renungan hersri setiawan

in memoriam:

BASUKI RESOBOWO

la vie est la misère

bertopang pada sapuan warna warni berjalan engkau bertudung baret jingga

di pancaran matamu mawar merah dan putih

di getaran suaramu menggelombang pergulatan

sepi suasana sekarang dalam samadi hidup dalam hidupmu rangkaian kekerasan

karena engkau gelora dari amarah samudera mati datang mengantarmu ke keabadian

BASUKI RESOBOWO, 82 tahun, manusia tiga jaman - jika

jaman yang dimaksud ialah wajah politik: Hindia Belanda,

Jepang, Republik. Tetapi Manusia Basuki seorang seniman. Dan sebagai seniman ia telah mengarungi empat wajah kebudayaan: "Mooi Indië" vs "Persagi", "Keimin Bunka Shidoso" vs

"Putera", "Masa Bersiap" sampai "Lekra", dan akhirnya Masa Keterasingan.

Dalam semua kurun politik itu Basuki telah ikut

menyumbangkan kejuangannya. Dalam semua kurun budaya itu

Basuki telah menyerahkan sepenuh dirinya.

PADA suatu hari datang dua teman, Jitske dan Hersri,

berkunjung ke tempat kediamannya, di Oosterpark 63 Amsterdam. Ya, tempat kediaman. Atau sarang, barangkali lebih tepat.

Kelder 4 x 4 meter kira-kira luasnya. Penuh buntalan koran belepotan cat, kaleng-kaleng cat, alat-alat lukis, satu meja kecil penuh muatan: rokok, tembakau, bir, nasi bungkus. Satu kursi rotan reot agak ke tengah, cukup berjarak untuk

memandangi lukisan-lukisan yang masih di kanvas; satu ranjang tak keruan bentuknya, bersitentang dengan kamar kecil - yang benar benar kecil tapi berfungsi ganda dan tak keruan baunya.

"Bas kapan ulang tahun?" Tanya Jitske.

"Apa?" Tanyanya kembali. Seperti tidak biasa ia

mendengar pertanyaan semacam itu. Tatapan matanya menjadi menyelidik. Barangkali kenangannya kembali di akhir 40-an, di Batavia, ketika ia bersama cendekiawan-cendekiawan muda Wonohito dan Soendoro, atau Rukiah-Kartolo dan para seniman Tangkiwood dikuntit oleh agen-agen PID di Prinsenpark.

"Untuk apa?" Ia mengelak menjawab, sambil kembali

bertanya.

"Kami berdua mau memberi hadiah."

"Apa itu?!" Ketus dia menjawab.

"Kami mau datang dengan satu kursi baru, dan

membersihkan kamar Bas ..."

"Akh, nggak usah!" Potongnya. "Untuk apa itu? Nanti aku malah tidak melukis, duduk saja. Seperti borjuis!"

Dua tamu itu diam tertegun. Galau dengan pikiran masingmasing: kursi baru - lantai bersih - borjuis ...

"Lihat tuh!" Katanya lagi. Telunjuknya menuding ke

tembok. Kertas putih setelapak tangan, panjang kira-kira seperempat meter. Tulisan hitam di atasnya terbaca: La Vie

Est La Misère. Hidup ialah samsara.

"Jadi Bas berjalan di atas Jalan Budha?"

"Mana bisa?!" Bantahnya. "Budha pan, untuk mencapai

nirwana, meredam cinta. Aku sih, sebaliknya: mengumbar

cinta!" Katanya disusul suara tertawa terkekeh lirih.

 

Itulah Basuki Resobowo. Ia orang Jawa tulen, seperti namanya menunjukkan. Ayahnya, Prawiroatmojo, seorang asal Purworejo Jawa Tengah, hidup sebagai "mantri ukur" di kawasan transmigrasi dan perkebunan di Palembang dan Lampung. Tapi Basuki lebih merasa sebagai "anak Betawi", karena selama 35 tahun lebih, sampai 1965, lebih banyak tinggal di Betawi (Jakarta).

"La vie est la misère". Bohemian agaknya sudah menjadi gaya pembawaan hidupnya. Maka baginya aksi mogok makan, yang dilakukannya bersama kaum muda di Amsterdam (1992) pada hari sekitar berita ancaman eksekusi terhadap Ruslan Wijayasastra dkk, menjadi bukan sekedar ibadah perjuangan. Tapi sekaligus menjadi semacam "kontra-punkt" dalam irama musik kehidupan yang digubahnya.

Sesungguhnya Basuki memang tidak pernah tahu dengan tepat, kapan dan di mana ia dilahirkan. Dari kisah penuturan ibunya ia lahir di sebuah kuburan, di peluaran Desa Baturaja Palembang, di bawah cahaya bulan sabit yang suram suram. Demikian Basuki mengisahkannya kembali dalam "Riwayat Hidupku", bagian pertama. Kisah itu diberi judul, dengan meminjam salah satu sajak Sitor Situmorang, "Bulan di Atas Kuburan".

Basuki memang produktif tidak dalam lukisan saja. Tapi juga dalam tulisan. Tulisan-tulisan karyanya itu diterbitkan dengan diketik di atas kertas format A-4, difotokopi, dan diedarkannya sendiri. Dengan tenaga sendiri, atas biaya sendiri. Selain 4 jilid otobiografi, 270 halaman, ia juga menulis "Karmiatun Perempuan Indonesia", 365 halaman, "Cut Nyak Din" cergam 3 jilid, 150 halaman, "Bercermin di Muka Kaca - seniman, seni dan masyarakat", esai 54 halaman, dan banyak lagi karangan lain tentang berbagai masalah budaya dan politik.

Kira-kira tiga tahun lalu seorang teman Basuki dari tahun 50-an, Ajip Rosidi, penyair yang sekarang juga dosen sebuah universitas di Tokio, minta kuantar menengoknya. Ketika itu sudah di Riouwstraat dia tinggal. Tidak lagi bersarang di sebuah kelder.

Sesudah membukai semua gulungan lukisan, dan mengamati semua yang sudah berbingkai, Ajip bisik-bisik berkomentar.

"Sebenarnya nggak ada yang bisa kupilih. Di Tokio di

mana lukisan begini bisa aku pasang? Ngeri orang dibikinnya!" "Memangnya kenapa?"

"Semua lukisan pakai palu-arit begini?"

Akhirnya dia toh menyisihkan empat gulungan. Salah satu di antaranya memang menarik. Basuki kembali lagi ke adegan di kuburan. Kali ini tidak ada rembulan, melainkan di bawah sinar terang matahari. Pocongan mayat berkafan putih

diturunkan ke liang lahat. Beda seperti bumi dengan langit dengan lukisan "Bulan di Atas Kuburan": Seorang perempuan dengan bunga di tangan, dan seorang perempuan berbaring di tanah kubur mengantar lahirnya kehidupan baru. Pada lukisan pocongan mayat ini ada empat orang yang tampak. Semuanya lakilaki. Barangkali karena Basuki tidak suka memperlihatkan air mata. Perempuan sebagai makhluk pengandung - pelahir -penyusu - dan pengasuh kehidupan, mustahil tidak menangis apabila menyaksikan kematian. Perempuan dalam lukisan Bas, justru selalu di dalam angan-angan mempertahankan dan melangsungkan kehidupan. Entah sebagai buruh gendong, penari atau bahkan pelacur. Teks di bawah lukisan pocongan mayat itu lebih menarik lagi: "kalau aku mati jangan ada orang PKI melayat aku".

Sementara itu salah satu karikatur dibuatnya: kerumunan orang di sekitar keranda, dengan huruf huruf besar melengkung

di atasnya: Perkumpulan Kematian Indonesia. Tiga kata

kepanjangan dari singkatan huruf-huruf P-K-I.

Dengan ini Basuki tentu tidak bermaksud menghujat pribadi siapa-siapa. Ia hanya hendak mempertanyakan kembali setiap masalah masa lalu. Ia ingin memperingatkan kita semua, agar kita selalu siap menyelami kembali setiap makna di balik setiap kata, menakar ulang setiap nilai. Bukankah semua kitab suci juga memperingatkan, bahwa segala-galanya ini bermula dari Kata?

Umwertung aller Werten. Itulah revolusi, dan begitulah ciri setiap revolusioner. Umwertung! Juga terhadap nilai nilai sendiri. Basuki mengajak kita ber-introspeksi dan meretrospeksi: Masih patutkah aku bernaung di bawah Atap-PKI menurut makna yang semestinya? Sebab, kata Basuki dalam satu risalahnya: Rakyat berjuang terus dan Komunisme diperlukan demi emansipasi kehidupan bermasyarakat.

Ya, Bas! Kami menundukkan kepala untuk keberanianmu, kegigihanmu, optimismemu, dan semangatmu. Ya, semangatmu. Barangkali sajak Chairil Anwar "Semangat", sahabatmu yang telah mendahuluimu 50 tahun yang lalu itu memang ditulis dengan perangaimu sebagai model.

Mengantar perjalananmu ke keabadian, biarlah kubacakan sajak itu:

kalau sampai waktuku

'ku mau tak seorang 'kan merayu

tidak juga kau

tak perlu sedu sedan itu

aku ini binatang jalang

dari kumpulannya terbuang

biar peluru menembus kulitku aku tetap meradang menerjang

luka dan bisa kubawa berlari

berlari

hingga hilang pedih peri

dan aku akan lebih tidak peduli aku mau hidup seribu tahun lagi

Amsterdam: 11 Januari 1999