Industri
Gula pernah mengalami kejayaan di waktu yang lalu dan Indonesia pernah tercatat
sebagai pengekspor gula terbesar di dunia, dengan lebih kurang 200 pabrik gula
yang tersebar di pulau jawa
namun itu semua tinggal kenangan, yang ternyata sangat jauh berbeda dengan kondisi
dan kenyataan yang kita hadapi dewasa ini, dimana industri gula di Jawa telah
mengalami kondisinya yang terburuk. Bahkan dewasa ini sedang berlangsung penutupan
pabrik-pabrik gula di berbagai tempat, yang nampaknya masih akan terus berlanjut.
Menyadari kondisi yang semakin buruk maka pada awal 1998 para petani tebu membentuk
Koperasi Petani Tebu Rakyat, yang sebenarnya hal ini sudah dimulai oleh para
petani tebu rakyat di Malang pada awal 50-an.
Koperasi Petani Tebu Rakyat yang pada umumnya beranggotakan para petani tebu,
menyadari sepenuhnya bahwa dengan ditutupnya pabrik gula berarti tertutup pula
sumber penghasilannya, lebih-lebih bagi para petani yang turun-temurun hanya
bercocok tanam tebu. Oleh karena itu, jalan keluar yang adil bagi semua pihak
sangat didambakan.
Sebagai salah satu ciri khas industri gula di Jawa adalah keterlibatan
petani tebu dalam pengadaan bahan baku. Di waktu-waktu yang lalu keterlibatan
petani ini dapat dipaksakan (cultuurstelsel) maupun setengah dipaksakan (sistem
glebagan) dan terakhir dengan inpres 9/1975 yang dikenal dengan sistem tebu
rakyat intensifikasi (TRI) yang nampaknya sedikit banyak mampu memperpanjang
"umur" industri gula. Namun dengan dicabutnya inpres 9/1975 bersamaan
dengan merebaknya perdagangan bebas dan semakin merajalelanya in-efisiensi baik
di bidang budidaya tebu maupun di pabrik, maka keadaan industri gula di Jawa
nampaknya tak tertolong. Setelah beberapa waktu yang lalu 10 pabrik gula ditutup
dalam waktu dekat ada 5 pabrik gula lagi yang akan ditutup, dan tentunya segera
akan disusul yang lain.
Sementara itu perdagangan bebas telah memungkinkan masuknya gula impor yang
jauh lebih murah, semakin memperparah keadaan.
Desain
industri gula di
Jawa sejak
awal nampaknya memang didesain dengan model yang membutuhkan kerja sama antara
pabrik dengan petani/rakyat pemilik lahan. Hal ini nampaknya dari hanya sebagian
kecil saja pabrik gula yang mempunyai lahan bahan bakunya sendiri. Hal ini di
waktu yang lalu tidak menjadi masalah, namun dengan adanya perubahan-perubahan
bentuk hubungan antara pabrik dengan petani yang biasanya pabrik banyak dibantu
dengan berbagai kebijakan pemerintah, di jaman kebebasan ini hal ini menjadi
berantakan.
Pabrik gula sejak awal didesain dengan kapasitas relatif kecil dan tersebar
di banyak tempat sesuai dengan sifat tanaman tebu yang mempunyai waktu kemasakan
yang terbatas. Perubahan/peningkatan kapasitas pabrik yang berlebihan telah
memperpanjang waktu giling yang selanjutnya memperbesar kemungkinan tebu digiling
"sebelum" atau "sesudah" waktu yang optimal, dan mengakibatkan
adanya rendemen di bawah "normal". Hal ini lebih jauh menimbulkan
kecurigaan petani, meskipun ada pabrik gula yang memang nakal.
Cenderung terus menurunnya rendemen karena berbagai sebab, mengakibatkan
menurunnya tingkat pendapatan petani tebu yang selanjutnya mengurangi minat
petani menanam tebu. Dengan dicabutnya inpres 9/1975 dan dibebaskannya petani
untuk menanam tanaman yang disukainya, mengakibatkan semakin melemahnya suplai
bahan baku tebu ke pabrik.
Dari sisi finansial, dicabutnya inpres 9/1975 menyebabkan dihapusnya
kewajiban perbankan untuk menyediakan kredit program penanaman tebu rakyat,
semakin mengurangi luas areal tanaman tebu, bahkan di beberapa tempat petani
tidak lagi menanam tebu, yang berakibat fatal bagi pabrik gula di tempat tersebut.
Digalakkan perdagangan bebas, dihapuskannya Bulog dari tata niaga gula
semakin memperparah kondisi industri gula yang memang sudah rapuh, ditambah
keadaan pasar dunia gula yang cenderung terus menurun (saat ini tinggal US $0,12
per kg di spot market). Disparitas harga gula impor dan dalam negeri telah menimbulkan
berbagai kesalahpahaman yang cenderung menimpakan "kesalahan" pada
kebijakan impor gula.
Sekretariat Inkopetri : Bukit Dieng Permai P-3
Malang, 65146 Indonesia.
Telp. 0341-565338 Fax. 0341-565338E-mail : sekretariat@inkopetri.com
Menyadari
sepenuhnya akan posisi petani tebu dalam industri gula yang demikian penting,
namun selama ini belum mendapatkan perhatian yang memadai, maka sangat perlu
diambil langkah yang lebih "manusiawi" dan ditingkatkan keterlibatannya
dalam industri, dalam rangka peningkatan kesejahteraannya. Petani tebu bukan
lagi sekedar "embel-embel" namun perlu dilibatkan sebagai bagian
penting yang tak terpisahkan dalam industri gula.
Perlu diambil langkah-langkah konkret untuk menghapuskan in-efisiensi"
baik ditingkat petani yaitu bagaimana berbudidaya tebu dengan baik dan benar
untuk menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen tinggi sehingga mendapatkan
pendapatan yang lebih baik, maupun ditingkat pabrik gula dengan menekan biaya
produksi dan meningkatkan rendemen, yang pada akhirnya mampu bersaing secara
internasional. Kalau petani tebu di India, Filipina maupun Brasil mampu mengapa
petani kita tidak. Satu contoh dewasa ini ada pabrik gula di Sulawesi yang
mampu berproduksi dengan rendemen jauh diatas 10%.
Lembaga koperasi petani tebu ditingkatkan keterlibatannya dan diberikan
peran yang lebih jauh. Koperasi sebagai wadah para petani tebu harus lebih
diberdayakan baik sebagai penyelenggara, pengadaan sarana produksi maupun
pemasaran hasil. Sebagai contoh, di India 70% pabrik gula adalah milik dan
diselenggarakan oleh koperasi petani tebu, dan mereka mampu bersaing secara
global.
Perlu segera digalang kerjasama yang saling menguntungkan antara berbagai
pihak yang terlibat dalam industri gula, baik BUMN, koperasi maupun swasta
dan perbankan/lembaga pembiayaan.
Peran koperasi dalam distribusi dan pemasaran gula perlu ditata dengan
memberdayakan dan mendayagunakan semua kekuatan serta jaringan koperasi yang
ada.
Dari
sisi petani dan budidaya tanaman tebu perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut
:
a. Kredit budidaya, dan terjaminnya sarana produksi pertanian oleh koperasi.
b. Peningkatan kesuburan tanah untuk upaya peningkatan produktifitas tanaman
dalam arti luas.
c. Sosialisasi budaya industri utamanya sangat pentingnya posisi petani sebagai
pemasok bahan baku dalam industri, menyangkut kualitas dan kontinuitas bahan
baku.
d. Menumbuhkan kesadaran akan petingnya upaya-upaya tersebut yang tidak lain
mengacu pada peningkatan kesejahteraan bersama.
Dari sisi
pabrik gula perlu dikembangkan budaya "baru" yang mengacu pada
open management dan transparansi untuk mengikis habis in-efisiensi menghadapi
perdagangan bebas dan globalisasi.
Perlu ada upaya terus-menerus untuk meningkatkan rendemen dari sisi teknis,
yang dapat dimulai dari teknik pemerasan tebu di awal proses, agar kandungan
gula di ampas tebu betul-betul nihil.
Digalang kerjasama yang harmonis antara koperasi sebagai wadah petani
tebu sebagai penghasil bahan baku dengan pabrik gula atas dasar saling membutuhkan
dan saling menguntungkan. Dimulai dari 5 pabrik gula yang akan segera ditutup
dengan alternatif sebagai berikut :
a. Kerjasama pengelolaan pabrik/open management/ joint operation dengan koperasi
petani tebu rakyat sebagai pemasok yang bertanggung jawab dalam pengadaan bahan
baku.
b. Menyerahkan sebagai kepemilikan pabrik kepada Koperasi Petani Tebu Rakyat
sebagai modal penyertaan pemerintah, dan memasukkan unsur koperasi dalam manajemen.
c. Menghibahkan kepemilikan pabrik gula kepada Koperasi Petani Tebu Rakyat.
Ditingkatkan peran koperasi petani tebu rakyat dalam penanganan pengadaan
sarana produksi dan pemasaran gula petani dengan kerjasama dengan berbagai pihak.
(INKOPETRI)