Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Artikel IslamiPERBEDAAN POKOK ANTARA AQIDAH ASY'ARIAH
dengan AQIDAH AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH
Disebut aqidah Asy'ariah karena pencetus awalnya adalah Al-Imam Abu al-Hasan
al-Asy'ari. Pada awalnya beliau adalah tokoh firqah Mu'tazilah (paham
rasionalisme) sebelum beliau bertaubat kembali kepada pemahaman Manhaj Salaf,
karena sejak kecil beliau diasuh oleh Bapak angkatnya yang juga sebagai tokoh
Mu'tazilah pada masa itu yakni Abu Ali al-Jubba'i. Maka tidak heran jika beliau
juga menjadi tokoh Mu'tazilah pada waktu itu disebabkan kecerdasan yang beliau
miliki atas karunia Allah Ta'ala. Kemudian atas taufiq dari Allah Ta'ala, beliau
menyadari atas kekeliruannya selama ini dan dengan ijin Allah jua beliau
mengoreksi kembali dan memberikan bantahan atas penyimpangan-penyimpangan
pemahaman Mu'tazilah yang beliau kagumi selama 40 tahun. Walau, tatkala itu
beliau pun masih menonjolkan akal dalam menyergah faham-faham Mu'tazilah. Dan
itu merupakan proses perjalanan panjang pemikiran dan keyakinan Abu Al-Hasan Al-Asy'ari
yang akhirnya berujung pada sikapnya untuk kembali kepada ajaran yang haq, yakni
berpegang kepada pemahaman salaf.
Dalam mengomentari perkembangan pemikiran Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari,
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, "Mereka menyebut bahwa Abu Al-Hasan Al-Asy'ari
memiliki tiga tahapan :
Pertama : Kedua : Ketiga : Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh beliau dikala belum
kembali kepada manhaj yang haq, hingga kini masih bergulir dan digeluti oleh
banyak kaum muslimin. Dan yang paling menonjol diantara faham yang pernah
diajarkannya adalah berkenaan dengan penetapan 7 sifat wajib bagi Allah dan 7
sifat mustahil bagi Allah. Dan yang kemudian dikembangkan oleh Syaikh
Maturidiyah menjadi 13 sampai 20 sifat. Dan bila ditelusuri lebih lanjut,
nyatalah bahwa penetapan sifat wajib dan mustahil bagi Allah sebanyak tujuh
sifat merupakan penetapan beliau berdasarkan akal. Padahal, untuk
masalah-masalah yang menyangkut eksistensi Allah, segala penetapannya harus
bersandar kepada apa yang telah dikhabarkan oleh Allah Ta'ala melalui firmanNya
dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa salam melalui hadits-haditsnya yang shahih
dengan tanpa ta'thil, takyif, tahrif, tasybih atau tamsil. Oleh karena itu, ada
kesalahpahaman yang sempat melanda kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang.
Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa aqidah Asy'ariyah tidak berbeda dengan
aqidah Ahlussunnah, atau mereka itulah Ahlusunnah yang sesungguhnya.
Perlu diketahui bahwa Asy'ariyah dalam masalah aqidah, telah melewati
masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlussunnah. Terutama
setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan prinsip-prinsip keyakinan
yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantiq dan ilmu kalam. Pada gilirannya
Asy'ariyah tercemari oleh pemikiran-pemikiran bathil. Mereka (Asy'ariyah)
sejalan dengan Ahlusunnah dalam beberapa masalah aqidah dan berbeda dalam
beberapa perkara lainnya. Beberapa masalah penting yang menjadi perbedaan antara
Asy'ariyah dengan Ahlussunnah adalah :
Pertama : Kita telah memahami bahwa para rasul datang mendakwahkan Tauhid Uluhiyah.
Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya' : 25, "Dan Kami tidak mengutus
seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya
tidak ada yang diibadahi (dengan haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu akan
Aku."
Inilah tauhid yang menjadi tujuan diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana
tersebut dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56 : "Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."
Manhaj Asy'ari dalam Tauhid Uluhiyah tidaklah jelas. Hal ini karena beberapa
sebab diantaranya adalah :
1. Definisi Al-Ilah yang mereka artikan sebagai "Yang Maha Kuasa untuk
mencipta" seperti disebutkan oleh Al-Baghdadi yang dia nisbatkan kepada Abu
Al-Hasan Al-Asy'ari.
2. Kitab-kitab karangan mereka dalam hal aqidah tidak membahas Tauhid
Uluhiyah secara khusus. Bahkan para tokoh Asy'ariyah dalam tulisan-tulisan
mereka menggunakan cara-cara ahli filsafat atau ahlu kalam. Mereka memulai
tulisan-tulisannya dengan pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti
kebenaran nyata berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan
filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) tidak memberikan
faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal adalah qath'I (pasti) dan yakin.
Setelah itu pembicaraan berpusat sekitar kejadian alam, penetapan pencipta dan
hal-hal lain yang berasal dari filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur
pembicaraan akhirnya tertumpu pada penetapan Tauhid Rububiyah.
3. Asy'ariyah menetapkan bahwa kewajiban pertama bagi mukallaf (orang yang
sudah mencapai masa baligh) adalah an-Nazhar (melihat) untuk menetapkan wujud
Allah dan akhirnya keesaan Allah dalam dzat dan perbuatan. Bukan berarti
Ahlusunnah mengenyampingkan Tauhid Rububiyah, tetapi orang-orang Asy'ariyah
telah memulai dengan suatu hal yang tidak dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa salam. Sebab Tauhid Rububiyah adalah fitrah,
hampir-hampir tidak ada yang mengingkari secara keseluruhan melainkan sedikit.
Tidak pernah kita mengenal suatu umat yang sepakat untuk mengingkari Tauhid
Rububiyah, kalaulah ada kita akan dapatkan dalam kisah-kisah para nabi.
Sebaliknya kesesatan berbagai umat, firqah atau kelompok terdapat pada
penentangan terhadap Tauhid Uluhiyah.
4. Sebagai akibat dari penafsiran tauhid yang dibatasi pada Tauhid Rububiyah
oleh Asy'ariyah secara umum, kita jumpai bermacam bid'ah dalam ibadah bahkan
perbuatan syirik atau membela perbuatan syirik pada orang-orang yang menisbatkan
diri mereka kepada Asy'ariyah. Ini karena sikap remeh dan menganggap enteng
Tauhid Uluhiyah. Disamping itu Asy'ariyah memang memiliki hubungan lama dengan
Sufiyah. Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebut lima tabaqat (generasi) orang-orang yang
menisbatkan diri mengambil dari Abu Al-Hasan Asy'ari. Dari setiap tabaqat (generasi)
terdapat orang yang ber-intisab kepada sufi.
Kedua : Beberapa permasalahan penting yang menjadi kesepakatan Asy'ariyah,
Maturidiyah, Mu'tazilah dan Jahmiyah adalah mendahulukan akal daripada wahyu.
Kaidah mereka dalam hal ini diungkap oleh Al-Juwaini dan Ar-Razi dan juga yang
lainnya, yaitu dalil naqli tidak memberikan faedah berupa keyakinan, karena
dalil naqli sifatnya zhanni sedang dalil aqli sifatnya qath'I (pasti), perkara
yang bersifat zhanni (dugaan) tidak bisa menentang yang qath'i.
Oleh karena itu, lihatlah di dalam majlis-majlis mereka dalam membahas
perkara-perkara agama sedikit sekali mereka menggunakan cara-cara Ahlusunnah
dalam menyampaikan ilmu dien yakni cara ahlu hadits/ ahlu atsar. Kebanyakan
mereka berbicara tentang agama dengan kepastian kebenaran akal. Bisa jadi
pembahasan satu ayat Al-Qur'an atau hadits Nabi, ditakwilkan dengan berbagai
macam-macam bentuk penakwilan agar dapat diterima oleh akal-akal mereka dan
memuaskan hawa nafsunya. Mereka memulai penyampaian ilmu dengan
pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata berdasarkan
akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan filsafat. Kemudian
penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) tidak memberikan faedah berupa
keyakinan sedang dalil-dalil akal adalah qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu
pembicaraan berpusat sekitar kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain
yang berasal dari filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya
tertumpu pada penetapan Tauhid Rububiyah
Ketiga : Asy'ariyah dan para pengikutnya seperti Maturidiyah dan lain-lainnya. Mereka,
dalam mengimani masalah Asma' dan Sifat Allah adalah dengan menetapkan nama-nama
Allah dan sebagian sifat-Nya serta menolak sebagian besarnya. Mereka menetapkan
nama-nama dan menolak sebagian besar sifat-sifat Allah berdasarkan kesesuaian
akal manusia. Mereka menetapkan sifat tujuh bagi Allah yakni Al-Iradah, Al-Qudrah,
Al-'Ilmu, Al-Hayah, Al-Bashar, As-Sama', dan Al-Kalam. Mereka meyakini
sifat-sifat yang mereka tolak itu bila ditetapkan (menurut mereka) akan terjadi
tasybih (penyerupaan dengan makhluk). Mereka katakan, "Kami menetapkan
sifat tujuh bagi Allah ini lantaran secara akal memang demikian."
Cobalah lihat cara mereka menetapkan sifat-sifat Allah itu dengan logika:
"Dengan adanya makhluk, berarti menunjukkan bahwa Allah itu Al-Qudrah (memiliki
sifat kuasa). Kemudian, dengan adanya makhluk yang mempunyai kekhususan
masing-masing menunjukkan Allah itu mempunyai sifat Al-Iradah (berkehendak).
Selanjutnya, dengan ihkam (keserasian penciptaan) makhluk menunjukkan Allah itu
mempunyai sifat Al-Ilmu (berilmu). Dan semua sifat-sifat Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah
menunjukkan Allah itu hidup (Al-Hayyu) dan hidup tentunya mempunyai sifat Al-Bashar
(melihat), As-Sam'u (mendengar), Al-Kalam (berbicara). Inilah sifat yang
sempurna, kemudian meletakkan sifat-sifat yang berlawanan dengan hal-hal di atas,
seperti bisu, buta, dan tuli sebagai sifat terlarang bagi Allah."
Adapun sifat-sifat Allah yang lain yang mereka tolak karena tidak cocok
dengan akal mereka. Mereka menolak sifat-sifat itu dengan cara menakwil dengan
merubah makna asli kepada makna yang lain. Ta'wil yang mereka lakukan khususnya
pada sifat-sifat khabariyah seperti tangan, mata, wajah, istiwa', nuzul (turunnya
Allah ke langit dunia), benci, ridha dan lain-lain. Asy'ariyah tidak
mengimaninya seperti kedatangan kabar-kabar tentang itu sebagaimana yang
dilakukan oleh Salaf as-Shalih. Tetapi mereka mena'wil dan memalingkan
lafazh-lafazhnya dari bentuk zhahirnya. Hal ini menurut mereka karena adanya
tajsim (menjasmanikan) dan tamsil (menyerupakan). Mereka lalai bahwa akibat dari
perbuatan ini berarti mereka telah berbuat tahrif (penyimpangan) pada kalam
Allah dan mena'wil maknanya. Mereka juga berkata tentang Allah tanpa dilandasi
ilmu dan keharusan-keharusan lainnya (perangkat dalam memahami ilmu agama)
akibat dari perbuatan ta'wil serta menafikan (menolak) sikap penyerahan terhadap
Allah. Bagaimana mungkin Allah memberitakan tentang diri-Nya atau Rasulullah
shallallahu 'alahi wa salam dengan sesuatu yang tidak layak atau mengharuskan
tasybih dan tajsim, kemudian baru dapat disingkap kebenarannya oleh ahlu kalam
setelah abad III hijriyah. Tidak mungkin pemahaman yang benar tentang
sifat-sifat Allah itu terlepas dari para shahabat, tabi'in dan salaf al-Ummah
yang lainnya. Padahal Allah telah menutup pintu tasybih dan tamsil dengan
firmanNya yang artinya :
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui." (As-Syura: 11)
Kaidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam menyikapi tentang khabar-khabar yang
datang dari Allah dalam kitab-Nya dan apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah
shallallahu 'alahi wa salam yang tertera dalam kitab-kitab hadits yang shahih
adalah wajib untuk diimani, baik dipahami maknanya atau tidak, sebagaimana
firman Allah dalam surat An-Nisa':136 yang artinya :
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab
yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." ( An-Nisa' : 136 )
Atau surat An-Nisa' : 170 yang artinya : Dalam hal ini, apa yang sudah disepakati oleh Salaf al-Ummah dan imam-imam
Ahlussunnah yang menerima nash-nash yang berhubungan dengan asma' dan sifat,
seperti bersemayam (istiwa'), tangan (al-yad) dengan tanpa tahrif, ta'thil,
takyif, tasybih atau tamsil.
Mentauhidkan Allah dalam asma dan sifat-sifat-Nya termasuk perkara yang amat
besar dalam pembahasan ilmu ushuluddin. Pendapat-pendapat para ahli filsafat dan
ahli Ilmu Kalam telah rancu dan simpang siur dalam masalah ini. Ada yang
menafikan sama sekali, ada yang mengakui asma Allah secara mujmal tapi menafikan
sifat-sifat-Nya dan ada pula yang mengakui kedua-duanya (asma dan sifat) tetapi
menolak sebagiannya dan mentakwilnya dengan mengubah makna dan lafazhnya. Dalam
masalah ini, Salafush Shalihin mengimani seluruh apa yang ada pada Kitabullah
dan yang disebutkan dengan Sunnah yang shahih tanpa tahrif (menyimpangkan lafazh
kepada lafazh yang lain), ta'thil (mengurangi/menolak), takyif (menanyakan
bagaimana hakikatnya), tasybih (penyerupaan dengan makhluk) atau tamsil. Mereka
meyakini bahwa asma Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya bersifat tauqifiyah (apa
adanya dari Allah dan Rasul-Nya) tak boleh ditetapkan (itsbat) atau ditolak (dinafikan)
kecuali dengan izin syara'. Yakni mereka tidak mengitsbat asma dan sifat untuk
Allah kecuali asma dan sifat yang Allah itsbatkan sendiri dan yang diitsbatkan
Rasul untuk diri-Nya dengan izin Allah. Dan bahwa asma dan sifat yang telah
tetap bagi Allah ialah bahwa Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya,
bahkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang tetap bagi Allah yang disebutkan
oleh nash-nash yang jelas adalah khusus buat-Nya saja. Jika ada asma yang
ditetapkan bagi Allah tetapi juga dimiliki makhluk-Nya, maka persamaan tersebut
hanya dalam lafazh, tidak dalam hakikat. Karena dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala
tidak sama dengan dzat-dzat selain Allah, maka sifatnya pun demikian, karena
Allah itu tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya baik pada dzat maupun
sifat-Nya. Seperti contoh di dalam firman-Nya bahwa Allah mempunyai tangan (yaddullah),
ini berarti bahwa tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya. Hanya sama
dalam lafazh tetapi berbeda dalam hakikat. Sebagaimana kata Ibnu Abbas yang
artinya :
"Tidaklah sama apa-apa yang di surga dengan apa yang ada di dunia
kecuali hanya sama dalam masalah nama." (Sanadnya shahih. Lihat dalam
Taqrib at_tadmuriyah, hal. 42)
Dan dalam hadits Qudsi dengan sanad yang shahih yang artinya : "Telah
Kami siapkan untuk hamba-Ku yang shalih apa-apa (nikmat surga) yang tidak pernah
dilihat oleh mata dan tidak juga didengar oleh telinga dan tidak pernah terdetak
di hati manusia." Padahal Allah telah mengkhabarkan di dalam Al-Qur'an
tentang kenikmatan di surga, seperti Allah memberitakan, dalam surga itu ada
makanan, minuman, pakaian, istri-istri, rumah, kurma, anggur, buah-buahan,
daging, arak, susu, madu, air, emas, perka, dan lain-lain. Berita-berita
tersebut benar dan benar-benar ada. Walau nama-nama tersebut sama dengan apa
yang ada di dunia tetapi hakikatnya berbeda, kita tidak mengetahuinya. Apalagi
tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Yang Maha Suci, tentu Allah Yang Maha
Tahu tentang hakikat diri-Nya.
Mengenai pembatasan sifat-sifat Allah menjadi beberapa bahagian, misal sifat
wajib dan mustahil bagi Allah atau sifat wajib bagi Allah ada 13 atau 20, hal
ini sangat bertentangan dengan hukum syara' dan kaidah salafush-shalih. Karena
Allah lah yang mengetahui tentang diri-Nya sendiri bukan makhluk-Nya. Karena
jika sifat Allah dibatasi berarti hilang lah kesempurnaan bagi Allah, karena
dengan pembatasan tersebut berarti mengurangi kesempurnaan bagi Allah Yang Maha
Sempurna. Sekiranya Allah menyebutkan tentang diri-Nya dalam Asma-ul Husna, maka
kita wajib mengimani apa adanya dengan tanpa pembatasan, mengurangi atau
menambah, takwil, penyimpangan makna dll. Maka kita wajib mengimani apa-apa yang
diterangkan Allah di dalam kitab-Nya yang mulia (Al-Qur'an) dan petunjuk
Rasul-Nya. Sedangkan makhluk-Nya mengetahui asma dan sifat Allah hanya sebatas
asma-asma dan sifat-sifat Allah yang Allah terangkan di dalam Kitabullah dan
Sunnah Nabi-Nya. Selain itu Allah lah Yang Maha Tahu.
Dalam menyikapi akal sebagai karunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia,
maka manhaj Ahlussunnah memberikan penjelasan yang gamblang dan terang. Kita
mengetahui bahwa akal adalah media pengetahuan yang terbatas yang tak mampu
menjangkau perkara-perkara ghaib kecuali dengan gambaran semata, tidak sampai
yakin. Para salafush shalihin mengimani apa yang diberitakan oleh nash Al-Qur'an
dan sunnah Nabi-Nya yang mulia dalam perkara-perkara ghaib dengan tidak
mencoba-coba memikirkan hakikat sebenarnya, karena hal itu di luar jangkauan
akal. Membatasi akal dari memikirkan perkara-perkara seperti itu bukan berarti
membelenggunya secara keseluruhan, karena kaum muslimin telah sepakat bahwa
seorang anak kecil dan orang gila tidak terkena taklif (beban syari'at) lantaran
akalnya kurang. Allah juga menyuruh kita untuk mentadaburi kitab-Nya, dan
tadabur ini tidak mungkin kecuali dengan akal. Akal hanya dilarang digunakan
untuk masalah yang bukan bidangnya atau digunakan untuk menarik kesimpulan bagi
manhaj (metodologi) yang bertentangan dengan manhaj Al-Qur'an dan Sunnah. Sikap
salafush-shalihin dalam mensyukuri nikmat akal sebagai karunia dari Allah adalah
bahwa mereka tidak mengunggulkan akal, tidak menuhankannya dan tidak
menganggapnya cukup dan berdiri sendiri, tetapi mereka menempatkan fungsi akal
sesuai dengan kedudukannya. Mereka menggunakan akal dalam batas-batas wilayahnya,
seperti dalam mentafakuri alam, dalam masalah-masalah fikih (amaliah) dan dalam
menemukan ilmu-ilmu yang bersifat kebendaan yang bertujuan meningkatkan dan
mengembangkan masyarakat. Inilah kesempurnaan ilmu dan jangkauan pandangan serta
selamatnya pemikiran mereka. Seandainya akal dijadikan penafsir seluruh masalah,
maka tak perlu Rasul-Rasul diutus dan tak perlu kitab-kitab suci (kitab-kitab
samawi) diturunkan. Wallahu a'lam
Sumber : Majalah Assunah edisi 19/II/1417-1996
Memegangi paham Mu'tazilah dimana kemudian beliau taubat tak diragukan lagi.
Menetapkan tujuh sifat bagi Allah berdasarkan akal yakni: Al-Hayat, Al-Ilmu, Al-Qudrah,
Al-Iradah, As-Sam'u, Al-Bashar, Al-Kalam dan menta'wil sifat-sifat khabariyah
seperti, wajah Allah, tangan Allah, kursi Allah dan lain-lain.
Menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih sesuai dengan pemahaman
as-Salaf sebagaimana dalam kitab Al-Ibanah 'An Ushul Ad-Dieniiyah yang merupakan
tulisan terakhirnya. (Dan kitab ini merupakan taubat dan kembalinya beliau
kepada Manhaj Salaf-pen) Pengaruh Mu'tazilah yang sangat kuat membawanya melalui
tahapan kedua sebelum akhirnya kembali pada madzhab salaf yang murni.
Penafsiran makna "Tauhid" yang dibatasi pada "Tauhid Rububiyah"
dan kelalaian mereka dari Tauhid Uluhiyah dan Ibadah.
Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan kepastian-kepastian akal dari
pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam perkara-perkara ghaib, I'tiqad dan
sifat-sifat Allah.
Asy'ariyah tenggelam dalam ta'wil sifat-sifat Allah yang telah dilarang oleh
para salaf as-Shalih
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi
wa salam) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Rabbmu, maka berimanlah
kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu
tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di
bumi itu adalh kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana." (An-Nisa' : 170 )
Penerbit : Lajnah Istiqamah - Surakarta