
Aku. Kilat marah: Mata liar 210 juta orang melihat negeri ini dicabik-cabik
dan sejumlah anak negeri ditembak atau terbakar; dijadikan mainan kekuasaan
di antara sepatu boot dan seribu janji politik: Mulut kami dibuat tak bersuara!
Aku. Gelegak resah: Mata marah mahasiswa denyut jantung rakyat yang sakit
karena harkat diinjak-injak dan teror tercipta di mana-mana!
Kau. Buta tuli: Sendiri. Buka utang kemana-mana dengan menggadaikan negeri ini. Kemudian rakyat menderita dan harus membayarnya. Raung 210 juta orang
akan diredam lewat barisan seragam loreng dan tank-tank!
Mahasiswa. Adik-adik kami. Buka mata pasang telinga: Kibaran harga-harga melambung-lambung. Enggan turun dan harga keringat rakyat semakin tak berarti di negeri ini. 210 juta orang menggelepar. Eh, kau masih senyum ramah dengan wajah tanpa dosa mengeksekusi setiap orang di antara kami yang berani berseberangan angkat bicara!
Mahasiswa. Adik-adik kami. Membaca dan merasa: Negeri ini semakin papa. Hutan terbakar di mana-mana. Minyak bumi dan barang tambang semakin terkeduk, lantas masuk ke saku-saku tertentu. Eh, kunyah mulutmu masih penuh bau retorika dan menutup 210 juta pasang mata, lantas semakin jadi kuda beban dengan tak sanggup lagi merintih.
Aku dan mahasiswa dan 210 juta orang rakyat. Kami: Semakin jauh darimu
Seperti matahari dengan hati!
Kami. Menyimpan resah gelegak 210 juta orang anak negeri yang kau bayar dengan bahasa darah, tembakan senjata dan membuka pintu sel lebar-lebar.
Tidak!
Kami punya tangan. Kami punya cakar.
Kami menggelinding bersama.
Kau masih punya nyali?
Jakarta 1997/1998
Mau Baca Sajak Lainnya?