakukan dulunya terhadap Min. Ma ditawari kedudukan jendral dalam angkatan bersenjata komunis dan berbagai bantuan lain. Namun para utusan pemerintah tidak berani menjumpai Ma secara langsung, karena watak Ma yang keras dan tegas sebagaimana Umar Bin Khottob Ra. Mereka hanya berani mengirimkan
Pada tahun 1954, pemerintah kembali melancarkan “ofensif perdamaian” secara besar-besaran. Mereka mengangkat
Ma Hu Shan terharu sewaktu menerima mereka, yang begitu dihormatinya. Ketika tiga dari lima orang utusan tersebut benar-benar bersumpah dengan Al-Qur’an untuk meyakinkan Ma, salah seorang yang bernama Mullah Chang Pa, memperingatkan Ma bahwa mereka sebenarnya dipaksa untuk melakukan ini semua. Ia tidak bersedia ikut bersumpah. Ia juga berkata bahwa jika Ma mau menyerah ia tidak ikut bertanggung jawab atas nasib Ma selanjutnya. Mullah
Ma Hu Shan percaya bahwa seorang muslim tidak akan dengan enteng mengangkat sumpah dengan Al-Qur’an. Ia sebenarnya ragu-ragu setelah mendengar pernyataan Mullah Chang Pa. Namun akhirnya ia memilih untuk tetap menyerah, bukan karena sumpah para utusan tersebut, melainkan karena memikirkan keluarga para utusan itu yang terancam. Ia bersedia menerima tawaran mereka untuk turun gunung dan masuk dalam angkatan bersenjata. Ma Hu Shan akhirnya meninggalkan pasukannya di markas mereka. Ia hanya seorang diri, disertai oleh kelima utusan tersebut, menuju ke ibukota negara
Ma Chung I
Ma Chung I, juga seorang Han, berdinas sebagai tentara dalam angkatan bersenjata nasionalis sebagaimana Ma Ying dan Ma Hu Shan. Ketika perang Cina – Jepang usai, ia tinggal di kampung halamannya di bagian timur
Ma Chung I gugur dalam sebuah pertempuran di Hu