file menarik dari kompas
Kamis, 11 Juni 1998
Mengajarkan Kejujuran
MENGAPA perilaku menyimpang dan berbagai tindak amoral-asusila
semakin gencar berlangsung di masyarakat kita? Para siswa saya
menjawab,
"karena banyak orang melakukannya." Jawaban demikian
itu muncul dalam
sebuah diskusi kelas yang membahas hasil survei lapangan tentang
perilaku
menyimpang. Mereka secara berkelompok mengamati dan melihat
dengan
mata kepala sendiri berhari-hari di berbagai sudut kota, lalu
mengolah
serta
merefleksikan temuan di lapangan itu dalam sajian diskusi yang
penuh
baku-jawab seru.
Penalaran sederhana yang mereka miliki adalah kalau suatu
tindakan itu
dilakukan oleh banyak orang alias banyak penganutnya, maka hal
itu dapat
dianggap sebagai kelaziman yang biasa. Orang membuang sampah atau
kencing di sembarang tempat, menyeberang jalan tidak di
zebra-cross,
menyerobot lampu merah, memacu kendaraan di jalanan umum, menarik
uang
parkir melebihi yang tertera di karcis, itu semua tidak lagi
dianggap
sebagai
perilaku amoral dan ketidakjujuran. Banyak orang melakukan hal
sejenis
berulang-ulang, ujung-ujungnya akan dianggap biasa.
Tentu saja saya tidak membiarkan simpulan tersebut yang mengendap
sebagai
paradigma orang-orang muda itu. Pertanyaan balikan saya lontarkan
kepada
mereka, kalau banyak di antara Anda ramai-ramai nyontek waktu
ujian itu
menyimpang nggak? Hanya disebut menyimpang kalau nyontek
sendirian?
Tanpa bermaksud mengindoktrinasi mereka saya tegaskan: sendiri
atau
banyak orang, menyimpang ya menyimpang, tidak jujur ya tidak
jujur,
amoral
ya amoral. Jangan heran korupsi, kolusi, nepotisme di negara kita
sulit
diberantas, karena banyak orang melakukannya dari pucuk atasan
sampai
yang cembre, sehingga itu dianggap biasa bukan lagi sebagai
ketidakjujuran.
***
PEMAHAMAN tentang kejujuran dan kebenaran di satu pihak telah
dipertentangkan dengan kesuksesan dan kekuasaan di pihak lain.
Para
orang
muda ini (khususnya siswa saya) tahu bahwa kejujuran, kebenaran,
kesuksesan, dan kekuasaan, satu dengan yang lain tidak berkait.
Masyarakat mengajarkan banyak hal tentang 'jalan pintas'. Untuk
sukses
jadilah penjilat, untuk memperoleh kedudukan tidak butuh prestasi
tetapi
dekatlah dengan yang mempunyai kursi, untuk kelancaran bisnis
tidak
perlu
dengan teori ekonomi atau usaha keras tetapi kejarlah fasilitas
atau
proteksi,
akhirnya untuk lulus ujian contek sana contek sini, untuk gelar
sarjana
jiplak
skripsi.
Apalagi yang akan diajarkan kepada mereka? Dalam keseharian, saya
mengajarkan bahasa Indonesia kepada siswa. Kalaupun harus
mengajarkan
teknik diskusi, dialog, debat, rapat, sidang, tidak ada contoh
ideal
dalam
praktek di masyarakat. Banyak kasus telah menyimpang dari prinsip
dan
alur
yang diajarkan di bangku sekolah. Pengertian dialog tidak lagi
memposisikan
dua pihak yang sederajat; istilah dialog dipakai untuk
mendefisikan
praktek
monolog. Pemahaman tentang sidang atau rapat yang menghadirkan
dinamika
penuh greget direduksi sekadar duduk-manis ketok palu. Apalagi
debat, -
yang masih mempunyai tradisi perdebatan hanyalah dalam proses
pengadilan.
Itu pun yang menang bukan karena hasil adu-argumen, justru
kesimpulan
ditentukan siapa yang berkuasa.
Sekolah dengan segala proses pendidikannya seolah menjadi dunia
yang
berdiri sendiri di luar dunia masyarakat. Para siswa diajari yang
baik-baik,
yang sopan-sopan, yang serba ideal, yang serba suci,
adat-istiadat
ketimuran,
dan sebagainya. Begitu para siswa membandingkan dengan keadaan
masyarakat yang sesungguhnya, bisa jadi mereka akan bingung.
Pertanyaan kritis agak nakal, apa sih yang disebut budaya timur?
Yang
mereka terima adalah budaya yang penuh tenggang rasa, toleransi,
dan
serba
adi-luhung. Para bapak pejabat dengan tegas bahwa tindakan A
tidak
sesuai
dengan budaya timur atau tindakan B demi menjunjung budaya timur.
Padahal
istilah itu acapkali dipakai untuk menyembunyikan ketidakberesan
dan
ketidakjujuran.
Maka, wahai para rekan guru jangan sakit hati kalau kita dicap
sebagai
pembohong besar! Masihkah ada urgensinya mengajarkan kejujuran?
Saya tambahkan sedikit :
Sebelumnya saya pernah bertanya kepada rekan-rekan yang ada di
isnet
ini,pertanyaan saya: Bila saya membeli bawang putih ke India
tetapi
tidak melalui di bea cukai,karena dengan maksud bebas dari semua
pungutan dan pajak yg sangat tinggi ,menurut hukumkan namanya
penyelundupan,lalu bawang putih itu di bakar yang jumlah nya
berton-ton,
pertanyaan saya sahkah barang yang saya beli itu,
memang melanggar Undang2 tapikan belum tentu melanggar hukum
agama dan
karena dahulu kala sebelum rakyat di batasi UU kan kita bebas
membeli
barang keluar negri ataupun sebaliknya seperti di jaman nabi-nabi
dulu,
itu merupakan perbuatan mubazir apa tidak di sedekahkan saja kata
saya,
tapi jawaban teman2 yang ada di Isnet ini,jawabannya : yang
namanya
selundupan tentu itu haram dan ingin memperkaya diri dengan cepat
dengan melanggar pemerintahan tentu itu juga melanggar agama
karena
merugikan orang juga dan dengan menyebutkan ayat al-quran yang
saya agak
lupa bunyinya tapi intinya begini barang yang asalnya haram maka
barang tersebut haram di makan.
Nah sekarang coba saya kembalikan kata-kata teman itu, Coba lihat
sekarang katanya hasil kekayaan pejabat-pejabat yang hasil dari
korupsi,kolusi,nepotisme dan di dapatkan dengan cara
pembunuhan,dll
akan di kembalikan kepada rakyat, nah berarti kita akan memakan
barang
yang haram juga,apakah akan kita bakar semua itu yang jumlahnya
triliuna
rupiah yang jumlahnya tidak dapat di hitung oleh tangan.Apalagi
membeli
barang2 jarahan yang didalamnya ada kematian,tangisan,penderitaan
ddl,
karena
yang harganya sangat-sangat-sangat murah,tetap juga ada yang
membelinya.
Bagaimana pendapat akhi-akhi.........?apakah kita akan memakan
barang2
yang haram, karena bila telah menjadi daging dan darah dalam
tubuh
sifat kita akan seperti mereka sama-sama makan barang haraaam
Mulyadi/yadi bagindo