Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

EL ROI, “DEWA” AIR DAN ALLAH:

DARI ISMAEL HINGGA BANGSA ARAB SEKARANG

Oleh Bambang Noorsena

 

bullet

Ismael, Sosok Keledai Liar: Bapa suku-suku Arab Pengembara

bullet

El Roi, Pernyataan TUHAN (Yahweh) di Bir (Sumur)”Lahai Roi”

bullet

Penggunaan Bahasa Arab, Khususnya Kata Allah, di lingkungan Kristen

bullet

Allah diantara Dewa-dewa Pagan di wilayah Arabia Utara

bullet

Inskripsi-inskripsi Arab utara : Pengaruh Kekristenan

bullet

Inskripsi “Umm al-Jimal” (250/271 dan Abad VI Masehi)

bullet

Inskripsi “Zabad” (tahun 512 Masehi)

bullet

Inskripsi “Harran al-Laja” (568 Masehi)

bullet

Masuknya Pengaruh Arab-Kristen di Arab Selatan hingga Zaman Islam

 

         

          Pada mulanya Ismael, kakek moyang bangsa Arab, menyembah Tuhan Yang Mahaesa. Abraham dan anak-anaknya mempunyai pengalaman ruhaninya sendiri dengan Allah. Abraham (Ibrahim) mengalami Allah sebagai El-Shaddai (Keluaran 6:1-3, “El Yang Mahakuasa”)[1], Ishak berjumpa dengan Pahad Yitsaq (Kejadian 31:42-53. “Yang disegani Ishak”), sedangkan Yakub mengalami-Nya sebagai ‘Abir Ya’ aqov (Kejadian 49:24, “Yang Mahakuat dari Yakub”).

          Sebagai putra Abraham dari Hagar, Ismael yang menjadi bapak dari bangsa Arab, mempunyai pengalamannya sendiri dengan Tuhan, sesuai dengan konteks dan tantangan hidupnya sebagai “anak-anak padang gurun” (Ibrani: Bene Hammidbar). Menurut catatan Alkitab, Hagar menamakan TUHAN (Yahweh) yang telah berfirman kepadanya itu dengan sebutan: “Engkaulah El Roi”. Sebab katanya: “Bukankah disini telah kulihat Dia yang telah melihat aku?” (Kejadian 16:13). Bagaimanakah Alkitab menggambarkan pengalaman Ismael aka El yang sama, yang juga disembah Abraham, Ishak dan Yakub itu?

 

 Ismael, Sosok Keledai Liar:

Bapa suku-suku Arab Pengembara

 

          Apabila pengalaman Ishak dengan TUHAN adalah kehebatan, kedasyatan dan kuasa kodrat yang menuntut sembahyang dan penghormatan yang mutlak, Yakub mengalami TUHAN sebagai kuasa, pelindung, pencegah dari kecelakaan yang mengancam hidupnya. Bagaimana dengan Hagar dan Ismael? Kehidupan suku Badui, yaitu pengembara padang gurun, dalam Alkitab dilambangkan dengan sebutan “keledai liar” (Ibrani: pere adam). Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam ayat-ayat di bawah:

Siapakah yang mengumbar keledai liar, atau siapakah yang membuka tali tabatan keledai jalang?

Kepadanya telah Kubarikan tanah dataran sebagai tempat kediamannya, dan pada masin sebagai tempat tinggalnya.

Ia menertawakan keramaian kota, tidak mendengarkan teriak si penggiring;

Ia menjelajah gunung padang rumputnya, dan mencari apa saja yang hijau (Ayub 39:8-11). 

          Keledai liar suka akan kesunyian (Yesaya 32:14; Ayub 39:10), selalu mencari air minum (Yeremia 14:6; Mazmur 104:11) dan rumput mejadi makanannya (Ayub 6:5; 39:11). Keledai liar mencari penghidupannya di padang gurun (Ayub 24:5), tidak kenal kemewahan dan keamanan, serta lebih didorong oleh nalurinya (Yeremia 2:24; Hosea 8:9). Dalam makna seperti itu, yaitu sebagai nenek moyang suku Arab pengembara dengan segala karakteristik bawaannya tersebut, Ismael digambarkan dalam Alkitab, Kejadian 16:12. “Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar (pere adam), tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia (yado be kol, we yad kol bo). Maksudnya disini, kehidupan pengembaraan yang penuh tantangan, persaingan dan kekerasan untuk bertahan hidup. Selanjutnya ungkapan: We ‘al fene kal eheu yishken, secara lebih tepat diterjemahkan: “ia akan hidup terpisah dari semua sanah saudaranya” (BIS)[2]) Lebih jauh, maksud ungkapan ini diterangkan kembali dalam Kejadian 25:18. “Mereka mendiami daerah dari Hawila sampai Syur, yang letaknya di sebelah timur Mesir ke arah Asyur. Mereka menetap berhadapan dengan semua saudara mereka” (Ibrani: ‘al fene kal ehau nafel) Tentu saja, pengalaman akan Allah juga sangat dipengaruhi oleh corak kehidupan kaum pengembara di padang gurun. Dan riwayat Hagar dan Ismael sangat cocok menggambarkan hal itu.

  

El Roi, Pernyataan TUHAN (Yahweh) di Bir (Sumur)”Lahai Roi”

 

          Hagar memanggil Tuhan dengan sebutan El Roi ( El yang Mahamelihat). Pengalaman perjumpaan ini, sungguh-sungguh mewakili kehidupan suku Arab dengan kehidupan nomaden (pengembara yang tidak menetap). Suatu pencarian yang penuh kehausan akan Tuhan, diibaratkan kehausan mencari air dari satu oasis ke oasis dalam perjalanan di padang gurun yang luas. El Roi menjumpai Hagar di sebuah sumur (bir) yang disebut “Lahai Roi”. Secara harfiah, dalam bahasa Ibrani nama sumur ini menceritakan suatu tempat suci yang dibaktikan: Le (kepada), Hay (yang Mahahidup), dan Roiy (yang telah melihat aku)[3]). Sebab bagi suku-suku Arab padang pasir, air adalah segala-galanya bagi mereka. Air adalah segala-galanya bagi mereka. Air adalah kehidupan itu sendiri.

          Oleh karena itu, setelah ribuan tahun Ismael meninggal sebagian dari keturunannya memaknai secara salah pengalaman nenek moyangnya itu. El Roi, yang mula-mula menyatakan pribadi El (ilah, sembahan) yang Esa, yang telah menyelamatkan Ismael dari kematian di gurun pasir itu dengan memberinya sumber air yang memancar, menjadi salah satu dari sekian dewa-dewa yang banyak. Itulah salah satu pengertian yang diterapkan bagi Allah di wilayah Arabia selatan pada jaman pra-Islam. Allah adalah “dewa yang mengairi bumi”, sehingga menyuburkan pertanian dan tumbuh tumbuhan dan menberikan minum pada ternak-ternak mereka.[4])

          Tetapi tidak semua orang Arab pra-Islam mengikuti gambaran Allah yang seperti itu. Di wilayah suku-suku Arab Utara, dimana pengaruh Kekristenan lebih jauh meresap, istilah Allah justru muncul dalam inskripsi-inskripsi Kristen di sejumlah bangunan gereja. Untuk lebih mendapatkan gambaran yang utuh, di bawah ini akan diuraikan bagaimana perkembangan Kristen di lingkungan suku-suku Arab utara, dari jaman Yesus sendiri, Rasul-rasul Kristus hingga Gereja-gereja pada abad-abad kemudian. Sejumlah catatan sejarah, bukti-bukti inskripsi Kristen-Arab akan dibahas satu persatu, sedapat mungkin akan ditentukan tarikh atau penggalannya, bacaannya dalam aksara Arab modern, dan arti penting pembahasan kita sekarang. 

 

Penggunaan Bahasa Arab, Khususnya Kata Allah, di lingkungan Kristen

 

          Menurut geneologi Alkitab, ada 2 kelompok yang disebut orang-orang Arab. Pertama, penduduk yang disebut dalam Kejadian 10 yang mendiami wilayah Arab Selatan, yaitu keturunan Yoktam dan Kusy; Kedua, orang-orang Arab utara yang berasal dari keturunan Abraham dari Ketura dan Hagar (Kejadian 25), serta orang-orang Arab diantara keturunan Esau yang disebut Kejadian 36. Kejadian 25:13-15 menyebut 12 nama-nama suku Arab yang berasal dari anak-anak Ismael antara lain: Nebayot, Kedar, Adbeel, Mibsam, Misyma, Duma, Masa, Hadad, Tema, Yetur, Nafisy dan Kedma.[5]) Pada jaman Perjanjian Baru, yang disebut orang-orang Arab terutama menunjuk pada orang Nabatea (Nabati) saja. Wilayah kerajaan Arab Nabati terbentang dari Damsyik hingga Gaza dan masuk jauh ke padang gurun sebelah timur. Ibukota kerajaan Nabati adalah Petra, atau dikena sebagai “Kota batu karang merah”. Karena wilayahnya yang tidak seluas semenanjung Arab modern,maka yang disebut Paulus dengan “tanah Arab” (Galatia 1:17) mungkin adalah Harran. Kota Harran dan beberapa kota Arab lain, pada abad-abad pertama Kekristenan memegang peranan cukup penting.

          Hunjukan pertama mengenai “bahasa Arab”, secara implisit disebut berkenaan dengan peristiwa turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Pada waktu itu, oleh karunia Rih Kudus murid-murid Kristus berbicara dalam berbagai bahasa, sehingga penduduk yang datang dari berbagai negeri itu “mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri”, termasuk didalamnya orang Arab (Kisah Para Rasul 2:5-11). Pertanyaannya, bahasa apakah yang didengar oleh orang Arab pada waktu itu? Memang suku Arab Nabatea berbicara dalam bahasa Aram, sebagai bahasa yang pada waktu itu lebih luas dipakai sebagai bahasa komunikasi. Tetapi dalam ayat-ayat tersebut, sebutan orang Arab dibedakan dengan orang Partia, Media, Elam dan penduduk Mesopotamia yang berbicara dalam bahasa Aram. Bukti-bukti sejarah menunjukkan, bahwa orang-orang Arab Nabatea itu menggunakan bahasa Arab dalam percakapan sehari-hari.[6])

          Jadi, pasti pendatang Arab di Yerusalem pada saat itu mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa Arab “tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (Kisah Para Rasul 2:11). Pertanyaan selanjutnya, apakah dari mulut mereka itu oleh ilham Roh Kudus juga menyebut istilah Allah? Menurut J.Spencer Trimingham suku Arab Nabatea cukup dibedakan dengan suku-suku Aram lainnya. Perbedaan itu antara lain karena orang Arab-Nabatea tetap mempertahankan jati diri Arab mereka.[7]) Sejumlah nama dari mereka mengadopsi nama-nama dewa mereka, sebagaimana kebiasaan orang Israel mencantumkan nam El atau Yah (bentuk singkat dari Yahweh) dibelakang nama mereka.[8]) Nama-nama Arab itu misalnya, Wahab al-Lat (anugerah dewi Al-Lat)[9]), atau Imru al-Qais (Perintah Dewa Qaws atau Qais). Juga, dewa-dewa Arab itu mempunyai nama tambahan, seperti Dzu Shara, ‘Uzaa, Shai’ al-Qawn, dan sebagainya.

          Diantara dewa-dewa lokal itu, ada sembahan yang lebih universal yang dikenal dengan El, yang secara tegas dieja dalam bentuk ‘elh. Orang Yahudi membacanya dengan Eloah, Eloh (im),orang Aram dengan Elah, Alaha, sedangkan orang Arab membacanya ilah, al-Ilah, Allah. Kata Allah ini muncul dalam sejumlah nama diri Arab, jauh sebelum bahasa Arab sendiri berkembang dalam bentuk bahasa tulisan pada masa Kristen, yang selanjutnya diuniversalkan pada masa jaman Islam. Nama-nama diri Arab ini sudah muncul dalam inskripsi-inskripsi Aram osctraca dari abad IV sebelum Masehi. Misalnya, nama ‘Alallahi, “Kepada Allah”[10]), dan ungkapan Beni ‘Alallah,”anak-anak ‘Alallah”.[11]) Tetapi nama-nama diri di atas, sudah barang tentu, belumlah cukup menjelaskan apakah masih dimaknai secara pagan/kafir, ataukah sudah dipengaruhi Monoteisme Yahudi.

          Barulah pada jaman Kristen,ketika suku-suku Arab ini menerima Kristus, nama-nama diri Arab yang mengandung nama Allah sudah jelas-jelas bermakna monoteis. Kaisarea Filipi, tempat dimana Yesus membenarkan pengakuan Petrus bahwa Ia adalah Mesiah, Putra Allah yang hidup (Matius 20:16-20), hampir separo wilayah itu dihuni suku Arab Iturea. Meskipun mereka berbicara lebih banyak dalam bahasa Aram, tetapi mereka biasanya memiliki dua nama: Aram dan Arab, seperti tertulis dalam inskripsi-inskripsi mereka.[12]) Karena itu,pastilah pada jaman Yesus, dalam percakapan mereka yang terbatas diantara keluarga Arab mereka, kata Allah mereka pahami dalam makna monoteis, seperti paralel kata itu dalam bahasa Ibrani/Aram El, Eloah, Elohim dan Elah. Selanjutnya, fakta sejarah mencatat bahwa Kekristenan telah eksis di dunia Syro-Arab, antara lain di Harran dan Damaskus, hanya beberapa tahun setelah kenaikan Yesus ke sorga.

          Pada abad II Kekristenan telah menyebar luas di antara suku-suku Arab di Nabatea. Bapa Gereja Yustinus Martyr menulis pada tahun 150 kesaksian sebagai berikut : “Tidak ada satupun ras manusia, apakah ia orang Yunani atau dengan apapun engkau menyebutnya, para pengembara dan penjaga ternak yag hidup di kemah-kemah mereka (orang-orang Arab), ketika mereka berdoa dengan Nama Yesus yang telah disalibkan, yang tidak dijawab doanya oleh Bapa dan Pencipta alam semesta”[13]) Bahkan Kekristenan Arab telah memberikan corak tersendiri dalam gereja. Harnack, menyebut sebuah dokumen gerejawi Didascalia Apostolorum (Konstitusi Rasuli) yang ditulis di wilayah Syria tahun 215, sebagai “gambaran kehidupan di propinsi Arabia”[14]) Selanjutnya, Eusebius al-Qaisari dalam Tarikh al-Kanisah, juga menceritakan kunjungan Origenes ke sejumlah gereja-gereja Arab.[15])

          Cukup penting pula kesaksian St.Hieronimus dalam bukunya berjudul Vita Sancti Hilarionis. Dalam buku yang memuat kehidupan St.Hilarion kira-kira tahun 391. Dikisahkan, ketika orang suci Kristus tersebut mengunjungi Elusa, daerah selatan Beersheba, orang-orang Arab itu sedang mengadakan perayaan di kuil dewi Asytar. St.Hilarion sering membebaskan orang-orang Arab dari roh-roh jahat. Karena itu ketika St.Hilarion melewati kota, banyak orang-orang Arab masing-masing bersama istri maka anak-anak mereka berseru dalam bahasa Arab : Barikna (Berkatilah kami!). Dengan kerendahan hati, orang suci itu menerima permohonan mereka dan menasehati mereka agar mereka berpaling dari berhala-berhala mereka dan beribadah kepada Allah. St.Hilarion mengabarkan Injil dalam bahasa Aram dan bahasa Arab.[16])

          Pastilah St.Hilarion berkotbah kepada mereka serta memanggil suku-suku Arab itu bertaubat kepada Sang Pencipta dalam Kristus, yang dalam bahasa Arab lazim disapa Allah. Terbukti bahwa di kota ini, pada tahun 431 ketika diselenggarakan konsili Efesus telah mengirimkan uskup mereka yang bernama Abdelas (bentuk Yunani dari bahasa Arab ‘Abdullah, “Hamba Allah”)[17]) Selanjutnya, sejumlah inskripsi Arab-Kristen membuktikan perkembangan pemakaian istilah Arab di lingkungan gereja-gereja Kristen di Arab utara, wilayah sekitar Syria sekarang.

 

Allah diantara Dewa-dewa Pagan di wilayah Arabia Utara

 

          Pengaruh Kristen yang telah meresapi wilayah Arab utara sejak perkembangan dakwahnya mula-mula, dibuktikan telah mengangkat Allah di atas dewa-dewa pagan yang mereka sembah. Ciri transedensi Allah semakin menonjol, mengembalikan makna semula yang monoteistik, sebagaimana pernah diajarkan Ismael, bapa suku-suku Arab sendiri. Memang keturunan Ismael pada masa kemudian telah jatuh kepada politeisme.

          Orang-orang Arab itu, karena mengikuti kebiasaan bangsa-bangsa lain, telah meninggalkan “agama Ismael”, yang tidak lain adalah iman yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim (Abraham) sendiri. Demikian ditegaskan dalam literatur Arab klasik karya Hisyam bin al-Kalbi, Kitab al-Atsnam.[18]) Selanjutnya buku ini sangat membantu dalam kajian kita, didalamnya dimuat uraian singkat tentang dewa-dewa orang Arab pra-Islam, seperti Suwa’, Wadd, Ya’uq, Allat, Dzu al-Shara, al-Qais, dan masih banyak lagi. Menjelang jaman Islam, sebutan Allah mulai disendirikan dari nama dewa-dewa pagan tersebut. Dalam buku ini dapat dicontohkan 2 suku Arab keturunan Ismael, yaitu kaum Nebayot (Nabatea) dan kaum Duma. Hisyam al-Kalbi menyebut kedua suku ini, Bani Haris (Yunani: Aretas) yang menyembah Dzu al-Shara,[19]) dan mereka yang mengambil Wadd sebagai dewa mereka di Dumat al-Jandal.[20])

          Mengenai misi Kristen kepada suku Nabatea ini, telah dimulai dari jaman rasul-rasul Kristus sendiri. Paulus, beberapa saat setelah pertobatannya, berada di tanah Arab dan di Damsyik nyaris ditangkap oleh “wali negeri Raja Aretas” (2 Korintus 11:32). Ternyata Aretas yang disebutkan disini tidak lain Aretas IV Filopatris (yang menurut sebuah inskripsi juga memakai nama Aram-Arab: Harits IV Rehem Ammu),[21]) raja Arab-Nabatea terakhir (9 sM-40 M). Terutama karena pengaruh Kristen itu, istilah Allah semakin bermakna transenden dan dibedakan dengan dewa-dewa lokal yang disembah orang-orang Arab utara. Hal ini dibuktikan dari inskripsi-inskripsi Arab utara yang memuat doa-doa yang ditujukan kepada dewa Ba’-al Samin dan Dzu al-Shara. Juga, Al-Latta nampaknya menjadi ilah yang utama. Perlu dicatat, dalam inskripsi-inskripsi Arab utara ini Allah dan Ar-Rahim sangat jarang disebut.[22]) Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Arab selatan, khususnya di Mekkah, dimana Allah dianggap sebagai “dewa utama”, sedangkan Al-Latt, Uza dan Manah dianggap sebagai “putri-putri Allah” (banat Allah)[23]) Dibawah ini akan kita contoh-contoh inskripsi Arab-Kristen yang memuat sebutan Allah dalam makna monoteis, yaitu Pencipta Langit dan bumu yang dikenal dalam nama Kristus.

 

Inskripsi-inskripsi Arab utara : Pengaruh Kekristenan

 

          Inskripsi aksara Arab tertua ditemukan di kota Umm al-Jimal dari tahun 250/271 M. Meskipun inskripsi ini memuat berita dalam bahasa Aram tetapi memakai aksara Nabati-Arab. Sedangkan inskripsi tertua, baik dalam bahasa maupun aksara Arab baru bertarikh 325 M di kota Namara. Inskripsi ini dituliskan di atas kuburan raja Arab, Mar al-Qais, yakni menceritakan keunggulan-keunggulan mereka dalam peperangan.[24]) Inskripsi selanjutnya yang jelas-jelas berasal dari lingkungan Kristen berasal dari Zabad (512 M), Harran (568 M) dan inskripsi Umm al-Jimmal lainnya yang berasal dari paruh abad VI Masehi.

Inskripsi Namarah yang memuat aksara Arab tertua dari tahun 328 Masehi

          Selanjutnya inskripsi-inskripsi Kristen di lingkungan Arab itu biasanya dibuat berkenaan dengan beralihnya suku-suku Arab itu dari politeisme kepada kekristenan. Biasanya inskripsi-inskripsi itu dituliskan di sejumlah bangunan untuk mengenang syuhada’ Gereja (Martyrion). Misalnya, sebuah inskripsi yang ditemukan di Jabal Druze: “Untuk istirahat para syuhada ‘Ashab al-Kahfi”.[25]) Selain itu, memang banyak sekali para martyr (syuhada’) yang berasal dari orang-orang Arab Kristen, khususnya pada jaman pemerintahan Kaisar Dakius yang terkenal sangat bengis itu (249-251 M). Bahkan banyak sekali rumah-rumah berhala yang akhirnya disulap menjadi Gereja setelah terjadinya pertobatan besar-besaran suku-suku Arab itu kepada Kristus.

          Di bawah ini akan kita ikuti inskripsi-inskripsi yang erat berkaitan dengan kajian kita, yaitu perkembangan pemakaian bahasa Arab di lingkungan Gereja, khususnya inskripsi yang memuat kata Allah yang dimaknai sepenuhnya secara monoteistik:

 

Inskripsi “Umm al-Jimal” (250/271 dan Abad VI Masehi)

 

          Tarikh Gereja tertua di propinsi Arab adalah Umm al-Jimal yang dibangun pada tahun 345 M, meskipun umat Kristen sudah menyebar jauh sebelum itu. Kota ini menjadi pusat penting di Nabatea, dimana suatu revolusi keagamaan terjadi dalam selang waktu yang singkat pada waktu seluruh kota menerima pewartaan iman Kristen.

          Inskripsi pertama Umm al-Jimal berasal dari tahun 250 M. Inskripsi pertama ini ditemukan di atas kuburan, yang selengkapnya berbunyi demikian: Denah Nafsu Fihr bar Shullai, rabbu Jadzimat, melek Tanukh (Inilah kuburan Bar Shullai, guru Jadzinat, Raja suku Tanukh).[26]

Inskripsi Umm al-jimmal pertama yang difoto dari loh batu

Dan salinan Inskripsi yang sama dengan lukisan

          Meskipun aksara dalam inskripsi ini sudah lebih mengarah ke bentuk huruf Arab, tetapi isinya sama sekali bahasa Aram. Perhatikanlah, di sini digunakan kata bar (bukan bin) untuk menyebut “putra”, juga kata Rabbu dimaknai sebagai “guru”, dan bukan “Tuan, Tuhan” seperti dalam bahasa Arab. Inskripsi Umm al-Jimal pertama ini, jelas membuktikan bahwa aksara Arab telah terpecah dari aksara Nabati-Aram, bahkan bahasa Arab dalam perkembangannya kemudian lebih banyak menyerap unsur Aram-Kristen di Syria (Syriac) ini.

          Sedangkan inskripsi Umm al-Jimal yang kedua, belum bisa ditentukan secara tepat penanggalannya. Para ahli menduga dari paruh abad VI Masehi. Meskipun demikian, inskripsi ini sangat penting bagi pembahasan kita. Karena inskripsi Umm al-Jimal kedua ini jelas-jelas merupakan salah satu inskripsi gereja yang memuat kata Allah. Menurut Yasin Hamid al-Safadi, inskripsi ini diawali dengan kalimat: Allah ghafran (Semoga Allah mengampuni).[27] J.Spencer Trimingham, meskipun dalam bukunya membahas panjang lebar makna penting Umm al-Jimal, tidak menyinggung inskripsi kedua yang memuat nama Allah ini. Selain inskripsi kedua ini melaporkan tahap-tahap perkembangan kaligrafi Arab dari bahasa Nabati-Aram, secara teologis membuktikan bahwa nama Allah telah dipakai secara monoteis, justru karena asal-usulnya dari lingkungan Gereja.

Inskripsi Umm al-Jimal kedua dari abad VI M diawali "Allah ghafran" (Allah Mengampuni)

Inskripsi “Zabad” (tahun 512 Masehi)

 

          Inskripsi Zabad pertama kali ditemukan oleh Dr.Sachau tahun 1881. Kota Zabad terletak di sebelah tenggara Aleppo (Halab), antara Qisrin dan sungai Eufrat. Para ahli setuju inskripsi yang ditemukan di reruntuhan gereja kuno ini berasal dari tahun 512 Masehi. Inskripsi yang ditulis dalam 3 bahasa: Aram, Yunani dan Arab ini, dipahatkan di atas batu mati sebuah bangunan gereja.

Atas: Inskripsi Zabad (512M) dalam 3 bahasa: Yunani (kanan salib), Aram (kiri salib) dan Arab (baris bawah). Tengah: Teks Arab inskripsi Zabad yang diperjelas. Bawah: Salinannya dalam aksara Arab modern menurut Yasin Hamid Safadi. Bacaan ini kurang tepat, Trimingham agaknya lebih tepat membaca nama-nama Aram-Arab setelah ungkapan Bism al-Ilah tersebut.

 

          Menariknya teks Arab dari inskripsi ini diawali dengan doa: Bism al-Ilah (bentuk lain dari ungkapan Bismillah, “Dengan Nama Allah”, lalu disusul dengan nama-nama Kristen Syria yang membangun Gereja tersebut.[28] Bunyi inskripsi ini selengkapnya sebagai berikut :

Bism al-Ilah: Sergius bar Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Sergius bar Sa’d , wa Sitr, wa Souraih.

Artinya: “Dengan Nama al-Ilah/Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mar al-Qais, Sergius putra Sa’d dan Sitr dan Suraih.”[29]

          Dalam kajian bahasa Arab, inskripsi ini sangat penting karena aksara yang dipakai merupakan transisi dari khat Nabati ke khat Arab kufi, yang juga digunakan untuk menulis manuskrip al-Qur’an masa-masa permulaan. Inskripsi ini aslinya merupakan sebuah martyrion, “monumen penghormatan syuhada’ ”, yang didedikasikan untuk menghormati Mar Sirjius (St.Sergius).

 

Inskripsi “Harran al-Laja” (568 Masehi)

 

          Inskripsi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1864 di kota Harran, al-Laja, wilayah timur Jabal (pegunungan) Druze. Ditulis dalam bahasa Yunani dan Arab di atas sebuah batu di atas pintu gereja. Menurut para ahli, sebagaimana inskripsi Zabad, pahatan ini merupakan sebuah martyrion yang didedikasikan kepada Mar Yahya al-Ma’madan (St.Yohanes Pembaptis), atas perintah Shurahbil bin Zalam, raja Arab dari Kindah.[30]

         

Inskripsi “Hurron Al-Laja” (658 M). Perhatikan tanda salib dalam inskripsi tersebut, suatu tanda yang lazim dalam inskripsi-inskripsi Arab-Kristen.

          Teks bahasa Arab dari inskripsi di atas, selengkapnya berbunyi:

Ana Syarahbil bnu Zhalamu (Zhalim), banayta dza (shalib) al-Martur[31] saniyat 436 ba’da mafsad Kheybar, bi ’am (bi ‘Aam). . . .

Artinya: “Saya Syarahbil Putra Zhalam/Zhalim, membangun (tanda salib) martyrion gereja ini pada tahun 438 setelah kehancuran kota Kheybar, pada tahun . . .”[32]

          Tarikh yang tepat dari ditulisnya inskripsi ini, dan kepada siapa bangunan ini didedikasikan, dapat dibaca dari teks berbahasa Yunani yang berbeda dengan teks Arab. Demikian terjemahan dari teks bahasa Yunani: “Saya, Asaraelos Dalemon,[33] membangun martyrion ini bagi St.Yohanes Pembaptis, pada tahun 463 (Era Bostra: 568 M).”[34] Perlu dicatat, era Bostra (Aera Bosterensis) ditetapkan berbarengan dengan pembentukan propinsi Bostra (sekarang: Basrah) sebagai bagian dari imperium Roma, tanggal 22 Maret 106. Sejak tanggal ini perhitungan kalender, mata uang dan tugu-tugu peringatan diubah dan disesuaikan. Juga, inskripsi Arab di kuburan ‘Imru al-Qais, raja Arab, yang ditemukan di Namarah, sudah dihitung menurut era ini (Era Bostra 233/328 M).

 

Masuknya Pengaruh Arab-Kristen di Arab Selatan hingga Zaman Islam

 

          Literatur-literatur Islam permulaan juga menyaksikan masuknya pengaruh suku-suku Arab Kristen di utara terhadap perkembangan bahasa Arab. Catatan-catatan  ini juga sangat penting dalam kajian-kajian kita mengenai makna kata Allah tersebut. Sumber-sumber Islam klasik itu menyebut orang-orang Kristen sebagai ‘Ibad ar-Rabb (Hamba-hamba Tuhan), ‘Ibad al-Masih (Hamba-hamba Kristus). Kadang-kadang kedua kata ini merujuk orang “Kristen dari Hira”, tetapi sering pula memaksudkan seluruh orang Kristen. Tidak jarang pula orang-orang disebut ‘Ibadiyun (kaum yang menghambakan diri). Misalnya, Kitab Al-Afghani menyebut ‘ibadiyun min Tamim (orang-orang Kristen dari Tamim).[35]

          Dikisahkan pula, Kalifah Khalid Ibn al-Walid pernah menanyakan kepada orang-orang Ahbar: “Darimanakah kamu belajar menulis?” Mereka menjawab, “Kami mempelajarinya dari ‘Ibad. Telah dibuktikan memang khat Arab kufi memang berasal dari orang-orang ‘ibad, khususnya orang-orang Arab Kristen yang berasal dari wilayah Irak (al-Iraq al-‘Arabi). Al-Qur’an akhirnya melestarikan “warisan Kristen Arab” itu, yang masuk dari Hira, Ahbar melalui Duma (Duma al-Jandal) ke Mekkah. Selain kita mengenal penyair Kristen Adi Ibn Zaid, yang menulis puisi dalam bahasa Pahlavi, Suryani (Syriac) dan Arab,[36] juga sebuah syair dari Imru al-Qais secara jelas menyebut: ka-khatt zaburin fii mashahif ruhbani (“sebuah zabur dalam tulisan-tulisan para rahib)[37] Kutipan ini membuktikan betapa kuatnya pengaruh Kristiani atas tumbuh dan berkembangnya tradisi tulis dari sebelum dan masa Islam.

          Selanjutnya, warisan monoteisme diteruskan oleh tradisi Arab setempat yang disebut kaum “Hanif”. Tradisi Hanif, betapapun juga, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh langsung atau tidak langsung dari Syria. Istilah Arab Hanif sendiri juga berasal dari bahasa Suryani (hanfe).[38] Sejumlah syair-syair Arab pra-Islam telah mengarah kepada tradisi monoteisme itu yang akhirnya dilanjutkan Islam.

          Syair Qus Ibn al-Hajjar, misalnya, sebagaimana disebutkan dalam Kitab al-Atsnam:

Wa bi al-Latta wa al-‘Uzza wa man dana diinahuma

Wa bi Allah, Inna Allah minhunna akbar

(Demi Latta dan demi Uzza dan orang yang percaya kepada mereka, Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih besar dari semuanya)[39]

          Bahkan syair Ummayah Ibn abi Salt, seorang tokoh “agama Hanif” yang mendahului kelahiran Islam, menegaskan sebagai berikut:

Huwa Allah, bari al-Khaliqi wa al-khalqu kulluhum ima’un thau ‘an jami’an, wa a’budu inna al-anama ra’aya Allah kulluhum. Huwa ass-ssallithathu fauqa al-ardh mustathiru, wa man lam tunajj’ahu al-khalaiqu mulkahu.

Wa in lam tufarridhu al-‘ibadu famufrad

(Ia Allah, Pencipta makhluk dan seluruh makhluk patuh dan tunduk kepada-Nya. Seluruh manusia adalah hamba Allah. Ia berkuasa di atas bumi, tidak makhluk yang menandingi kekuasaan-Nya. Dan sekalipun para hamba-Nya tidak menganggap-Nya Esa, sesungguhnya Allah itu tunggal adanya.)[40]

 

Catatan Penutup

          Peresapan pengaruh Kristen atas tradisi Arab pra-Islam ini, terbukti sangat menentukan pemakaian istilah Allah secara monoteistik. Meskipun pada masa Mekkah, Nabi Islam (Muhammad) masih menghadapi interpretasi pagan jahiliah, tetapi pada akhirnya istilah Allah dirujuk dalam pengertian Yahudi-Kristen, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, surah al-Hajj/22:40 yang berbunyi:

Wa lau la daf’u llahu nasa ba’dhahum biba’uhil lahuddimat shawami’u wa biya ‘u wa shalawatu wa masjidu yudzkaru fiiha asmu llahi katsiran (Jikalau  Allah tidak mencegah terhadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya telah robohlah biara-biara, gereja-gereja (Kristen), sinagoge-sinagoge (Yahudi) dan masjid-masjid (Islam), yang didalamnya banyak disebut nama Allah)[41]

          Sementara itu, bagi ummat Kristen sendiri hendaknya menyadari, bahwa jutaan saudara-saudara seimannya di negeri-negeri Arab dari dahulu hingga sekarang, setiap ibadah Minggu selalu mengucapkan Kanun al-Iman (Pengakuan Iman) yang diawali dengan penegasan : Nu’minu bi llahu Wahid, Allah al-Abi, dhabith al-kulli, Khalaqa as-samawati wa al-ardh . . . [42] Artinya : “Kami percaya kepada Ilah (sembahan) Yang Mahaesa yaitu Allah, Sang Bapa Yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi.”

[1] )Mengenai asal kata El Shaddai, lihat: Marjo Christina Annete Korpel, A Rift in the Clouds. Ugaritic and Hebrew Discriptions of the Divine (Munster: Ugarit Verlag, 1990). Di sini jelas bahwa Abraham dan keturunannya mempunyai pengalaman perjumpaan dengan TUHAN yang berbeda-beda. Sebutan-sebutan ilahi itu, menggambarkan apa yang mereka alami sesuai dengan tantangan ruang dan waktu yang berbeda. Apabila El Shaddai berasal dari bahasa Akkadia Shadu (padang belantara), maka sebutan itu mula-mula sudah dikenal Abraham dari Ur Kasdim, sebelum ia hijrah ke Harran dan kemudian ke tanah Kanaan. Tetapi setelah  di Kanaan, Abraham juga diberkati oleh Melkisedek, yang mungkin seorang imam agama Kanaan di Salem, dengan nama El Elyon (Kejadian 14:17,20. “El Yang Mahatinggi”). Sedangkan ketika berada di Bersheba Abraham menyebut Abraham menyebut Tuhan dengan sebutan yang juga lazim diterapkan bagi nama “dewa lokal” di sana, yaitu El Olam (Kejadian 21:33, “El Yang Mahakekal”). Cf. Albright, Bibliotheca Orientalis 17, 1962, p.242.

[2] ) Jadi tidak seperti terjemahan LAI (1974), “dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya”, yang menggambarkan permusuhannya yang kekal dengan Bani Israel. Sekalipun tidak disangkal permusuhan itu ada, tapi Alkitab juga menggambarkan bahwa keturunan Ismael menjadi pengurus kandang onta Daud, kawin dengan seorang Ismael (I Tawarikh 27:30), Abigail, saudara Daud, kawin dengan seorang Ismael (I Tawarikh 2:17). Dalam nubuat Yesaya 60:6-7 digambarkan orang-orang Arab, khususnya keturunan Ismael (Kedar, Nebayot) juga turut “menyemarakkan rumah Keagungan-Ku” (ayat 7). Meskipun yang disebut “anak perjanjian” adalah Ishak, dan bukan Ismael (Kejadin 17:19), tetapi Ismael juga anak yang diberikan janji berkat sebagai bangsa yang besar (Kejadian 17:20). Bahkan ungkapan untuk kematian Ismael “dan dikumpulkan kepada kaum leluhurnya” (Wa yiamek el ‘ameu), menunjukkan bahwa, sebagaimana Ishak maka Ismael adalah anak yang sah dari Abraham, meskipun sebelumnya kedua saudara itu dengan keturunannya masing-masing tinggal secara terpisah, tetapi setelah kebangkitan mereka disatukan kembali. Walter Lemp, Tafsiran Kejadian 12:4-25:18. Jilid 3 (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1969),h. 324.

[3] ) Ibid,h. 157-158.

[4] ) Demian Muhammad Wahyuni Nafis, “Refersensi Historis bagi Dialog Antaragama” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF(ed), Passing Over Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998),h.85. Disini Nafis mengutip dari Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publisher Company, 1986),h. 65.

[5] ) Suku Nebayot juga disebut dalam tulisan-tulisan paku dari Asyur, paralel dengan Nabayati atau Nabati. Suku Kedar, yang dalam Alkitab sering disebut bersama Nebayot (Yesaya 60:7) dan Misyma (I Tawarikh 4:25-26; 1:30), disebut pula dalam berita sejarah tentang perang Asyurhanibal sebagai Qedar (Qidri) dan Isamme. Adbeel dan Masa disebut juga dalam berita-berita perang raja Tiglat-Pilesar III (774-727 sM) sebagai “Idibili” (atau “Idibilu”) dan “Mesa’I”. Hadad, mungkin menunjuk sebuah suku yang dalam bahasa Aram “Hudadu”, atau dalam bahasa Akkadia “Adad”,”Addu” atau “Haddu”. Selanjutnya, Duma ditemukan dalam nama sebuah wahah (oasis) di Arab utara sebagai “Duma al-Jandal”, yang sekarang disebut “el-Gof”. Suku Tema dalam bahasa Arab modern dikenal dengan “Teima”, letaknya kurang lebih 140km sebelah timur laut Dedan (El Ula). Suku Yetur tersimpan dalam nama suatu daerah Iturea (Lukas 3:1), letaknya antara gunung Lebanon dan Lembah “el-Beqah”, Lebanon. Suku Kedma mungkin identik dengan “bani Masyriq” (Ibrani: benei qedem) yang disebut juga dalam Ayub 1:3. Akhirnya suku Mibsam dan Nafisy, agaknya sulit diidentifikasi lagi letaknya pada jaman sekarang (Walter Lemp, Op Cit.,h. 328-330)

[6] ) J.Spencer Trimingham, Christianity Among the Arabs in Pre-Islamic Times  (London-Beirut: Longman and Librarie du Liban, 1979),p.73.

[7] ) Ibid,p. 18.

[8] ) Misalnya: “abdi-El” (Hamba El/Allah), Imanu-El (El/Allah bersama kita), Adoniyah (Yah/Yahweh adalah Tuhan)

[9] ) Trimingham, Op. Cit, p.61

[10] ) Israel Eph’al and Joseph Naveh, Aramaic Ostraca of the Fourth Century BC from Idumea (Yerusalem: The Magnes Press, Hebrew University, 1996), p.60.

[11] ) Ibid,p.46

[12] ) Trimingham, Op.Cit, p.19.

[13] ) Ibid, p.94

[14] ) Ibid, p.69.

[15] ) Tarikh al-Kanisah, VI, 15,19. Al-Qamash Marqus Dawud (ed), Tarikh al-Kanisah li-Yusabius al-Qaisariy (Kairo: Maktabah al-Muhabah, 1979)

[16] ) Trimingham, Op.Cit, pp.106-107.

[17] ) Ibid,p.47

[18] ) Disebutkan bahwa berhala-berhala itu telah diambil “min walada Ismail wa ghayrihim min al-nas, wa suwaha bi asmaha ‘ala ma baqin fiihim min dzakarha, haina fiihim din Iismail” (dari antara keturunan Ismael dan umat manusia lainnya, lalu diberikan kepada dewa-dewa itu nama-nama pribadi menurut tradisi yang dipertahankan terus menerus, ketika mereka meninggalkan iman Ismael). Lihat: Al-Ustadz Ahmad Zaki (ed.), Kitab Al-Atsnam min Abi al-Mundzir Hisyam bin Muhammad bin Al-Sa’b al-Kalbi (Cairo: Al-Dar al-Qaumiyah lil thaba’ah wa al-Nasyr, 1965),h.9.

[19] ) Ibid.h.31

[20] ) Wa akhadzat Kalbun Wadd, bi Dumat al-Jandal (Lalu Kalb mengambil dewa Wadd, letaknya di Duma al-Jandal). Ibid, h.10

[21] ) Trimingham, Op. Cit., p.73. Arti gelarnya, baik menurut bahasa Yunani “Filopatris” maupun Aram-Arab Rahem amu, “yang mencintai bangsanya”.

[22] ) Trimingham, Op. Cit, p.93

[23] ) Zaki, Kitab al-Atsnam, h.11

[24] ) Bacaan lengkap inskripsi ini menurut Jauwad Ali, dalam Tarikh al’-Arabiy qabla al-Islam, baris demi baris sebagai berikut: (1) Hadza qubr Mar al-Qais bnu ‘Amr,malik al-‘Arab, kulluhum alladzi nal al-takh; (2) Wa Malik al-Assadina wa nazaran wa mulukuhum, wa nazam Munhaj bi quwwattihi, wa qada (3) al-thafar ‘ila aswara Najran madinat Syamar, wa malik Ma’adan, wa asta’mal (4) qassam abna’hu ‘ala al-qaba’al, kuluhum qarsanan li ar Rumi, falam yabalakh mibalghahu (5) fi al-qadm. Halak saniyat 223, yaum 7 min Kislul (Kanun al-Awwal) li yas’-adu alladzi walidatuh. Artinya: (1) Inilah kuburan Mar al-Qais putra ‘Amr, Raja orang Arab, masing-masing mereka yang menerima mahkota; (2) Raja kaum Usad dan kaum Nazar dan raja-raja mereka, menaklukkan Muzhaj dengan kekuatannya dan memimpin (3) kemenangan kepada tembok kota Najran dan Syamar, raja Ma’ad dan memakai (4) membagi anak-anaknya dalam kabilah-kabilah, masing-masing mereka menunggang kuda Romawi. Maka belum sampai Raja kepada kekuasaannya (5) dalam kekuatan, meninggal tahun 223 hari ketujuh bulan Kislul (Desember) agar berjaya yang dilahirkannya. Kamil al-Baba, Dinamika Kaligraf Islam. Alih bahasa: D.Sirojuddin AR (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992), h.11-12. Lihat juga: Trimingham, Op. Cit.p.93.

[25] ) Trimingham, Op. Cit. p.65. Kisah Ashab al-Kahf (Penghuni gua) dari Efesus ini, dikenal luas dalam tradisi Kristen Timur. Dalam Gereja Orthodoks Syria, kisah ini dibaca dalam buku Mar Ignatius Zakka I ‘Iwas. Ahl al-Kahfi fii al-Masadir al-Suryaniyah. Dirasar al-Suryaniyat, vol. IV (Aleppo: Al Mathran Yuhanna Ibrahim, 1980). Kisah “Para Penghuni Gua” ini juga populer di kalangan Islam, sebab diabadikan dalam al-Qur’an, surah 18/Al-Kahfi.

[26] ) Terjemahan inskripsi ini didasarkan atas buku Bert de Vries, Umm al-Jimal: Gem of the Blach Desert (Amman, Yordan: Al-Kutba Publisher, 1990), p.33.

[27] ) Yasin Hamid Safadi, Islamic Calligraphy (London: Thames and Hudson Limeted, 1978),p.6.

[28] ) Trimingham, Op.Cit h.226-227.

[29] ) Yasin H.Safadi, Op.Cit, h.6. Inskripsi ini juga dimuat dalam Quraish Shihab, Mu’jizat al-Qur’an (Bandung:Mizan, 199*), h.92-93, tetapi sama sekali tidak dibahas. Bahwa nama-nama ini campuran bahasa Arab dan Aram, jelas dari digunakan kata bar dan bukan bin untuk menyebut “putra”, dan juga gelar Mar yang dalam bahasa Aram berarti “tuan”, “Tuhan”, sebuah kata yang biasanya dipakai untuk Yesus dan para pemimpin gereja-gereja Syria (sebanding dengan kata latin Domine, atau Lord dalam bahasa Inggris).

[30] ) Dalam sejarah gereja-gereja Arab, Kindah adalah nama sekelompok suku Arab kristen. Bahkan pada masa pemerintahan al-Makmum masih lahir seorang tokoh apologet Kristen yang membela imannya dari serangan Islam, yaitu ‘Abd al-Masih Ibn Ishaq al-Kindi. Al-Kindi menulis apologinya tahun 830 M yang ditujukan kepada sahabatnya Muslim bernama ‘Abdallah Ibn Ismail al-Hasyimi. Lihat: Sir William Muir, The Apology of al-Kindi (London: Society for Promoting Christian Knowledge, 1991).

[31] ) Kamil al-Baba membaca “al-Martul”, tetapi mungkin bacaan yang tepat adalah “Martur” (kiranya lebih merupakan transliterasi Arab dari “martyrion”. Kamil al-Baba, Op.Cit, h.13. Juga John F.Healy, The Early Alphabet (London: British Museum Press, 1993),p.54.

[32] ) Trimingham,Op.Cit., p.227.

[33] ) Asaraelos Dalemon adalah yunanisasi dari nama Arab “Syarahbil bin Zhalamu”. Kadang-kadang nama-nama Arab itu tenggelam sulit diidentifikasi dari karakteristik antara bahasa Yunani dan Arab sangat berbeda, tidak seperti Aram dan Arab yang memang serumpun.

 

[35] ) Ibid,p.156.

[36] ) Ibid, p.227-228.

[37] ) Artikel “Zabur” (J.Horovits), dalam H.A.R.Gib-J.H.Kreamer (ed.), Shorter Encyclopaedia of Islam (London:E.J.Brill and Luzac & CO, 1961),p.649.

[38] ) Arthur Jefferey, The Foreign Vocabulary of The Quran (Lahore: al-Biruni, 1977),p. 112-115

[39] ) Al-Kalbi, Kitab Al-Atsnam,h.17.

[40] ) Harun Nasution, Filsafat Agam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)

[41] ) Abdallah Yusuf ‘Ali, The Meaning of the Holy Qur’an (Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1992), h.833.

[42] ) Al-Qamash Isodorus al-Baramus (ed.), Al-Ajabiyah: Shalawat al-Sa’at wa Ruh al-tadhra’at (Kairo: Maktabah Mar Jurjiyus Syaikhulaniy Syabra, 1992), h.79.