Beberapa Pandangan terhadap Preposisi Daripada FSU
in the Limelight
Vol. 7, No. 1
Feb 2000

Beberapa Pandangan terhadap
Preposisi Daripada:
Tinjauan Kepustakaan

Persembahan untuk Prof. H. Samsuri, M.A., Ph.D.

D. Jupriono

Kondisi Objektif Penggunaan Preposisi Daripada

Di samping pengucapan sufiks -kan menjadi -ken, misalnya melaksanakan menjadi melaksanaken, atau semakin menjadi semangkin, ada ciri khas lain yang sering disebut-sebut orang sebagai ciri pokok ragam bahasa Indonesia pejabat, yaitu penggunaan preposisi daripada yang frekuensi pakainya sangat tinggi. Dalam suatu tayangan "Laporan Khusus" di TVRI pada 1996, misalnya, Presiden H.M. Suharto pernah mengucapkan preposisi daripada sampai tujuh kali dalam satu kalimat. (Hal ini pernah saya utarakan kepada Prof. Samsuri dalam suatu obrolan di Fakultas Sastra Untag Surabaya pada 1997 dan beliau geleng-geleng kepala.) Realitas ini dipersemarak oleh partisipasi pejabat bawahannya yang secara latah idem ditto suka "ber-daripada-ria".

Pemborosan pemakaian daripada sudah mencapai stadium empat. Sedikit sedikit daripada. Sebentar sebentar daripada. Kata ini muncul menembus dalam setiap kalimat yang tidak selalu berkaitan dengan makna 'perbandingan'. Misalnya kutipan pernyataan mantan Presiden Soeharto (1) berikut. Hitung sendiri berapa kali daripada muncul.

(1) Kita mesti melestariken daripada kehidupan koperasi ... daripada petani dan nelayan ini. Untuk itu, ... beberapa hal daripada kelestarian KUD ini harus diperhatikan. Misalnya ... bagaimana daripada permodalannya, ... bagaimana daripada kedisiplinan dan ketertiban daripada pengurusnya, ... juga yang penting adalah ... apakah KUD ini sudah menyediakan daripada kebutuhan pokok anggota daripada KUD di desa ini.

Mereka yang awam tidak ambil pusing soal ini. Mau "daripada" kek, mau "dari dulu" kek, emangnye gue pikirin. Akan tetapi, tidak demikian halnya pemeduli dan pakar bahasa. Kelompok terakhir ini, entah berani transparan entah bisik-bisik, pastilah merasa risih dengan pemakaian daripada yang boros itu. Mau diam, wong mereka tahu itu bermasalah. Mau mengkritik terbuka, jabatan menjadi taruhan. Serba repot, memang.

Meskipun demikian, dengan berbagai strategi kemasan retorik, misalnya dengan alasan "untuk kepentingan kajian ilmiah bahasa" atau "karena desakan dinamika kehidupan akademik", akhirnya berani juga mereka menyusupkan kritikannya. Sebut saja kajian yang ditulis Soedjito dan Taryono A.R. (1984), Samsuri (1985), Sugono (1986), Soedjito (1986), Ramlan (1987), Arifin (1987), Sidharta (1988), Badudu (1989), Santoso (1990), Arifin dan Tasai (1991), Nadjib (1991), Arifin dan Hadi (1993), dan Heryanto (1996).

Bagaimanakah pandangan para pakar bahasa terhadap melubernya kata ini? Berikut ini dipaparkan serba sedikit soal itu. Lalu, dengan metode deskriptif, bukan preskriptif (Sudaryanto, 1988) dan dengan teknik dokumentasi sebagai penjaring data, di sana sini akan dicoba diperikan secara objektif selenjang terbang realitas perilaku sintaktis struktural preposisi daripada sejak sebelum merdeka, katakan saja 1930-an sampai saat ini.

Telaah Kepustakaan tentang Preposisi Daripada

Soedjito dan Taryono (1984) membahas daripada sebagai kata tugas yang tidak perlu dimunculkan dalam frase nomina, misalnya pada hasil daripada perundingan itu. Dimungkinkan, menurut kedua pembahas, pemakaian preposisi ini merupakan pengaruh of bahasa Inggris atau van bahasa Belanda. Sugono (1986) melihat ini sebagai kesalahan pemilihan kata (ketaktepatan diksi). Arifin dan Hadi (1993) menegaskan tidak perlunya pemakaian daripada yang menyatakan 'milik' (cf. Arifin, 1987). Hanya saja, Arifin dan Hadi (1993) dan Hasan Alwi dkk. (1993) menambahkan satu lagi contoh gejala yang keliru pada tataran bahasa di atas frase, misalnya dalam klausa dan kalimat berikut:

(2) ... mempromosikan daripada hasil industri Indonesia
(3) Mereka membicarakan daripada kehendak rakyat.
(4) Kita melihat daripada semua ini satu hal yang baik.

Dalam ketiga contoh ini daripada dianggap sebagai biang keladi ketidakpaduan kalimat/klausa, sehingga mengganggu efektivitas kalimat (Arifin dan Tasai, 1991). Secara deskriptif, memang hal itu ada dalam pemakaian pada masyarakat tutur. Akan tetapi, tipologi struktural klausa bahasa Indonesia senantiasa secara konsisten menempatkan O(bjek) setelah P(redikat)/V(erba) (Sudaryanto, 1982). Dengan kata lain, tidak boleh ada preposisi di antara P dan O.

Memang pemakaian preposisi daripada, entah yang tepat, entah keliru, kian tak terbendung. Akan tetapi, menurut Samsuri (1985), harus dibedakan secara tegas mana frekuensi pakai yang benar-benar bersifat perkembangan dan mana pemakaian yang memang keliru; contohnya ya gencarnya penggunaan preposisi daripada yang kurang pada proporsinya itu. Dengan rendah hati, Samsuri mengakui, "Salah seorang yang telah pernah membuat kekeliruan dalam pemakaian preposisi daripada ialah ... kami sendiri." Guru besar linguistik Untag Surabaya ini mencontohkan bahwa dalam buku karyanya, Analisis Bahasa (1978), kata yang bukan penanda perbandingan ini sering muncul. Akan tetapi, sejak memasuki cetakan kelima (1983) preposisi daripada yang bukan penanda perbandingan lenyap dari halaman-halaman buku itu.

Preposisi daripada sebagai bentuk berlebihan (redundancy), dan harus dihilangkan diungkap oleh Soedjito (1986) dan Badudu (1989). Bentuk ini menyebabkan kalimat tidak efektif karena boros dalam menggunakan kata. Keberlebihan pemakaian preposisi ini dapat merusak hubungan antarkata dalam kelompok frase. Karenanya, kata ini harus dihilangkan mengingat maknanya adalah 'perbandingan' (Santoso, 1990). Sebagai preposisi yang menandai hubungan perbandingan, daripada tergolong preposisi polimorfemis (Alwi dkk., 1993).

Sidharta (1988) membahas preposisi daripada sebagai unsur kelimpahan yang harus dihilangkan. Sebagai unsur yang berlebih, daripada logis muncul sebagai konsekuensi tipe bahasa Indonesia yang dari perspektif tipologi struktural amat konsisten VO yang menyebabkan "perluasan ke kanan" (Verhaar, 1980; Sudaryanto, 1982). Berbeda dengan Sidharta, Lyons (1968) memandang bahwa dalam komunikasi unsur yang berlebihan itu wajar muncul sebab apa pun sarana yang digunakan untuk mengirimkan informasi akan selalu mengalami berbagai gangguan fisik yang tak teramalkan yang akan melenyapkan atau mengubah pesan yang akan disampaikan. Oleh karena itu, hadirnya unsur berlebihan dianggap dapat mempertegas pesan tuturan.

Jika kita kritisi, pendapat Lyons tersebut memang tepat untuk unsur berlebih dari. Misalnya dalam ahli kebudayaan dari Indonesia yang memang berbeda arti dengan ahli kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, unsur berlebih macam daripada selain yang bermakna 'perbandingan' senantiasa terasa tidak enak dan aneh.

Sampai di sini preposisi daripada yang bukan penanda perbandingan dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan serta merusak perkembangan bahasa dan tentu saja harus dihilangkan dengan bertolak dari kepentingan pemakaian bahasa yang efektif, hemat, dan baku.

Dengan memperhatikan klausa dan kalimat (2), (3), dan (4) di muka, catatan lain harus segera diberikan di sini. Dalam hal ini, preposisi daripada yang bukan penanda perbandingan dipandang sebagai sesuatu yang wajar asal tidak mengganggu ketegaran pola urutan VO (PO) dalam klausa. Pandangan ini mencatat bahwa gejala munculnya pola V/P + daripada + O merebak saat rezim Orde Baru mencapai kejayaannya. Fakta lingual yang ditunjuk sebagai sumber biang kerok adalah pernyataan lisan mantan Presiden Soeharto. Sebelum Soeharto, rasa-rasanya memang tidak ada pola aneh tersebut.

Prof. Badudu (1989) lebih melihat preposisi daripada sebagai bentuk untuk mengisi kekosongan pengucapan kalimat lisan ketika pembicara belum menemukan kata apa yang mesti diucapkan, misalnya,

(5) Menurut pendapat saya, daripada ... (berhenti sejenak) kekurangan air terjadi karena musim kemarau yang panjang.

Di mata pembina bahasa Indonesia ini preposisi daripada dipandang sebagai bentuk tegun (hesitation form, Crystal 1987) yang dimunculkan sebagai kekosongan ucapan karena pembicara belum menemukan kata-kata apa yang cocok untuk diucapkan, atau sedang bingung, berpikir, dan lupa. Sebagai bentuk tegun, ia muncul alamiah dan karenanya dianggap wajar. Harus juga kita catat di sini bahwa dalam kapasitas sebagai seorang dedengkot pembina bahasa, Badudu tentu melihat kasus ini sebagai sesuatu yang salah.

Ramlan (1987) membahas daripada sebagai preposisi yang bermakna 'perbandingan', 'bahan', dan 'milik', dengan contoh masing-masing berikut.

(6) Setiap tahun kenaikan pajak relatif lebih besar daripada kenaikan pendapatan.
(7) Cincinnya terbuat daripada emas putih.
(8) Dokter mempelajari pola daripada alergi si penderita.

Di sini Ramlan memperlakukan daripada sebagai preposisi antarfungsi dalam klausa (6, 7) dan sebagai preposisi dalam frase nominal (FN) (8).

Bagi guru besar linguistik dari UGM ini, preposisi daripada yang bukan penanda perbandingan dipandang wajar sebagai suatu fenomena lingual. Maka, di samping menandai makna 'perbandingan', preposisi tersebut boleh juga menandai makna 'bahan' dan 'milik'. Kentara sekali, pandangan ini bercorak linguistis deskriptif dan mencoba berbuka dada terhadap kenyataan bahwa dalam bahasa Melayu, asal bahasa Indonesia, pun preposisi tersebut muncul wajar dan dianggap tidak mengendalai.

"Invasi kata daripada, dalam kebiasaan berkalimat orang Indonesia, su-dah keterlaluan," kata Nadjib (1992). Menurut kiai penyair mbeling ini, demam pemakaian daripada merupakan warisan budaya feodal di tengah proses demo-kratisasi yang sedang dijalankan oleh bahasa Indonesia. Karena presidennya selalu "ber-daripada-ria, menterinya pun "berdaripada-daripada"; karena menterinya suka "ber-daripada-ria", dirjen dan irjennya pun "berdaripada-daripada"; terus ke bawah ... sampai lurah, RW, RT, dst. Nadjib bilang:

Ketika seseorang memutuskan memakai daripada karena pengaruh contoh dari atasannya, keputusan itu sudah merupakan bahasa kehormatan terhadap atasan. Pemfungsian daripada seolah peneguhan bahasa Indonesia kromo inggil: dipakai untuk menunjukkan loyalitas dan penghormatan (Nadjib, 1992).

Heryanto (1996) lain lagi melihatnya. Tokoh kritis radikal ini memandang bahwa merebaknya kritik orang terhadap menjamurnya pemakaian daripada tidak bertolak dari kepeduliannya pada soal-soal kesalahan berbahasa. Itu hanyalah cara sebagian orang untuk mengkritik beberapa tokoh yang tengah berkuasa yang memang tidak disukai rakyat. Di sini ungkapan Ariel memang bernuansa politis. Sebab, sebenarnya banyak orang Indonesia yang biasa "berdaripada", misalnya Arief Budiman, Baharuddin Lopa, Teten Masduki, dll., akan tetapi mereka selamat dari kritikan. Sementara, kalau Presiden Suharto dan Menpen sekaligus Ketua Umum Golkar Harmoko yang "berdaripada", orang-orang, baik yang pakar linguistik maupun yang awam, kontan keras mengkritiknya. Ada apa gerangan?

Dalam hal demikian, jika spektrum Ariel boleh dilebarkan, misalnya sampai pada perspektif scottian (Scott, 1991), sebenarnya kritik bahasa tersebut merupakan "perlawanan terselubung" terhadap dominasi penguasa yang otoriter. Dengan bahasa orang mengkritik sebab penguasa pun mendominasi rakyat lewat hegemoni bahasa (Jupriono, 1999).

Penggunaan daripada, dalam corak pikir Emha dan Ariel ini, dipandang sebagai sarana loyalitas dan kepatuhan bawahan kepada atasan sebagai manifestasi dari masih cukup kuatnya nilai feodalisme di negeri ini. Dalam hal demikian bahasa Indonesia disejajarkan dengan kromo inggil bahasa Jawa. Meminjam istilah Anderson (1990), bahasa Indonesia dalam rezim Orde Baru mengalami proses "pengkramaan" atau "kramanisasi". Tentu saja, hal terakhir ini dipandang sebagai kendala kultural dalam akselerasi pewujudan demokratisasi dalam kehidupan bernegara dan sebagai penghambat egalitarianisme dalam hubungan penguasa dan rakyat. Pandangan ini tidak bertolak dari kepedulian orang terhadap cara berbahasa yang gramatikal, efektif, yang linguistis, tetapi dari kepentingan mengkontrol kebijakan sosial politis penguasa yang otoriter.

Daripada: Dulu dan Sekarang, Melayu dan Indonesia

Dari data-data lisan dan tulis, saya mencermati pemakaian preposisi ini. Jelas, dari dahulu hingga sekarang preposisi daripada memang digunakan. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu di Malaysia, dahulu dan sekarang, bentuk ini lazim dipakai dan muncul sebagai preposisi polimorfemis, misalnya ya daripada itu sendiri, dan sebagai konstituen dari tataran frase, misalnya selain daripada itu. Berikut ini saya kutipkan penggunaan preposisi (bahasa Indonesia dan bahasa Melayu) ini dalam klausa dan kalimat sejak tahun-tahun silam. Keotentikan ejaan sengaja saya pertahankan untuk menghadirkan nuansa silam, awal abad XX (1919).

(9) Ia manusia yang terlebih mulia daripada manusia lain.
(10) semuanya lebih banyak daripada di Indonesia (SKN 1952).
(11) penjelasan yang diberikan lebih berdasarkan makna daripada berdasarkan bentuk atau tugas sintaksisnya (AS 1993).

Dalam hal perilaku sintaktis, dalam ketiga contoh ini, daripada berada dalam dua kemungkinan sbb.

  • Pada (9) dan (10) daripada bertindak sebagai penanda bagi frase preposisional (FPr). Dalam FPr daripada manusia lain, misalnya, daripada sebagai penanda dan frase nomina (FN) manusia lain sebagai aksisnya.
  • Pada (11) daripada sebagai konjungsi antarklausa, yakni klausa lebih berdasarkan makna dengan klausa berdasarkan bentuk atau tugas sintaksisnya.
Dalam hal makna, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Melayu, baik dahulu maupun sekarang, pada (9--11), preposisi dan konjungsi ini bermakna 'perbandingan'.

Selain makna 'perbandingan' seperti pada (9), (10), dan (11), masih terdapat daripada yang bermakna dan bertindak sebagai sesuatu yang lain lagi. Perhatikan contoh (12) s.d. (34)!

(12) duduk di atas kursi daripada emas (HNM 1919).
(13) ini terbentuk daripada ujaran penutur (AN 1975).
(14) Daripada implikasi konteks, pendengar seterusnya dapat membuat kesimpulan (AN 1975).
(15) ia hendak bangun daripada duduk itu lalu tersungkur (HNM 1919).
(16) saya kembali daripada perjalanan gelombang ke-2 (SKN 1956).
(17) maka suara pun keluar daripada kubah Rasul (HMH 1920).
(18) pemimpin daripada partai-partai ini (SKN 1956).
(19) maka ta' lain jang dapat kita lihat daripadanja (SO 1938).
(20) kita beri bentuk lain daripada beras (SKN 1952).
(21) penyelenggaraan praktis daripada ideologis itu (SKN 1956).
(22) apa yang dikerjakan oleh generasi pendobrak ialah pendobrakan daripada keadaan permulaan daripada pembentukan praktis daripada negara kolonial itu (SKN 1956).
(23) menghambat penyelenggaraan daripada apa yang ia geloof-kan (SKN 1958).
(24) kecuali daripada penyakit kedaerahan, tidaklah kita ini mengalami pula penyakit lain (SKN 1956).
(25) Selain daripada itu, apa yang diimplikasikan (ANA 1993).
(26) Kekayaannya tiada terhisab, daripada emas, perak, dan permata (BDD 1989).
(27) Ayat yang benar-benar ayat mestilah terdiri daripada subjek dan predikat (AS 1993).
(28) Seorang daripada hambanya disuruhnya memanggil (BD 1989).
(29) Salah satu daripada problem-problem itu (SKN 1952).
(30) sumber daripada segala sumber ialah Amanat Penderitaan Rakyat (SKN 1960).
(31) satu bangsa yang papa yang sengsara yang hidup daripada 2,5 sen satu orang satu hari (SKN 1960).
(32) malah hasil kajian ternyata menyimpang jauh daripada makna yang dimaksudkan (ANA 1993).
(33) sebelum mendapat izin tertulis daripada penulis (AS 1993).

Dari kalimat/klausa (9)--(33), dapat dideskripsikan adanya sembilan makna preposisi daripada berdasarkan perilaku sintaktisnya, yaitu: (a) 'penanda perbandingan' (9--11), (b) 'penanda bahan' (12--14), (c) 'penanda asal lokasi' (15--17), (d) 'milik' (18--20), (e) 'terhadap/ tentang' (21--23), (f) 'penanda eksklusivitas' (24--25), (g) 'terdiri atas' (26--27), (h) 'di antara' (28--30), dan (i) 'penanda objektif' (31--33). Tampaknya, temuan ini tidak bertentangan dengan temuan Ramlan (1987) yang menemukan tiga makna dasar, yakni 'perbandingan', milik, dan 'bahan'.

Yang membingungkan penentuan makna gramatikalnya adalah pemakaian preposisi tersebut pada contoh (2), (3), dan (4) di atas, yang banyak dimunculkan oleh para pejabat rezim Orde Baru ketika bertutur lisan. Dari kesembilan temuan makna di sini tidak satu pun yang sesuai dengan perilaku sintaksis daripada pada ketiga kalimat/klausa (2, 3, 4) di atas. Memang, tidak satu pun pola klausa yang terdapat dalam klausa (9) s.d. (33) yang menggunakan pola aneh V/P + daripada + O. Jika toh ada, ini harus dianggap kekecualian, yakni kalimat (34) berikut.

(34) Kesimpulan implikatur yang bakal dicapai daripada penutur akan bergantung semata-mata pada interpretasi pendengar (ANA 1993).

Makna preposisi daripada dalam klausa (34) ini adalah 'penanda agentif'. Dilihat dari pola strukturnya, karena berada pada klausa negatif, preposisi ini menggantikan preposisi oleh. Preposisi oleh memang bisa dan tidak dilarang hadir dalam konstruksi pasif V/P + oleh + O. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa derajat keabsahan secara struktural kehadiran daripada sebagai pengganti oleh lebih tinggi dari daripada yang menghubungkan P/V dengan O.

Bertindak sebagai apakah bentuk daripada pada (12) s.d. (33)? Ini akan menjawab perilaku sintaktis klausanya. Dalam perilaku sintaktis ini, daripada berada dalam lima kemungkinan, yaitu:

  • sebagai atribut dalam FN (12, 18, 20, 21, 22, 23, 28, 29, 30); dalam (12), misalnya, daripada sebagai atribut bagi FN kursi daripada emas;
  • sebagai penanda dalam FPr (13, 14, 15, 16, 17, 19, 31, 32, 33); dalam (13), misalnya, daripada sebagai penanda dalam FPr daripada manusia lain;
  • sebagai aksis dalam FPr (24, 25); dalam (25), misalnya, daripada sebagai aksis dalam FPr selain daripada itu;
  • sebagai preposisi-verbal (26); dalam (26), misalnya, daripada sebagai preposisi-verbal bagi daripada emas, perak, dan permata; perlu dicatat di sini bahwa frase ini lebih layak dimasukkan ke dalam golongan frase verba (FV) berdasarkan maknanya, tetapi berdasarkan bentuknya lebih tepat ke dalam FPr.
  • sebagai atribut dalam FV (27); misalnya dalam (27), daripada sebagai atribut dalam FV terdiri daripada subjek dan predikat;
Pada (34) daripada tidak wajib hadir, yang secara tepat dapat digantikan dan menggantikan oleh pada konstruksi pasif. Hal ini tidak melanggar prinsip ketegaran letak PO atau VO dari tipologi strukturalnya sebab tipe PO/VO ini hanya cocok untuk konstruksi aktif transitif, dan bukan pasif.

Simpulan

Berdasarkan ragam pandangan, terdapat enam pandangan terhadap pemakaian preposisi daripada sebagai berikut. (1) Daripada sebagai preposisi 'perbandingan'. (2) Daripada sebagai redundansi dan merusak perkembangan bahasa, dan harus dihilangkan. (3) Daripada sebagai bentuk tegun. (4) Daripada sebagai suatu feno-mena lingual wajar yang tidak hanya menandai makna 'perbandingan'. (5) Preposisi daripada sebagai sesuatu yang wajar, tetapi jangan sampai mengganggu ketegaran pola VO (PO). (6) Daripada sebagai wujud loyalitas bawahan kepada atasan, jadi ini harus dilancarkan pembabathabisan sebagai wujud resistensi kultural.

Berdasarkan makna yang dibangunnya, daripada berkemungkinan mempunyai sepuluh makna, yaitu: (1) 'penanda perbandingan', (2) 'penanda bahan', (3) 'penanda asal lokasi', (4) 'milik', (5) 'terhadap/tentang', (6) 'penanda eksklusivitas', (7) 'terdiri atas', (8) 'di antara', (9) 'penanda objektif', dan (10) 'penanda agentif'.

Berdasarkan perilaku sintaksisnya, daripada mungkin dapat bertindak ke dalam enam peran, yaitu: (1) penanda bagi FPr, (2) konjungsi antarklausa, (3) atribut dalam FN, (4) aksis dalam FPr, (5) preposisi-verbal, dan (6) atribut dalam FV.

Daftar Pustaka

Alwi, H. dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta: Depdikbud RI.

Anderson, B. 1990. Language and Power. Ithaca: Cornell University Press.

Arifin, E.Z. 1987. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Mediyatama S.P.

Arifin, E.Z. dan S.A. Tasai. 1991. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Ed. Rev. Jakarta: Mediyatama S.P.

Arifin, E.Z. dan F. Hadi. 1993. 1001 Kesalahan Berbahasa. Jakarta: CV Akademika Pressindo.

Crystal, D. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Greenberg, J.H. 1973. "Some Universals of Grammar with Particular Reference to the Order of Meaningful Elements". Hal. 73--113. J.H. Greenberg (ed.), Universals of Language. Ed. IV. Massachussets: MIT Press.

Heryanto, A. 1996. "Bahasa Politik". Forum Keadilan V/1, 22 April: 63.

Jupriono, D. 1999. "Golongan Birokrasi dan Militer dalam Akronim pada KBBI selama Dasawarsa Terakhir Rezim Orde Baru". (Laporan Penelitian) Surabaya: Pusat Studi Sastra dan Strategi Kebudayaan, Lembaga Penelitian Untag Sby.

Li, C.N. dan S.A. Thomson. 1974. "An Explanation of Word Order Change SVO-SOV". Foundation of Language XII/2, Nov.: 204--214.

Lyons, J. 1968. Introduction to Theoretical Linguistics. New York: The Macmillan Co.

Miller, D.G. 1975. "Indo-European VSO, SOV, SVO, or All Three?". Lingua XXXVII: 31--52.

Ramlan, M. 1987. Preposisi dalam Bahasa Indonesia. Cet. III. Yogyakarta: CV Karyono.

Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya.

Santoso, K.B. 1990. Problematika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sapir, E. 1949. Language: An Introduction to the Study of Speech. New York: Harcourt, Brace and World, Inc.

Scott, J.C. 1991. Domination and Arts of Resistance: Hidden Transcripts. New Haven: Yale University Press.

Sidharta, S.P.M. 1988. "Kata 'Dari' dan 'Daripada' pada Frase Nominal". Hal. 98--110. Mahmud, Adimihardja, Martalogawa (Eds.), Nuansa-nuansa Pelangi Budaya. Bandung: Pustaka Karsa Sunda & Ika FS Unpad.

Steele, S. 1975. "On Some Factors that Affect and Effect Word Order". Hal. 197--268. C.N. Li (ed.), Word Order and Word Order Change. Austin: University of Texas Press.

Soedjito dan Taryono A.R. 1984. Cermat Berbahasa Indonesia. Malang: FPBS IKIP.

Soedjito. 1986. Kalimat Efektif. Malang: FPBS IKIP.

Sudaryanto. 1982. "Beberapa Aspek Bahasa Indonesia yang Menarik Dilihat dari Sudut Tipologi Struktural Tradisi Sapir-Greenberg-Lehmann". Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia X/2, Nov.: 177--206.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Pertama. Cetakan II. Yogyakarta: GMU Press.

Sugono, D. 1986. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: CV Kilat Grafika.

Daftar Sumber Data

AS: Mas'alah Partikel yang Belum Selesai dalam Tata Bahasa Melayu. (Asraf, 1993). Petaling Jaya: Sasbadi Sdn. Bhd.

HNM: "Kedudukan dan Fungsi Hikayat Nabi Mikraj". Pembinaan Bahasa Indonesia V/2. (Djamaris, 1984)

ANA: "Analisis Semantik dan Pragmatik dalam Implikatur Bahasa Melayu". Hal. 188--203. Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya. (Jalaludin, 1993). Jakarta: MLI.

SKN: Bung Karno dan Pemuda: Kumpulan Pidato Bung Karno di hadapan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa dan Sarjana 1952--1960. (Soekarno, 1987) Jakarta: CV Haji Masagung.

________________
Drs. D. Jupriono, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya; member of "Center of Literary Study and Cultural Strategy" (Pusat Studi Sastra dan Strategi Kebudayaan); member of "Karang Ocean" Foundation.

[Home] [Current issue] [Archives] [Staffs] [Submission]