Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

MENILAI MASALAH LINGKUNGAN SOSIAL DAN KRISIS YANG BERKEPANJANGAN.

Oleh K. Iswasta Eka

 

Saat ini Indonesia hidup dalam segitiga krisis dalam konsep lingkungan, yaitu kelebihan penduduk, pengurasan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan, disamping krisis multidimensional pasca reformasi. Ketiga sudut segitiga krisis itu akan saling mempenagruhi.

Dalam hal kehidupannya, manusia membutuhkan sandang, pangan dan papan sebagai kebutuhan primer. Namun karena kebutuhan papan yang meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi penduduk, maka bantaran sungaipun tak luput adari serbuan orang untuk membuat rumah. Sungguhpun sebenarnya daerah bantaran sungai merupakan kawasan green belt, namun kondisi ini tidak terpikirkan oleh masyarakat mengingat keterbatasan lahan dan kebutuhan akan papan yang murah.

Akibat meningkatnya penduduk yang tinggal di sekitar daerah aliran sungai menyebabkan pencemaran sungai juga meningkat, khususnya pencemaran limbah rumah tangga. Hampir semua kota yang dilalui sungai dan tidak ada industrinya maka pencemaran sungainya berasal dari limbah rumah tangga. Demikian pula dengan kondisi sungai di Banyumas.

Disisi lain faktor krisis ekonomi ikut berpengaruh terhadap kualitas lingkungan dan sumber daya manusianya. Karena krisis ekonomi menurunkan kemampuan daya beli penduduk, sehingga ikut memperbesar kekumuhan suatu kawasan.

            Oleh karena itu dapatkah kita mengatakan bahwa dalam alam lingkungan yang sehat terdapat kehidupan keluarga yang sehat ? Dapatkah kita mengatakan bahwa bila dalam suatu keluarga yang mempunyai balita yang selalu sakat-sakitan menujukkan keluarga yang terjamin kesehatannya. Dapatkah kita mengatakan jika dalam,suatu negara terdapat banyak bayi yang sakit berarti suatu negara sejahtera?

Masalah kesehatan memang milik manusia bersama,problem umat manusia di manapun ia berada.Seperti yang sering kita dengar dalam ucapan mensana in corporesano,dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Demikian pula halnya

 

 

dengan suatu negara, rakyat sehat berati negara kuat.Sejahtara tidaknya suatu negara bisa dilihat dari kondisi kesehatan masyarakatnya,khususnya balitanya.

Kesehatan yang secara ideal didefinisikan sebagai state of complete psysical and social well being and not merely the absence of disease or infirmity’’ Perlu diperhatikan dan terus dikembangkan (mestinya).Namun dalam kondisi krisis yang berkepanjangan seperti sekarang ini mampukah hal itu di dapatkan?

Suatu hal yang sangat menarik dalam pembahasan tentang lingkungan hidup acapkali menyangkut segi-segi di luar diri manusia (Salim, 1985), seperti pencemaran sampah padat, limbah industri, pembukaan hutan, erosi tanah, pengotoran laut dan sebagainya.

Pada kondisi seperti sekarang ini kita merasakan perlunya pembatasan dan pengembalian proporsi permasalahan lingkungan kepada azas keseimbangan mula-mula. Faktor manusia harus disoroti secara lebih mendalam. Selanjutnya faktor masyarakat perlu dikupas lebih mendalam pula dari berbagai segi dan sudut pandang guna pengembangan sistem dan nilai dan sikap hidup manusia yang baru, agar keserasian dan keselarasan diri antara manusia dan masyarakat serta lingkungan hidup tercapai. Dalam skala kecil persepsi dan perilaku masyarakat terhadap pencemaran lingkungan dan sungai (Sungai Banjaran, Sungai ranji) di Banyumas dapat diketahui melalui pengamatan di daerah Purwokerto.

Usaha pendekatan pembangunan yang berorientasi kebutuhan dasar, yaitu pangan, nutrisi, kesehatan, pendidikan dan perumahan pada hakekatnya adalah mencari model pembangunan yang efektif, terutama untuk menganalisis kemiskinan yang berlarut-larut (Soedjatmoko, 1980). Dalam rangka implementasinya, strategi model pembangunan tersebut seringkali tampil dalam gaya fragmatis, dan sebagai akibatnya maka sering dijumpai hambatan yang sifatnya struktural.

Hal umum yang penting dan perlu dikemukakan dalam ilmu lingkungan menurut Soedradjat (1999) adalah bahwa saat ini tidak ada pemecahan yang sederhana untuk masalah-masalah lingkungan yang penting. Seluruh masalah lingkungan adalah kompleks dan saling terkait, dan hampir semua pemecahannya selalu menimbulkan komplikasi lain.

Salah satu sebab keruwetan masalah lingkungan adalah bahwa pemecahan secara teknik dan sosial tidak dapat seluruhnya efektif untuk memecahkan masalah yang dimaksud. Hal itu dikarenakan harus memperhitungkan pula dari sudut ilmu alam, hukum, ekonomi dan politik.

Sikap, tanggapan atau tabiat manusia terhadap lingkungan jika diajarkan, diwariskan turun temurun lama kelamaan akan menjadi budaya. Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia itu sendiri. Sekalipun manusia akan mati akan tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwriskan kepada keturunannya, demikian seterusnya.

Menurut Hari Purwanto (1997) pewarisan kebudayaan manusia tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak cucu mereka, melainkan dapat pula secara horizontal yaitu manusia yang satu belajar dari kebudayaan manusia yang lain. Berbagai gagasan dapat dikomunikasikan kepada orang lain karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vokal maupun tulisan.

Salah satu bagian dari kehidupan manusia dalam menanggapi kebudayaan maupun lingkungan adalah apa yang dimaksud dengan persepsi masyarakat. Persepsi mempunyai arti yang sangat penting dan mempunyai kedudukan yang kuat di dalam diri manusia, sebab persepsi bersifat pribadi dan subyektif. Reaksi seseorang terhadap permasalahan lingkungan (pencemaran sungai) harus ditinjau dari persepsi dan tanggapan orang terhadapnya. Sarwono (1986) menyatakan bahwa manusia bereaksi terhadap tanggapannya sendiri, dan bukan terhadap lingkungan. Orang sering beranggapan bahwa manusia itu selalu bereaksi sama terhadap keadaan serupa yang dihadapi. Tetapi perkembangan selanjutnya dari pengertian tersebut menunjukan bahwa karena tipe orang itu bermacam-macam, maka sudut pandang dan persepsinyapun berbeda-beda

            Purwokerto sebagai salah satu  kota menengah di Jawa Tengah dihuni oleh penduduk yang berasal dari berbagai suku, dan tentunya mempunyai berbagai sistem nilai dan budaya yang dibawa oleh warganya. Sistem nilai budaya itu sendiri berkembang dalam suatu komunitas atau masyarakat. Pada dasarnya perkembangan nilai budaya itu didasari pada interaksi antara manusia dan dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya (Puspowardoyo, 1978; Koentjaraningrat, 1993). Hal tersebut kemudian tercermin melalui sikap dan perilakunya yang sesuai dengan nilai budaya yang berkembang di setiap suku (proses adaptasi dengan lingkungan).

Adaptasi merupakan proses memenuhi beberapa syarata dasar tertentu agar manusia dapat melangsungkan kehidupan dalam lingkungan hidupnya. Menurut Suparlan (1983) syarat-syarat dasar tersebut antara lain ;

a). Syarat alamiah biologis. b). Syarat kejiwaan. c). Syarat sosial.

Dalam pemenuhan ketiga syarat dasar tersebut, manusia memakai sistem nilai budaya yang dipunyainya sebagai kerangka sandarannya. Oleh karena itu konsekuensi dari sebuah kota yang dihuni oleh berbagai suku (seperti Purwokerto), lingkungan dan sistem nilai budaya yang berkembangpun menjadi bervariasi, kurang mempunyai ciri specifik. Hal itu dapat tercermin dari perilaku warga dalam menanggapi atau merespon lingkungannya yang berbeda-beda.

            Faktor lain yang juga mempengaruhi persepsi seseorang adalah perkembangan pribadi manusia dalam kelas lingkungan hidup (Gandadiputra, 1983; Alfian, 1983). Untuk hal ini meskipun orang tidak senang membicarakan kelas-kelas dalam masyarakat (kaya, menengah, miskin dsb), tetapi disengaja atau tidak, senang atau tidak senang, maka orang tersebut akan berada dan masuk ke dalam kelas tertentu. Selanjutnya kelas ini akan berhubungan dengan orang tentang dirinya, mengenai pribadi dan kepribadiannya. Kelas tersebut di dalam masyarakat berbeda-beda dalam pertumbuhannya, sebagai akibat perbedaan tingkat kecerdasan, status sosial, perbedaan nasib, kemauan, kesempatan dll. Timbulnya kelas-kelas ini (demikian juga yang berlaku di daerah bantaran sungai) dapat mempengaruhi pula sikap dan perilaku manusia dalam menghadapi permasalahan lingkungan.

      Berkait dengan soal tersebut diatas yang perlu diperhatikan adalah  soal kesehatan dan kesejahteraan sosial. Apa gunanya kita bisa membuat pesawat terbang, punya banyak mobil,pelayanan jasa telepon tinggi (dan handphone) serta tingkat kehidupan mahal( seperti sekarang ini) jika penyakit menular masih merajalela, kematian balita cukup tinggi dan rakyat banyak kekurangan gizi. Padahal penyakit menular dan tingkat gizi penduduk juga dapat dipandang sebagai indikasi maju tidaknya suatu negara. Jika melihat fakta yang sekarang ada, bahwa gelombang PHK terus menggulung, biaya hidup kian tinggi, sementara penghasilan yang lain tidak  ada maka resiko yang paling dekat adalah berkurangnya gizi penduduk.

Kondisi krisis yang berkepanjangan membuat alokasi dana untuk kesehatan menjadi tidak memadai. Alokasi dana/anggaran rumah tangga sebagian besar kini lebih banyak dialokasikan kepada kebutuhan  pangan, apapun wujudnya, soal gizi dan kesehatan nomor sekian. Akibatnya kesehatan seolah-olah menjadi barang mahal yang sulit diraih, kesehatan belum merupakan kebutuhan vital. Urusan kesehatan baru diperhatikan jika mulai muncul gejala yang sudah akut.

            Dalam hal ini, dari tinjauan tersebut serta dengan melihat kondisi yang ada di bantaran kali, nampaknya penduduk di sekitarnya Anyar dapat dibagi dalam dua golongan. Golongan pertama adalah mereka yang menyadari keberadaan sungai, fungsi sungai dan fungsi sanitasi lingkungan. Golongan kedua adalah mereka yang acuh tak acuh atau tak mau tahu dengan kondisi sungai dan lingkungannya.

            Perlu pula dicatat bahwa hubungan antara lingkungan dan pengembangan wilayah semakin nyata dan penting. Banyak gejala penting yang harus dipertimbangkan sewaktu melakukan perencanaan dan pengembangan wilayah yang  memiliki akibat ekologis. Misalnya banyaknya ciri terpenting dari materi dan energi mengalir dalam sebuah kota raya atau wilayah, yang mempunyai dasar serta pengaruh pada faktor demografi. Jadi modal dan energi yang beredar dalam suatu wilayah, misalnya, erat hubungannya dengan pertumbuhan populasi, penyebaran struktur penduduk, dan hal lain yang menyangkut penggunaan ruang.

            Sebuah kota yang sehat mempunyai proporsi yang menggantungkan pada jumlah orang tua dan muda, orang kaya dan miskin, orang sehat dan sakit, karyawan yang mahir dan buruh kasar. Hal ini perlu diperhatikan karena kota mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap lingkungan fisik.

 Dengan kondisi riil seperti yang telah diutarakan diatas maka yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah pada tingkat berapa  sebenarnya derajat kesejahteraan rakyat kita ? Kalau mau jujur agaknya kita harus memejamkan mata. Sayangnya pemerintah kita sering tidak berlaku jujur jika kita mengungkapkan kegagalan-kegagalan program yang direncanakannya, sebaliknya akan diberitakan secara besar-besaran jika program tersebut berhasil. Sama halnya ketika kita belum tersungkur jatuh maka hasil pembangunan ini hanya dihasilkan oleh kelompok tertentu saja, tetapi ketika kita tersungkur ia mengklaim bahwa ini tanggung jawab bersama. Sama halnya kalau kita mau jujur bahwa buta huruf masih bisa dijumpai di daerah yang menyatakan dirinya bebas tiga buta. Karena budaya kita suka pada retorika dan keseragaman, meski seragam menunjukkan kita tidak dinamis.

Dengan kondisi yang tidak ketahuan kapan berakhirnya maka kondisii kesejahteraan bangsa kita juga menjadi tidak ketahuan kapan sejahteranya. Lantas “kesejahteraan “ yang selama ini kita besar-besarkan lari kemana ? Jawabannya adalah lari bersama para korban PHK masal. Maka langkah pertama untuk mengatasi kekisruhan tingkat gizi masyarakat kita adalah dengan mengembalikan suasana yang kondusif untuk berusaha sehingga korban PHK kembali punya peluang untuk memperbiki gizi yang kini sudah mulai compang-camping, Dengan demikian kesejahteraan bangsa dapat terangkat kembali.