Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Home Articles Link Books Gallery Audio

 

    

Paralelisasi Kristen - Islam

Sebuah Perspektif dari Kekristenan Timur Tengah

Oleh : Henney Sumali

 

 

 

Dalam menggali akar bersama yang dapat mempererat persaudaraan, kekerabatan dan persahabatan antara agama Kristen dan Islam, Sayyed Hosein Nassr dan Prof. Mukti Ali pernah mengusulkan metode paralelisasi untuk mencari titik-titik temu (meeting points) antara kedua agama tersebut.[1] Metode paralelisasi mencoba mendalami bahasa theologis suatu agama berdasarkan presuposisi agama-agama yang bersangkutan, dan bukan lagi menilai agama orang lain dari kaca mata agama kita sendiri. Dengan meminjam istilah Dr. Said Aqiel Siradj, kedua agama tersebut harus dilihat dalam "satu trah dari nabi Ibrahim a.s."[2] Harapan mulia tersebut diungkapkan pula dalam Deklarasi Jakarta 2 September 1998 lalu yang merupakan pernyataan tulus sekaligus protes keras yang dilancarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi  Konferensi Islam  terhadap Orientalisme.

Oleh sebab itu, bagi kita haruslah meletakkan suatu arti yang orisinal bagi perbandingan agama yang diambil dari sumbernya yang jernih yang tidak ada kebatilan di hadapan dan di belakangnya, dan yang menguatkan bahwa agama-agama samawi sumbernya adalah satu (Pasal 4, VII f).  

              Kecurigaan Islam maupun Kristen Oriental (Timur Tengah) terhadap Orientalisme memang beralasan karena dianggap sebagai babak baru dari wujud penjajahan yang dilancarkan oleh "kaum Salibi" (baca : Kekristenan Barat) terhadap dunia Timur Tengah.[3] Jadi, yang tercermin di sini bukanlah konflik keagamaan antara Kristen dan Islam, tetapi lebih merupakan konflik peradaban Barat dan Timur Tengah.[4]"Cultural gap" yang dalam dan makin lebar akibat sejarah silam yang suram itulah yang menyebabkan sulitnya diperoleh titik-titik temu yang dapat "mendamaikan" ketegangan kedua agama. Karena itu, Idris Shah menekankan pentingnya inventarisasi istilah-istilah keagamaan bahasa Arab yang dipakai dalam komunitas Kristen Timur Tengah dengan bahasa Arab Islam sebagai salah satu cara mengatasi kesenjangan itu.[5] Dalam kaitan ini, banyak ahli studi kekristenan Timur Tengah berpendapat bahwa Kekristenan Orthodoks Syria-lah yang paling banyak memiliki kesamaan istilah keagamaan dan titik temu dengan Islam.[6]

[1] H. A. Mukti Ali,  " Hubungan  Antar  Agama  dan   Masalah-Masalahnya," dalam Eka Dharmaputra, Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991), h. 126.

[2] Said Aqiel Siradj, Prospek Persahabatan Kristen-Islam di Indonesia (Ciganjur: 4 September 1998), h.1. Makalah ini disajikan dalam acara Pengukuhan Pengurus Yayasan Kanisah Orthodoks Syria Cabang Surabaya, 5 September 1998 di Heritage Club Surabaya.

[3] Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1969). Terjemahan dari pengarang yang sama dalam bahasa Indonesia, Penjungkirbalikan Dunia Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1986). Reaksi yang tajam terhadap Orientalisme di Timur Tengah misalnya dalam tulisan Sa'duddin As-Sayyid Shalih, Al-Muaamaratu Dhiddal Islami (Cairo: Al-Qahirah, 1990) yang diterjemahkan  oleh Muhammad Thalib, Jaringan Konspirasi Menentang Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), h. 120.

  [4] Muhammad 'Imarah, Perang Terminologi Islam versus Barat (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 90-91. Dalam meriwayatkan ihwal Kristenisasi di Mesir, misalnya, upaya kaum misionaris Barat bukan saja berarti menggiring umat Islam menjadi Kristen Barat, melainkan juga membawa banyak umat Orthodoks Coptik Mesir untuk "ditaklukkan" dalam budaya dan sinode gereja-gereja Barat. Maka tidak ayal bila kemudian umat Islam maupun masyarakat Coptik di sana bersatu mengusir aksi kristenisasi dari Barat tersebut.

  [5]  Idries Sah, Meraba Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog Kristen-Islam (Jakarta: Grafiti Press, 1986), h. 42.

  [6] Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of  the Qur'an (Lahore: Al-Biruni, 1977),  h. 19. Lihat juga: Alphonsus Mingana, "Syrian Influence on the Style of the Kur'an," Bulletin of the John Rylands Library, Manchester 11, (1927), h. 83 dan J. Spencer Trimingham, Christianity among the Arabs in Pre-Islamic Times (London: Longman Group Ltd., 1979), h. 267.

Paralelisasi Literatur Kristen Syria

dan Kandungan Isi Qur'an

              Sejarah membuktikan bahwa Alkitab yang kanonik atau tulisan-tulisan Kristen yang lain belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebelum timbulnya agama Islam.[7] Maka yang lebih memungkinkan untuk ditangkap dan dicerna oleh Muhammad dan masyarakat sejamannya di Arabia adalah pengetahuan secara tidak langsung terhadap sumber-sumber kekristenan yang berasal dari budaya lisan atau terjemahan sementara daripada sumber-sumber yang bersifat resmi. Sumber-sumber dari kekristenan Syria nampaknya lebih banyak diserap dalam Qur'an ketimbang dari sumber-sumber lain karena terbukti banyak nama dalam Alkitab yang dipakai Qur'an ternyata berasal dari kekristenan Syria.[8]Nama 'Isa, misalnya, berasal dari 'Isho atau 'Isha sebagai nama untuk Yesus di kalangan gereja Syria, ketimbang berasal dari nama Esau seperti yang diduga oleh para polemikus Barat.[9]

            Ada kesamaan antara khotbah-khotbah para bapak gereja Syria yang sering diulang-ulang dalam Qur'an berkenaan dengan ancaman api neraka dan pahala di taman Firdaus serta bukti-bukti kuasa Allah dalam membangkitkan orang-orang mati.[10] Yang menarik adalah ditemukannya beberapa nama tokoh Alkitab yang dipakai Qur'an dengan penggambaran seperti yang biasa dipakai oleh gereja ini melalui penafsiran typologis mereka. Misalnya, Maria dalam Qur'an dikatakan sebagai "saudara Harun" (Maryam (19):28), yang oleh para polemikus dianggap sebagai suatu kemustahilan, sebenarnya tidak terasa aneh bagi gereja Syria yang dalam tafsiran typologis mereka mengangap Maria seolah-olah dihadirkan di gunung Horeb ketika semak belukar yang menyala oleh api tetapi tidak terbakar.[11]Demikian juga, 'Isa mengajak para muridNya untuk menjadi "para penolong agama Allah" (Ash Shaff (61): 14), yang terdengar seperti panggilan jihad, terasa tidak mengherankan karena anggapan secara typologis bahwa Yesus pernah hadir pada jaman Perjanjian Lama sebagai Yoshua (nama keduanya dalam bahasa Ibrani dan Syria sama : Yoshu'a), yang memimpin bangsa Israel untuk menaklukkan Tanah Perjanjian.[12]

            Peleburan secara typologis Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama juga menjadi kunci untuk menjawab kisah hidangan yang disediakan 'Isa (Al-Maa'idah (5): 112-115). Qur'an mengisahkan adanya hidangan khusus yang diberikan 'Isa kepada para muridNya, yang bagi mereka adalah suatu perayaan, yang karenanya maka wajar bila kita teringat akan kisah Perjamuan Malam. Dalam Qur'an, para murid (baca: Hawariyin) memohon hidangan agar hati mereka sentosa dan yakin bahwa perkataan 'Isa itu benar. Ini mengingatkan kita akan perkataan Yesus dalam Injil Yohanes, "Jangan hatimu gelisah. Percayalah kepada Allah dan percayalah kepadaKu" (Yohanes 14: 1). Dalam Qur'an , dikatakan bahwa Allah mengancam akan menghukum mereka yang tidak taat. Pernyataan ini tidak jauh menggemakan kembali peringatan Paulus bahwa jemaat Kristus akan mendapat hukuman bila tidak layak mengikuti Perjamuan Kudus (1 Korintus 11: 27-30) atau mungkin saja berasal dari kisah di Perjanjian Lama tentang bagaimana Allah menghukum bangsa Israel setelah mereka makan manna. Dua penjelasan inilah yang dipakai dalam tafsiran-tafsiran typologis Paulus (1 Korintus 10: 1-10). Akhirnya, kisah Al-Maa'idah bisa jadi didasarkan pada penafsiran kisah dalam Perjanjian Lama, sebab menurut Pemazmur, bangsa Israel itu berdosa karena mengatakan, "Sanggupkah Allah menyajikan hidangan di padang gurun ?" (Mazmur 78: 19).[13]

            Pengaruh literatur Kristen Syria yang berikut adalah sumbangsih Diatessaron yang ditulis Tatian sebagai harmoni keempat Injil menjadi satu buku. Ini berkaitan dengan pernyataan Qur'an bahwa Injil adalah sebuah buku yang diberikan Allah kepada 'Isa dan bukannya beberapa versi penuturan Injil oleh Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Perlu dicatat bagaimana redaksional Lukas 1: 34 yang mengatakan bahwa Maria belum pernah "mengenal" seorang laki-laki, sementara Tatian menulis bahwa "tidak seorang laki-laki pun yang pernah mengenalnya". Perubahan kecil ini yang mencatat adanya seorang pria sebagai partner aktif yang kemudian justru diambil oleh Qur'an ketika dikisahkan bahwa Maryam bersikeras bahwa belum ada seorang laki-laki pun yang pernah menyentuhnya (Ali Imraan (3): 47 dan Maryam (19): 20).[14]

            Selain itu, ada banyak kisah dalam Qur'an yang tidak ditemukan dalam Injil kanonik atau Diatessaron, tetapi dapat dijumpai dalam dongeng-dongeng beberapa Injil apokrip. Protoevangelium Jacobi menyebutkan bahwa Maria menerima makanan dari seorang malaikat ketika ia masih kanak-kanak dan ketika ia berusia 12 tahun, dipilihlah seorang wali untuk mengasuhnya dengan membuang undi dan segera sebelum ia menerima berita dari malaikat Jibril, ia tinggal di mihrab rumah sembahyang.[15]

              Injil berbahasa Latin yang dalam bahasa Inggris disebut Gospel of Pseudo-Matthew, menyebutkan mujizat pohon kurma dan aliran air dalam konteks kisah pengungsian di Mesir. Kisah 'Isa berbicara ketika masih dalam buaian yang terdapat dalam The Gospel of Infancy dalam bahasa Arab sering jadi masalah bagi para polemikus. Akhirnya, mujizat penciptaan burung dari tanah liat dapat kita jumpai dalam Infancy Story of Thomas.[16] Terjemahan dalam bahasa Syria Protoevangelium Jacobi dan Infancy Story of Thomas sudah ada pada jaman pra-Islam. The Gospel of Infancy dalam bahasa Arab dan Injil Pseudo-Matius merupakan karya sastra berikutnya tetapi ada kemungkinan berasal dari sumber-sumber bahan berbahasa Syria masa pra-Islam.

[7] Alkitab dalam bahasa Arab paling awal untuk Perjanjian Baru baru ada tahun 900 Masehi, merupakan terjemahan yang dilakukan Sa'adya Ga'on atau disebut Sa'adya ben Yosef (892-942), seorang rabbi Yahudi. Sedangkan Perjanjian Baru versi bahasa Arab ditulis seorang uskup Coptik pada tahun 1271 Masehi dan diterbitkan pada tahun 1861 Masehi. Masyarakat Kristen Arabia memakai bahasa Arab dalam percakapan sehari-hari, tetapi dalam ibadah, kitab suci mereka masih dalam bahasa non-Arab, yaitu dalam bahasa Ibrani, Syria, Coptik atau Ethiopia. Kondisi ini yang menyebabkan Muhammad hanya dapat memperoleh informasi secara tidak langsung dari sumber aslinya sehingga sumber-sumber lisan-lah yang lebih menonjol. Lihat Abdiyah Akbar Abdul-Haqq, Sharing Your Faith with a Muslim  (Minnesota : Bethany Fellowship Inc., 1980), h. 13.

[8] Arthur Jeffery, op.cit., h.12-20. Juga A. Minggana, op.cit., 83.

[9] Ibid, h. 218-220.

[10] Lihat bagian tentang kesalehan Muhammad secara eskatologis dalam Tor Andrea, Les Origines de l'Islam et le Christianisme (Paris: Andrien-Maisonneuve, 1955), h. 67-200. Penulis buku ini selalu mengatakan bahwa dalam hal pahala di surga, nyanyian Mar Efraim dari Syria menyebut tentang anggur dan pohon buah-buahan tetapi bukan para bidadari -- lihat juga E. Beck, "Les Houris de Coran et Ephraem le Syrien," MIDEO VI (1959-60), h. 405-408.

[11]  Menurut E. Graf, Zu den christlichens Einflusen in Koran, J. Henninger Festchrift al-bahit (Bonn: St. Agustin, 1976), h. 118, identifikasi Maria dengan semak belukar yang menyala tapi tak terbakar itu terdapat dalam sebuah nyanyian pujian yang ditulis oleh Patriarkh Rabbula.

[12] Dalam bahasa Syria (Arami) dan Ibrani, nama Yesus dan Yoshua adalah identik. Lihat dalam: J. Bowman, "The Debt of Islam to Monophysite Syrian Christianity, Netherlands Theologisch Tijdschrift, XIX (1964-1965), h. 200.

[13] Neal Robinson, Christ in Islam and Christianity (Albany: State University of New York Press, 1991), h. 18.

[14] ) K. Luke, "The Koranic Recension of Luke 1:34," Indian Theological Studies, XXII (1985), h. 381-399.

[15] E. Hennecke, New Testament Apocrypha vol. 1 (London: SCM, 1973), h. 378-380. Perlu dicatat, parelel itu tidak tepat persis. Misalnya, menurut Protoevangelium Jacobi, Yusuflah yang dipilih sebagai pemelihara Maryam dan bukan Zakaria.

[16]  Ibid.

Soal Gelar 'Ibnu Maryam'

bagi 'Isa Almasih

            Yang lebih menarik lagi, sebutan Yesus sebagai Ibnu Maryam (Putera Maryam) yang kurang populer dalam Injil-Injil kanonik, karena hanya disebut sekali dalam Markus 6:3, justru lebih akrab jadi sebutan untuk tokoh 'Isa dalam Qur'an. Bahkan, Qur'an memberipenghormatan khusus bagi Maryam dengan kata-kata 'dan ibunya adalah seorang yang sangat benar' (Al-Maa'idah (5): 75), 'Maryam yang memelihara kehormatan' (Al Anbiyaa (21):91, At-Tahrim (66): 12), 'Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih engkau, mensucikan dan melebihkan engkau atas sekalian perempuan yang ada di dalam alam' (Ali 'Imraan (3): 42). Kisah masa kecil dan peranan Maryam di kemudian hati diceritakan lebih panjang lagi dalam Surat Maryam.

              Dalam Qur'an, gelar Ibnu Maryam bagi 'Isa Almasih, menurut beberapa ahli, diberikan dengan beberapa tujuan. Pertama, gelar itu menurut Muhammad 'Ali, menyatakan bahwa Ia adalah seorang manusia sama seperti nabi-nabi yang lain. Sebutan ini menyatakan status Almasih sebagai seorang anak yang dilahirkan tanpa seorang ayah, sebab seorang anak diberi nama menurut garis ketutunan ayahnya, dan bukan dari ibunya, kecuali bila ayahnya tidak diketahui. Qur'an sendiri tidak menyebut Yusuf sebagai bapak atau bapak tiri bagi Almasih seperti yang digunakan dalam Injil kanonik (Matius 1: 19f; tapi dalam Lukas 2: 33 -- 'ayahnya').[17]

              Menurut R.H. Lightfoot, gelar Ibnu Maryam yang disandang 'Isa Almasih dianggap tidak lazim dan bahkan untuk jaman 'Isa sendiri dianggap sebagai pelecehan. Sebab tak sorangpun di Timur, entah ayahnya hidup atau mati, akan disebut dengan nama ibunya kecuali dengan maksud untuk menghina.[18] Keterangan Lightfoot ini mengingatkan kita tentang bagaimana Yesus di mata orang Yahudi pernah dijuluki 'Bar Parthenon' (artinya: Anak Perawan) yang kemudian dipelesetkan menjadi 'Bar Panthera" dengan maksud untuk menghujat Dia yang dalam Toledot Yesu dikisahkan sebagai  ' anak haram dari serdadu Romawi yang bernama Panthera'.[19]

              Bagi E.F.F. Bishop, gelar Ibnu Maryam sangat mungkin berasal dari Abyssinia karena umat Islam paling awal pernah hijrah ke negara Kristen itu sebelum akhirnya kembali lagi ke Mekkah. Pemakaian gelar Ibnu Maryam dalam Qur'an memang berbarengan dengan peristiwa ini.[20] Pendapat ini dianggap kurang kuat karena di antara gereja Coptik Mesir maupun Abyssinia, tidak terdapat gelar 'Putera Maryam' bagi Yesus dalam kontroversi Kristologis mapun dalam lityrgi mereka, sehingga Dr. Murad Kamil dari gereja Coptik sendiri menganggap alasan Rev. Bishop itu tidak mungkin terjadi.[21]

              Yang lebih memungkinkan, menurut Geofferey Parrinder, gelar Ibnu Maryam sangat mungkin karena pengaruh dari gereja Syria, karena hampir tujuh puluh lima persen istilah-istilah asing dalam Qur'an berasal dari bahasa Syria sementara yang dari ethiopia hanya lima persen saja. Alasan ini dibuktikan oleh sebutan Ibnu Maryam yang berkali-kali disebut dalam The Gospel of Infancy dalam versi bahasa Arab dan Syria. Ini menunjukkan bahwa orang-orang kristen Syria memiliki kontak lebih erat dengan Islam mula-mula. Dalam Arabic Infancy Gospel, gelar Ibnu Maryam disebut lima kali, sedangkan dalam Syriac Infancy Gospel, gelar itu muncul lima belas kali, khususnya dalam kisah kanak-kanak 'Isa.[22]

[17] Geoffery Parrinder, Jesus in the Qur'an (New York: Oxford University Press, 1971), h. 23.

 [18] Ibid., h. 24.

[19] Kisah sebutan 'Bar Parthenos' bagi Yesus ini dikisahkan dalam Anton Wessel, Memandang Yesus (jakarta: BPK Gunung Mulia, 19 ..), h. … Simak juga asal muasal sebutan 'Isa menuurut versi Yahudi Arabia dalam Encyclopaedia of Islam, 1913, artikel 'Isa. Dalam versi Yahudi Arabia, nama 'Isa dikatakan berasal dari nama Esau dengan anggapan bahwa jiwa Esau yang buruk itu diberikan kepada Yesus dengan maksud melecehkan Dia.

[20] E.F.F. Bishop, "The Son of Mary", dalam The Moslem World, Juli 1934.

[21] Geofferey Parrinder, op.cit., h. 25-26.

[22]  Ibid., h. 26-29

Paralelisasi Maria dan Muhammad :

Pentingnya Jembatan Maryamiah

dalam Dialog

            Mengapa peranan Maria dalam Qur'an begitu penting sementara dari pihak gereja, khususnya di kalangan Protestan, tema tentang Maria kurang mendapat perhatian khusus ? Menurut Sayyed Hosein Nassr, keperawanan Maria dalam Alkitab paralel nilainya dengan kebutahurufan Muhammad dlam misteri pewahyuan. Keduanya sama-sama mendapat penghargaan salawat. Ummat Islam memberi salam, 'Assalamu 'alaika ayyuhan Nabiy' (Salam bagimu, wahai Nabi), demikianpula salam sepanjang abad bagi Bunda Maria berdasarkan Lukas 1: 28 dan 42, "Assalamu 'alaiki, ya Maryam al-Adzra'i, al-mumtali'atan ni'mati, Ar-Rabbu ma'aki, Mubarakati anti fin nisaa'i wa mubarakat tsamaratu bathniki 'Isa (Salambagimu, ya Maryam Sang Perawan, yang penuh kasih karunia, Tuhan besertamu, Terpujilah engkau di antara segala wanita. Terpujilah buah rahimmu, Yesus). Karena keduanya berperan penting dalam misteri pewahyuan Ilahi, maka ada teolog tertentu yang mengusulkan jembatan Marial dalam dialog Kristen-Islam. Tentu, maksudnya bukan untuk mengkultuskan individu Maria atau Muhammad, tetapi untuk lebih mendalami misteri pewahyuan yang disampakan kepada keduanya.[23]

Berbeda dengan budaya di Barat, teologia Kristen Timur Tengah sangat menekankan soal keperawanan Maria, sebab kesucian dan keperawanannya menentukan nilai keilahian Kristus. Tanpa itu, Kristus hanyalah manusia biasa, anak Yusuf dan Maria atau bahkan membuka kritik serta pelecehan seperti kisah dalam Toledot Yeshu versi Yahudi. Sebagai apresiasi atas kesucian, peranan dan keteladanan Maria Bunda Yesus, umat Kristen Timur Tengah melakukan ritual puasa selama 15 hari di bulan Agustus.

[23] Rev. Nico Geagea, Mary of the Quran: A Meeting Point Between Christianity and Islam (New York: Philosophical Library, 1984).

Paralelisasi 'Isa Almasih dan Muhammad

            Bila pribadi Muhammad memiliki peranan yang sejajar dengan Maria Bunda Yesus dalam misteri pewahyuan, ia pun memiliki banyak kesamaan dengan 'Isa Almasih dalam segi kenabian. Kurangnya ditekankan segi kenabian Yesus dalam teologia Kristen, dan hanya menekankan segi KeilahianNya dalam dialog dengan Islam, dialog kedua pihak sering terputus karena ketidak-seimbangan doktrin dalam gereja Kristen sendiri, seperti dikritik MacDonald dalam Jurnal Seedbed:

Christian have generally neglected the Biblical doctrine of the prophethood of Christ. Some traditions do assert Christ's fulfillment of the three Old Testament themes of Prophets, Priest and King. However, while his priestly and kingly roles have been treated extensively, relatively little attention seems to have been given to this prophetic role, leaving us theologically ill-equipped to deal with Muslim teaching on prophets. Faced with Muhammad's claim to prophethood, Christians have tended to overlook the relevance of biblical teaching on the prophethood of Christ and have stressed instead his Deity. This article attempts to redressed the balance ....[24]

            Qur'an menyatakan bahwa 'Isa sebagai salah seorang dari serangkaian para nabi yang diutus Allah, berawal dari Adam dan berakhir dalam diri Muhammad yang menerima mujizat Al-Qur'an. Tidak mengherankan bila Qur'an mengangkat Muhammad dan 'Isa sebagai dua pribadi yang memiliki kesamaan, tetapi seberapa besar daya tarik kesamaan mereka pada umumnya lolos dari perhatian umum.

            Seperti halnya Muhammad, 'Isa dalam versi Qur'an disebut sebagi nabi, rasul dan abdi Allah. Seperti dirinya sendiri, 'Isa diutus sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh dunia). Ia menerima sebuah wahyu yang disebut Injil sama seperti Muhammad menerima Qur'an. Ajaran 'Isa dan ajaran Injil dikatakan sebagai hikmat, jalan yang lurus, petunjuk, terang dan peringatan -- istilah-istilah yang diberikan juga bagi Qur'an. 'Isa melepaskan beberapa larangan yang dikenakan kepada umat Yahudi (Ali 'Imraan (3): 50) seperti dilakukan Muhammad terhadap beberapa hukum pengharaman makanan yang dikenakan bagi umat Yahudi karena ketidaktaatan dan karenanya dibebaskan untuk umat Islam (Al An'aam (6): 146f). Tetapi Injil, seperti halnya Qur'an, dikatakan sebagai penegasan atau membenarkan (mushadiqaan) Kitab-Kitab Suci sebelumnya (Ali 'Imraan (3): 3). Tekanan ajarannya juga identik dengan Qur'an, yaitu ajakan untuk beribadah dan menyembah Allah. 'Isa dikatakan pernah mengancam para penyembah berhala dengan siksaan api neraka (Al Maa'idah (5): 72) dan menjanjikan surga kepada mereka yang mati sahid di jalan Allah (At Taubah (9): 111) -- ancaman dan janji yang sama yang biasa dilakukan Muhammad dalam Qur'an. Selanjutnya, 'Isa dikatakan melakukan juga salat dan zakat (Maryam (19): 31), dua kewajiban agamawi yang pokok dalam rukun Islam. Dalam memandang semua kesamaan ini, tidak mengherankan bila Qur'an juga menyatakan bahwa wahyu yang diterima oleh murid-muridNya mendorong mereka untuk percaya kepada Allah dan rasulNya dan mereka menyatakan diri sebagai muslimin (artinya: orang-orang yang berserah diri kepada Allah) dalam Al Maa'idah (5): 111 dan mereka ingin dimasukkan dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (ma'asy syahidiin) dalam Ali 'Imraan (3): 53.  

            Dari semua penjelasan di atas, jelas bahwa Qur'an berusaha menggambarkan bahwa Muhammad hanya melakukan apa yang sebelumnya pernah dilakukan oleh 'Isa Almasih, sebagaimana dinyatakan dalam Ash Shaff (61): 14 :

Yaa ayyuhal ladzina aamanu kuunuu ansharallahi ka maa qaala 'Isabnu Maryama lil Hawariyuuna  man  anshaari ilallahi qaalal hawariyyuna nahnu ansharullah fa aamanat thaa-ifatum min banii Israa-iila wa kafarat thaa-ifatun fa ayyadnal ladziina aamanuu 'alaa 'aduwwihim fa ashbahuu zhaahirin.

(Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah, sebagaimana 'Isa putra Maryam berkata kepada para pengikutnya yang setia, "Siapa yang akan menjadi penolongku ke jalan Allah ?" Para pengikutnya yang setia itu berkata, "Kamilah penolong (agama) Allah." Maka berimanlah segolongan Bani Israil dan kufur segolongan yang lain, Maka kami bentu orang-orang yang beriman menghadapi musuh mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang menang)

Sekalipun ayat ini sangat singkat tetapi maksudnya cukup jelas. Orang-orang beriman (mu'miniin) diajak berperang di pihak Muhammad berdasarkan alasan bahwa dengan melakukan  jihad itu mereka berbuat yang sama sebagaimana pernah dilakukan murid-murid Yesus dan seperti halnya para muridNya, mereka akan dijanjikan kemenangan. Kata 'para penolong" (anshar) memang penuh arti karena merupakan gelar resmi yang disandang penduduk kota Madinah yang berjuang membela Muhammad (At Taubah (9): 100, 107). Para pengikut Almasih pun disebut Nashara (dari akar kata yang sama : anshar -- menolong) dalam Qur'an.[25]

  Dari banyak kesamaan di atas antara 'Isa Almasih dan Muhammad, makin jelas bagi kita bahwa dalam segi kenabian, Muhammad nampaknya memakai prototip kenabian 'Isa Almasih untuk melegitimasi misi kenabiannya sendiri. Tidak mengherankan kita bila Qur'an begitu banyak merujuk pada pribadi dan misi 'Isa Almasih yang menurut Annis Shorosh disebut dalam sembilan puluh ayat sementara untuk Muhammad hanya disebut duapuluh lima kali saja.[26] Motif apakah yang tercermin dalam pernyataan yang dianggap berasal dari Muhammad dalam Hadits bahwa di antara semua nabi, 'Isa Almasih-lah yang paling dekat dengan dirinya ?

  Yang perlu dipikirkan lebih lanjut dan perlu didiskusikan dalam dialog Kristen-Islam adalah sifat dan tujuan dari narasi-narasi yang digunakan oleh Qur'an. Apakah narasi-narasi yang dipakai Qur'an selalu bersifat sejarah ataukah hanya bersifat sastra dalam meriwayatkan tokoh-tokoh yang diangkat ke permukaan sebagai bahan pelajaran? Apakah tokoh-tokoh nabi dalam Qur'an semuanya bersifat historis ? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini mungkin menjadi kunci atas masalah-masalah yang sering jadi tema-tema dalam polemik antara Kristen dan Islam.

[24] MacDonald, "The Prophethood of Christ," Seedbed 1911 dalam J. dudley Woodbery (editor), Muslims and Christians on the emmaus Road (Monrovia: MARC Publications, 1989), h.109-110.

[25] Neal Robinson, op.cit., h. 36-37. 

[26] Anis Shorosh, Islam Revealed, h.

Antara Lailatul Quddus

dan Lailatul Qadar

              Ketika Ikatan Putra-Putra Nahdlatul Ulama dan Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama Surabaya mengadakan Dialog tentang puasa dalam konteks kerukunan antar umat beragama di  Indonesia awal bulan Desember 1999 lalu, saya menyatakan bahwa saat itu umat gereja Orthodoks Syria dan gereja-gereja Timur Tengah lainnya juga sedang berpuasa 40 hari di masa Advent menjelang peringatan 'Idul Milad (Hari Natal) yang diperingati tiap tanggal 6 Januari. Umat Kristen di seluruh dunia mengharapkan berkat istimewa dari Allah pada peringatan Lailatul Quddus (Malam Kudus), yaitu malam yang penuh kemuliaan dan kedamaian dengan bertaburan bintang seperti dinyanyikan oleh para malaikat, "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya." (Lukas 2:14). Saat itulah Kalimatullah (Firman Allah) itu, menurut Kanun Al-Iman, dikatakan "Alladzi min ajlina nahnu basyar wa min ajlina kholashina nazala minas sama'i" (yang oleh karena kita menjadi manusia dan demi keselamatan kita turun dari surga) (Yohanes 1: 1, 14).

              Bandingkanlah peristiwa Miladiyah Sayidina 'Isa Almasih itu dengan peristiwa Lailatul Qadr dengan redaksi Surat Al-Qadr (Kemuliaan) berikut:

Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr. Wa maa adraaka maa lailatul qadr ? Lailatul qadri khairum min alfi syahr. Tanazzalul malaa-ikatu war ruuhu fihaa bi idzni rabbihim min kulli amr. Sallamun hiya hattaa mathla'il fajr.

(Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada lailatul qadar. Dan tahukah engkau apakah lailatul qadar itu ? Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Malaikat dan Ruh (Jibril( turun padanya dengan izin Tuhannya membawa segala perintah. Sejahteralah malam itu sampai terbit fajar).

        Nampak dari narasi kedua kisah Lailatul Quddus dan Lailatul Qadr ada banyak kesamaan, di mana posisi Yesus Kristus dan Al-Qur'an dipahami kedua agama sebagai Sabda Ilahi. Banyak terminologi yang satu sama lain saling berdekatan, misalnya penggunaan istilah 'nuzul' (turun) dalam Kanun Al-Iman (Shahadat Kristen) yang menggambarkan Firman Allah itu menjelma menjadi manusia (Al-Kalimat al-Mutajasad). Firman itu telah "nazala minas sama'i wa tahhasada bir-Ruhil Quddusi wa mim Maryam al-Adzra' wa shara insanan" (nuzul dari surga dan menjelma oleh kuasa Roh Kudus (Hayat Allah). Perumusan itu dapat dibandingkan dengan pengertian mereka tentang Nuzulul Qur'an (turunnya Al-Qur'an).[27]

            Suasana yang menyertai turunnya wahyu itu dalam pandangan kedua iman : antara nuzulul Qur'an itu terjadi pada malam penuh kemuliaan (Lailatul Qadr), yang melebihi seribu bulan dan nuzulul Kalimatu al-mutajjasat (turunnya Firman menjadi manusia) pada Malam Kudus (Lailatul Quddus), satu malam dengan taburan ribuan bintang disertai kehadiran  malaikat-malaikat. Walhasil, dalam iman Kristiani Firman itu nuzul menjadi manusia Yesus Kristus sedangkan dalam Islam Firman itu nuzul menjadi Al-Qur'an. Baik Maria maupun Muhammad sama-sama dipandang sebagai penerima wahyu sehingga layaklah bila keduanya diberi salawat, sebagaimana dijelaskan di atas.

              Dengan nuzulnya Kalimatullah menjadi manusia, maka Sayidina 'Isa Almasih sekaligus memiliki sekaligus sifat keilahian yang sempurna dan kemanusiaan yang sempurna, yang dalam bahasa Konsili Efesus (431) sebagai "uqnuman wahidan, min uqnumain, wa thabi'atan wahidan murakkabat min thabi'atain" (artinya: satu pribadi yang berasal dari dua pribadi, dan satu tabiat ganda yang berasal dari dua tabiat)[28] Pengertian demikian sejalan dengan rumusan Mar Kyrillos, "an Sayid Almasih kamala bin an-Nasut wa kamala bi al-Lahut, wa lahu thabi'atu wahidah min  thabi'atain, bi dunu akhtalatha wa la amtazaj, wa la astahalat" (artinya: Junjungan kita Almasih adalah benar-nemar insani dan benar-benar Ilahi, dan Ia mempunyai satu tabiat yang beradal dari dua tabiat yang dipersatukan, secara demikian rupa hingga tanpa bercampur dan tanpa berubah).[29]

               Tabiat ganda Almasih sebagai yang Ilahi sekaligus Insani ini bisa diparalelkan dengan pandangan kaum Asy'ariah bahwa Qur'an adalah Kalimatullah dan bersifat kekal (qadim) karena berfirman adalah termasuk sifat Allah yang kekal. Dalam arti huruf, ayat dan surat yang ditulis atau dibaca, Qur'an bersifat baru atau diciptakan (mahluq) dan bukan Sabda Tuhan. Jadi, Qur'an memiliki dua sifat sekaligus, yaitu bersifat Ilahi sebagai Kalimatullah dan bersifat mahluq sebagai buku.[30]  Pandangan Ilmu Kalam kaum Asy'ariah ini merupakan penyelesaian dari dua ekstrim pandangan. Kubu tradisionalis atau Ahlu Sunnah wal Jama'ah berpendapat Qur'an itu Ilahi dan tidak diciptakan karena berfirman adalah sifat Allah yang kekal, sedangkan kubu rasionalis Mu'tazilah beranggapan bahwa berfirman itu adalahperbuatan Allah dan bukan sifatNya, sehingga Qur'an adalah hasil dari perbuatan Tuhan atau diciptakan (mahluq).

[27] Bambang Noorsena, Al-Masih Juruselamatku, Muslim Sahabatku (Surabaya: Yayasan Kanisah Orthodoks Syria, 1998), h. 12-13.  Makalah untuk Orasi Ilmiah disampaikan dalam rangka pengukuhan pengurus Yayasan Kanisah Orthodoks Syria Cabang Surabaya di Heritage Club Surabaya.

[28] Mar Ighnatius Ya'qub III, Al-Kaniisat As-Suryaaniyat Al-Anthakiiyat Al-Urtsudzuksiayat (Damascus:Alif Ba' Al-Adib, 1980), h.. 16

[29] Ibid., h. 20.

[30]  Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 143-144.

Paralelisasi dalam Ibadah

            Kristen Orthodoks Syria memiliki banyak meeting point dengan Islam dalam segi ibadah. Umat Islam diwajibkan melakukan Rukun Islam, yaitu kewajiban-kewajiban ritual seperti membaca dua kalimat shahadat, melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhajji ke Mekkah.

              Dua kalimat shahadat Islam yang wajib diucapkan adalah : Laa ilaha illallah wa Muhammadar Rasulullah. Dua pengakuan inilah yang didengungkan tiap kali kita mendengar adzan. Pengkalimatan Laa ilaha illallah mengingatkan kita pada redaksional 1 Korintus 8:4 dari bahasa Arami (Peshita) : Lait Allaha ella d'Allaha yang dalam bahasa Arab berbunyi: Laa ilaha illallahul ahad.

              Ibadah shalat tujuh waktu dalam gereja Orthodoks Syria merupakan ibadah harian non-sakramental sesuai dengan teladan dari nabi Daud, Al-Malikut Thohir (Mazmur 119: 164).[31] Identitas shalat ini disebut dalam Qur'an ( Ali 'Imraan (3): 113), "Laisu sawaa'am min ahlil kitaabi ummatun qaaimatuy yatluuna aayatillaahi aanaa-al laili wa hum yasjuduun  (Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada segolongan orang yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah waktu tengah malam sedang mereka bersujud).

            Ayat ini secara tradisional sering diartikan orang-orang Kristen atau Yahudi yang masuk Islam. Tetapi sujud dan membaca (baca: tilawah -- "mengaji") di waktu tengah malam adalah khas identitas gereja Arab (Timur Tengah), karena berbarengan dengan saat mereka melakukan shalat sa'atul lail (shalat di tengah malam), yang dalam Islam tidak lazim karena hanya disunnahkan (tidak diwajibkan).

Ritualitas shalat Yahudi biasanya hanya tiga kali: erev (petang), wa boker (pagi) we tsahorayim (dan tengah hari) sesuai dengan Mazmur 55: 18-19, tetapi tidak ada ritual di waktu tengah malam.[32] Ritual shalat sa'atu lalil dipahami umat Kristen Arab sebagai wujud dari kesiapan hati mereka menyongsong kedatangan 'Isa Almasih yang kedua (1 Tesalonika 5:1-2), dengan menghadap ke Timur sebagai arah kiblat sesuai dengan Matius 24:27. Karena itu, dikatakan dalam Matius 26:41, "Shalu likai laa tadkhulu fii tajribah "(Berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh dalam pencobaan).

            Ibadah puasa (shaum) Islam sebenarnya hanya merupakan suatu kesinambungan dari ritual ibadah umat sebelumnya, yaitu Yahudi dan Kristen, seperti dikatakan dalam Surat Al-Baqarah (2):183, "Yaa ayyuhal ladziina 'amanu, kutiba 'alaikumush shiyam kamaa kutib 'alal laldziina min qablikum lia'alakum tataquun" (Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sama seperti diwajibkan kepada orang-orang yang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa).

 Selain puasa 40 hari menjelang Idul Milad, umat Orthodoks Syria juga berpuasa 49 hari menjelang peringatan Idul Faskhah (Paskah) dan puasa 50 hari lagi setelah Hari Pentakosta. Masih tiga hari puasa Niniwe yang dimulai dari hari Senin, seminggu sebelum peringatan 'Idul Faskhah peringatan Paskah dan puasa 15 hari di bulan Agustus yang disebut Shaum Maryam Al-Adzra'i  (Puasa Maria Sang Perawan). Puasa sepanjang tahun dilakukan pula setiap hari Rabu dan Jumat, sesuai dengan ajaran Didache. Kemudian, dilakukan puasa tiga hari setiap ada hari-hari suci untuk mengenang para martir.[33] Jadi bila dijumlahkan harinya, puasa umat Orthodoks Syria lebih dari setengah tahun !

 Tetapi, gereja menghayati puasa itu bukan dalam arti syari'ah sebagaimana dilakukan umat Islam, tetapi sebagai ucapan syukur dan karena kasih kepada Allah (habibah) atas karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus bagi seluruh manusia. Mengapa puasa Kristen tidak bermakna syari'ah ? Saya katakan kepada putra-putri Nahdlatul 'Ulama di Surabaya bahwa umat Kristen memiliki Juruselamat untuk menebus dan membayar lunas hutang dosa-dosa mereka (Kolose 2: 13-14), tetapi umat Islam harus menebus dosa mereka sendiri antara lain dengan ibadah karena dosa dalam Islam adalah hutang yang harus mereka bayar sendiri.

            Sedangkan praktek ibadah hajji dalam Islam paralel dengan ibadah ziarah ke Yerusalem, mengikuti tradisi Yahudi yang melakukan hagg (Arab: hajj) atau 'aliyah (naik) -- artinya naik ke Bukit Moriah, Yerusalem -- tiga kali setahun menurut Imamat 23: 33-34 dan Mazmur 122, yang kemudian ditafsirkan secara Kristen sebagai Penapak-tilasan Jalan Salib Kristus atau dalam bahasa Arab disebut Thariqul "alalam. Sebab, seluruh hukum Taurat telah digenapi dalam diri Sayidina 'Isa Almasih, Mukhalishul ‘Alam , seperti dinubuatkan sendiri oleh Almasih dalam Yohanse 4: 21,

 Kata Yesus kepadanya, "Percayalah kepadaKu, hai perempuan, saatnya akan tiba bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.

sehingga berhajji ke Yerusalem tidak lagi merupakan syari'ah tetapi dimaknai sebagai sikap kesalehan karena kasih (habibah) kepada Allah.

[31]  Satu-satunya sumber informasi yang sangat komprehensif dalam bahasa Indonesia saat ini dapat mengacu pada: Bambang Noorsena, Shalat Tujuh Waktu dalam Kristen Orthodoks Syria (Jakarta: Studia Syriaca Orthodoxia, 1999).

[32]  Rabbi Hayim Halevy Donin, To Be a Jew: A Guide to Jewish Observance in Contemporary Life (USA: Basic Books, 1972), h. 160.

[33] Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, tt), h. 230.

Copyright © 2002 Institute For Syriac Christian Studies