Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

TINJAUAN MENDASAR DALAM SEMANGAT PEMBARUAN

Oleh : Nafiisah M. Ridlwan

Ide pembaruan Islam yang tercetus sejak awal abad XIII H (19 M), semakin mendapatkan tempatnya di era ini. Era pasca modernisme sebagai lanjutan dari fase modern banyak memberikan peluang bagi setiap pemikiran untuk berkembang. Termasuk diantaranya adalah ide pembaruan Islam, yang menyuarakan gagasan-gagasan yang cukup memberikan suasana baru di dunia Islam. Berbagai fenomena pasca modernisme terus melaju mengisi setiap sisi kehidupan. Warna relatifisme dan pluralisme menciptakan ruang-ruang yang lebar bagi berkembangnya ide-ide pembaruan. Ide yang cukup relevan karena dianggap bersifat kritis dan korektif terhadap konsep apapun termasuk teks-teks keagamaan yang telah mapan.

Di dunia Islam, sebagian kalangan menganggap ide tersebut perlu mendapat dukungan kuat. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai bahaya besar bagi perjuangan kebangkitan umat Islam. Para orientalis dengan penuh optimistis menggantungkan harapan besar pada gerakan-gerakan pembaruan ini. Bahkan mereka menyusun langkah-langkah khusus untuk mendorong kaum muslimin agar berinisiatif dan aktif dalam upaya pembaruan tersebut.

Tidak dipungkiri bahwa semangat pembaruan banyak ditangkap oleh sebagian kaum muslimin sebagai sebuah perjuangan untuk mengembalikan kebangkitan Islam. Dalam hal ini penting bagi kita untuk mengkritisi, apakah gagasan-gagasan pembaruan di era ini memiliki relevansi dengan perjuangan Islam?

Mengapa Muncul Ide Pembaruan?

Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.

Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman.

Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam. Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan.

Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash.

Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah. Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan Hadits).

Diantara kaedah dasar yang sering digunakan adalah : ‘Tidak ditolak perubahan hukum karena perubahan zaman’. ‘Adat istiadat dapat dijadikan patokan hukum’.

 

 

Menelusuri Semangat Para Tokoh Pembaruan

  1. Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M)
  2. Sebagai langkah untuk membangkitkan kembali umat Islam, Sayyid Khan mengemukakan tiga langkah yang harus ditempuh : (1) bekerjasama dalam bidang politik; (2) mengambil ilmu-ilmu kebudayaan Barat; (3) menafsir ulang Islam dalam bidang pemikiran. Gagasan untuk menjalin hubungan dengan negara Inggris dan menyingkirkan penolakan kaum muslimin terhadap kemajuan Barat mulai ia perjuangkan.

    Sayyid khan berpendapat bahwa Al-Quran merupakan satu-satunya asas untuk memahami Islam. Hal ini ia dasarkan pada perkataan Umar Ibnu Khathab, "Cukuplah bagi kita kitabullah". Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka untuk memahami Al-Quran tidak mungkin bersandar pada Al-Quran menggunakan penafsiran kontemporer. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat muhkamat bersifat asasi atau mengandung dasar-dasar aqidah, sedangkan ayat-ayat mutasyabbihat menerima lebih dari satu penafsiran yakni mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Perubahan terjadi setiap saat, ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia bertambah. Oleh karena itu untuk menghadapi perubahan tersebut harus terjadi perubahan pemahaman manusia terhadap ayat-ayat mutasyabbihat. Karena boleh jadi akan ada penafsiran lain yang lebih sesuai dengan ilmu pengetahuan alam manusia masa kini.

    Menurut Ahmad Khan, hanya Al-Quran yang menjadi asas dalam memahami agama, sedangkan hadits yang dapat dijadikan sebagai sandaran hanyalah hadits-hadits yang sesuai dengan nash dan ruh Al-Quran, yang sesuai dengan akal dan pengalaman manusia dan yang tidak bertentangan dengan hakekat sejarah. Bahkan setiap hadits yang bertalian dengan masalah dunia hanya berlaku khusus bagi kondisi dan keadaan bangsa Arab pada masa nubuwah, dan tidak mengikat bagi seluruh kaum muslimin.

    Tampaknya poin terpenting yang dinafikan Ahmad Khan adalah dalam menerima hadits. Ia berpendapat perkara-perkara agama bersifat tetap, sedangkan perkara-perkara dunia berubah-ubah. Sampai disini dapat disimpulkan bahwa menurut Ahmad Khan, hadits-hadits tidak diterima sebagai sumber hukum diera setelah masa kenabian. Ia pun akhirnya menyangsikan kelayakan pendapat-pendapat fuqaha dahulu untuk diterapkan pada masa sekarang. Maka pintu ijtihad terbuka untuk seluruh masalah. Menurutnya perbedaan fisi dan kebebasan yang luas merupakan satu-satunya jalan untuk memajukan umat. Salah satu pendapatnya yang cukup mendapat tanggapan keras dari beberapa kalangan adalah bahwa Allah telah menciptakan dan membuat hukum-hukum, akan tetapi Allah tidak turut campur dalam hukum alam. Dari sisi cukup memperlihatkan bahwa ia menggunakan sistem nilai dari pemikiran Barat untuk memahami agama dan menafsirkan Al-Qur’an.

  3. Chiragh Ali (1844-1895)
  4. Chiragh Ali adalah murid sayyid Ahmad Khan. Ia melakukan studi banding tentang Bibble dengan Al-Qur’an, sebagai upaya untuk berargumentasi dengan penganut kitab Bible. Ia juga melakukan penelitian kembali sumber-sember hukum Islam. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa Islam tidak terikat pada sistem sosial tertentu. Akhirnya ia pun memunculkan suatu penafsiran yang menyeluruh dan pembaruan dalam lapangan hukum dan politik yang didasarkan atas Al-Qur’an.

    Menurutnya Islam harus beradaptasi dengan kondisi zaman yang berubah-ubah, agar senantiasa mampu hadir ke tengah-tengah umat dalam menyelesaikan problematika kehidupan yang terjadi. Dalam muqadimahnya ia mengemukakan bahwa Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad –Nabi bangsa Arab—didalamnya terdapat elastisitas yang memungkinkan bagi Islam untuk beradaptasi terhadap perkara politik dan sosial yang terjadi di sekitarnya. Menurutnya Al-Quran bukan merupakan penghalang kemajuan spiritual dan tidak melarang kebebasan berfikir di antara kaum muslimin serta bukan penghalang inovasi dalam segala aspek kehidupan baik dalam politik sosial, pemikiran maupun segi moral. Inti pemikirannya tidak berbeda nyata dengan gurunya Sayyid Ahmad Khan.

  5. Sayyid Amir Ali (1849-1928)
  6. Amir Ali adalah murid Sayyid Khan yang memandang bahwa kondisi masyarakat yang senantiasa berubah menuntut Islam yang bersifat universal dan senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Usahanya untuk turut memajukan umat Islam dalam menghadapi tantangan jaman ia tuangkan dalam karyanya "Ruhul Islam" (Spritual Islam). Masih dengan semangat yang sama dengan para pendahulunya, dalam buku tersebut ia menyatakan : "Sesungguhnya sikap prisip-prinsip Islam yang kaku dan tidak beradaptasi terhadap kondisi dan pemikiran masa kini, mengakibatkan berkurangnya eksistensi Islam sebagai agama universal. Untuk memurnikan nilai hukum serta pemahaman Islam yang dibawa oleh Muhammad, sebagian orang yang adil dalam mencari kebenaran harus menampakkkan bahwa prinsip-prinsip Islam bersifat sementara, sehingga terus disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan jaman sekarang".

  7. Muhammad Abduh (1849-1903)
  8. Abduh adalah salah seorang murid Al Afghani. Ia berpandangan bahwa reformasi sosial serta pendidikan Islam merupakan jalan menuju reformasi politik serta pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat. Penafsiran yang ia lakukan memang tidak menyerukan seruan revolusioner untuk memperbaiki kondisi yang ada berdasarkan pemikiran-pemikian kapitalisme yang kafir, namun hanya tindakan kompromi dan adaptasi antara Islam dengan perasaan zaman dan tuntutan-tuntutannya.

  9. Ali Abdurraziq (1888-1966)
  10. Ali Abdurraziq adalah salah seorang teman akrab Abduh. Ketika terjadi penghapusan kekhilafahan pada tahun 1924, ia menampilkan fikiran berjudul "Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan" sebagai upaya untuk memajukan umat Islam dari ketertinggalan Barat. Hanya saja dalam upayanya tersebut ia telah terbawa oleh gaya pemikiran Barat. Hal ini terlihat dalam buku yang ditulisnya. Ia menyatakan bahwa khilafah merupakan sistem yang dikenal oleh kaum muslimin berdasarkan sejarah, namun dalam prinsip-prinsip hukum tidak ada suatu nash pun yang mengharuskan hal tersebut. Dalam penutup bukunya ia menyatakan "Sesungguhnya dienul Islam terlepas dari dari khilafah yang dikenal oleh kaum muslimin". Sesungguhnya hal itu sedikitpun tidak berada didalam batas-batas dia, hukum, maupun batas-batas tugas hukum serta pusat-pusat pemerintahan. Namun kekhilafahan semata-mata merupakan garis politik murni yang tidak berhubungan dengan dien. Ia tidak mengenal kekhilafahan, tidak mengingkarinya, tidak memerintahkan dan tidak pula melarangnya. Ia membiarkan hal tersebut kepada kita agar kembali pada hukum-hukum akal dan pengalaman umat-umat sebelum kita, serta prinsip-prinsip politik.

    Abdurraziq menegaskan bahwa keberadaan pemerintahan dan pengaruh-pengaruh kekuasaan dari masa Nabi hanya sekedar sarana untuk memperkokoh dakwah dan agama. Ia memperkenalkan sistem politik Barat agar diambil dalam upaya menegakkan pemerintahan.

  11. Rasyid Ridha (1865-1935)
  12. Rasyid berpendapat bahwa kaum muslimin diwajibkan untuk melakukan pembelaan terhadap orang-orang non muslim yang tunduk di bawah pemerintahan kaum muslimin dan memperlakukan mereka sama seperti terhadap kaum muslimin sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh syariat. Pemuda Islam harus memiliki patriotisme yakni menjadi teladan yang baik bagi rakyat negaranya, apapun agama mereka yang bekerja sama dalam kegiatan yang sah demi mempertahankan kemerdekaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, kebaikan, kekuatan dan sumber-sumber sejalan dengan hukum Islam yang mengutamakan hubungan erat antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

  13. Thaha Husein (1889-1973)
  14. Menurutnya untuk mencapai kemajuan maka penting mengadakan hubungan dengan negara-negara Eropa. Ini adalah kesempatan yang baik, hanya saja tetap harus bersifat selektif dalam melakukan pendekatan terhadap kebudayaan Eropa. Ia juga berpendapat bahwa kaum muslimin telah menyadari adanya prinsip bahwa sistem politik dan agama adalah dua hal yang berbeda satu sama lain dan bahwa konstitusi dan ketenangan negara, lebih dari yang lain, merupakan landasan-landasan yang harus dilaksanakan.

  15. Fazlur Rahman (1919)
  16. Menurut pendapatnya rakyat di negara Islam mempunyai kekuasaan untuk membuat undang-undang. "Kedaulatan Allah" memiliki konsekuensi berupa perlu adanya suatu kerangka kerja dari ajaran-ajaran moral tersebut dalam rangka melaksanakan hak rakyat untuk membuat undang-undang. Al-Qur’an bukanlah kitab undang-undang melainkan kitab yang berisi ajaran-ajaran dan petuntuk Tuhan (Allah) untuk kepentingan umat manusia. Ajaran-ajaran ini masih harus diberi bentuk segar dalam pengertian legislasi. Dalam proses pembentukan hukum ini, prinsip ijtihad dan ijma’ memiliki peran penting. Dua-duanya memberikan kepastian yang senantiasa diperlukan dalam hukum dan juga faktor-faktor yang memungkinkan adanya perubahan dan dinamika hukum sehingga itu dapat mencerminkan gagasan-gagasan perubahan, kemajuan dan perkembangan masyarakat.

    Ijma’ diartikan sebagai konsensus atau kesepakatan dari suara masyarakat. Kesepakatan inilah yang menentukan kebijaksanaan dalam menegakkan suatu produk perundang-undangan. Dalam masyarakat memungkinkan banyak ijma’ sehingga suatu ijma’ dapat digantikan kedudukannya oleh ijma’ lain yang lebih sesuai. Sedangkan ijtihad diartikan sebagai upaya untuk berfikir dan dalam hal ini tak seorangpun bisa memberikan atau mencabut hak untuk berfikir. Dengan konsep ini suatu masyarakat akan berjalan dengan baik karena masyarakat menjalankan undang-undang (peraturan) yang mereka inginkan. Dari sini tampak adanya gagasan untuk menggunakan suara mayoritas sebagai penentu kebijakan sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi.

  17. Asghar Ali Engineer (Sosiolog, Direktur Universitas Bombay)
  18. Teolog asal India yang juga Direktur Institut of Islamic Studies Bombay ini menekankan perlunya penafsiran Al-Quran dan hadits dengan metode kontekstual (disesuaikan dengan sosiologis yang tengah berkembang). Asghar mengaku bahwa Al-Quran adalah buku suci pertama di dunia yang memberi hak-hak penuh pada kaum perempuan. Namun dalam perjalanan penafsirannya, telah mengalami banyak penyimpangan yang menempatkan perempuan di bawah kedudukan laki-laki. Ia pun membenarkan tuntutan persamaan (laki-laki dan perempuan) dalam segala bidang. Ia menolak penafsiran bahwa laki-laki adalah qowwam (pemimpin) kaum perempuan yang sering digunakan untuk mengalahkan perempuan. Dengan kerangka kontekstual progresif, maka persamaan hak waris perempuan dan laki-laki, hak perceraian bagi perempuan, pakaian setengah telanjang dan kenyataan perempuan menjadi presiden adalah sah-sah saja.

  19. Fathima Mernissi
  20. Fathima Mernissi dikenal sebagai teolog dan sosiolog asal Maroko. Mengaku dilahirkan di lingkungan harem, namun kemudian berhasil meraih gelar doktor di universitas Brandies. Mernissi menyoroti status perempuan Arab yang belum setara dengan laki-laki. Kehidupan harem yang serba komunal, poligamistis yang kental oleh stratifikasi sosial, hijab dan hudud merupakan batas-batas yang mengungkung perempuan menjadi bodoh dan lemah. Impiannya melampaui batas-batas ini terbuka saat imperialis Perancis mulai menjarah wilayah Maroko. Kesal dengan kecaman terhadap munculnya perempuan di pentas politik semisal Benazir di Pakistan, Mernissi pun melakukan penelusuran sejarah. Hasilnya, puluhan nama-nama perempuan dari Mesir, Persia, India, Indonesia dan Arab yang disebutkan sebagai ratu-ratu Islam yang terlupakan. Tak kurang gencarnya ia pun menghujat hadits-hadits yang menurutnya berbau misoginis antara lain : "Dan sekali-kali tidak akan berbahagia suatu kaum yang menjadikan perempuan sebagai pemimpin mereka" (HR. Imam Ahmad, Bukhari, Nasa’I). Umat Islam menderita amnesia sejarah, demikian kesimpulan Mernissi.

  21. Amina Wadud Muhsin
  22. Teolog asal Malaysia ini mengatakan bahwa bahasa dan konteks kultural yang melingkupi, telah mempengaruhi persepsi dan keadaan individu penafsir yang bersangkutan. Dengan tinjauan ini Amina mempertanyakan tafsir-tafsir klasik tentang perempuan serta mengungkapkan perlunya penafsiran ulang terhadap teks-teks Al-Qur’an tersebut.

  23. Harun Nasution (Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
  24. Dikalangan masyarakat Indonesia, dikenal tokoh Prof. Dr. Harun Nasution. Ia mengemukakan pendapat bahwa banyak ketentuan Al-Qur’an yang sudah tidak dapat lagi diterapkan di jaman modern ini, karena tidak relevan lagi dengan perkembangan dan kemajuan jaman yang berubah-ubah dengan cepat. Itulah yang melatarbelakangi untuk melakukan penafsiran ulang terhadap makna teks Al-Qur’an dan Hadits. Jika umat Islam menginginkan kemajuan dan mengejar ketertinggalan Barat, maka umat Islam harus bersikap kritis terhadap ajaran-ajarannya, membuang konsep yang tidak terpakai di jaman ini, meskipun bersifat mapan dan berasal dari nash yang qath’i.

    Harun mendorong mahasiswanya agar menggunakan logika bebas dalam meneliti segala sesuatu. Bila ternyata menurut logikamereka, Al-Quran tidak relevan dengan kemajuan jaman yang mengacu ke Barat, maka orang itu belum berani menyalahi nash dan mengkritik hal-hal yang sudah mapan dalam Islam, sehingga orang itu belum dikatakan berfikir ilmiah. Bila seseorang ingin meneliti Islam secara obyektif, maka ia harus mengeluarkan dirinya lebih dahulu dari Islam. Nampaknya pengaruh cara berfikir filsafat cukup mewarnai pemikiran Harun Nasution.

  25. Nurcholish Madjid

Nurcholish adalah generasi murid Harun Nasution. Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan, dikemas dengan gaya ilmiah. Penyampaiannya yang filosofis menjadikan orang-orang yang tidak jeli mengamati pokok-pokok pikiran yang ia lontarkan, akan menerima gagasan yang dikemas rapi itu.

Dalam wawancara dengan surat kabar Kompas, yang dimuat tanggal 1 April 1970, Nurcholish menyatakan bahwa : ‘Sekulerisme mengandung arti pertama : pembebasan dari tutelege (asuhan) agama. Kedua : pemanfaatan ilmu pengetahuan. Orang-orang yang menolak sekulerisasi lebih baik mati saja. Karena sekulerisasi inheren dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini.

Menurutnya, desintegrasi dikalangan umat Islam harus dilakukan untuk melaksanakan pembaruan . Hal ini bisa kita baca dari ungkapannya dalam ‘Pendahuluan’ makalah yang berjudul "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Integrasi Ummat". Ia menulis dalam makalahnya : "Sebuah dilema segera dihadapkan pada umat Islam : Apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya, dengan merugikan integrasi yang selama ini didambakan ataukah akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu, sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran, dan hilangnya kekuatan-kekuatan moral yang ampuh. Tidak bisa dipersatukannya (inkompatibilitas) antara keharusan pembaruan dan integrasi ialah kenyataan bahwa bila suatu inisiatif pembaruan telah diambil akan ada reaksi kepadanya. Berkali-kali sejarah telah menunjukkan kebenaran hal itu.

Beberapa pendapat tersebut di atas, banyak dirujuk untuk memahami teks-teks keagamaan. Gagasan-gagasan tersebut memang nampak sebagai upaya kajian pendalaman Islam dengan metodologi yang akan membawa pengkaji sampai pada suatu kesimpulan kondisi sekarang tidak relevan dengan penafsiran yang bersifat tekstual. Sederhananya, teks Al-Qur’an dan Hadits tidak relevan lagi dengan jaman modern.

Mencari Relevansi Gagasan Pembaruan dengan Islam

Konsep relativisme dan pluralisme dalam memandang kebenaran dalam pasca modernisme telah menjadikan gagasan pembaruan semakin berkembang. Gagasan pemaruan dalam Islam yang muncul sebagai akibat cara berfikir filsafat dan sosiologi Barat telah menjadi sebuah paradigma yang harus dipertahankan di zaman modern.

Filsafat sebagai metode berfikir yang menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal, bisa mengakibatkan terjadinya penyimpangan terhadap aqidah yang sebenarnya. Cara berfikir yang mengagung-agungkan akal dalam membahas segala sesuatu (meliputi zat yang dapat dijangkau ataupun tidak). Mereka yang menggunakan metode ini berfikir dan membahas zat Allah dengan cara berlebihan, begitu pula terhadap sifat-sifat-Nya yang mereka bahas secara mendetail berdasarkan pertimbangan akal yang didukung oleh pendapat serta pemikiran para filosof sebelumnya.

Untuk melihat relevansi cara berfikir filsafat maka dapat kita tinjau dari beberapa aspek :

Pertama, metode ilmu kalam (filsafat) dalam menentukan bukti didasarkan pada ilmu mantiq, bukan kepada penginderaan. Metode ilmu mantiq (logika) dalam menentukan suatu bukti memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam penarikan kesimpulan. Hal ini disebabkan oleh premis-premis yang salah yang tidak didasarkan atas fakta-fakta. Berbeda dengan metode berfikir yang didasarkan atas fakta-fakta yang nyata, yaitu metode yang telah digunakan Al-Qur’an dalam menentukan bukti-bukti, sehingga tidak memungkinkan terjadinya suatu kekeliruan dalam berfikir.

Kedua, menjadikan akal sebagai patokan dalam membahas segala hal yang berkaitan dengan iman, bahkan sampai menjadikan akal sebagai standar untuk memahami hal-hal yang ghoib. Penafsiran Al-Qur’an dilakukan berdasarkan pertimbangan akal. Akal dijadikan sebagai standar pemutus terhadap hal-hal yang mutasyabbihat. Ayat-ayat Al-Qur’an dita’wilkan dan disesuaikan dengan ketentuan akal sehingga mengakibatkan kesalahan dalam pembahasan. Sementara dalam Islam, akal hanya berfungsi untuk memahami nash-nash saja, dan Al-Qur’an adalah rujukan dalam menentukan segala sesuatu.

Ketiga, para mutakallimin telah menjadikan sikap pertikaian dengan para filosof sebagai dasar pembahasan. Hal tersebut menyibukkan mereka dalam perdebatan. Sementara Islam menjadikan metode Al-Qur’an untuk membantah sebagian pemikiran-pemikiran filsafat. Metode ini menjadikan manusia berfikir lebih serius tentang keberadaannya di alam ini serta kelanjutannya nanti.

Keempat, para mutakallimin meletakkan pemahamannya terhadap ayat-ayat mutasyabbihat berdasarkan pada apa yang didapatkan oleh akal mereka tentang makna ayat. Mereka mena’wilkan segala sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya, Sementara itu difahami dalam Islam bahwa ayat-ayat mutasyabbihat yang bersifat global dan tidak memberikan pemahaman yang jelas bagi pembacanya telah turun dengan penjelasan yang umum, tanpa memberi perincian. Pembahasan terhadap ayat-ayat ini hanya terbatas pada apa yang tersurat dalam lafadz-lafadznya.

Cara berfikir sosiolog Barat pun menjadi suatu paradigma yang harus dipertahankan di jaman modern. Cara berfikir ini dilandasi oleh suatu konsep perubahan sosial dalam sebuah masyarakat. Perubahan sosial merupakan sesuatu yang terjadi secara alami. Adanya perubahan sosial akan melahirkan kosep-konsep baru sesuai dengan perubahan zaman. Selain itu adanya kaidah dasar bahwa "tidak ditolak perubahan hukum karena perubahan zaman" memberikan dorongan bagi para pembaru untuk melakukan pengkajian ulang terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadits. Kemajuan ilmu dan perkembangan budaya kontemporer mengharuskan penganutnya menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama yang dianggap ortodoks. Penafsiran ulang terhadap sebagian ajaran yang tidak sejalan lalu menggantinya dengan ajaran yang sesuai dengan kondisi jaman ini dapat dikatakan sebagai upaya adaptasi agama. Dengan asumsi-asumsi dasar, yakni : jaman sekarang adalah jaman perkembangan dan kemajuan, dan pada jaman ini terjadi perubahan besar –ajaran-ajaran agama pada setiap masa berkaitan dengan kondisi aktual pada masa tersebut—sehingga menyebabkan sebagian ajaran tidak sesuai lagi dengan masa sekarang ini; pandangan setiap zaman terhadap hakekat agama merupakan pandangan yang relatif, sesuai dengan pengetahuan yang berkembang pada saat ini, maka dari sinilah agama dihakimi.

Kesesuaian syariat Islam untuk setiap waktu dan tempat dilaksanakan merupakan suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi. Hanya saja makna dari ‘sesuai sepanjang zaman" haruslah difahami bahwa Islam mampu memecahkan problematika manusia setiap masa dan tempat dengan berbagai macam hukum-hukumnya. Bahkan mampu memecahkan semua masalah manusia betapapun luas dan beragamnya masalah. Sebab tetkala syara’ memecahkan masalah manusia maka pemecahannya adalah dengan memperhatikan predikatnya sebagai manusia, bukan dengan predikat yang lainnya.

Keluasan syariat Islam bukan berarti syariat Islam itu fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan segala sesuatu walau bertentangan dengan syara’. Tidak berarti juga bahwa syariat itu berubah secara berangsur-angsur sehingga dapat disesuaikan dengan perubahan zaman. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan keluasan nash-nash syara’ adalah sebagai sumber pengambilan berbagai macam hukum dan atau keluasan hukum untuk mengatasi beraneka ragam problematika manusia. Satu contoh firman Allah :

"…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berilah kepada mereka upahnya…" (QS. Ath Thalaq : 6)

dari ayat ini dapat diambil hukum syara’ bahwa wanita yang ditalak berhak mendapatkan upah menyusukan anak. Dapat pula diambil hukum syara’ bahwa seorang pekerja apapun bentuknya, berhak menerima upah apabila melakukan pekerjaannya, baik ia sebagai pekerja khusus seperti pegawai negeri, pekerja pabrik, pekerja di ladang dan yang sejenisnya, maupun pekerja umum seperti tukang kayu yang membuat almari, tukang jahit dan yang sejenisnya setelah mereka menyempurnakan pekerjaannya. Dengan demikian seorang khalifah (kepala negara) tidak berhak mendapatkan upah karena ia bukan pekerja. Sebab khalifah adalah orang yang dipilih dan diangkat oleh umat untuk menjalankan syara’ dan mengemban dakwah. Namun demikian ia berhak mendapatkan santunan sesuai dengan keperluan, karena ia tidak sempat melakukan urusan pribadinya sendiri.

Keluasan nash syara’ seperti di atas dalam pengambilan hukum-hukum yang beraneka ragam serta keluasan hukum untuk mengatasi beraneka ragam problematika manusia, inilah yang menjadikan syariat Islam mampu untuk menjawab tantangan zaman. Sehingga keluasan hukum ini sendiri tidak dapat dikatakan bersifat elastis atau berubah-ubah.

Dengan demikian kaidah-kaidah kuliyaat (umum) yang dilontarkan oleh para tokoh pembaru tidak memiliki relevansi dengan konsep dasar Islam. Sebab kaidah-kaidah tersebut mengandung konsep relativisme, artinya kebenaran itu berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman. Jaman menjadi pijakan (subyek) perubahan penafsiran agama. Padahal Islam tidak bersifat fleksibel, akan tetapi senantiasa bersifat sesuai dengan perkembangan jaman dan mampu menjawab tantangan jaman. Nilai kebenaran dalam Islam tidak bersifat absurd. Kebenaran dalam Islam senantiasa tetap karena berlandaskan kepada standar yang bersifat pasti. Apabila kita mengacu pada nash-nash ayat Al-Qur’an dan hadits maka dalam Islam tidak dikenal adanya kaidah "tidak ditolak perubahan hukum karena perubahan jaman", dan "adat istiadat dapat dijadikan patokan".

Jelaslah bahwa tidak ditemukan adanya relevansi antara gagasan pembaruan dengan Islam. Sehingga yang terpenting bagi kaum muslimin saat ini adalah bahwa dalam setiap menyelesaikan problematika kehidupan yang harus tetap merujuk kepada kitabbullah dan sunnah RasulNya melalui jalan ijtihad yang shahih.

Adakah Pembaruan dalam Islam ?

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Hurairah :

"Sesungguhnya Allah senantiasa akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu abad), orang yang akan memperbarui dinnya"

Sebenarnya pembaruan berasal dari kata tadjid yang memiliki makna memelihara nash-nash din yang asli dengan benar dan bersih. Sehingga bisa diambil suatu pemahaman bahwa pembaruan (tajdiduddin) merupakan penyusunan solusi-solusi Islam terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan manusia. Hal ini karena kehidupan penuh dengan perubahan, dan nash-nash yang dzahir tidak cukup untuk menjelaskan hukum-hukum dari setiap masalah. Sehingga harus ada upaya mengerahkan kemampuan akal untuk mengembalikan masalah tersebut kepada sumber-sumber syariat Islam. Usaha inilah yang disebut dengan ijtihad. Melalui ijtihad yang shahih inilah akan didapatkan hukum yang akan menempati medan masalah. Ijtihad yang shahih ini pulalah yang dapat dikatakan sebagai bagian dari makna tajdiduddin.

Dengan demikian pembaruan (tajdid) dengan jalan ijtihad yang shahih dalam menghadapi setiap problematika tidak sama dengan pembaruan yang berkembang pada saat ini.

Waallaahu a’lam bishshawab.

PUSTAKA

  1. An Nabhani. 1953. Mafaahim. Darul Ummah. Beirut.
  2. Al Ihsas Edisi 02/Thl/1996
  3. Dr Abdul Majid Abdus Salam Al Muhtasib. 1997. Visi dan Paradigma Tafsir Al Qur’an Kontemporer. Risalah Gusti. Surabaya.
  4. Abdul Qadir Jaelani. 1994. Menelusuri Kekeliruan Pembaruan Pemikiran Islam Nurchalis Madjid. Penerbit Yadia. Bandung.
  5. Busthami M Said. 1995. Gerakan Pembaruan Agama antara Modernisme dan Tajdiduddin. Wala Press. Jakarta.
  6. John J. Donohue & John L Esposito. 1987. Islam dan Pembaruan. Ensiklopedi Majalah-Majalah Pengantar DR. M Amin Rais. Rajawali Pers. Jakarta.