Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Dan Dia Terus Berjalan


Matahari hati Iwan sudah terbenam, ketika senja akan singgah di utara Jakarta. Malah gedebur ombak jiwaku semakin keras menghempas ke pasir rindu, mengenang ke masa pasang naik hubungan kami. Masa semenjak bangku SMA hingga ke bangku kuliah, melayarkan angan-angan bersama-sama mengemudikan hasrat kami di luasnya samudera cinta.

Satu-satu warung di Pantai Ancol ini menghidupkan lampunya. 

Semenjak tadi, kami tak banyak bercakap. Aku hanya mengikutinya, termasuk saat tiba di sini.

Hari semakin bergerak cepat menyambut malam. Sunset baru saja lewat. Aku masih duduk di pasir sambil bersandar ke batang pohon kelapa. Dan Iwan duduk di sampingku. Kami menatap ke laut di hadapan Pantai Ancol, dipenuhi pandangan lintas pengalaman dan pengetahuan yang bersenyawa dalam kenangan. 

Semua menyatu dan mengabaikan hembusan angin yang menggerai-lepaskan rambutku, yang kemudian menari-nari begitu saja.

“Jadi engkau benar-benar bahagia, Anna?”

Tiba-tiba saja meluncur suara Iwan di antara angin dan irama hempasan ombak ke pasir. Suara itu datar; bahkan nadanya begitu klise, tapi masih menyengatku.

Aku menolehkan wajah ke arah Iwan. Seiring dengan tolehan itu, rambutku yang tergerai ditiup angin, menyentuh wajah Iwan. Tentu saja aku tak dapat memastikan ekspresi Iwan selepas melontarkan ucapan tadi.

Dia pun membiarkan mukanya tersentuh rambut lurusku yang nakal menari diiringi alunan angin pantai dan ditimpali hempasan ombak yang mengantarkan buih putih ke pasir.

“Aku bahagia?” jawabku gagap, balik bertanya.

“Ya,” ungkap Iwan sambil menangkap rambutku yang menyentuh mukanya.

Aku membiarkannya, sebagaimana aku membiarkannya mengelus rambutku di atas bus kota, saat kami masih berseragam putih-abu-abu. Saat itu, aku inginkan waktu mogok, seperti kebiasaan bus kota tua. Namun waktu malah ngebut di kepadatan lalu-lintas angan-angan kami saat itu.

“Aku bahagia,” jawabku dalam nada sumbang yang pasti dirasakan Iwan.

Angin senja ini, ombak yang berkejaran sejak laut lepas menuju pantai ini, pohon kelapa yang kusandari ini dan semua yang di sini, bukan cuma Iwan, pasti tahu akan situasi hatiku.

Perjalanan hidupku benar-benar klise. Nyaris sama seperti yang ditulis pengarang masa lalu. Membosankan. Dan itu kulangkahi sepanjang jalan waktu, selepas semester tujuh, Johan mengajukan lamaran kepada ayahku. Dan ayahku menerimanya, karena aku tak pernah mengenalkan Iwan kepada orangtuaku. Aku pun sulit untuk membantah ayah atas lamaran pemegang MBA dari Harvard yang saat itu sudah menjabat posisi penting di sebuah bank asing. Saat itu, ayah baru saja menerima keputusan PHK (pemutusan hubungan kerja) karena perusahaannya pailit, dan seusianya amat sulit mendapat posisi di perusahaan lain yang cuma mau menerima karyawan muda, sedangkan beban sebagai kepala keluarga semakin berat, karena tiga adikku masih duduk di bangku SMA, SMP dan SD.

Ya, aku menyadari, Iwan saat itu belum menghabiskan beban kreditnya. Dan aku memahami, penyelesaian kuliah merupakan kewajiban bagi dirinya untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang berarti bagi keluarganya. Ya, keluarga Iwan pun terjerembab dalam kekerasan kota Jakarta, setelah ayahnya wafat saat dia duduk di bangku semester satu. Ya, Iwan merupakan tonggak keluarganya, karena dia anak sulung sebagaimana aku.

“Bahagia dalam nada ucapan berjalan seiring, namun dalam situasi amat kontradiksi,” kata Iwan menanggapi ucapanku.

“Ya,” cuma itu yang meluncur dari mulutku.

Iwan melepaskan gerai rambutku, sehingga kembali menari dipermainkan angin.

“Bagaimana anakmu? Sudah berapa?” tanya Iwan mencairkan suasana.

“Sudah kelas dua, puteri. Cuma seorang,” kataku seraya ikut membantu memecahkan kebekuan, “Dan kamu?”

“Belum.”

“Jadi Rina belum juga hamil?” tanyaku heran, karena aku mendapat kabar, Iwan menikahi Rina, empat tahun lalu. Saat itu aku sedang di Perth, karena Johan dipromosikan menjabat pimpinan wilayah Pasifik yang berkedudukan di sana.

Kabar pernikahan Iwan itu amat menggembirakanku dan sekaligus menyesakkan dadaku. Aku gembira, Iwan bisa melupakanku. Tapi menyesakkan dadaku karena Rina berhasil mengisi hati Iwan yang sebelumnya berisi diriku.

“Kami bercerai dua tahun lalu,” kata Iwan datar.

“Cerai?”

“Untuk apa melanjutkan pernikahan, jika kami mengetahui tidak ada keselarasan saat membina rumahtangga.”

“Bukankah Rina mencintaimu?” tanyaku, karena Iwan sering mengabariku tentang keatraktifan adik kelas fakultasnya itu semenjak Ospek untuk menggodanya.

“Barangkali, ya. Tapi ruang hatiku kosong. Dia tak pernah ada di sana.”

Aku terkesima.

“Mengapa menikahinya, jika kamu tahu dia tak akan pernah bisa mengisi ruang hatimu?”

Dia menarik nafas panjang. Aku menunggunya.

“Aku berharap cinta akan tumbuh setelah menikah. Namun prediksi itu meleset. Rina menyadari, sehingga dia mengkompensasikan ke aktivitas di kantornya. Makin lama suasana rumah itu makin beku. Di satu rumah, dalam seminggu, belum tentu kami bertemu. Dan akhirnya kami berpisah,” kata Iwan.

Aku terdiam.

“Dan hari-hariku kupusatkan ke karirku. Ya, sampai pertemuan kita di seminar tadi,” kata Iwan terus terang.

“Tapi, aku tidak percaya engkau duduk di antara peserta. 

Dan… seminar tadi merupakan seminarku yang agak kacau, setelah mataku menatapmu. Pikiranku tidak tertuju ke makalah. Malah, rasanya, waktu terlalu pelan bergerak, seperti as rodanya dipenuhi karat dan tak pernah diberi gemuk pelumas.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Melegakan rongga paru-paruku dengan kemudian menghembuskan udara perlahan. Hal ini aku lakukan berulang-kali. Ya, aku mendaftar seminar itu, setelah aku membaca iklan di sebuah koran, di mana dicantumkan salah seorang pemakalahnya adalah Iwan. Ya, setelah sekian masa, tepatnya semenjak pernikahanku dengan Johan, kami tak pernah bertemu. Saat baca iklan itu, aku ingin sekali ketemu Iwan.

“Bagaimana bahagia itu?” tanya Iwan.

“Bahagia?” kataku mencoba merangkai kata, 

“Bahagia itu….”

Iwan mendengarkan.

“Bahagia itu…,” benakku seperti tersekat saat mencari kata-kata yang tepat.

Tangan Iwan beranjak menyentuh jemariku. Aku membiarkannya. Jemari Iwan meremas jemariku. Aku merasakan kehangatannya, kehangatan seperti di Gedung Jakarta Theatre saat menonton ‘Saturday Night Fever’ dulu, setelah kami sama-sama bolos. Kehangatan itu pula yang menggerakkan jemariku untuk ikut meremas jemarinya.

“Aku sering mengeritik profesional seperti Johan. Barangkali subyektivitasku yang bekerja, kalau orang menganggapku sebagai pengamat ekonomi yang berpihak ke rakyat. Aku menyadari, motivasiku melakukannya karena aku kehilanganmu, Anna,” kata Iwan.

Aku masih menikmati kehangatan.

“Ya, aku menyadari engkau bahagia hidup bersama CEO dari perusahaan publik yang besar itu. Tentu Johan pun dapat menakhodai biduk rumahtangga kalian, terutama kemampuannya memanage itu. Tapi, apakah sama perusahaan publik itu dengan rumahtanggamu?” tanya Iwan.

Aku mendengarnya. Terbata.

Jemariku kulepaskan dari jemarinya.

Aku menatapnya.

“Mengapa engkau terima ajakanku ke sini?” tanya Iwan bertubi-tubi.

Aku diam. Cuma segaris bendungan di pelupuk mata ini seakan tak sanggup diterjang gumpalan airmata yang mencari sungainya. Tapi aku masih bertahan, sehingga cahaya lampu-lampu dari warung berkaca-kaca dalam tatapanku.

“Tidak. Aku tahu, engkau bukan perempuan cengeng yang mengumbar airmata. Tapi, betulkah engkau bahagia, Anna?” tanya Iwan.

“Perlu benarkah jawaban itu?” tanyaku penuh getar yang merefleksikan gelombang badai dalam hatiku.

“Tidak,” jawab Iwan pendek.

Iwan bangkit. Kemudian melangkah ke arah kejaran ombak yang mulai bergerak 

ke pasang naik.

Aku menatapnya dengan perasaan tak menentu.

Tiba-tiba terdengar suara Iwan:

“Hai Laut!

Semakin aku rasakan cinta

semakin aku dibelenggu…”

Aku pun bangkit. Aku melangkah mendekatinya.

“Iwan,

Bukankah kita rela, cinta

menjadi penjara bagi hati kita!”

Nadaku perlahan sekali, di antara irama angin dan deburan ombak yang menghempas.

Iwan merangkulku sejenak.

Aku diamkan.

Tidak. Dia tidak mengecup bibirku seperti pelukannya selulus SMAku dulu. 

Dia hanya mengelus rambutku. Kemudian melepaskannya.

“Anna, kembalilah ke keluargamu,” kata Iwan seraya bergerak ke arah darat. Dan dia terus menuju mobil.

Aku menatap punggungnya. Masih menatap punggungnya sambil merasakan basahnya air laut berkecipak di kakiku. 

Dia terus berjalan menuju mobil.

Jakarta, September 2001

Copyright by Sutan Iwan Soekri Munaf