Satu-satu
warung di Pantai Ancol ini menghidupkan lampunya.
Semenjak
tadi, kami tak banyak bercakap. Aku hanya mengikutinya, termasuk saat tiba
di sini.
Hari
semakin bergerak cepat menyambut malam. Sunset baru saja lewat. Aku masih
duduk di pasir sambil bersandar ke batang pohon kelapa. Dan Iwan duduk
di sampingku. Kami menatap ke laut di hadapan Pantai Ancol, dipenuhi pandangan
lintas pengalaman dan pengetahuan yang bersenyawa dalam kenangan.
Semua
menyatu dan mengabaikan hembusan angin yang menggerai-lepaskan rambutku,
yang kemudian menari-nari begitu saja.
“Jadi
engkau benar-benar bahagia, Anna?”
Tiba-tiba
saja meluncur suara Iwan di antara angin dan irama hempasan ombak ke pasir.
Suara itu datar; bahkan nadanya begitu klise, tapi masih menyengatku.
Aku
menolehkan wajah ke arah Iwan. Seiring dengan tolehan itu, rambutku yang
tergerai ditiup angin, menyentuh wajah Iwan. Tentu saja aku tak dapat memastikan
ekspresi Iwan selepas melontarkan ucapan tadi.
Dia
pun membiarkan mukanya tersentuh rambut lurusku yang nakal menari diiringi
alunan angin pantai dan ditimpali hempasan ombak yang mengantarkan buih
putih ke pasir.
“Aku
bahagia?” jawabku gagap, balik bertanya.
“Ya,”
ungkap Iwan sambil menangkap rambutku yang menyentuh mukanya.
Aku
membiarkannya, sebagaimana aku membiarkannya mengelus rambutku di atas
bus kota, saat kami masih berseragam putih-abu-abu. Saat itu, aku inginkan
waktu mogok, seperti kebiasaan bus kota tua. Namun waktu malah ngebut di
kepadatan lalu-lintas angan-angan kami saat itu.
“Aku
bahagia,” jawabku dalam nada sumbang yang pasti dirasakan Iwan.
Angin
senja ini, ombak yang berkejaran sejak laut lepas menuju pantai ini, pohon
kelapa yang kusandari ini dan semua yang di sini, bukan cuma Iwan, pasti
tahu akan situasi hatiku.
Perjalanan
hidupku benar-benar klise. Nyaris sama seperti yang ditulis pengarang masa
lalu. Membosankan. Dan itu kulangkahi sepanjang jalan waktu, selepas semester
tujuh, Johan mengajukan lamaran kepada ayahku. Dan ayahku menerimanya,
karena aku tak pernah mengenalkan Iwan kepada orangtuaku. Aku pun sulit
untuk membantah ayah atas lamaran pemegang MBA dari Harvard yang saat itu
sudah menjabat posisi penting di sebuah bank asing. Saat itu, ayah baru
saja menerima keputusan PHK (pemutusan hubungan kerja) karena perusahaannya
pailit, dan seusianya amat sulit mendapat posisi di perusahaan lain yang
cuma mau menerima karyawan muda, sedangkan beban sebagai kepala keluarga
semakin berat, karena tiga adikku masih duduk di bangku SMA, SMP dan SD.
Ya,
aku menyadari, Iwan saat itu belum menghabiskan beban kreditnya. Dan aku
memahami, penyelesaian kuliah merupakan kewajiban bagi dirinya untuk menggapai
cita-citanya menjadi seorang berarti bagi keluarganya. Ya, keluarga Iwan
pun terjerembab dalam kekerasan kota Jakarta, setelah ayahnya wafat saat
dia duduk di bangku semester satu. Ya, Iwan merupakan tonggak keluarganya,
karena dia anak sulung sebagaimana aku.
“Bahagia
dalam nada ucapan berjalan seiring, namun dalam situasi amat kontradiksi,”
kata Iwan menanggapi ucapanku.
“Ya,”
cuma itu yang meluncur dari mulutku.
Iwan
melepaskan gerai rambutku, sehingga kembali menari dipermainkan angin.
“Bagaimana
anakmu? Sudah berapa?” tanya Iwan mencairkan suasana.
“Sudah
kelas dua, puteri. Cuma seorang,” kataku seraya ikut membantu memecahkan
kebekuan, “Dan kamu?”
“Belum.”
“Jadi
Rina belum juga hamil?” tanyaku heran, karena aku mendapat kabar, Iwan
menikahi Rina, empat tahun lalu. Saat itu aku sedang di Perth, karena Johan
dipromosikan menjabat pimpinan wilayah Pasifik yang berkedudukan di sana.
Kabar
pernikahan Iwan itu amat menggembirakanku dan sekaligus menyesakkan dadaku.
Aku gembira, Iwan bisa melupakanku. Tapi menyesakkan dadaku karena Rina
berhasil mengisi hati Iwan yang sebelumnya berisi diriku.
“Kami
bercerai dua tahun lalu,” kata Iwan datar.
“Cerai?”
“Untuk
apa melanjutkan pernikahan, jika kami mengetahui tidak ada keselarasan
saat membina rumahtangga.”
“Bukankah
Rina mencintaimu?” tanyaku, karena Iwan sering mengabariku tentang keatraktifan
adik kelas fakultasnya itu semenjak Ospek untuk menggodanya.
“Barangkali,
ya. Tapi ruang hatiku kosong. Dia tak pernah ada di sana.”
Aku
terkesima.
“Mengapa
menikahinya, jika kamu tahu dia tak akan pernah bisa mengisi ruang hatimu?”
Dia
menarik nafas panjang. Aku menunggunya.
“Aku
berharap cinta akan tumbuh setelah menikah. Namun prediksi itu meleset.
Rina menyadari, sehingga dia mengkompensasikan ke aktivitas di kantornya.
Makin lama suasana rumah itu makin beku. Di satu rumah, dalam seminggu,
belum tentu kami bertemu. Dan akhirnya kami berpisah,” kata Iwan.
Aku
terdiam.
“Dan
hari-hariku kupusatkan ke karirku. Ya, sampai pertemuan kita di seminar
tadi,” kata Iwan terus terang.
“Tapi,
aku tidak percaya engkau duduk di antara peserta.
Dan…
seminar tadi merupakan seminarku yang agak kacau, setelah mataku menatapmu.
Pikiranku tidak tertuju ke makalah. Malah, rasanya, waktu terlalu pelan
bergerak, seperti as rodanya dipenuhi karat dan tak pernah diberi gemuk
pelumas.
Aku
menarik nafas dalam-dalam. Melegakan rongga paru-paruku dengan kemudian
menghembuskan udara perlahan. Hal ini aku lakukan berulang-kali. Ya, aku
mendaftar seminar itu, setelah aku membaca iklan di sebuah koran, di mana
dicantumkan salah seorang pemakalahnya adalah Iwan. Ya, setelah sekian
masa, tepatnya semenjak pernikahanku dengan Johan, kami tak pernah bertemu.
Saat baca iklan itu, aku ingin sekali ketemu Iwan.
“Bagaimana
bahagia itu?” tanya Iwan.
“Bahagia?”
kataku mencoba merangkai kata,
“Bahagia
itu….”
Iwan
mendengarkan.
“Bahagia
itu…,” benakku seperti tersekat saat mencari kata-kata yang tepat.
Tangan
Iwan beranjak menyentuh jemariku. Aku membiarkannya. Jemari Iwan meremas
jemariku. Aku merasakan kehangatannya, kehangatan seperti di Gedung Jakarta
Theatre saat menonton ‘Saturday Night Fever’ dulu, setelah kami sama-sama
bolos. Kehangatan itu pula yang menggerakkan jemariku untuk ikut meremas
jemarinya.
“Aku
sering mengeritik profesional seperti Johan. Barangkali subyektivitasku
yang bekerja, kalau orang menganggapku sebagai pengamat ekonomi yang berpihak
ke rakyat. Aku menyadari, motivasiku melakukannya karena aku kehilanganmu,
Anna,” kata Iwan.
Aku
masih menikmati kehangatan.
“Ya,
aku menyadari engkau bahagia hidup bersama CEO dari perusahaan publik yang
besar itu. Tentu Johan pun dapat menakhodai biduk rumahtangga kalian, terutama
kemampuannya memanage itu. Tapi, apakah sama perusahaan publik itu dengan
rumahtanggamu?” tanya Iwan.
Aku
mendengarnya. Terbata.
Jemariku
kulepaskan dari jemarinya.
Aku
menatapnya.
“Mengapa
engkau terima ajakanku ke sini?” tanya Iwan bertubi-tubi.
Aku
diam. Cuma segaris bendungan di pelupuk mata ini seakan tak sanggup diterjang
gumpalan airmata yang mencari sungainya. Tapi aku masih bertahan, sehingga
cahaya lampu-lampu dari warung berkaca-kaca dalam tatapanku.
“Tidak.
Aku tahu, engkau bukan perempuan cengeng yang mengumbar airmata. Tapi,
betulkah engkau bahagia, Anna?” tanya Iwan.
“Perlu
benarkah jawaban itu?” tanyaku penuh getar yang merefleksikan gelombang
badai dalam hatiku.
“Tidak,”
jawab Iwan pendek.
Iwan
bangkit. Kemudian melangkah ke arah kejaran ombak yang mulai bergerak
ke
pasang naik.
Aku
menatapnya dengan perasaan tak menentu.
Tiba-tiba
terdengar suara Iwan:
“Hai
Laut!
Semakin
aku rasakan cinta
semakin
aku dibelenggu…”
Aku
pun bangkit. Aku melangkah mendekatinya.
“Iwan,
Bukankah
kita rela, cinta
menjadi
penjara bagi hati kita!”
Nadaku
perlahan sekali, di antara irama angin dan deburan ombak yang menghempas.
Iwan
merangkulku sejenak.
Aku
diamkan.
Tidak.
Dia tidak mengecup bibirku seperti pelukannya selulus SMAku dulu.
Dia
hanya mengelus rambutku. Kemudian melepaskannya.
“Anna,
kembalilah ke keluargamu,” kata Iwan seraya bergerak ke arah darat. Dan
dia terus menuju mobil.
Aku
menatap punggungnya. Masih menatap punggungnya sambil merasakan basahnya
air laut berkecipak di kakiku.
Dia
terus berjalan menuju mobil.
Jakarta,
September 2001
Copyright
by Sutan
Iwan Soekri Munaf