Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
adzanil's paper pram

STRATEGI PEMBINAAN PRAMUKA MENGHADAPI ABAD 21


(Makalah disajikan pada Pentaloka Pembina Pramuka (Karang Pamitran) Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Sumatera Barat tanggal 25-27 Maret 1998 di Lemdadika Padang Besi, Padang)
Pengantar

Ketika orang mulai ditakutkan oleh "sindrom globalisasi" beberapa waktu lalu, jauh-jauh hari sebenarnya Bung Hatta (Dr. Mohammad Hatta) telah memperingatkan kita untuk bersiap diri menjadi bangsa yang mampu berdiri di kaki sendiri dengan pemberdayaan ekonomi dan industri. Memberdayakan ekonomi dan industri bukan dilakukan dengan membuat pabrik di sana-sini, tetapi tentunya pertama-tama dilakukan melalui penyiapan sumber daya manusia yang akan membangun sektor ini. Peringatan Bung Hatta ini didasarkan atas pengamatannya yang mendalam terhadap gejala-gejala globalisasi yang sebenarnya telah mulai terjadi beberapa waktu lalu, jauh sebelum John Naisbit yang dijuluki sang "futuris" itu mengungkapkan prediksinya melalui bukunya "global paradoks". Hanya saja waktu itu orang tidak begitu memperhatikannya karena mereka sibuk dengan urusan-urusan lain sementara lupa mempersiapkan manusia yang seharusnya saat ini sudah "go internationally". Al hasil, saat bangsa Indonesia terengah-engah diterpa badai gelombang krisis yang sangat besar, tidak banyak yang dapat dilakukan kecuali hanya berkata "kita bangsa yang belum siap tinggal landas".

Makalah ringkas ini tidak dimaksudkan untuk membeberkan kekacauan pembangunan SDM yang terjadi, namun lebih diarahkan kepada hal-hal (solusi) yang perlu dilakukan dalam kurun waktu singkat, khususnya yang diperlukan bagi pembinaan anggota pramuka. Hal ini didasari bahwa pendidikan kepramukaan merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan nasional. Tujuan yang hendak dicapai adalah rumusan strategi pembinaan jangka pendek yang diperlukan dalam abad ke 21 yang tengah membadai ini.

Permasalahan Partisipasi dalam Pendidikan

Sebelum beranjak lebih lanjut, ada baiknya kita melihat dulu partisipasi angkatan muda kita dalam institusi pendidikan. Pembahasan partisipasi pendidikan ini juga dikaitkan dengan kondisi partisipasi anak/pemuda yang terlibat dalam wadah pendidikan kepramukaan.

Kalau disimak secara seksama, penyebab malapetaka ekonomi dan industri adalah soal penyiapan sumber daya manusia yang memiliki daya saing tinggi, istilah lain sumber daya manusia berkualitas. Indonesia memiliki sumber daya manusia yang melimpah, tetapi sedikit yang memiliki daya saing. Hal ini dapat dicermati dari jumlah penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah lebih 200 juta jiwa pada awal PJP II (pada pertengahan abad ke 21 nanti diperkirakan berjumlah 335 juta), yang mana jumlah angkatan mudanya (usia sekolah SD-PT) lebih besar dari angkatan tua, diperkirakan 80% dari jumlah populasi. Namun dari angka angkatan muda ini sangat sedikit yang memiliki keterampilan, artinya yang memiliki daya saing memadai dalam percaturan global. Sumber daya manusia yang memiliki daya saing ini dapat dilihat dari jumlah mereka yang menamatkan pendidikan, baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, yang ditandai dengan angka partisipasi pendidikan. Angka partisipasi pendidikan ini dibedakan atas 2 (dua), yakni angka partisipasi pendidikan murni (APM) dan angka partisipasi pendidikan kasar (APK). Tidak usahlah kita melihat APM, kita fokuskan saja pada APK.

Secara nasional, APK kita masih jauh dari memuaskan (apa lagi jika dilihat APM-nya), yang tentunya membawa akibat buruk terdapat kualitas dan daya saing sumber daya manusia di dunia kerja. Pada akhir PJPT I, awal pelita VI (1992/93), tercatat jumlah anak/pemuda Indonesia yang menamatkan sekolah dasar (APK) adalah 109.9% dari populasi anak seusia SD, APK SLTP 52,7% dari populasi anak usia SLTP, APK SLTA 33,2% dari anak usia SLTA, sedangkan APK PT 10,5% dari populasi usia mahasiswa. Data di atas adalah APK nasional, belum lagi APK Sumatera Barat.

Pada akhir PJP II (1992/93), APM SD Sumatera Barat 97,13%, APK SLTP 61,36%, APK SLTA 45,15%. Sedangkan APK PT tentunya jauh lebih rendah, karena tidak semua tamatan SLTA dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi. Memang kita cukup gembira jika kita membandingkan APK pada awal PJP I (1998/69) dan peningkatannya pada akhir PJP I (1992/93). Namun jika dicermati secara seksama, bukankah hal semacam ini membuat kita "gamang" akan kelangsungan hidup bangsa ini karena rentang waktu yang sekian lama hanya dapat memberikan pertumbuhan yang tidak menonjol, apalagi saat bangsa ini sedang dihadapkan dengan krisis yang tidak lagi sekedar istilah "latah-latahan" tetapi adalah sebuah kenyataan. Untuk itulah, segamaimana kita maklumi, upaya yang mesti dilakukan secara crash program adalah dengan meningkatan mutu sumber daya manusia, artinya meningkatkan daya saing manusia Indonesia dalam era persaingan sejagat ini, meskipun (mungkin) sudah terlambat. Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, namun yang penting adalah kerja kongrit dalam mewujudkan generasi yang berdaya saing tinggi (terampil, cakap, mandiri, berdedikasi, dan bertaqwa). Itu sebabnya pelatihan-pelatihan jangka pendek cenderung lebih bermanfaat pada saat ini.

Anggota Pramuka dan Industrialisasi

Tentunya kita sepakat untuk tidak menjadikan anak-anak kita seperti mesin yang hanya dijadikan "alat". Tetapi kita tentunya sepakat untuk menjadikan akan-anak kita sebagai generasi pengendali mesin (istilah KH Zainuddin MZ: The man behind the gun). Namun untuk bisa mengendalikan mesin itu perlu dimilikinya keterampilan secara profesional, bukan amatiran. Kita tidak menciptakan anak yang selalu mimpi dengan dongeng-dongeng, tetapi mereka yang mampu berpikir kritis terhadap hidup/kehidupan dan mampu berbuat sesuatu secara sistematis dalam mengatasi persoalan hidup/kehidupan. Untuk menjalankan mesin tidak perlu dengan mimpi atau dongeng, tetapi perlu aksi (keterampilan dan pengetahuan lebih disyaratkan). Kiranya inilah salah satu ciri positif masyarakat yang hidup ditengah era industri ini, di samping tentunya ada pula sisi negatifnya.

Anggota pramuka, jika ingin disebut sebagai bagian dari masyarakat industri, tidak luput dari tuntutan ini. Mereka diharapkan mampu menjadi tenaga-tenaga profesional yang tentunya memiliki daya saing tinggi. Namun permasalahannya, sejauh mana pembinaan kepramukaan yang mempersiapkan mereka sebagai tenaga profesional tersebut dilakukan?

Jika kita tinjau kembali APK baik nasional maupun Sumatera Barat (hanya terbatas pada mereka yang bersekolah), tentunya APK Pramuka dapat diasumsikan lebih rendah darinya. Hal ini disebabkan karena tidak semua anak yang bersekolah (anak usia pramuka) yang mendapat kesempatan dididik dalam wadah Gerakan Pramuka. Belum lagi kalau dilihat dari sisi format dan kualitas kegiatan yang diselenggarakan di wadah kepramukaan ini (seperti pada gudep, saka, dewan, kwartir dan sebagainya). Mungkin dapat diartikan bahwa masih sedikit kegiatan pelatihan yang telah dilakukan dalam meningkatkan mutu daya saing anggota. Kenyataan membuktikan bahwa seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan kepramukaan ketika mulai melamar pekerjaan mesti bersaing keras dengan tenaga kerja lainnya (tidak ada bedanya antara anggota pramuka yang dieluk-elukkan terampil itu dengan tenaga lainnya). Padahal kalau memang dia dikatakan tenaga terampil, terlatih dan cekatan, tidak perlu susah-susah untuk memenangkan persaingan, jika selama ini wadah kepramukaan (gudep, saka, atau wadah lainnya) betul-betul mempersiapkan mereka dengan baik melalui menyelenggarakan pendidikan menuju tenaga profesional berdaya saing tinggi.

Di sisi lain, jika dilihat secara seksama bentuk dan kualitas kegiatan dan latihan kepramukaan, baik di gugusdepan maupun satuan karya, termasuk pula di lembaga setingkat kwartir, belum banyak yang mengarah kepada keterampilan-keterampilan teknis profesional. Contoh sederhana, tidak banyak anggota pramuka yang mampu mengoperasikan komputer. Jangankan mengoperasikannya, melihatnya saja (mungkin) belum pernah. Belum lagi kemampuan sebuah bahasa komunikasi global, yakni bahasa Inggris. Semuanya ini merupakan keterampilan prasyarat dalam memasuki persaingan abad ke 21 secara profesional. Akhirnya generasi pelanjut yang diharap-harapkan hanya akan menjadi penonton suatu pertandingan global, yang hanya bisa bersorak-sorai pada pertandingan orang, tanpa tahu mesti berbuat apa untuk ikut terlibat dalam menentukan pertandingan itu. Bagi pembina dan tenaga ahli pendidikan lainnya inilah yang merupakan kesedihan, sekaligus pula tantangan, mau berbuat apa? Sementara kita tahu hal semacam ini tidak hanya terbatas pada tanggungjawab pendidikan sekolah saja, tetapi pula tanggung jawab Gerakan Pramuka, jika wadah ini juga dikategorikan sebagai wadah pendidikan luar sekolah.

SKU 2000 dan Strategi Pembinaan Jangka Pendek

Membicarakan stretegi pembinaan pramuka di masa mendatang, tentunya tidak terlepas dari membicarakan konsep rencana strategik menjelang tahun 2000, disebut Sapta Karsa Utama 2000 (SKU 2000). Menurut versi Kwarnas, SKU 2000 merupakan langkah-langkah yang diprioritaskan untuk mencapai tujuan Gerakan Pramuka. Tujuan Gerakan Pramuka ini diilustrasikan ke dalam Postur Pramuka tahun 2000. Ada 5 macan tujuan yang hendak dicapai, yaitu: (1) jumlah anggota GP mencapai jumlah minimal 10% atau 1/10 dari jumlah penduduk seumur, (2) kurang lebih 20 juta kaum muda merupakan warga negara Indonesia yang berguna dan memiliki moralitas tinggi dan berkualitas kepemimpinan, (3) penyebarannya di seluruh wilayah Indonesia sudah merata dan seimbang dan erkualitas kepemimpinan, (4) peran pramuka dalam kehidupan masyarakat telah aktif, relevan, dan dirasakan, (5) manajemen GP yang efisien dan dinamis sudah mapan dan Gerakan Pramuka menjadi organisasi yang lebih relevan dan lebih dimengerti dan diterima secara luas oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan (postur) tersebut, ditetapkanlah 7 prioritas utama, yaitu: (1) pendidikan dan pelatihan peserta didik dan anggota dewasa yang disesuaikan dengan kepentingan dan tuntutan kebutuhan pembangunan watak individu dan kepribadian bangsa, (2) pemimpin yang mahir dan bermotivasi, (3) kegiatan yang berkualitas untuk peserta didik dan anggota dewasa sesuai dengan kebutuhan kaum muda, lebih kreatif, berdayatarik dan menantang, (4) pengelolaan manajemen organisasi dan finansial yang tepat dan cocok, dinamis dan mampu menyesuaikan diri dengan efektif, (5) perencanaan dana dan keuangan demi keberhasilan semua program, (6) perbaikan citra umum kepramukaan, (7) pengembangan kebijaksanaan strategis untuk pertumbuhan menyeluruh yang berdampak nasional maupun internasional.

Secara konseptual, baik postur 2000 maupun SKU 2000 telah diarahkan pada pembinaan kepramukaan menuju suatu profil anggota yang berkualitas dan profesional. Namun secara operasional, penyelenggaraan SKU masih jauh dari sasaran. Hal ini dapat dilihat dari format kegiatan latihan yang dijabarkan yang belum mengarah kepada keterampilan "profesional" yang diperlukan anggota untuk meningkatkan daya saing, kecuali latihan-latihan yang bersifat "amatir". Hal ini berakibat terhadap kurangnya kualitas daya saing tenaga yang dihasilkan dalam memasuki persaingan global. Akibatnya, banyak wadah latihan yang ditinggalkan anggotanya karena dirasa tidak dapat memenuhi tuntutan kehidupannya dimasa datang. Kendati kita boleh berbangga dengan kuantitas sekolah/instansi yang memasang "papannama gugusdepan" secara data statistik, namun kita sedih melihat wadah tersebut banyak yang sepi dari kegiatan pembinaan yang rutin dan intensif.

Menjadikan wadah kepramukaan sebagai wadah harapan bagi generasi muda tidaklah sukar, asal ada niat yang tulus dari pihak penyelenggara dan pihak berwenang dalam memberdayakan wadah ini sebagai wadah latihan "yang diharapkan". Banyak sekali bentuk-bentuk pelatihan yang dapat diselenggarakan yang tentunya bersifat saling mendukung dan saling menguntungkan. Penyelenggara wadah beruntung karena misinya tercapai, sementara anggota pelatihan merasa senang karena mendapatkan nilai tambah dari latihan yang diikutinya. Tidak perlu sibuk dengan kegiatan tepuk dan nyanyi, tetapi sibuklah dengan pelatihan-pelatihan profesional yang dapat menghantarkan anggota didik menjadi tenaga yang memiliki daya saing tinggi. Juga tidak perlu bergaya militan, jika keterampilan teknis yang dibutuhkan dalam persaingan global tidak dikuasai. Untuk itu tidak ada pilihan kecuali program pelatihan teknis yang teratur dan berkala dan dukungan dana yang memadai. Sebab tidak ada usaha perbaikan mutu yang dapat dilakukan tanpa keinginan, prioritas, dan dana yang tersedia.

Selain itu, satuan karya (SAKA) yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan keterampilan profesional perlu ditinjau kembali keberadaannya. Justru SAKA yang menangani industri dan teknologi nampaknya perlu diprioritaskan. Selain itu, tidak ada gunanya memiliki gudep dan saka yang tersebar banyak, jika sepi dari kegiatan pelatihan. Untuk itu, liquidasi pun perlu dilakukan bagi gudep/saka yang tidak mampu. Jika perlu kwartir pun dapat dimerger, jika tidak lagi potensial dalam memayungi pembinaan kepramukaan di jajarannya. Dengan demikian kita tidak perlu menghabiskan dana dengan percuma. Lebih baik dimanfaatkan untuk kepentingan pemberdayadaan anggota didik agar mereka menjadi tenaga terampil dan profesional serta memiliki daya saing tinggi. Kalau hal ini memang dilakukan, permasalahan rendahnya mutu daya saing (lihat APK) akan terjawab, dan kita siap bersaing di abad 21 ini.

Pusat kajian kepramukaan pun tampaknya akan merupakan sarana yang tak kalah pentingnya dalam merumuskan format-format kegiatan yang berkualitas. Pusat kajian yang secara struktural berada di kwartir dan/atau di perguruan tinggi akan dapat memberikan sumbangan yang pragmatis dalam memberikan solusi permasalahn yang dihadapi oleh Gerakan Pramuka dalam menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Namun, kendati badan ini berada di dalam kwartir/perguruan tinggi, keberadaannya handaklah independen.

Penutup

Pada makalah ini kita telah membahas kondisi pendidikan secara nasional, regional, dan lebih spesifik lagi kondisi tersebut dikaitkan dengan keadaan pendidikan kepramukaan di daerah kita. Ternyata kita masih punya pekerjaan rumah yang jika ditunda-tunda pengerjaan akan membunuh diri kita sendiri. Apalagi jika saat ini kita tengah dihadapkan akan kondisi perekonomian yang semakin parah. Akhirnya anak generasi angkatan muda kita akan menjadi penonton, lebih ekstrem lagi menjadi buruh, di negeri sendiri karena kekurangmampuannya bersaing dalam percaturan global. Kiranya strategi yang telah telah dibahas di atas akan merupakan prioritas pekerjaan yang perlu segera dilaksanakan.

Bacaan
|| menu || kembali || e-mail || <>tanggapan<> || gudep ||