Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
logo.gif (4719 bytes)

Penyelenggaraan Bisnis Jasa Penyiaran Radio Siaran Swasta Akrab Hukum

Panduan bagi Penyelenggara Radio Siaran Swasta


5

Aspek Hukum Pidana Penyelenggaraan Bisnis Jasa Penyiaran Radio Siaran Swasta

 

... lanjutan

Isi Pemberitaan Menimbulkan akibat hukum:
Siapa yang mempertanggungjawabkannya ?

Pemberitaan yang disiarkan dari satu radio siaran, dapat saja berisi suatu ulasan dari penyiarnya atas suatu kasus atau kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Dapat juga sekedar mengemukakan fakta yang terjadi tanpa ulasan dan tanpa komentar. Dapat juga berupa dialog atau tanya jawab antara pengelola dengan pendengarnya atau ceramah, atau pendapat dari salah satu pendengarnya atau seseorang yang dimintai dan ditanyai oleh si penyiar. Kemudian disiarkan oleh pengelola atau penyiar radio siaran yang bersangkutan. Dengan begitu, materi siarannya dapat didengarkan di mana-mana oleh khalayak pendengarnya tidak terbatas dan tidak dibatasi oleh ruang atau orang tertentu saja.

Sampainya informasi atau berita kepada masyarakat pendengarnya itu hanya terjadi karena disiarkan oleh stasiun radio siaran itu. Itu berarti telah terjadi deelneming atau kerjasama antara orang yang mempunyai pikiran atau pendapat dengan penyiar, maupun para pengelola atau pimpinan stasiun radio siaran. Masyarakat pendengar radio siaran tidak akan dapat menerima informasi atau berita itu, bila penyiarnya atau pengelolanya tidak bersedia menyiarkan pikiran, pendapat atau wawancara tersebut. Dengan kata lain, peranan penyiar atau pimpinan stasiun radio siaran ikut menentukan sampai tidaknya berita tersebut ke pendengarnya. Sama halnya dengan pemberitaan melalui media cetak, sampainya berita pada pembacanya berkat adanya kerjasama antara pencetak, penerbit dan penulisnya. Hal ini perlu disadari sebab cara berpikir yang demikian berkaitan dengan penetuan siapakah yagn harus bertanggungjawab, bila timbul akibat hukum sebagai akibat adanya pemberitaan yang disiarkan melalui radio siaran.

Suatu perbuatan pidana yang terjadinya atau timbulnya berkaitan dengan penyampaian pendapat, ide, pikiran atau pengungkapan perasaan ---yang melawan hukum---, baik melalui media cetak, media elektronik radio siaran dan televisi, dalam hukum pidana dapat digolongkan sebagai Delik Pers dalam arti luas. Pers dalam arti luas itu meliputi media komunikasi massa yang menggunakan alat cetak, dan media komunikasi elektronik yang dapat berupa radio siaran maupun televisi.

Arti Delik Pers atau perbuatan pidana pers sendiri selama ini memang cenderung diartikan sebagai suatu perbuatan yang merupakan pengungkapan atau pernyataan suatu perasaan atau pikiran seseorang ---yang melawan hukum--- yang dipublikasikan melalui media cetak saja. Penekanan Delik Pers dilakukan pada "bentuk perbuatannya" yang merupakan pernyataan perasaan atau pikiran seseorang, yang kemudian disebarluaskan kepada khalayak umum. Penyebarluasan itu bisa melalui media cetak atau melalui media komunikasi lainnya, seperti televisi maupun radio siaran. Dengan demikian ada pembedaan antara Delik Pers dalam arti luas dengan Delik Pers dalam arti sempit. Delik Pers dalam arti sempit, penekanannya difokuskan pada aspek penyebaran atau publikasi perbuatan itu melalui media cetak. Sedangkan Delik Pers dalam arti luas, penekanan fokus penyebarannya menggunakan media komunikasi lainnya. Delik pers yang menggunakan alat cetak sebagai sarana publikasinya, pengaturannya tunduk pada Undang-undang Nomor11 tahun 1966 jo. Undang-undang Nomor 4 tahun 1967 dan Undang-undang Nomor 21 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Sedangkan Delik Pers yang penyebaran atau publikasi siarannya melalui media komunikasi radio siaran, televisi, atau media elektronik lainnya diatur dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran 2). Untuk memperjelas uraian ini, baiklah diuraikan lebih diteil tentang sistem pertanggungjawaban hukum pidana dalam KUH Pidana maupun dalam Undang-undang Penyiaran.

Sistem Pertanggungjawaban KUH Pidana

Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana pers (elektronik) di Indonesia dikenal 2 (dua) macam sistem yang menonjol, yaitu sistem deelneming atau penyertaan, dan sistem water fall atau sistem air terjun 3). KUH Pidana menganut sistem pertanggungjawaban deelneming. Inti sistem pertanggung jawaban ini adalah, jika dalam suatu tindak pidana terlibat beberapa orang sekaligus, maka untuk menentukan hukuman masing-masing orang itu, harus dilihat lebih dahulu bagaimana dan sejauhmana keterlibatan mereka dalam tindakan itu.

Masalah deelneming diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUH Pidana. Pasal 55 KUH Pidana menyatakan bahwa:

  1. dipidana sebagai pelaku pidana: (a) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; (b) mereka yang dengan memberi bantuan atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau memberi kesempatan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan (ayat (1));
  2. terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya (ayat (2)).

Pasal 56 KUH Pidana menyatakan "dipidana sebagai pembantu kejahatan" (a) mereka yang memberi bantuan waktu kejahatan dilakukan; dan (b) mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dari uraian Pasal 55 KUH Pidana, dapat diketahui bahwa ada empat golongan pelaku tindak pidana, baik pelaku kejahatan maupun pelanggaran, yatiu:

  1. Pleger (orang yang melakukan);
  2. Doen Plegen (orang yang menyuruh melakukan);
  3. Medepleger (orang yang turut melakukan);
  4. Uitlokker (orang yang membujuk melakukan.

Ad. 1. Pleger

Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.

Ad.2. Doen Plegen

Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan 4). Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana 5).

Ad.3. Medepleger

Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.

Ad.4. Uitlokker

Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan.

Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu".

Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).

Sistem Pertanggungjawaban Menurut Undang-undang Penyiaran

Selain sistem pertanggungjawaban yang dianut olerh KUH Pidana, juga dikenal sistem pertanggungjawaban yang diatur dalam Undang-undang Penyiaran. Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dengan tegas mengatakan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta menetapkan Pemimpin dan Penanggungjawab penyelenggara penyiaran mencakup (a) Pemimpin Umum, (b) Penanggungjawab Siaran, (c) Penanggungjawab Pemberitaan, (d) Penanggungjawab Teknik,dan (e) Penanggungjawab Usaha. Penetapan Pemimpin dan Penanggungjawab penyelenggara penyiaran dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar manajemen yang profesional, sehat dan bertanggungjawab. Tanggungjawab penyelenggaran penyiaran secara keseluruhan berada pada Pemimpin Umum. Namun, untuk pertanggungjawaban secara hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan siaran, tanggungjawab dapat dilimpahkan kepada penanggungjawab sesuai dengan bidang permasalahannya, baik aspek pemberitaan, materi siaran, teknik maupun usaha.

Khusus untuk Lembaga Penyiaran Swasta Radio, pemimpin dan penanggungjawab penyelenggara penyiaran sekurang-kurangnya terdiri dari (a) Pemimpin Umum, (b) Penanggungjawab Siaran dan (c) Penanggungjawab Pemberitaan. Pemimpin dan penanggungjawab penyelenggara penyiaran hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia yang tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan dalam kegiatan yang menentang Pancasila. Pertanggungjawaban hukum Pemimpin Umum Lembaga Penyiaran Swasta dapat dilimpahkan secara tertulis kepada Penanggungjawab, sesuai dengan bidang pertanggungjawaban masing-masing. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, tanggungjawab, dan pelimpahan tanggungjawab Pemimpin Umum dan Penanggungjawab penyelenggaraan siaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian, terlihat dengan tegas bahwa sistem pertanggungjawaban hukum pidana dalam kaitannya dengan penyelenggaraan siaran, Undang-undang Penyiaran menganut sistem air terjun (water fall).

Artinya, orang yang mempunyai tanggungjawab pidana atas penyelenggaraan suatu siaran dapat melimpahkan atau menurunkan tanggung jawab itu kepada bawahannya, begitu seterusnya sampai ke tingkat bawah.

Bagaimana Penerapannya ?

Secara teori, untuk menjawab sistem mana yang dipakai dan bagaimana menerapkannya, dapat ditelusuri dengan menggunakan tolok ukur teori sistem Pertanggungjawaban Arti Luas atau teori sistem Pertanggungjawaban Arti Sempit.

Sistem Pertanggungjawaban Arti Luas

Menurut sistem ini, penentu terakhirlah yang menjadi pelaku utama, sebab dialah yang mempunyai tanggung jawab paling besar. Sebab, sekalipun para reporter telah mengumpulkan berita dari lapangan, kenyataannya apakah berita itu layak siar atau tidak berada di tangan penanggung jawab terkhir yaitu Pemimpin Umum. Penangungjawab siaran dan Penanggungjawab pemberitaan juga mempunyai kekuasaan untuk memutuskan apakah memberitakan berita itu atau sebaliknya tidak memberitakannya, sekalipun sudah diperiksa oleh Editor misalnya. Sehingga terkesan bahwa reporter hanyalah sebagai alat pengumpul berita saja yang tidak mempunyai banyak wewenang atau hak menentukan sendiri. Jika isi berita itu tidak diketahui oleh Pemimpin Umum, itu berarti penentu tertinggi ada pada Penanggungjawab Siaran atau kemudian juga dapat dilimpahkan ke Penanggungjawab Pemberitaan, maka dengan demikian orang yang disebut terakhirlah yang dianggap sebagai pelaku utama (pleger), sedangkan Koordinator Reporter dan Reporter hanyalah sebagai "orang yang membantu" (medeplichtig) atau "orang yang turut melakukan (medepleger). Jadi sangat bergantung pada kasus per kasus. Jika Pemimpin Umum sudah terlebih dahulu mengetahui berita itu, maka beliaulah yang bertindak sebagai pelaku utama, sedangkan yang lain cuma sebagai pembantu atau yang ikut serta melakukan perbuatan. Namun demikian, sudah dipahami suatu dalil umum bahwa dalam dunia pers (baca: pers elektronik) bahwa Pemimpin Umum adalah "komando" atau penanggungjawab terhadap keseluruhan isi siaran. Apapun yang disiarkan adalah tanggungjawab Pemimpin Umum. Sehingga tidak ada istilah Pemimpin Umum "tidak tahu isi berita". Kalaupun secara de facto dia memang tidak mengetahui isi berita itu, tetapi secara de jure dia dianggap harus tahu. Jadi, menurut sistem Pertanggungjawaban Arti Luas, Pemimpin Umumlah yang dinilai paling bertanggungjawab sebagai pelaku utama.

Sistem Pertanggungjawaban Arti Sempit

Menurut sistem ini, tanggung jawab seseorang harus diukur seimbang dengan perbuatan nyata orang yang bersangkutan. Seandainya Reporter mempunyai kesalahan paling besar, misalnya karena sengaja memasukkan berita atau fakta atau informasi yang tidak benar, maka menurut sistem ini Reporterlah yang harus bertanggungjawab lebih besar. Apalagi kemudian terbukti bahwa niat atau inisiatif membuat berita datang dari si reporter itu sendiri, maka menurut sistem Pertanggungjawababn Arti Sempit, pelaku utamanya adalah sang Reporter itu sendiri. Selanjutnya, Penanggungjawab Pemberitaan menempati urutan nomor dua, dan Penanggungjawab Siaran menempati urutan nomor tiga. Kemudian pertanggungjawaban berikutnya adalah naik ke atas, demikian seterusnya.

... bersambung


2 Khusus untuk aspek pidana untuk Delik Pers bagi media radio siaran yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997, akan diuraikan dalam BUKU lain.
3 Untuk uraian ini lihat lebih lanjut Wina Armada, S.A., SH, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta, 1989.
4 Dalam ilmu hukum "orang yang disuruh melakukan" disebut manus ministra (tangan yang dikuasai) dan "orang yang menyuruh melakukan" disebut manus domina (tangan yang menguasai). Lihat juga Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT Eresco, 1979, halaman 100.
5 Secara umum isi pasal-pasal itu menerangkan orang yang tidak bisa dihukum, yaitu masing-masing karena sakit akal (Pasal 44), dalam keadaan darurat (Pasal 48), untuk mempertahankan atau membela diri (Pasal 49), menjalankan perintah perundang-undangan atau perintah atasan (Pasal 50 dan Pasal 51).


| Halaman Sebelumnya | Daftar Isi | Halaman Berikutnya |