AGASASRA dan
SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
002
TIBA-TIBA Mahesa Jenar teringat akan
kerangka-kerangka yang ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat persawahan
yang sedang menghijau itu pasti ada penduduknya. Di sana, mungkin ia akan
mendapat beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka itu.
Karena pikiran itu maka segera ia
menuruni bukit dan cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi
Jonggrang di tepi Sungai Opak.
Ketika ia sampai di desa itu, terasa
alangkah asingnya penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang
bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk ke rumah.
Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip dari celah-celah dinding
rumahnya.
“Apakah yang aneh padaku?” pikirnya. Ia
merasa susah untuk menemukan orang yang dapat diajak berwawancara untuk
menjalankan beberapa soal, terutama mengenai peristiwa Gunung Ijo.
Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa
itu serasa tertutup baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik
kalau-kalau ia berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau
seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian kalinya tak seorang
pun dijumpainya, dan tak seorang pun menyapanya. Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk mengetuk salah satu dari sekian banyak pintu-pintu yang
tertutup.
Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak
wajar. Dari balik-balik pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus nafas
yang tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-rasanya
banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak
mengerti maksud mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia
pura-pura tidak mengetahui akan hal itu.
Tetapi ketika ia akan melangkahkan
kakinya menginjak ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah beberapa
orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya membawa
senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan pendek, pedang, keris dan
sebagainya.
Mahesa Jenar sebentar terkejut juga,
tetapi cepat otaknya bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa agaknya
memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga bahwa
orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada.
Sebagai orang asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia
dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak berbuat
apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah yang akan diterima.
Orang yang menjadi pemimpin rombongan
itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya
yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya
terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya
berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat.
Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali
sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada
juntai cambuk itu diikatkan beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang.
Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang
tokoh terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal
lain yang segera mengepungnya.
“Ikut kami!” Tiba-tiba terdengarlah
sebuah perintah yang menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar
itu.
Terasalah oleh Mahesa Jenar betapa
orang yang tinggi besar itu ingin mempengaruhinya dengan suaranya.
Mahesa Jenar yang sudah mengambil
keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan,
menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan di
depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di
belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal.
Rombongan itu berjalan menyusur jalan
desa menuju ke sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah yang lain,
berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka memasuki halaman itu
dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang di kiri-kanannya,
sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti beberapa orang laki-laki
yang juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang laki-laki yang
sudah agak lanjut usianya.
Pemimpin rombongan serta orang yang
tinggi besar langsung mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih saja
mengikuti di belakangnya.
“Kakang Demang,” lapor pemimpin
rombongan itu, “orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah
kebijaksanaan kakang.” Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu,
mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah tergores di
wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat. Wajahnya terang dan
bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat diantara bibir-bibirnya yang
tersenyum ramah.
“Ia sedang menyelidiki daerah kami,
Kakang. Mungkin ia menemukan seorang gadis untuk korbannya,” tiba-tiba
laki-laki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya yang bergerat.
Sesudah itu ia memandang berkeliling dan tampaklah setiap laki-laki yang
kena sambaran matanya mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar
segera dapat menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang
ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian dengan
peristiwa yang sedang menjadi tanda tanya di dalam hatinya.
Demang tua itu memandang Mahesa Jenar
dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut, menolongnya
untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru saja
dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya
maksud-maksud buruk.
“Bolehkah aku bertanya?” kata Demang
tua itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan rumah. “Siapakah nama Ki
Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak? Sebab menurut pengamatan kami,
Ki Sanak bukanlah orang dari daerah kami.”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah
ia mengatakan keadaan yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan
keadaan yang sebenarnya ...? Ia masih belum tahu, sampai di mana jauh
akibat tindakan-tindakan pemerintah Kerajaan Demak terhadap para pengikut
Syeh Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata yang sebenarnya, maka ada suatu
kemungkinan bahwa kecurigaan orang terhadapnya semakin besar. Mungkin pula
ia ditangkap, ditahan atau semacamnya itu. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil
keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari keadaannya.
Oleh keragu-raguannya inilah maka
sampai beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga ketika baru saja
ia akan berkata, terdengarlah orang yang tinggi besar itu membentak, “Ayo
bilang!”
Mahesa Jenar sebenarnya sama sekali
tidak senang diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut.
Maka dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula, “Bapak Demang, kalau
Bapak Demang ingin mengetahui, aku berasal dari Pandanaran. Aku adalah
pegawai istana Demak, yang karena sesuatu hal ingin menjelajahi
daerah-daerah wilayah Kerajaan Demak.”
Beberapa orang tampak terkejut
mendengar jawaban ini.
|