Malin
Deman menghadap ke Pagaruyung. Penuhi panggilan Bundakandung. Duduk di
balairung, beberapa pejabat agung.
Bersabdalah
Bundakandung: “Wahai Malin Deman, anakkandung. Sudah dengar kabar yang
tersiar? Majapahit akan menyerang Pagaruyung. Bagaimana kita dapat membendung?
Masyarakat kita tak pernah ingin berperang. Kedamaian selalu jadi impian
alang-kepalang. Solusi anakkandung ingin Bundakandung dengar..”
Malin
Deman menghatur sembah. Ingin turunkan rasa gundah.
“Hamba
sudah mendengar kabar itu, Bundakandung. Hati hamba pun bingung. Ranah
Minang yang tenang, kini berguncang. Masyarakat semakin tegang. Hari ke
hari menunggu, dengan hati tak menentu.”
Datuk
Ketemanggungan tampak cemas.
Datuk
Perpatih nan Sebatang pun was-was.
Hadirin
menahan rasa gemas.
Bundakandung
mencoba melempar senyum, walau cemas di hati tetap dikulum.
“Tiadakah
solusi itu, anakkandung?” tanya Bundakandung.
“Belum
lagi, Bunda,” jawab Malin Deman sahaja.
Bundakandung
melempar pandang ke hadapan sidang. Suasana rapat semakin tegang. Hadirin
tak kuasa menahan bimbang.
Datuk
Ketemanggungan angkat bicara. Seluruh pandangan tertuju padanya.
“Daulat
hamba, Bundakandung. Hamba bicara karena tak kuasa membendung, seluruh
rasa hati masyarakat yang murung…”
Bundakandung
memberi waktu, agar Datuk Ketemanggungan menyampaikan pendapat. Hadirin
tampak menunggu, ingin tahu jalan keluar yang tepat.
“Kita
harus siapkan anak negeri, melawan setiap agresi.”
Hadirin
agaknya setuju. Mengangguk-angguk di jalan buntu.
Bundakandung
tetap murung.
Hadirin
makin bingung.
“Jika
kita lawan agresi dengan perang, berapa banyak darah anak negeri tergenang
di Ranah Minang?”
Hadirin
terdiam seketika. Membayang sungai darah di mana-mana.
Malin
Deman tampil ke muka.
“Hamba
kira, jika kita berperang, kalah jadi abu menang jadi arang. Apalagi kita
tahu, Majapahit sebuah negeri kuat. Hamba kira, kita tak kuasa menahan
serangan dahsyat….”
Hadirin
mengangguk-angguk setuju. Semakin tersesat ke jalan buntu.
Datuk
Perpatih nan Sebatang tampak semakin bimbang.
“Realitasnya
bala memang sedang menghadang?” ungkap Datuk Perpatih nan Sebatang melontarkan
rasa bimbang.
Bundakandung
melempar pandang ke hadirin. Tatapannya menginginkan jalan keluar dari
bala. Suasana panas pun segera mendingin. Hadirin menginginkan menarik
rambut dalam tepung, rambut ditarik, tepung tak rusak.
“Kita
sadar, tentara kita tak sejajar. Majapahit negeri kuat. Tentara mereka
tangguh di laut dan di darat. Mereka selalu menang dalam setiap perang,”
tutur Bundakandung dengan suara hati yang murung.
“Tapi
kita tidak mau dijajah,” kata Datuk Ketemanggungan dengan gagah.
“Daripada
berputih mata, lebih baik berputih tulang,” kata Datuk Perpatih nan Sebatang.
“Setuju!
Setuju!” Hadirin riuh berseru.
Bundakandung
mengetukkan palu.
Hadirin
pun diam terpaku.
Malin
Deman menghatur sembah. Semua mata menatap dengan rasa gelisah.
Bundakandung
memberi waktu.
“Hamba
sependapat, negeri kita tak boleh dijajah. Biarkan hamba jadi mayat, jika
Ranah Minang ada yang jamah.…,” kata Malin Deman dengan nada paling nyaman.
Raut
wajah Bundakandung semakin bingung. Apakah Mailn Deman inginkan juga perang
tanding?
Malin
Deman menarik nafas. Ingin lepaskan seluruh was-was.
Hadirin
ingin mendengarkan. Adakah solusi yang menggembirakan?
“Adakah
jalan keluar yang menggembirakan, anakkandung?” tanya Bundakandung dalam
nada bersenandung.
“Ananda
belum tahu pasti, Bunda. Tapi boleh kita coba,” jawab Malin Deman seketika.
“Apakah
rencanamu, anakkandung?” tanya Bundakandung.
“Kita
tak mampu berperang dengan tentara. Tapi kita mampu berperang dengan otak
kita.”
*
Mendengar
pendapat Malin Deman, hadirin semakin bersemangat
“Kumpulkan
orang dewasa yang albino
dari
seluruh negeri.
Dapatkah
dari seluruh negeri,
kita
kumpulkan orang dewasa yang albino?”
Tanya
Malin Deman seketika. Hadirin matanya bertanya-tanya, orang dewasa albino
bagaimana berperang lawan tentara?
Bundakandung
pun tak mengerti. Apa maksud sang putera hati.
“Sila
anakkandung ungkap rencana, agar puas hati kita semua,” kata Bundakandung
yang masih bingung.
Malin
Deman segera menghatur sembah, Bundakandung ingin mendengar titah.
“Maafkan
Bundakandung. Bukan lancang anakkandung. Atur rencana boleh terbentang,
hanya pada orang dalam kalang. Banyak sekali agen rahasia asing, yang mencari
informasi untuk perang tanding,” kata Malin Deman dalam nada paling nyaman.
Bundakandung
paham. Hadirin setuju pun mendeham.
Rapat
anak negeri pun ditutup. Detak jantung anak negeri makin berdegup. Apakah
kiranya atur rencana Malin Deman, sehingga orang dewasa albino dikumpulkan.
Kemudian
Bundakandung, Datuk Ketemanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang dan Malin
Deman, masuk ke dalam. Duduk berempat, atur rencana dalam rapat, bagaimana
caranya serangan Majapahit dapat teredam.
Akhirnya
lahir kata bulat, hasil dari mufakat.
*
Datanglah
menghadap seorang agen rahasia ke balairung. Di sana ada Bundakandung.
Juga Datuk Ketemanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang dan Malin Deman.
Suasana hening. Semua ingin mendengar kabar penting.
Bundakandung
mempersila agen rahasia untuk bercerita.
“Duhai
Bundakandung yang hamba hormati, atur rencana Majapahit menyerang ini negeri,
pada tanggal empat bulan ke sembilan, mereka datang dengan penuh kekuatan.
Saya dapat kabar, Armada ke Tujuh yang tenar, akan masuk ke Pauh Kambar.
Pariaman menjadi negeri tempat pendaratan. Atas dukungan seluruh pasukan
marinir Majapahit, dengan sasaran Pagaruyung pun terjepit. Mereka namakan
ini amukti Sumpah Palapa. Sumpah yang bikin kita menderita,” kata agen
rahasia terbata-bata.
Bundakandung
mendengar kabar dengan tenang. Padahal hadirin duduk berwajah tegang.
“Bila
harga diri kita diinjak, kita akan berdiri dan tegak. Kita tidak akan mau
berperang, tapi lawan yang datang ditolak pantang,” kata Bundakandung dalam
nada bersenandung.
Kendati
Bundakandung terlihat tenang, hati hadirin yang mendengar tetap terguncang.
Tentara Majapahit yang tenar, sudah tersiar ke mana-mana itu kabar. Amukti
Sumpah Palapa Gajahmada, artinya peperangan terjadi di mana-mana, sudah
bikin banyak negeri menderita.
*
Pada
tanggal tiga bulan ke sembilan, berkumpul dua puluh dua orang albino dewasa,
baik laki maupun perempuan. Wajahnya siap membela negara, mati pun hadangan
jadi pahlawan. Dan mereka berkumpul di Pariaman.
Mereka
dicukur gundul. Tak ada rambut yang tersisa. Segala macam rambut dicukur
gundul. Baik di kepala, di alis mata, kumis dan janggut, di ketiak, dan
di mana saja yang ada rambut. Semua dicukur gundul.
Kemudian
Malin Deman memperhatikan semua calon pahlawan. Pukul sembilan malam semua
sudah seragam. Tak ada lagi rambut yang tumbuh. Betul-betul gundul yang
utuh.
“Kalian
adalah calon pahlawan, pembela ini negeri dari negeri lawan,” kata Malin
Deman.
Kedua
puluh dua orang albino mendengarkan. Gelora di dada tumbuh menjadi pahlawan.
“Malam
ini, akan dicabut seluruh gigi. Ini sakit. Tapi lebih baik daripada dijajah
Majapahit,” kata Malin Deman menjelaskan.
Dua
puluh dua orang albino dewasa nyaris ciut. Seluruh gigi mereka akan dicabut.
Malin
Deman paham melihat reaksi. Setelah dicabut tak pernah tumbuh lagi.
“Semua
bergantung pada tuan-tuan dan puan-puan. Pagaruyung mengharapkan pengorbanan
tuan-tuan dan puan-puan, agar kita menang berperang, atas ancaman yang
datang. Pagaruyung takan akan melupakan, segala pengorbanan tuan-tuan dan
puan-puan,” kata Malin Deman menenangkan.
Kemudian
mereka sepakat. Mencabut seluruh gigi yang melekat.
Sesekali
terdengar suara mengaduh. Namun ditimpali dengan suara gaduh. “Pagaruyung
menang! Pagaruyung menang!”
Menjelang
tengah malam larut. Seluruh gigi telah dicabut. Hadirin diminta berkumpul.
Malin Deman ingin memberi kata simpul.
“Tugas
kita sekarang, membakar semua rumah di tepi pantai. Jangan lupa memanggang
beberapa ekor kerbau yang telah dibantai. Panggang di atas rumah yang terbakar.
Ini juga pengorbanan yang harus kita bayar,” kata Malin Deman penuh pengertian.
Seluruh
rumah di tepi pantai terbakar sebelum dinihari. Malam itu langit dipenuhi
bunga api. .
*
Mentari
baru saja mencogok di ufuk timur. Tampak ribuan orang bergolok siap bertempur.
Mereka adalah pasukan Armada ke Tujuh, langsung dipimpin Mahapatih Gajahmada
berlabuh.
Pantai
dipenuhi marinir Majapahit. Namun Pariaman terlihat sepi. Terkaget-kaget
pasukan Majapahit, seakan masuk ke suatu negeri, tanpa manusia. Lengang
tak ada siapa-siapa. Di beberapa tempat, hanya ada onggokan abu. Dan tengkorak
beberapa kepala kerbau mengabu.
Mahapatih
Gajahmada menyuruh periksa seksama. Namun Kolonel Marjono bersama anak
buahnya, tidak menemukan apa-apa. Sebagai pasukan pendarat, baru sekali
ini mendarat, tanpa ada perlawanan. Hanya ada sisa-sisa bakaran.
Namun
tiba-tiba terdengar suara tangisan. Seperti suara bayi kelaparan.
Kolonel
Marjono bersama anak buah mencari arah suara. Tak ada siapa-siapa, tapi
ada suara tangisan bayi menghiba.
Kemudian
Kolonel Marjono melihat ke atasnya. Terdapat gantungan kain antara pohon
kelapa dengan pohon kelapa. Bukan hanya satu. Setelah dihitung, ada dua
puluh dua tergantung. Pikir Sang Kolonel, apakah itu?
Diperintahkannya
seorang sersan memanjat pohon kelapa. Ingin tahu ada apa gerangan di sana.
Sang
Sersan memanjat pohon kelapa. Begitu tiba, dia kaget. Untung tidak mencret.
Tampak
seorang bertubuh putih. Meronta merintih. Tangisan pun lirih. Seperti ingin
menyusu. Lapar perut ingin mengadu kepada ibu. Tubuh bayi itu telanjang.
Tangan-tangan dan kaki-kakinya bergelinjang. Lapar sekali tentu. Mengapa
belum datang sang ibu….
“Inikah
suara bayi itu? Besar sekali bayi itu…” gumam Sang Sersan bergetar, denyut
jantungnya segera berdenyar.
Dia
pun segera turun. Ingin melapor hasil penglihatan.
“Lapor,
Kolonel. Bayi yang menangis itu, di atas sana. Tubuh bayi itu sebesar kita.
Bagaimana pula besar tubuh orangtuanya?” papar Sang Sersan gemetar.
‘Hah?”
Sang Kolonel pun ikut bergetar.
“Betul,
Kolonel. Apakah ingin lihat, Kolonel?” tanya Sang Sersan sambil tangan
mempersilakan.
Kolonel
Marjono pun melapor tergopoh-gopoh. Semua pasukan heboh. Mahapatih Gajahmada
bengong melihat Kolonel Marjono. Perwira andalannya tampak kuyu dan loyo.
“Sebaiknya
kita naik kapal lagi, Paduka…” kata Kolonel Marjono terbata.
“Naik
ke kapal lagi?” bentak Mahapatih Gajahmada murka sekali.
“Ya,
Paduka. Di sana ada dua puluh dua bayi raksasa. Bayinya saja sebesar kita,
bagaimana tubuh orangtuanya. Ini negeri raksasa, Paduka. Dan itu, bekas
tungku-tungku yang mengabu. Mereka memasak di sana. Melihat besar tungkunya
saja, hamba yakin ini negeri raksasa, Paduka. Untung orangtua bayi itu
tak di sana. Jika di sana, entah bagaimana celaka kita,,” ungkap Kolonel
Marjono bernada ciut dengan pikiran yang kalut.
Mahapatih
Gajahmada mendengarkan seksama. Kolonel Marjono adalah perwira andalannya.
Tak mungkin sampai salah menilai sebuah masalah.
“Baiklah.
Pasukan kembali ke kapal, ini perintah!” tegas sekali suara Mahapatih Gajahmada.
Seketika
seluruh pasukan kembali. Dan kemudian kapal berlayar menuju Majapahit lagi.
Esok lusa, entah negeri mana lagi, akan jadi korban amukti Sumpah Palapa.
Pagaruyung
pun kembali tenang. Suasana rakyat pun senang.
Sejak
saat itu, seluruh orang albino di ranah Minang dihormati. Bila bertemu,
segera mencium tangannya, puaslah hati.
*
“Begitulah
orang Minang menghormati pahlawan,” kata Ajo Buyung Blando yang albino
itu berkisah di lepau Kampung Sudut, Pariaman.
Berkisah
yang dikenal sebagai bakaba (berkabar), bercerita sambil berdendang. Suara
Ajo Buyung Blando merdu ikut melenakan pendengarnya di lepau.
“Masak
begitu?” tanya Herman Pengkar tak percaya.
“Kalian
ini tak tahu sejarah. Tak mau menghormati pahlawan kalian. Kalian di sini
hanya mengolok-olok pada orang albino seperti saya. Kalau saja kalian tahu
sejarah seperti Pak Guru Usman, kalian akan lakukan hal yang sama. Akan
mencium tangan saya. Mengucapkan terimakasih atas kepahlawanan orang albino
seperti saya,” kata Ajo Buyung Blando,
“Apa
Pak Gubernur akan mencium tangan Ajo Buyung?” tanya Herman Pengkar lagi.
“Sayang,
Pak Gubernur belum mendengar cerita ini. Kalau sudah, dia musti cium tangan
orang albino seperti saya,” katanya mengkahiri kisahnya sambil beranjak
dari duduknya, dan meninggalkan para pendengarnya..
Pendengarnya
masih duduk terpana.
Ragunan
– Jakarta Agustus 2001 – Pebruari 2002
Copyright
by Sutan Iwan Soekri Munaf