Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Peranan Kelompok Penekan Dalam Proses Demokratisasi di Indonesia (March 1999)

PENGARUH PRESSURE GROUP DALAM PROSES DEMOKRATISASI DI INDONESIA

PENGARUH KELOMPOK PENEKAN DALAM PROSES DEMOKRATISASI DI INDONESIA (Maret 1999)

oleh : taufiqurrahman

Demokratisasi telah muncul -salah satu di antara banyak jargon yang populer di Indonesia- sebagai sebuah nilai perjuangan yang banyak disepakati dan diusung oleh banyak pihak, tanpa secara komprehensif sadar betapa sudut-sudut praktis dari poligonal demokratisasi tersebut masih sangat remang-remang dan beragam. Suatu hal yang lumrah bagi proses demokrasi, atau dapat pula dipahami sebagai proses yang belum selesai dari karakteristik sosio-kultural bangsa yang unik, bila kita bandingkan dengan kelompok negara-negara Barat maupun kelompok-kelompok negara-negara Islam timur tengah. Asumsinya, perbandingan dengan kelompok negara-negara Barat karena ide-ide yang populer di Indonesia banyak berasal dari konsep-konsep Barat, beberapa contoh, seperti : demokrasi, hak asasi manusia, perdagangan bebas, ekonomi pasar dan lain sebagainya. Pada sisi lain, karakteristik religiusitas yang ada di Indonesia -yang didominasi oleh Islam sebagai agama mayoritas rakyatnya- menunjukkan suatu sikap menerima dengan catatan (reserves) dari gencarnya ide-ide Barat tadi.

Sebenarnya pada tingkat sosial horisontal, belum terdapat kesepakatan tentang isu-isu di atas, walaupun secara substansial nilai-nilai di atas telah perjuangkan oleh sebagian kelompok penekan dalam "bahasanya" yang lain. Perbedaan ini membawa kepada sirkumstansi sosio-politico-kultural yang dinamis karena terjadinya tarik ulur koalisi visi pada tingkat taktis, strategis maupun ideologis.

Persoalan menerima dengan catatan ini dilakukan mengingat secara fundamental terdapat perbedaan dalam ideologi, dan pada kondisi sekarang ideologi Islam bersifat dominan dalam ruh perjuangan banyak pihak. Hingga derajat ini, proses demokratisasi yang diusung oleh kelompok-kelompok penekan kebanyakan mengambil asumsi dari nilai-nilai Barat, yang juga banyak dilihat sebagai nilai humanisme yang universal, dan kemudian dipaksakan sama dengan nilai-nilai Islam. Namun pada tataran horisontal, harus diakui betapa ajaran Islam sendiri diinterpretasikan oleh pemeluknya secara sangat beragam, dan hal ini pula yang berlangsung di beragam kelompok-kelompok penekan.

Proses demokratisasi di Indonesia sendiri sangat jelas didorong oleh kelompok-kelompok penekan yang berasal dari beragam kalangan di masyarakat, beberapa di antaranya adalah, lembaga-lembaga bantuan hukum, lembaga-lembaga penelitian swadaya masyarakat, media massa, organisasi-organisasi kemahasiswaan di lingkungan internal dan eksternal kampus, organisasi-organisasi kepemudaan, lembaga-lembaga serikat buruh, partai-partai politik, dan lain sebagainya. Jumlah kelompok penekan yang beragam ini dapat bertambah banyak manakala setiap kelompok di masyarakat menyuarakan dan memperjuangkan aspirasinya melalui asosiasi atau kelompok yang begitu bebas didirikan dan begitu bebas bersuara. Fenomena ini tampak sekali pada tahun-tahun akhir pemerintahan Soeharto, dengan ditandai oleh banyaknya bermunculan organisasi-organisasi kecendekiawanan yang berafiliasi pada agama, pembentukan kelompok-kelompok diskusi dan aksi oleh mahasiswa di intra-kampus dan ekstra kampus, dan organisasi-organisasi massa lainnya di masyarakat, yang semuanya mempejuangkan kebebasan dalam berpendapat dan mengkritik tanpa rasa takut. Menjelang runtuhnya pemerintahan Suharto, kelompok-kelompok penekan bertambah banyak dan bertambah intensif sehubungan dengan kondisi politik yang tidak menentu masa itu. Setelah Suharto turun, perkembangan kelompok penekan semakin besar dan marak dan menyuarakan aspirasi politik yang lebih besar dan beragam, dan ini berarti pembukaan saluran aspirasi politik berlangsung secara tiba-tiba telah menciptakan euphoria politik yang asal-asalan. Semua persoalan mengemuka tanpa filter dan semua diakomodasi oleh kelompok-kelompok penekan yang telah marak bermunculan. Tidak mustahil energi sosial bangsa ini akan melemah sendiri karena begitu banyaknya persoalan bangsa yang mengemuka dan yang sebelumnya tersimpan di bawah permukaan seperti gunung es (iceberg). Beberapa justifikasi yang sering kita dengar sehubungan dengan fenomena ini adalah normal-normal saja sebagai konsekuensi logis dari proses demokratisasi yang berlangsung di negeri ini. Atau kita dapat pula memahaminya sebagai betapa belum dewasanya kita dalam menerapkan politik adiluhung di pentas politik nasional, sehingga siapapun yang memimpin akan tetap menjadi korban dan sekaligus pelaku dari penerapan politik rendahan (low politics) yang dilakukan oleh pihak lain dan/atau dirinya sendiri secara tidak sadar. Salah satu indikator sederhana tentang hal ini adalah banyaknya analisis yang berkembang dan terasa sebagai "tuduhan-tuduhan politis" di masyarakat atas sebuah kasus kriminal murni atau hanya persoalan politik sederhana. Suatu bentuk ketidakdewasaan tersebut bisa berasal dari sangat minimnya pendidikan politik selama masa pemerintahan Suharto, sangat tidak transparnnya proses pengambilan dan sosialisasi keputusan di kalangan elit dan beragam alasan lainnya yang dapat diajukan.

Dari titik pijak persoalan ini, peran kelompok-kelompok penekan (pressure groups) pada dasarnya telah membuka wacana pendewasaan politik yang riil, dengan tetap diiringi oleh kelompok-kelompok politik yang lain, yang juga dapat berperan tidak hanya sebagai kekuatan penekan (pressure forces), tetapi juga kendali sosial (social control), pendidikan politik (political education) dan pembangunan kesadaran (awareness building aspect).

Secara sederhana, jenis kelompok penekan (pressure group) di Indonesia dapat diidentifikasi menjadi -paling tidak- tiga jenis kelompok penekan, berdasarkan gerak perjuangannya, yaitu :

Proses demokratisasi di Indonesia dalam masa reformasi sekarang dan yang belum menunjukkan arah perubahan yang jelas akan sangat diwarnai oleh peran kelompok-kelompok penekan ini, dengan dicirikan -paling tidak- oleh beberapa penilaian kontekstual, yaitu :

Tuntutan-tuntutan yang marak bermunculan dari kelompok-kelompok penekan yang ditujukan kepada pemerintah hanya akan semakin melemahkan derajat konsentrasi pemerintah yang saat ini dalam kondisi sangat lemah.

Lebih jauh, pertanyaan yang dapat diungkapkan adalah, bagaimana mungkin pemerintah sebagai "rakyat terpilih" (selected people) tidak mampu -pada banyak hal- merasakan dan melakukan inisiatif-inisiatif perubahan sosial, ekonomi, dan politik menuju ke arah yang lebih baik. Secara sederhana, pemerintah adalah sekelompok orang yang dinilai sebagai orang-orang yang memiliki kelebihan dibandingkan kebanyakan masyarakat pada umumnya, sehingga sebagai orang yang "lebih", mereka dibayar oleh rakyat untuk secara pandai dan cermat memahami kepentingan-kepentingan rakyat yang berkembang, dan bukan sebaliknya, rakyat yang melayani pemerintah, sebagaimana yang dialami oleh bangsa ini selama dua dekade belakangan.

Atau, kita dapat pula bertanya, apa benar bangsa ini telah dan akan terus mendapatkan pemimpin bangsa yang sebenarnya, yang mampu menghapuskan kepentingan-kepentingan kelompok dan hanya membatasi dirinya hanya pada identitas keimanannya, dengan disertai penafsiran-penafsiran yang membawa prinsip rahmat bagi seluruh alam namun tetap pasrah akan kewajibannya sebagai hamba dari rabbnya yang maha berkuasa.

Tampaknya, catatan politik ke depan dalam konteks ke-Indonesiaan- jelas akan sangat diwarnai oleh dinamika yang tinggi dalam beragam aspek, dengan melihat kenyataan banyaknya kepentingan yang primordial (dalam hal ini unsur agama tidak dapat dianggap sebagai komponen primordialisme, mengingat agama menjadi jalan hidup saat ini, mendatang, bahkan setelah kehidupan, sesuatu yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan unsur-unsur yang lain seperti komponen suku, ras dan antar golongan), kepentingan primordialisme ini banyak diajukan rakyat sebagai konsekuensi logis dari kebebasan, demokratisasi, hak asasi manusia dan lain sebagainya, termasuk -misalnya- perburuan kelompok-kelompok politik terhadap kekuasaan (power struggle), dan beragam contoh lainnya. Lebih jauh, tampaknya kita hanya akan mampu memahaminya sebagai kembali ke titik pangkal demokratisasi.

Email: taufiqurrohman@hotmail.com